01 August 2014

Ujung Genteng

Jauh melebihi apa yang benar dan apa yang salah. Tersebutlah sebentang tanah. Aku akan menemuimu di sana.  —Rumi
Sehari setelah lebaran, masih dalam balutan sarung dan peci menyerupai mujahidin Afghanistan, saya begitu santai duduk di alun-alun Jampang Kulon. Segelas kopi dan beberapa orang kawan menemani. Lalu lintas menyebalkan. Orang-orang yang menunggang kendaraan roda dua seperti kesetanan, saling salip di tikungan. Beberapa mobil berplat B dan D tiba-tiba berdatangan dan lewat dengan cepat; mereka hendak pergi ke pantai.
Entah bagaimana mulanya tradisi pasca lebaran seringkali mengunjungi pantai untuk entah apa. Dan pantai di selatan Sukabumi, yang ramai dijejali–selain Pelabuhan Ratu, adalah Ujung Genteng. Memang ada kesamaan antara keduanya; sama-sama menghadap ke laut lepas, ke Samudera Hindia. Pantai yang tak terhalang oleh satu pulau pun. Sampai ada guyonan yang berbunyi, bahwa kalau di kampung membeli minyak tanah haruslah ke Australia, karena tak ada pulau lagi.
Pantai dan cuaca panasnya tak pernah membuat saya terlalu berminat, layaknya Jakarta. Maka ketika jalanan dipadati turis-turis dadakan, dan para tetangga mulai berkemas, saya hanya mencibir, ”apa menariknya pergi ke pantai?”
Tak heran meskipun jarak antara rumah dan pantai tak lebih dari satu jam perjalanan motor, namun terakhir kali pergi ke sana sudah sangat lama, dulu waktu duduk di Madrasah Tsanawiyah/SMP. Dengan mengayuh sepeda pinjaman, pagi-pagi setelah subuh, bersama dua orang kawan adalah perjalanan terakhir sebelum riwayat pendidikan tercerabut ke kota. Itulah tapal batas yang menandai bahwa merantau adalah pilihan, dan saya tak boleh mundur.
Selang dua windu kemudian, ketika kawan-kawan mulai tak dapat ditelusuri lagi jejaknya, dan usia telah melewati kepala dua, orang-orang masih saja tak bosan pergi ke pesisir; menikmati deburan ombak dan –-belakangan– mengabadikan gambar demi berkabar di media sosial yang berideologi “no pict = hoax”.
Saya tidak anti media sosial, buktinya pada malam hari, dalam genggaman sinyal internet yang hidup segan mati tak mau, sempat juga membuka Twitter dan mendapatkan kicauan @wilsonsitorus :
Senja di bibir pantai, dan bir, dan Fix You. Hidup tak bisa lebih baik lagi.
Tak ada yang aneh dengan dua kalimat itu, namun ada sedikit pertanyaan yang terbit di sesela pikiran. Kesan seperti apa yang membuat pemilik akun tersebut sampai menulis “Hidup tak bisa lebih baik lagi?” Sejauh yang saya alami, pantai dan segala benda yang menyertainya tak pernah memberikan kesan yang begitu dalam, selain –-dalam pikiran masa kecil—-bahwa laut tak pernah penuh.
H+3 saya mencoba berdamai. Dengan motor pinjaman, selepas Ashar pergi juga akhirnya ke pantai Ujung Genteng. Jalanan masih menyebalkan, namun sedikit terobati dengan kondisi aspal yang empuk dan mulus, tak terlampau banyak lubang. Tiba di sana angin seperti mengajak untuk bermain layang-layang. Hembusannya menampar muka, dan aroma asin mencucuk hidung. Saya seperti mengenal suasana ini, tapi sudah lama sekali.
Benteng tua yang sudah compang-camping ternyata masih ada. Di tempat itu dulu sepeda saya sandarkan, lalu berlari ke tubir benteng dan merentangkan tangan demi menantang angin yang bertiup kencang. Saya tak mengulanginya sekarang, sebab setiap pengulangan tak pernah menarik, lagi pula sudah terlalu ramai oleh orang-orang yang tengah sibuk membidikkan kamera.
Sebentar mampir ke warung untuk membeli segelas kopi, lalu memilih bergerak ke barat, ke pantai yang lebih sepi. Sesekali bertemu dengan mobil plat B, seketika pula teringat Jakarta; kota yang kacau namun puitik. Tak bisa saya bendung perasaan sentimental. Entah ingatan atau kenangan, tapi ada yang berarak di tempurung kepala, tentang masa lalu yang indah tak terdefinisi.
Bayangan pohon kelapa mulai temaram, di bawahnya saya berhenti. Berjarak kira-kira dua meter dari air laut yang mencium pasir putih, terdiam. Garis laut membentang di kejauhan. Jika Fahd Djibran, dalam buku “A Cat in My Eyes” duduk di halaman belakang, saya duduk di pantai. Namun ihwal masadepan ternyata sama; terduduk sendiri, merasa bukan siapa-siapa, merasa bukan apa-apa.
Pada mahaluas samudera, manusia di bibir pantai tak lebih dari noktah. Debur ombak dan matahari yang mulai mencium laut membuat perasaan lepas. Saya mencoba melarung beberapa hal. Adzan maghrib terdengar di kejauhan, dan kopi telah dingin. Jika nanti, kawan-kawan yang sudah lama tak ada kabar dan tak jelas jejaknya kembali, saya ingin menemuinya di sini. [ ]

Maut


Yang terlambat saya sadari, salah satunya adalah bahwa generasi telah berganti. Di kampung, sekarang setiap kali duduk di warung kopi, atau nongkrong di alun-alun, banyak sekali anak muda yang tidak saya kenali. Mereka menyapa, namun saya tertegun dan bertanya-tanya, “siapa mereka itu sesungguhnya?” Beberapa orang yang usianya sama atau tidak terpaut jauh dengan saya, ternyata mengalami hal serupa; semacam gegar generasi. Pada malam takbiran seorang kawan mengeluh, katanya dia duduk di pinggir alun-alun sambil membakar rokok, dan mendapati banyak sekali anak muda yang menyapa dan menyalaminya, namun hanya sedikit yang dikenalinya.
Perubahan ini ternyata adalah pangkal, sedangkan salah satu penyebabnya yaitu kematian. Generasi terdahulu; orang-orang tua yang sering kami temui di mesjid, di alun-alun, di warung kopi, di acara tahlilan, dan beberapa pemuda yang kerap mengadu jago di palagan bola, satu-persatu telah berpulang. Yang tersisa sekarang mayoritas ialah anak baru gede yang dulu, sebelum saya pergi merantau, masih sebentuk bocah-bocah manis yang belum pandai menerbangkan layang-layang.
Waktu seperti bergerak tergesa, dalam kurun waktu 17 tahun semenjak saya meninggalkan rumah, bocah-bocah itu tumbuh subur dalam balutan masa puber yang mendidih. Sedangkan angkatan tua satu-persatu tumbang, yang kata Chairil Anwar; “sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Waktu benar-benar hakikat, dia menggulirkan generasi demi generasi, tak terbendung dan meyakinkan.
Maut terkadang datang merayap, tapi seringkali menyambar. Di penghujung Ramadhan kemarin tak kurang dari empat orang kembali menghadap Sang Khalik. Seseorang yang usianya belum genap 40 tahun, setelah sahur pamit sama istrinya hendak rebahan sambil menunggu adzan subuh. Ketika istrinya membangunkan untuk sholat dia telah lewat. Di kampung sebelah ada seorang pemuda yang baru menginjak 34, pada sebuah sore yang manis dia pergi memancing, menjelang maghrib seseorang menemukannya tengah mengambang di sungai, bajunya terkait akar. Entah apa penyebabnya. Sedangkan orang-orang yang usianya telah lanjut kebanyakan “dijemput” ketika terbaring di kamar tidur.
Kematian adalah pasti, sepasti 2+2=4, hanya saja dia diliputi misteri ihwal kapan datangnya. Dalam sebuah sajak yang berjudul “Pastoral” Acep Zamzam Noor menulis :
Maut bukanlah kabut yang mengendap-ngendap / Tapi salju / Yang berloncatan bagai waktu / Dan menyumbat pernapasanmu
Maut bukanlah kata-kata / Tapi doa / Yang memancar bagai cahaya sorga / Dan membakarmu tiba-tiba
Tapi meskipun berloncatan dan memancar, namun salju dan cahaya sorga belum mau menyentuh seorang tua yang tempat tinggalnya sekira 20 meter dari rumah saya. Dia seorang mantan Wedana, dan usianya telah menginjak 96 tahun. Tapi seorang tua yang tersisa itu tak mampu membendung pergantian generasi. Dia tak lebih sebagai penanda bahwa sebuah angkatan telah mendahului angkatan berikutnya. Jelas, tak ada seorang pun yang tahu apakah dalam waktu dekat Pak tua itu tengah diintai maut atau tidak.
Sama seperti tak seorang pun yang tahu, termasuk yang mudik kemarin, bahwa angka kecelakaan lalu-lintas yang merenggut nyawa terus memenuhi catatan kepolisian. Dia “mengambil” siapa saja yang dihendaki-Nya, dan menangguhkan siapa yang dikehendaki-Nya.
Begitulah maut, meskipun datang membabat, menggerus pergantian generasi, namun tetap menyimpan aura misteri yang membuat gentar dan menggetarkan. Saya akhiri catatan ini sebelum menjadi khotbah. [irf]