31 January 2015

Foto-foto Sekitar Balai Kota

Lumayan jang reureuh

Kebon kembang

Herang nyak caina mah

Sareukseuk katempona eta apartemen

Kritik di Jl. Perintis Kemerdekaan

Kamarana atuh cinta

Memeh mengbal urang badami heula

Musholla

Latihan nari

Kaulinan barudak anyeuna

Tombolna tidak berfungsi!

Paur aya budak tikusruk

Parkir sepeda

Toilet yg belum selesai

Foto : Arsip Irfan Teguh Pribadi

Ada Apa di Taman Balai Kota?


Siapa cinta Bandung
Harus lulus ilmu ingatan
---Eddy D. Iskandar

Di Kota Bandung, sekarang ini, barangkali taman kota sedang menjadi panglima hiburan. Semenjak Wali Kota dijabat oleh Ridwan Kamil, taman-taman baru bermunculan, dan yang lama dihidupkan kembali. Sebut saja dari mulai Taman Pasupati (Taman Jomblo), Taman Film, Taman Musik, Taman Superhero, Taman Fotografi, Taman Hewan, Taman Lansia, Taman Panatayuda, sampai dengan Taman Balai Kota.

Dalam menyelami sejarah kota, kita seringkali dibantu oleh mereka yang rajin mendokumentasikan perjalanan kota. Arsip-arsip kota, baik yang dibukukan, maupun yang tercecer di lembar-lembar koran, mulanya adalah sebuah kerja sunyi para pendokumentasi yang penuh kewaskitaan. Cinta dan minat mereka yang besar adalah jalan panjang dalam menjaga ingatan.

Pada kesempatan ini, saya hendak mencatat Taman Balai Kota dan sekitarnya. Minangka sebagai sebuah kerja kecil dalam rangka mempelajari ilmu ingatan.

***

Pada tanggal 1 April 1906, Gubernur Jenderal J.B. van Heutz menetapkan status Kota Bandung yang semula adalah ibu kota Kabupaten Bandung, ditingkatkan menjadi Gemeente (Pemerintah Kota). Maka Kota Bandung pun resmi terlepas dari Kabupaten Bandung. Karena hal inilah, Kota Bandung pun dituntut untuk mempunyai gedung pemerintahan sendiri yang berpusat di Gemeente Huis atau Balai Kota. Pada perjalanannya Balai Kota mempunyai sebuah taman, yang kini dikenal dengan nama Taman Balai Kota.

Sejarah seputar Balai Kota Bandung dan tamannya bisa ditemui di beberapa buku tentang Kota Bandung. Salah satunya adalah di buku Gementee Huis karangan Sudarsono Katam, yang diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama.

Taman Balai Kota berada di dalam komplek Balai Kota Bandung. Semenjak taman ini dirapikan dan dipercantik dengan berbagai ornamen baru, jumlah pengunjung pun semakin bertambah. Mayoritas pengunjung adalah remaja dan anak-anak. Mereka memanfaatkan taman ini untuk latihan menari, main bola, pacaran, foto-foto, atau sekadar duduk-duduk di bangku taman.

Satu hal yang paling terkenal di Taman Balai Kota adalah keberadaan patung badak putih. Hewan ini dipilih konon karena dulu di Bandung banyak terdapat badak. Sebagai tambahan informasi, Rumah Sakit Hasan Sadikin dulu bernama Rumah Sakit Ranca Badak, bahkan di salah satu jendelanya masih terdapat sisa sebuah gambar badak.

Di bawah patung badak putih terdapat kolam ikan yang dilengkapi dengan air mancur. Di badan patung tertulis tentang larangan mengambil ikan di kolam dengan cara apa pun. Di sekitar kolam ada beberapa bangku yang sering dimanfaatkan oleh para pengunjung untuk bersantai sambil ngobrol.   

Naon hubunganna lauk emas jeung Bandung?
Tak jauh dari patung badak, kini terdapat juga patung ikan mas yang berjumlah lima ekor. Entah apa pertimbangannya sehingga heman ini dipilih untuk “menemani” si badak putih. Selintas pikiran saya tertuju ke patung ikan besar di alun-alun Cisaat, Sukabumi. Patung itu dipilih karena di Cisaat ada sebuah daerah yang terkenal sebagai produsen ikan mas, yaitu Cibaraja. Artinya pembuatan patung ikan mas masih ada kaitannya dengan suatu daerah setempat. Namun entah kalau yang ada di Taman Balai Kota Bandung ini.

Di sebelah patung ikan, di kiri dan kanannya, berjajar tiga pilar berwarna putih yang kemungkinan besar berfungsi sebagai penerangan di waktu malam. Bergeser sedikit ke arah Utara, tertulis dengan rapi : “Taman Balai Kota”.

Yang tak kalah “nge-hit” adalah dengan dibuatnya gembok duriat—saya lebih senang menyebutnya begitu (gembok cinta) tempat para pasangan, terutama anak-anak muda, mengaitkan gembok yang terkunci di terali yang berbentuk kotak. Anak kunci itu kemudian dibuang ke kolam dekat patung badak putih. Di hampir setiap gembok tertulis nama pasangan yang mencoba mengabadikan cintanya.

Duriat dikonci ku gembok
Di atas terali kotak itu tertulis “LOVE” berwarna merah, yang sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial karena dianggap menjiplak. Fenomena gembok cinta ini memang sudah merambah banyak tempat, di antaranya Korsel dan Prancis, yang kemudian menular ke Bandung. Selain itu, tanaman bunga berbagai warna ikut pula mempercantik Taman Balai Kota.    

Di sebelah selatan terdapat patung se-dada Raden Dewi Sartika yang terlihat kusam. Patung pelopor pendidikan untuk perempuan Priangan ini nampak kurang terawat. Di bawahnya ada plakat peresmian oleh Wali Kota pada masanya, yaitu Wahyu Hamijaya. 

Sebagaimana taman-taman yang lain, Taman Balai Kota pun konon dilengkapi dengan wifi, namun entah saya belum pernah mencobanya. Himbauan untuk membuang sampah pada tempatnya terpasang di beberapa sudut taman. Hal ini dibarengi juga dengan ketersediaan tempat sampah yang relatif cukup banyak.

Keran Air Minum
Sebuah terobosan sempat dilakukan oleh pemkot bagi para pengunjung taman, dengan dibuatnya keran air siap minum. Namun entah kenapa tidak lama setelah diluncurkan, fasilitas ini kemudian tidak berfungsi. Harian terbesar di Jawa Barat pernah memuatnya di sebauh edisi ihwal berita ini. Informasi yang disajikan koran tersebut adalah karena adanya gangguan pada rangkaian listrik yang terhubung dengan keran air tersebut. Entah sekarang apakah sekarang sudah diperbaiki atau belum.

Kebutuhan akan air minum memang cukup besar, apalagi bagi anak-anak dan remaja yang mayoritas beraktifitas fisik seperti menari dan main bola, yang tentunya akan cepat membutuhkan air untuk menggantikan cairan tubuh yang keluar. Namun sepanjang yang saya perhatikan, tidak ada satu orang pun yang minum langsung dari keran tersebut. Artinya ada dua kemungkinan; fasilitas itu rusak, atau pengunjung bawa minum sendiri.

Gazebo
Di tengah taman terdapat sebuah gazebo yang dulu digunakan sebagai tempat duduk dan bersantai. Sekarang gazebo tersebut dipasangi teralis dan pintu, serta dikunci. Artinya tidak bisa digunakan lagi oleh pengunjung taman. Entah apa alasannya sehingga tempat ini menjadi tertutup untuk umum.

Batas taman di sebelah timur adalah aliran kanal Cikapayang yang airnya cukup bersih, meskipun alirannya kecil dan tidak terlalu deras. Kanal ini dibatasi oleh pagar besi yang memanjang, namun sayang ada dua pagar yang kondisinya rusak, sehingga cukup membahayakan jika ada anak kecil yang main di sekitarnya.

Patung Raden Dewi Sartika
Di timur aliran Cikapayang adalah Jl. Merdeka yang dibatasi oleh trotoar, yang kini trotoar tersebut sedang dipercantik dengan pagar, bunga, dan lampu maung yang keren. Lampu itu berbeda dengan lampu taman yang ada di dalam. Antara Taman Balai Kota dengan trotoar disambungkan oleh sebuah jembatan yang melintas di atas kanal Cikapayang. Kemudian ada juga jembatan penyeberangan yang melintas Jl. Merdeka.

Semenjak taman-taman kota ramai dikunjungi masyarakat, beberapa tembok di pinggir jalan “dihiasi” kata-kata sindiran sebagai bentuk kritik kepada pemerintah, yang tidak menyediakan toilet di dalam taman. Salah satunya yaitu yang terdapat di Jl. Perintis Kemerdekaan, tak jauh dari Gedung Indonesia Menggugat. Hal ini sebagai fakta bahwa masyarakat tidak “lelap” hanya dengan fasilitas umum yang didayagunakan, namun mereka juga tetap menyimpan daya kritis sebagai bukti cintanya kepada kota.

Kayanya sih buat penerangan
Syukurlah di Taman Balai Kota kini tersedia fasilitas toilet dan sekaligus musholla, meskipun pengerjaannya belum selesai dan belum bisa digunakan, namun ini membuktikan bahwa pemerintah merespon dengan cukup cepat aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Taman Balai Kota dikelilingi oleh Jl. Merdeka di sebelah timur, Jl. Wastukancana di barat, Jl. Aceh di utara, dan Jl. Perintis Kemerdekaan di selatan. Di ke empat jalan tersebut disedikan jalur khusus untuk pengendara sepeda, meskipun sebenarnya tetap jalan yang sama dengan para pengendara mobil dan sepeda motor. Jalur tersebut hanya dibatasi oleh sebuh garis putih dan dipertegas dengan beberapa gambar sepeda di dalam jalur tersebut. Dari segi keamanan--apalagi jika dihadapkan dengan kesadaran berkendara yang masih minim, tentu jalur khusus sepeda ini masih jauh dari optimal.

Jalur sepeda
Jalur sepeda tersebut dibuat untuk mendukung program “Jum’at Bersepeda” yang diluncurkan oleh pemkot, maka tak heran jika di halaman Balai Kota terdapat tempat parkir sepeda. Seperti parkiran untuk mobil, tempat parkir sepeda pun dilengkapi tulisan khusus untuk para “inohong” seperti Kepala Dinas.

Satu hal yang patut diperhatikan untuk para pengendara mobil adalah, mobil yang tidak memiliki tanda lulus uji emisi, dilarang parkir di komplek Balai Kota. Namun pada pelaksanaan kontrolnya; apakah berlaku ketat atau sebaliknya, memang perlu pengamatan dan informasi yang lebih lanjut.

Masjid Al Ukhwuwah
Di sebelah barat terdapat Masjid Al Ukhuwwah yang berfungsi selain untuk sholat lima waktu, juga untuk sholat Jum’at para pegawai Balai Kota dan masyarakat sekitar. Di lahan masjid itu dulunya berdiri sebuah loji gerakan Freemasonry yang bernama St. Jan, atau dalam lidah Sunda menjadi Setan.  Us Tiarsa dalam kenangan masa kecilnya sempat menulis :

“Nu disebut Gedong Sětan těh, gedong leutik peuntaseun Gedong Papak (Balěkota) beulah kulon. ěta gedong wangunna mah teu beda ti gerěja. Ceuk kolot mah saban poě, rěk beurang rěk peuting peuting, rěa julig nyiliwuri, sětan marakayangan, jeung jin kapir ti mana ti mendi ngadon carurak-curak di dinya.”

Namun kemudian beliau mengetahui nama dan fungsi gedung tersebut yang sebenarnya, ternyata berbeda dengan apa yang beliau dengar dari orangtuanya :

“Kakara běh dieu nyaho yěn ěta gedong (loji) těh baheulana tempat kaom těosofi karumpul. Ngaran gedongna těh Saint Jan.”

Tangganya terlalu curam
Masjid Al Ukhuwwah dan Balai Kota dihubungkan oleh sebuah jembatan penyeberangan yang anak tangganya curam. Jangankan untuk penyandang difabel, untuk manusia normal pun anak tangga itu cukup mengkhawatirkan. Mungkin karena itulah, kini di dekat gerbang masuk Balai Kota sebelah barat dibuat zebra cross yang dilengkapi dengan tombol penyeberangan. Setiap pejalan kaki yang mau menyeberang cukup memijat tombol tersebut, nanti lampu merah dan sirine akan menyala untuk menghentikan para pengendara.

Namun ada saja hal ironi yang menyertai, zebra cross itu ternyata berujung pada sebuah tembok. Persis seperti zebra cross yang di Jl. Aceh, dulu sebelum ada pemberitahuan dari masyarakat, zebra cross tersebut berujung pada sebuah pagar. Atau seperti halte angkot di Jl. Pasirkaliki, mulanya halte itu persis menghadap pagar, jadi kalau mau naik angkot harus naik pagar dulu. Juragan sehat?

***


Jembatan di Cikapayang
Taman Balai Kota secara umum telah memenuhi kebutuhan masyarakat akan ruang publik untuk interaksi sosial, yang selama ini kurang diperhatikan. Suksesi kepemimpinan memang banyak mendorong akan pemenuhan kebutuhan ini. Hal ini tentu—bagi pemkot, adalah panen pujian yang dituai dari masyarakat, terutama yang tersaji di media sosial populer. Namun walau bagaimana pun, ruang publik ini tetap menyisakan sejumlah kekurangan yang secepatnya perlu dibenahi. Agar ke depan, tempat berkumpul masyarakat yang murah meriah ini lebih genah-merenah-tumaninah. [irf]      

Lampu Maung

Trotoar di Jl. Merdeka sedang dipercantik

Kedah lulus uji emisi

Latihan nari dulu biar kekinian

Omat runtah piceun kana tempatna lur!


Foto : Arsip Irfan TP

27 January 2015

Kabar dari Menara Kembar

Menara Kembar Masjid Agung
Tah ieu alun-alun
Eta jalan Dalem Kaum
Palih ditu Cikapundung
Mana ari Masjid Agung?

---Deni A. Fajar


Adalah hari Ahad bertarikh 25 Januari 2015 yang sedang dirahmati sinar matahari, yang menandai bahwa Ngaleut tidak lagi berjalan dari rute ke rute, melainkan fokus di satu objek dan sekitarnya, demi menggali informasi yang lebih dalam, melebihi dari sekadar pemaparan beberapa orang.

Mula-mula tim saya duduk di dekat pintu masjid. Koordinasi sebentar sebelum akhirnya menyebar. Kemudian dua orang menuju ke ruang sekretariat, dan tiga orang berkeliling menyusuri sudut-sudut masjid sambil sesekali melakukan wawancara dengan beberapa pengunjung.

Kang Atang Wahyudin selaku bagian tata usaha, yang kami temui di ruang sektretariat memberikan sembilan lembar kertas, berisi tentang sejarah dan perkembangan Masjid Agung dari masa ke masa. Lengkapnya saya sajikan di bagian akhir dari catatan ini.

Pelataran Masjid Agung
Sebetulnya yang pertama menerima kami adalah seorang laki-laki paruh baya. “Bapak mah bagian kebersihan, sama Kang Atang aja ya, dia lebih tahu tentang sejarahnya,” tutur Pak Haji Nabhan, yang namanya kami ketahui belakangan.

Kang Atang kemudian menerima kami dengan ramah. Pengurus masjid yang “baru” bertugas selama 10 tahun itu dengan antusias menjawab beberapa pertanyaan yang kami ajukan. “Saya mah termasuk baru, tuh Pak Haji yang lama mah, udah 20 tahun lebih di sini, “ tuturnya. Meskipun ada beberapa poin pertanyaan yang terkait dengan dibukanya alun-alun baru—yang sengaja dibekali oleh Koordinator Aleut, namun karena komunikasi yang terbangun begitu cair, maka hal itu dimanfaatkan untuk menggali soal-soal lain yang lebih luas.

Dampak dari dibukanya Alun-alun yang baru, yang berumput sintetis itu, ternyata menambah jumlah jamaah shalat dan juga menambah jumlah uang kencleng. Dari semula rata-rata perbulan hanya 12 juta, namun sekarang bisa mencapai angka 20 juta perbulan.

Dana operasional Masjid Agung pertahun idealnya 4 sampai 5 milyar, namun dana yang ada hanya berjumlah 1 milyar yang bersumber dari hibah Pemprov, serta total shodaqoh pertahun yang berjumlah rata-rata 600 juta. Kekurangan tersebut dapat disiasati dengan membuat skala prioritas pada setiap kegiatan.

Catatan Kegiatan Harian
Rekam harian jumlah jamaah yang sholat lima waktu dicatat dalam sebuah form. Di dalamnya tercantum juga petugas imam dan muadzin, serta kegiatan majlis ta’lim. Dari sana dapat dilihat perkembangan jumlah jamaah setiap hari, jumlah per waktu shalat, dan jumlah jamaah yang mengikuti kegiatan di majlis ta’lim. 

Waktu saya melihat jadwal majlis ta’lim yang menempel di dinding kantor sekretariat, Kang Atang menambahkan, “Di sini mah segala organisasi ada. Muhammadiyah, Persis, NU, dan yang lain ada semua.  Hanya Ahmadiyah sama ISIS aja yang ga boleh,” ujarnya sambil tersenyum. Totalnya ada 40 majlis ta’lim yang mengadakan kegiatan di Masjid Agung.

Unit Pelayana Jamaah
Selain majlis ta’lim, di Masjid Agung ada beberapa unit pelayanan jamaah, yaitu; UPZ (Unit Pengelola Zakat), KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), Koperasi, dan Remaja Masjid. Khusus untuk Koperasi, semula mempunyai sebuah warung di bagian depan masjid, namun karena untuk memberi contoh kepada para PKL, maka warung itu ditutup. Sekarang koperasi yang berjalan adalah koperasi simpan pinjam.

Untuk masalah kebersihan, karena sejak dibuka alun-alun yang baru PKL sudah sangat sedikit, maka permasalahan ini pun sedikit berkurang.  Hanya saja kesadaran yang masih kurang dari pengunjung masjid, masih menjadi PR yang belum sepenuhnya terselesaikan. Dalam kaitannya dengan ritul ibadah shalat, kehadiran para pengunjung memang cukup mengganggu, apalagi suka ada beberapa anakyang  berlari-lari sambil main bola. Untuk mengatasi masalah ini, pengurus secara berkala menghimbau lewat pengeras suara agar pengunjung lebih tertib. Sayangnya suara yang keluar dari pengeras itu terdengar kurang jelas.

Foto-foto di dalam masjid
Pengunjung masjid yang semula lebih banyak di pelataran, kini beralih memenuhi bagian dalam masjid, meskipun di pelataran pun masih ada. Dan di dalam masjid ada beberapa hal yang dinilai kurang pantas dilakukan oleh pengunjung, misalnya : memakai rok pendek, atau membagikan selebaran tentang seminar menangkap peluang penghasilan.

Berdasarkan keterangan dari Kang Atang, ternyata tanah yang di atasnya berdiri kantor Satpol PP yang berada di Jl. Dalem Kaum adalah tanah milik Masjid Agung. Pihak pengurus masjid berharap bahwa tanah itu bisa kembali digunakan untuk keperluan masjid, prioritasnya untuk kantor sekretariat dan pusat layanan informasi. Namun entah kenapa sampai saat ini pun hal itu belum juga terselesaikan.   

Mengbal heula lur meh jagjag!
Dulu syiar dan gema dakwah dari Masjid Agung dapat disimak melalui pesawat “Radio Megaria” di gelombang 91,3 FM. Ke depan, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada jamaah, Masjid Agung rencananya akan dilengkapi dengan Poliklinik, Station Radio, dan sarana penunjang lainnya.

Ada sedikit cerita unik dari “menara kembar” ini, baik dari penuturan Pak Haji, maupun Kang Atang, keduanya bercerita bahwa di Masjid Agung ini ada beberapa jamaah “fanatik” yang kalau hari Jum’at, mereka bela-belain datang dari Lembang, Padalarang, dan Cicalengka, demi untuk sholat Jum’at di masjid Agung. “Kalau saya tanya, jawaban mereka mah : reugreug bisa jumaahan di sini teh,” terang Kang Atang. Selain soal jamaah jum’atan, ternyata ada juga jamaah dari Tangerang yang kalau berkurban selalu menitipkan hewan kurbannya di Masjid Agung.

Ada yang ngasih ini di dalam masjid
Selain itu, bedug yang biasa dibunyikan setiap kali mau shalat lima waktu, ternyata mempunyai variasi pukulan dan nada yang berbeda-beda, disesuaikan dengan shalat yang akan dilaksanakan. Artinya bunyi bedug untuk sholat subuh, dzuhur, ashar, maghrib, isya, dan bahkan sholat Jum’at; semuanya berbeda.

Keberadaan masjid, termasuk di dalamnya Masjid Raya, memang sangat vital bagi masyarakat Priangan, yang dari dulu sudah dikenal taat dalam menjalankan Agama Islam--hal ini sempat diperkuat dengan pendapat tentang penyebaran Wali Songo, yang hanya menempatkan satu wakilnya di Jawa Barat, yaitu Sunan Gunung Djati. Konon penempatan satu wali ini berdasar pada sudah menyebarnya Agama Islam di Jawa bagian Barat, berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur; yang masing-masing di tempati oleh tiga dan lima wali.

Daftar Hadir Petugas Masjid
Di masa-masa awal, Bupati Bandung sebagai kepala pemerintahan, adalah juga yang secara institusional menjadi pengelola Masjid Agung. Sedangkan operasionalnya dipegang oleh seseorang yang menjabat sebagai Penghulu Bandung, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Ketua DKM. Penghulu Bandung berwenang mengatur tata tertib dan kemakmuran masjid. Dalam pelaksanaannya dibantu oleh staf petugas yang diangkat dan diberhentikan oleh Penghulu yang bersangkutan, jumlahnya sekitar 40 orang. Beberapa tugas pembantu Penghulu Bandung itu adalah menjadi imam, khatib, muadzin, muroqi, dll.

Berikut adalah Penghulu Masjid Agung Bandung dari masa ke masa :

1) Penghulu Rd. KH. Zainal Abidin
 2) Penghulu K. Nasir
 3) Penghulu K. Hasan Mustofa
 4) Penghulu K. Rusdi
 5) Penghulu K. Abdul Kodir
6) Penghulu K. Siddiq
7) Penghulu K.R. Hidayat
8) Penghulu K. Muhammad Kurdi
9) Penghulu KH. Tamrin
10) Penghulu KH Tb. Saleh
11) Penghulu KH. Dachlan
12) Penghulu KH. Moh. Yahya
13) Penghulu KH. Rd. Totoh Abdul Fatah

Pada perkembangannya, staf Ketua DKM secara jumlah semakin meningkat. Hal ini seiring dengan kian bertambahnya jumlah jamaah. Kiwari pengurus Masjid Raya dibagi menjadi dua kelompok; yaitu karyawan dan non karyawan. Yang karyawan adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan lain selain mengurus Masjid Raya (jenis pekerjaannya lebih ke operasional, sumber gaji dari APBD Provinsi), sedang yang non karyawan adalah mereka yang cukup sibuk dengan pekerjaan di luar Masjid Raya (lebih ke soal kebijakan).

Berdasarkan hasil musyawarah para ulama, yang dipimpin oleh KH. R. Totoh Abdul Fatah, posisi kiblat Masjid Agung adalah 25 derajat ke arah utara dan khatulistiwa. Adapun peserta penentuan arah kiblat terdiri dari 12 ulama, yang terdiri dari :

1) KH. Mh. Sudja’I dari Pesantren Cileunyi
2) KH. R. Ahmad Al-Hadi dari Pesantren Sukamiskin
3) KH. O. Burhanudin dari Pesantren Cijaura
4) KH. R. Moh. Jahja dari Wakil Ketua Pengadilan Agama Bandung
5) KH. Mch. Dachlan Kepala Jawatan Pengadilan Tinggi Agama Propinsi Jawa Barat
6) KH. Ali Utsman dari Jl. Pangarang, Bandung
7) KL. Sasmita dari Jl. Nakula, Bandung
8) KA. Iping Zainal Abidin dari Jl. Moh. Toha, Bandung
9) K. Moh. Salmon dari Jl. Saledri, Bandung
10) K.R. Moh. Jahja dari Jl. A. Yani, Bandung
11) KH. R. Moh. Kosim Perwakilan Departemen Agama Kota Bandung
12) K. Isa Maftuh Staf Perwakilan Departemen Agama Kota Bandung

Arah Kiblat Masjid Agung

***

Waktu saya bertanya ke Kang Atang, apakah pengurus punya semacam buku saku yang di dalamnya dimuat tentang sejarah Masjid Agung, beliau menjelaskan bahwa saat ini sedang disusun sebuah buku tentang Masjid Agung yang berjudul “Syiar dari Menara Kembar” (lihat lagi judul catatan ini). Sementara buku itu belum selesai, maka pihak pengurus menyiapkan tulisan ringkas tentang sejarah Masjid Agung, yang sewaktu-waktu bisa di-print out jika ada yang memintanya.

Berdasarkan catatan ringkas dari pengurus masjid itulah, berikut adalah sejarah Masjid Agung Bandung yang sekarang bernama Masjid Raya Provinsi Jawa Barat. Semoga bisa melengkapi informasi tentang sejarah Masjid Agung yang telah ada dan beredar di masyarakat :

Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Agung Bandung, dibangun pada tahun 1800-an. Ada dua pendapat ihwal kapan tepatnya masjid ini didirikan.

Pendapat yang pertama menyebutkan bahwa Masjid Agung didirikan pada tahun 1812. Bangunan awal masjid ini berupa panggung tradisional, bertiang kayu, berdinding anyaman bambu, beratap rumbia, serta terdapat sebuah kolam besar untuk keperluan mengambil air wudhu. Kolam ini pun dimanfaatkan juga sebagai sumber air untuk memadamkan kebakaran di daerah sekitar Alun-alun Bandung pada tahun 1825.

Masjid Agung 2014
Sedangkan pendapat lain menyatakankan bahwa pendirian Masjid Agung adalah pada tahun 1810,  bersamaan dengan pembangunan Pendopo Kabupaten Bandung yang diresmikan pada tanggal 25 September 1810. Jika melihat pola pembangunan pusat kota yang ada di Priangan, khususnya pada masa Hindia Belanda, memang posisi antara Masjid Agung dan Pendopo Pemerintahan selalu berdekatan, dan mungkin pembangunannya pun dilakukan pada waktu yang sama.

Bangunan Masjid Agung mengalami beberapa perubahan. Sejak didirikannya, masjid ini telah tigabelas kali dirombak; delapan kali di abad ke-19, dan lima kali pada abad ke-20.

Pada tahun 1826 bangunan Masjid Agung diganti dengan kontruksi kayu. Kemudian di tahun 1850 secara berangsur dirombak lagi dengan meningktakan kualitas bangunan. Atas prakarsa Bupati R.A. Wiranatakoesoemah IV atau Dalem Bintang (1846-1874), masjid Agung diganti lagi dengan tembok batu-bata dan atau genting. Selain itu, di sekeliling masjid pun dibangun pagar tembok bermotif sisik ikan (seperti pagar Pendopo Kota Bandung sekarang) setinggi kurang lebih dua meter. Motif ikan tersebut adalah gaya ornamen khas Priangan.

Penambahan Waktu Shalat di Daerah
Tahun 1900 atap Masjid Agung berubah menjadi tumpang susun tiga, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Bale Nyungcung”. Selain itu halamannya pun luas, dan berpintu gerbang. Meskipun masjid belum dilengkapi dengan menara, namun sudah ada mihrab, pawestren, bedug, kentongan, dan kolam.

Berdasarkan rancangan arsitek Maclaine Pont, pada tahun 1930 Masjid Agung dilengkapi dengan sepasang menara pendek tumpang susun di kanan dan kiri bangunan, dan dilengkapi pula dengan serambi (pendopo) depan.

Di sekitar Konferensi Asia Afrika, yaitu pada tahun 1955, Masjid Agung mengalami perombakan total. Atap tumpang susun tiga yang sudah dipakai sejak tahun 1850 diganti dengan atap bergaya Timur Tengah, yaitu model atap bawang. Sebutan “Bale Nyungcung” pun perlahan mulai menghilang. Tak hanya itu, dua menara pendek pun dibongkar dan digantikan dengan sebuah menara tunggal yang letaknya di halaman depan masjid sebelah selatan. Serambi diperluas, ruang panjang di kiri dan kanan masjid (pawestren) digabungkan dengan bangunan induk.

Serambi kanan masjid, pada tahun 1967, ruangannya ditambah. Hal ini sehubungan dengan berdirinya Madrasah Diniyah, Taman Kanak-kanak, dan Poliklinik YAPMA. Setahun sebelumnya, yaitu di tahun 1965, akibat tiupan angin kencang, atap masjid Agung mengalami kerusakan.

Kepala Perwakilan Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, R.H.A. Satori, pada tahun 1969 berinisiatif untuk merintis perubahan dan perbaikan Masjid Agung. Rencana tersebut dituangkan ke dalam bentuk maket. Setelah Solihin GP dilantik menjadi Gubernur Jabar, maka rencana tersebut dimatangkan dan direalisasikan, serta beliau langsung yang memimpin proses penyelesaiannya.

Himbauan dari Pengurus Masjid
Dalam pelaksanaannya, proses perubahan dan perbaikan Masjid Agung diperkuat dengan terbitnya SK Gubernur Jabar, tanggal 1 Mei 1972 No. 106/XVII/Dirt.Pem./SK/72, yang didasari atas hasil musyawarah semua unsur yang ada di Jawa Barat.

SK tersebut berisi tentang Pembangunan Masjid Agung Bandung dan Pengangkatan Personalia Pembangunan Masjid Agung Bandung. Berikut susunannya :

Ketua Direksi : H. Jahja
Wakil Ketua Direksi : Ir. Karman (Kepala DPU Jawa Barat)

Perencana Pembangunan :

1)  Ir. Adjat Sudradjat
2) Prof. Dr. Sjadali
3) Ir. Noe’man
4) Ir. Luthfi

Para Arsitek :

1) Ir. Slamet Wirasendjaja
2) Ir. Raswoto
3) Ir. Saharti
4) Ir. Toni Suwandito

Buletin Masjid Agung
Rencana tersebut baru dapat dimulai pada tanggal 3 April 1971. Tahap pertama menghabiskan biaya sekitar Rp 20.000.000,- yang digunakan untuk pembuatan menara dan jembatan yang menghubungkan Masjid Agung dengan Alun-alun. Pembangunan tersebut selesai pada tanggal 4 Januari 1972.

Setelah tahap itu selesai, kemudian dilakukan pembongkaran bangunan lama yang hasil bongkarannya disalurkan kepada masjid-masjid yang ada di Kota Bandung. Di atas bangunan lama yang telah dibongkar tersebut kemudian dibangun masjid baru.

Pada tahap kedua, berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No.234/A-V/16/SK/72 tentang Peletakan Batu Pertama Pemabangunan Masjid Agung Bandung, maka pada tanggal 19 Juni 1972 dilakukan peletakan batu pertama oleh Gubernur Jawa Barat dan Pangdam VI Siliwangi.

Masjid yang baru dibuat berlantai dua. Tempat shalat utama dan ruang kantor menempati lantai dasar, sedangkan lantai dua digunakan sebagai mezanin tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Kedua tempat tersebut dihubungkan oleh jembatan beton ke tepi Alun-alun di sebelah barat. Satu hal yang disayangkan adalah bahwa jembatan penghubung tersebut hampir menutupi semua tampilan bagian muka masjid. Di bawah permukaan tanah (basement) difungsikan sebagai tempat pengambilan air wudhu. 

Biaya total pembangunan Masjid Agung Bandung yang selesai pada tanggal 1 Oktober 1973, diperoleh dari sumber sebagai berikut :

 1) Sumbangan Presiden Republik Indonesia sebesar Rp 15.000.000,-
 2) Sumbangan Menteri Dalam Negeri sebesar Rp 5.000.000,-
3) Sumbangan dana Nikah, Talak, Ruju’ (Departemen Agama) sebesar Rp 42.000.000,-
4) Sumbangan dari simpanan Calon Jamaah Haji sebesar Rp 22.000.000,-
5) Sumbangan dari APBD Prop. Jabar 1972/1973 sebesar Rp 90.000.000,-
6) Sumbangan dari Pemda Kotamadya Bandung sebesar Rp 14.000.000,-
7) Sumbangan dari Perencana sebesar Rp 3.000.000,-

Informasi yang Disampaikan di Buletin
Masjid baru tersebut berada di atas tanah wakaf, dan ditambah dengan tanah hasil pembelian Pemda Kotamadya Bandung seluas +/- 2.464 M2,menghabiskan biaya sebesar Rp 135 juta. Jamaah yang dapat ditampung di Masjid baru +/- 5000 (di lantai bawah), dan +/- 2000 di lantai atas. Di dalamnya terdapat pula perpustakaan, ruang kantor, dan tempat wudhu.   

Memasuki tahun 1980-an kondisi masjid Agung seolah “terisolasi”. Hal ini disebabkan karena adanya tembok tinggi yang diberi ornamen dari batu granit di depan dinding muka Masjid, serta pintu gerbang besi. Dengan kondisi seperti itu membuat masjid seperti tertutup untuk umum. Hal yang mungkin bisa menarik perhatian warga barangkali hanya puncak menara. Puncak tersebut diganti menjadi model kubah yang menyerupai bola dunia, dan terbuat dari rangka besi. Rangkaian lampu-lampu kecil dililitkan di rangka besi puncak menara tersebut dan dinyalakan pada malam hari.

Tahun 2001 terbit SK Walikota Bandung Nomor 023 Tahun 2001 tanggal 11 Januari 2001 tentang Panitia Pembangunan Masjid Agung. SK tersebut diterbitkan dengan niat untuk mengembalikan citra Masjid Agung yang terlihat semakin suram.

Rada diaos heula lur!
Hasil dari pembangunan tersebut adalah lantai masjid yang semakin diperluas. Hal ini karena jalan yang semula ada di depan masjid (sebelah barat masjid) dihilangkan, dan bahkan memakan sebagian alun-alun. Kubah beton berdiameter 30 m dibangun untuk menggantikan atap model joglo. Selain itu, di atas bangunan masjid yang semula lahan alun-alun pun dihiasi dengan dua kubah yang masing-masing berdiameter 25 m.      

Yang paling menarik adalah dengan dibangunnya menara kembar yang kita kenal sekarang, yang masing-masing mempunyai ketinggian 81 meter. Semula menara ini hendak dibangun dengan ketinggian 99 meter yang dimaksudkan sebagai simbol Asmaul Husna (nama-nama Allah), namun dengan mempertimbangkan keamanan lalu-lintas udara, akhirnya angka yang diijinkan hanya 81 meter. Tapi jika dihitung dari pondasi yang memiliki ketinggian 18 meter, total ketinggian menara tersebut tetap 99 meter.

Pada rencana dan perjalanannya, menara kembar tersebut bukan hanya berfungsi untuk kepentingan spiritual, namun juga dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, telekomunikasi, dan objek wisata.

Salahsatu Sudut Pelataran Masjid
Karena Provinsi Jawa Barat belum mempunyai masjid Raya, maka Gubernur Jabar waktu itu, yaitu H.R. Nuriana mengadakan pertemuan dengan panitia pembangunan. Dari pertemuan itulah, atas saran dari Drs. H. Tjetje Soebrata, SH., MM selaku Wakil Ketua Pemabangunan, digagaslah untuk mengubah nama Masjid Agung Bandung menjadi Masjid Raya Bandung Jawa Barat. Perlu diketahui bahwa penamaan masjid memang terkait dengan tingkatan di level wilayah dan pemerintahan.

Masjid Nasional (Istiqlal) : Tingkat Negara
Masjid Raya : Tingkat Provinsi
Masjid Agung : Tingkat Kota dan Kabupaten
Masjid Besar : Tingkat Kecamatan
Masjid Jami : Tingkat Kelurahan

Setelah Pemda Jabar dan Pemkot Bandung sepakat ihwal penggantian nama tersebut, maka pada tanggal 4 Juni 2003 nama masjid yang semula Masjid Agung Bandung, diganti dan diresmikan menjadi Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat. [ ]

Tim Ngaleut Masjid Raya Bandung :

1) Deris Reinaldi
2) M. Taufik N.
3) Irfan Teguh Pribadi
4) Kukun Kusnandar
5) Syamsul Arifin

Foto :
1) Arsip Irfan Teguh Pribadi
2) Arsip Deris Reinaldi