24 March 2015

Di Bukit Tegak Lurus dengan Langit *)


Di kampung saya--di Selatan Sukabumi, tak jauh dari rumah; berjajar beberapa bukit (Sunda : pasir) yang memanjang dari Timur ke Barat. Persis di belakang rumah ada Pasir Pogor, kemudian Pasir Gundul, Pasir Hiris, dan Pasir Hanjuang, lalu di akhiri dengan sebuah bukit yang melintang dari Selatan ke Utara, yang dinamai dengan Pasir Malang. Waktu Ahad kemarin (22/03/2015) mengunjungi bukit Munjul dan Culanagara di wilayah Bandung Selatan, tentu saja ingatan melayang ke bukit-bukit yang saya sebutkan tadi. Ada kesamaan yang sangat jelas, yaitu tentang tempat-tempat keramat yang berada di puncak bukit.

Di Pasir Hiris ada beberapa makam yang dikeramatkan, dan konon sering diziarahi oleh orang-orang dari luar kota (terutama Jakarta). Ditemani oleh sang juru kunci, mereka kerap melaksanakan ritual yang diisi dengan do’a-do’a. Saya sendiri baru menyadari kemudian ihwal makam keramat itu, sebab waktu kecil saya hanya menganggapnya tak lebih dari makam biasa saja. Hanya letaknya yang memang terasa ganjil. Di pasir yang lain sebenarnya ada juga beberapa makam, namun makam yang tadi adalah yang paling terkenal.

Kecenderungan tempat-tempat keramat di ketinggian bukan hanya ada di Tatar Priangan, sebab di Pulau Jawa bagian Tengah dan Timur banyak juga terdapat hal demikian. Di Cirebon pun, sebagai suatu wilayah yang kerap “enggan” disebut Sunda—bahasa dan catatan sejarah banyak menulis hal ini, terdapat juga tempat keramat yang letaknya di ketinggian. Dalam buku Ziarah & Wali di Dunia Islam yang naskahnya dikumpulkan oleh Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, terdapat keterangan sebagai berikut :

“Kompleks keramat Sunan Gunung Jati mencakupi dua bukit , yaitu Bukit Sembung dan Bukit Gunung Jati, yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Bukit Gunung Jati bisa dipastikan sudah keramat pada jaman pra-Islam. Orang setempat masih mengenang bahwa api besar-besaran kadang-kadang di nyalakan di puncaknya, yang dianggap dan dikeramatkan sebagai puseur alam. Kepercayaan-kepercayaan kuno sedikit demi sedikit telah diintegrasikan dalam kerangka Islam, namun bukit ini tetap mempunyai ciri sakral.”

Ada tiga kata yang bisa ditangkap dari kutipan tersebut. Pertama “bukit”, kedua “pra-Islam”, dan yang ketiga adalah “diintegrasikan”. Di beberapa petilasan yang diyakini sebagai rute pelarian Prabu Siliwangi sewaktu dikejar oleh Kian Santang—anaknya yang hendak meng-Islamkan sang bapak (salahsatunya di bukit Munjul), kepercayaan masyarakat terbelah dua; yang pro Siliwangi melakukan ritual dengan nuansa Hindu, sedangkan yang berpihak kepada Kian Santang dengan ritual bernuansa Islam. Entah bagaimana perbedaan ritualnya, mungkin terletak pada do’a.

Kutipan di atas pun menyatakan sebuah alur, bahwa kata “pra-Islam” menunjukan adanya kekuatan politik dan kepercayaan yang mendahului Islam sebagai pemenang selanjutnya. Sebagai pemenang tentu saja leluasa membuat narasi sejarah, dan atau menempel lalu menggantikan simbol-simbol si kalah. Kata “diintegrasikan”—bukan “terintegrasikan”, jelas adalah kata aktif, artinya sebagai bentuk penyengajaan. Hal ini mungkin juga berlaku pada perlakuan dan penamaan situs-situs, makam keramat, dan petilasan yang lain.

Selain itu, kalau kita amati, banyak juga komplek pemakaman Cina yang berada di dataran tinggi. Beberapa contoh antara lain; Sentiong di Sukabumi, Pasir Hayam di Cianjur, Lereng Tidar di Magelang, dan Cikadut di Bandung. Artinya pemilihan bukit sebagai tempat tinggi bukan kepercayaan yang dimonopoli oleh etnis dan kepercayaan tertentu saja. Bukit sebagai sebuah dataran tinggi, bahkan telah juga dituliskan pada teks-teks jaman kenabian. Bukankah bukit Tursina disebutkan dalam riwayat Nabi Musa?, dan Jabal (gunung) Nur ada dalam lintasan sejarah Nabi Muhammad?

Membahas kaitan antara tempat-tempat tinggi dengan kepercayaan manusia mungkin bisa ditulis dari ragam perspektif, namun saya hendak mencatatnya dari sudut pandang tempat tinggal dan budaya produksi pangan etnis Sunda jaman baheula.

Tapi sebelum masuk ke sana, mungkin ada baiknya kita sadari dulu sebuah kenyataan, bahwa fakta-fakta sejarah di negara kita—terutama era pra kolonial, seringkali dipadukan dan lebur bersama mitos dan legenda.  Dalam sebuah pengantar yang beraroma pujian di buku Bo’ Sangaji Kai-Catatan Kerajaan Bima--penyunting buku tersebut menulis hal berikut :

“Sumber-sumber Eropa terutama sumber Belanda umumnya dianggap lebih berguna daripada sumber-sumber lokal, oleh karena orang Eropa sudah lama mengembangkan satu usaha pendokumentasian yang tepat dan lengkap. Berbagai bentuk arsip yang dikembangkan oleh orang Eropa selama berabad-abad sarat dengan fakta, angka, nama, dan tanggal. Arsip jenis itulah yang menjawab pertanyaan para sejarawan modern, sedangkan sumber-sumber berbahasa Melayu, seperti juga sumber dalam bahasa-bahasa lain di Indonesia, seringkali mamadukan mitos, legenda, dan sejarah, sehingga sukar dimanfaatkan. Karya-karya sejarah yang ditulis dalam bahasa Melayu di Bima (Pulau Sumbawa) merupakan satu kekecualian yang gemilang.”

Anggaplah saya imperior dengan mengiyakan kutipan tersebut, tapi kenyataannya memang demikian.

***

Menurut Drs. Saleh Danasasmita dalam buku berbahasa Sunda yang berjudul Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi, beliau menjelaskan bahwa type masyarakat di Indonesia terbagi menjadi tiga, yaitu; masyarakat sawah, masyarakat ladang (huma), dan masyarakat pesisir. Pajajaran (Sunda) termasuk ke dalam type masyarakat ladang (huma).  

Bukti-bukti sejarah mengenai hal ini bisa ditemukan pada beberapa catatan. Pertama,  dalam buku Priangan, de Haan menginformasikan bahwa system pertanian sawah di Jawa Barat dimulai oleh van Imhoff. Di Bogor, daerah pertama yang membuka lahan sawah adalah Cisarua, yang petaninya didatangkan dari Tegal dan Banyumas. Untuk selanjutnya daerah Bogor dijadikan “daerah bebas huma” oleh Yakob Mossel yang menggantikan van Imhoff pada tahun 1750. Selain itu, beberapa istilah yang digunakan oleh petani Sunda dalam ngawuluku dan ngagaru, umumnya bukan kosa kata Sunda, melainkan kosakata Jawa, seperti : kalen, mider, luput, sawed, arang, damping, dll.

Kedua, dalam Carita Parahiyangan—yang merupakan hasil sastra jaman Pajajaran, tidak terdapat istilah husus “patani”, tapi “pahuma”. Dalam naskah yang lain disebutkan bahwa perkakas yang disebut hanyalah kujang, baliung, patik, korěd, dan sadap; yang semuanya adalah perkakas untuk berladang.

Ketiga adalah dokumen tradisi seperti yang terdapat di suku Baduy kiwari. Orang Baduy yang masih memegang teguh adat kebiasaan leluhurnya cadu untuk bertani di sawah.

Dan yang terakhir adalah berdasarkan kepada dokumen lisan dalam bahasa Sunda yang terkait dengan bahasa Indonesia. Huma dalam bahasa Indonesia artinya rumah, sedangkan ladang dalam bahasa Sunda artinya hasil. Hal ini bisa menjadi petunjuk bahwa huma adalah ya rumah itu sendiri. Ini bisa juga diperkuat dengan kebiasaan orang tua dulu ketika melarang anaknya yang sedang bertengkar atau berselisih, mereka kerap berucap; “Ulah sok pasěa jeung dulur, bisi pajauh huma!” (Jangan bertengkar dengan saudara, nanti huma/rumah-nya berjauhan).

Dari keempat hal tersebut di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Sunda pada mulanya adalah masyarakat ladang/huma, yang secara geografis mayoritas berada di dataran tinggi (minimal lebih tinggi dari sawah)—umumnya disebut dengan bukit. Karakter tanah huma pada umumnya tidak bisa ditanami tumbuhan pangan secara berulang-ulang, oleh sebab itu para pehuma biasanya berpindah-pindah tempat ketika hendak menanam padi. Hal tentu berpengaruh juga dengan tempat tinggal, artinya perkampungan pun mesti pindah berkali-kali.

Lalu apa kaitannya antara masyarakat huma dengan beberapa situs, makam keramat, dan petilasan yang berada di Priangan? Jika dilihat dari posisi, keberadaan tempat-tempat yang keramatkan sesuai dengan kebiasaan tempat tinggal orang Sunda baheula, yaitu di dataran tinggi. Selain itu, letaknya yang berjauhan dan ancal-ancalan, menandakan bahwa memang karakter masyarakat huma adalah nomaden.

Kita kerap mendengar beberapa ungkapan yang menunjukkan Tuhan (sesuatu/dzat yang tidak terjangkau kecuali dengan kepasrahan) dengan kata “di atas”, misalnya; “Kita serahkan kepada yang di atas”, atau “terserah yang di atas”. Dalam konteks ini, barangkali posisi beberapa situs, makam keramat, dan petilasan yang berada di ketinggian adalah simbol tentang dzat yang tidak terjangkau. Sesuatu yang tidak tergapai oleh logika, dan sumerah menjadi jalan pilihan.

Namun dalam masyarakat Sunda yang sudah Islam, agak sulit jika menganggap semua yang keramat-keramat itu sebagai Tuhan, bagi mereka mungkin lebih tepat sebagai batu pijakan menuju yang di atas yang lebih mutlak. Beberapa kelompok dalam masyarakat Sunda Islam (biasanya kaum nahdliyin/NU)--ketika berdo’a, kerap menyebut beberapa syekh dan atau wali yang disebut tawasul. Penyebutan ini bukan berarti menganggap orang-orang saleh itu Tuhan, namun sebagai jembatan menuju Tuhan.

Maka dengan meredakan sangka buruk (suudzon) tentang praktek kemusyrikan; keberadaan situs, makam keramat, dan petilasan di bukit adalah sebuah simbol agar bisa tegak lurus dengan langit. Ya, lurus ke atas—ke hadirat Tuhan. [ ]


*) Tegak Lurus dengan Langit adalah salahsatu judul cerpen Iwan Simatupang




Foto : Arsip Irfan TP

21 March 2015

Mari Bung Rebut Kembali!

Stilasi nomer hiji di Jl. Dago-Jl. Sultan Agung
69 taun ka tukang, tegesna ping 24 Maret 1946, di Bandung kungsi aya kajadian rongkah basa rahayat Bandung perang jeung ngaduruk kota dina raraga mertahankeun kamerdékaan nu geus diproklamasikeun sataun saacanna di Jakarta. Kajadian ieu pikeun bangsa Indonesia--hususna urang Bandung, tangtu geus pada apal nyaéta; Bandung Lautan Api! Harita basa kajadian, aya hiji wartawan nu nyaksian ti Garut, cenah enya wé katempo ti kajauhan gé Bandung téh hurung ngagedur.  
Jéndral Nasution nu harita mingpin TKR badami jeung tentara nu séjén, kumaha carana sangkan kota Bandung anu rék ditinggalkeun sabab diancam ku Inggris téh, teu dipaké markas pasukan musuh. Lain teu wani ngalawan, tapi kaayaanna basa éta teu saimbang. TKR jeung rahayat Bandung nu milu perang teu miboga pakarang nu cukup pikeun ngagempur pasukan musuh. Hal ieu mun dipaksakan baris nyangsarakeun rahayat nu séjén.

Nya tina hasil badami téh ahirna ngahasilkeun hiji kaputusan; rahayat katut TKR baris ngungsi ka Bandung belah kidul. Tah saméméh arindit ka pangungsian, kota Bandung diduruk heula sangkan teu nguntungkeun pihak musuh. Mun macaan buku ngeunaan kajadian ieu, urang tangtu ngarasa ketir jeung reueus. Ketir kusabab rébuan rahayat kapaksa ninggalkeun imah katut harta bandana, sabari teu boga kapastian iraha bisa balik deui. Ari nu nyieun reueus nyaéta ku teuneung jeung ludeungna pajoang urang dina nyanghareupan musuh nu pakarang perangna leuwih lengkep.

Stilasi nomer lima di Jl. Kautamaan Istri
Tah dina raraga miéling jeung ngajénan perjoangan tentara katut rahayat Bandung tina kajadian éta, nya dina taun 1997 hiji komunitas nu boga kaayah ka Bandung, tur dirojong ku sababaraha sponsor, nyieun sapuluh stilasi Bandung Lautan Api. Naon ari stilasi téh? Basa basajanna mah kurang leuwih; tugu leutik pikeun pangéling hiji kajadian.

Stilasi nu nomer hiji nyaéta di pengkolan Jl. Ir. H.Djuanda (Dago) nu ka arah Jl. Sultan Agung, tegésna di gigireun trotoar nu hareupeun gedung BTPN. Gedung éta geus aya ti taun 1937, baheulana urut Kantor Berita Doméi nu dipaké ku Jepang. Numutkeun catetan sajarah, di gedung éta pisan proklamasi kamerdékaan Indonesia dibacakeun ku rahayat Bandung.

Ti dinya, pikeun nyaho stilasi nu nomer dua, urang kudu ka belah kidul. Di hareupeun gedung Bank Jabar Banten nu di Jl. Braga, stilasi nomer dua diadegkeun. Gedung BJB téh baheulana urut Bank Dénis. Di gedung éta, dina bulan Oktober 1945 dua pejoang Bandung nyaéta Moeljono jeung E. Karmas kungsi nyoékeun bendéra Walanda nu warna biruna sangkan nyésa warna beureum jeung bodas wungkul.

Ti dinya tuluy leumpang deui ka belah kidul, nyaéta di deukeut gedung Asuransi Jiwasraya Jl. Asia Afrika, tegesna di belah kalér alun-alun, aya stilasi nomer tilu. Baheula gedung nu diadegkeun taun 1922 éta téh digunakeun jang markas resimén 8. Numutkeun katerangan kol. TNI. H. Daéng Kosasih Ardiwinata, ping 13 Oktober 1945 pingpinan TKR kungsi rapat di gedung éta.

Stilasi nu nomer opat leuwih ngidul deui, nyaéta di Jl. Simpang—teu jauh ti Jl. Déwi Sartika. Stilasi ieu ayana di gigireun hiji imah nu baheula kungsi dipaké jang mutuskeun ngaduruk Bandung. Paréntah sangkan ninggalkeun Bandung gé dikomandona ti imah ieu pisan. Kusabab rada nyumput, stilasi ieu rada hésé ditempona.

Stilasi nomer dalapan di Jl. Lengkong Besar
Ngidul saeutik ka arah Jl. Kautamaan Istri, urang baris manggihan stilasi nu nomer lima. Stilasi ieu tegesna aya di simpang Jl. Kautamaan Istri jeung Jl. Ciguriang, deukeut hiji sakola. Baheula sakola ieu téh dijieun dapur umum ku ibu-ibu jeung pamuda pikeun ngarojong perjoangan nu perang ngalawan musuh.

Balik deui ka Jl. Déwi Sartika, di dinya aya stilasi nomer genep. Baheula mah jalan éta téh ngaranna Regěntwěg. Stilasi éta diadegkeun di trotoar hareupeun hiji imah nu kungsi dijieun markas komanda Divisi III Siliwangi nu dipingpin ku Jéndral Nasution. Ngan hanjakal ayeuna imah éta geus dibongkar, diganti ku toko jeung kios kadaharan.

Jang manggihan stilasi nomer tujuh, ti dinya urang kudu ka wétan ngaliwatan Jl. Sasakgantung. Engké brasna ka simpang Jl. Léngkong Tengah jeung Jl. Lengkong Dalam. Di dinya pisan stilasi téh diadegkeunna. Cenah di dinya téh baheulana urut imah indo Walanda, ngan hanjakal kuring teu manggihan katerangan; saha éta indo Walanda téh? Naha milu ka pihak musuh tuluy dijorag ku tentara republik, atawa milu ka pihak Indonesia nu tuluy ancrub kana perjoangan.

Teu pati jauh ti dinya, sanggeus nyebrang walungan Cikapundung, urang baris manggihan stilasi nu nomer dalapan. Di gigireun Jl. Lengkong Besar aya hiji jalan leutik nu ngaranna Jl. Jembatan Baru, tah di tungtung jalan leutik éta, gigireun pisan hiji jambatan stilasi téh ayana. Daérah éta mangrupakeun salahsahiji garis pertahanan para pajoang basa kajadian perang rongkah di daérah Léngkong. Méméh mundur ka belah kidul, di deukeut jambatan éta pejoang Bandung nahan serangan musuh ti jam dalapan isuk nepika jam dua beurang.

Nu nomer salapan lebahna di SD Asmi Jl. Moch. Toha, asupna ti gang Asmi pisan nu sakiduleun ITC Kebon Kalapa. Wangunan sakola teu loba parobahan, di dinya baheula dipaké jang markas para pamuda pejoang, saacan kajadian Bandung Lautan Api.

Stilasi nomer sapuluh di Jl. Moch. Toha
Terahir nyaéta stilasi nomer sapuluh, ayana masih di Jl. Moch Toha kénéh, ngan rada ka kidul, tegesna di hareupeun hiji garéja. Lain diburuan garéja, tapi di gigireun trotoar sebrangeun garéja. Garéja éta baheulana urut radio NIROM nu dipaké jang ngawawarkeun proklamasi kamerdékaan ka sakuliah Indonesia jeung sakuliah dunya. Nya deukeut pisan ti stilasi éta aya tugu gedé Bandung Lautan Api di Tegallega.

Di kabéh stilasi, luhureunna aya kembang patrakolama nu jieun tina beusi, minangka kembang éta téh cicirén has Bandung. Kaayaan kabéh stilasi alus kénéh ngan kurang kaurus, contona nu di Léngkong Tengah mah péta jeung kembang dina stilasi téh geus coplok jeung leungit teuing ka mana. Tina sapuluh stilasi éta mudah-mudahan ku urang bisa dijieun sabab jang leuwih ngajénan para pahlawan, jeung eunteung pikeun nyorang tangtangan kahirupan ka hareupna. [ ] 


Foto : Arsip Irfan TP

17 March 2015

Serani Dinoda: Carita Biarawati nu éléh ku Birahi


Ieu mah euweuh niat saeutik ogé jang ngagogoréng, komo deui ngajejeléh mah. Catetan ieu teu leuwih tina hiji ingetan nu masih kénéh kumacacang dina pikiran, cumantél dina haté, jeung napel dina sawangan. Itung-itung mulangkeun panineungan.

***
Kuring apal jeung tug nepika resep ka Bimbo téh nyaéta ti jaman SD mula. Lanceuk nu nomer dua sok meulian kaset Bimbo jeung sok mineng pisan diputerna. Isuk-isuk biasana mah, saméméh lanceuk indit ka sakola SMA, éta sora Bimbo sok geus kadéngé di jero imah. Sainget mah nu pang minengna disetél téh nyaéta album rohani jeung album kenangan. Sarupaning lagu-lagu Rindu Rasul, Pesan Nabi, Sajadah Panjang, Lailatul Qodr, Tuhan, jeung sajabana kuring geus apal pisan. Lian ti lagu-lagu éta, kuring gé apal lagu-lagu siga Fatwa Pujangga, Semalam di Malaysia, Angin Novémber, Hujan di Polonia, Melati dari Jayagiri, jeung Serani Dinoda.

Tah éta lagu nu panungtung, nyaéta Serani di Noda, asa napel pisan dina ingetan.  Baheula, dina pikiran kuring nu masih kénéh budak, aya hiji kahémeng nyaéta: naha Bimbo nu kawéntar ku lagu-lagu Islam téh meunang ngalagukeun nu rada anéh? Da éta dina lagu Serani di Noda mah aya kecap “geréja” jeung “biarawati”. Kapan ieu hiji hal anu patonggong-tonggong, kitu ceuk alam pikiran kuring. Tapi teuing kunaon, sanajan éta lagu téh ampir unggal poé disetél, tapi bapa nu harita jadi pupuhu DKM di lembur meunang tara ngaulah-ulah atawa nyaram kana diputerkeunna éta lagu. Lanceuk ogé deuih, sok padahal sapopoéna dikurudung tapi naha bangun nu resepen kana éta lagu téh.

Kuring gé sabenerna resep kana éta lagu téh, pédah musikna genaheun, naon nya disebutna, nyahdu meureunan. Tapi nya éta, kusabab aya dua kecap anu “anéh”, nya tungtungna kuring jadi resep teu resep. Apanan kuring téh unggal poé sok ngaji, boh di imah, di masigit, atawa di majlis. Di imah mah sok diwurukan ku bapa, di masigit mah ku Haji Amud, jeung di majlis mah ku Mang Asép—emang teges, da adi indung pisan. Piraku ari sapopoéna ngaji tapi ngadéngékeun lagu “batur”.

Ku nyérélékna waktu, teu karasa kuring ahirna kudu ninggalkeun lembur pikeun neruskeun sakola di Sukabumi. Satamatna sakola SMA di Sukabumi, tuluy neruskeun kuliah di Bandung. Tah ngeunaan lagu nu tadi téa les wéh kapopohokeun, persis siga kaserep jeung kasenang mangsa budak nu dicabut ku gantina mangsa, ilangna waktu jeung robahna jaman.

***

Kamari pisan, basa kuring keur ngadéngékeun radio tina hénpon, basa penyiarna reureuh ngomong, teu disangka ti anggalna dina éta radio; Bimbo ngalagukeun Serani di Noda. Pikiran langsung nyawang ka mangsa ka tukang basa kuring keur budak. Sora Sam, Acil, Jaka, jeung Iin matak sésérédétan dina ingetan.   

Gelap di balik lonceng gereja
Di sebuah perkampungan tua
Terbilang jarak sungai dan bukit
Di sekitar hutan dahlia

Opat kalimah mimiti nu nyieun kuring ngabayangkeun hiji pakampungan nu siga dina film-film baheula. Hiji pakampungan nu resik tur éndah katempona. “Sungai” dan “bukit” tangtu ngagambarkeun alam nu jauh di kota, anggang ti nu ramé jeung tingtrim kaayaanna.
Ari geus gedé mah kuring kakara apal jeung surti kana ieu maksud lagu téh. Paingan musikna semu balirihan, da geuning nyaritakeun hiji biarawati nu éléh ku birahi. Di dieu aya perang kayakinan nu teu gampang, enya kapanan biarawati téh nyaéta jalma nu teu meunang kawin, tapi da meureun biarawati gé sarua wé siga jelema nu séjén, miboga napsu jeung birahi ngagedur nu teu bisa dihalang-halang. Tah ieu lagu téh keuna pisan dina ngagambarkeun kayaan éta. 

Redup pelita di dalam biara
Tampaklah wajah Tuhannya
Sekejap kalbu merundung malang
Tampaklah wajah kasihnya
…………………………
Setelah alkitab ditutupnya
Ditinggalkannya altar yang mulia
Hanya karena seorang lelaki
Nafsu dan cinta birahi

Meureun matak baheula bapa jeung lanceuk tara ngageunggeureuhkeun kana ieu lagu, sigana pédah jang eunteung meureun. Eunteung atawa gambaran yén kahirupan jalma téh rupa-rupa pisan, teu ngan ukur hideung jeung bodas hungkul. Dina nyorang kahirupan tangtu loba pisan mangrupa-rupa kayakinan jeung nasib nu unggal jelema nu hiji jeung nu séjén tara ieuh sarua. [irf]

Cikadut - Panyandaan; Terasing dalam Hidup dan Mati



Waktu Mang Asep (pegiat Aleut) menjelaskan sejarah pemakaman seorang Letnan Cina dengan menggunakan gambar lawas, saya tiba-tiba membayangkan betapa jauh dan lelahnya mengantarkan seseorang yang telah meninggal menuju tempat istirahatnya yang terakhir. Bagaimana tidak, gambar tersebut adalah iring-iringan pengantar jenazah yang sedang berada di depan gedung de Vries (simpang Asia-Afrika dan Braga), menuju ke Cikadut. Menyusuri panjangnya Jalan Raya Pos dengan kereta jenazah yang didorong tentu bukan hal yang mudah, apalagi perjalanannya dimulai dari Citepus!

Adalah Tan Djoen Liong, seorang Letnan Cina yang pernah memimpin orang-orang Cina di Bandung selama 29 tahun, jenazah yang sedang diantarkan itu. Beliau meninggal pada usia 58 tahun (1859-1917), kini makamnya (bong) terletak di tanah yang membukit, seperti hendak mengawasi kehidupan orang-orang yang berada di bawah.

Deretan bong pay (nisan) yang meluas-panjang sampai ke Cimenyan, buat saya menyisakan beberapa pertanyaan; kenapa pemakaman dipisah-pisah berdasarkan agama, kepercayaan, dan bahkan etnis? Tidak cukupkah sewaktu hidup garis batas-garis batas itu menjadi pemicu konflik dan stereotip?

Dari semenjak pemakaman Banceuy dipindahkan, pengelompokkan itu sudah ada. Makam orang-orang Eropa pindah ke Kebon Jahe yang sekarang menjadi GOR Pajajaran, makam orang-orang Cina ke Babakan Ciamis (Us Tiarsa dalam buku Basa Bandung Halimunan menyebutnya Bong), dan orang-orang pribumi yang mayoritas muslim ke Astana Anyar. Entah apa yang dikehendaki Belanda dari pemisahan komplek pemakaman ini. Dan sampai sekarang pemisahan ini masih berlaku.

Jika alasannya menyangkut teknis pemakaman, karena misalnya orang muslim harus menghadap kiblat, dan orang Cina (yang non muslim tentu saja) harus menghadap tempat yang disenangi mendiang sewaktu hidupnya, saya pikir hal ini masih bisa disiasati dengan menata letak. Sejarah yang memanjang ke belakang telah mencatat tentang konflik dan kerusuhan antar etnis dan agama, maka pemisahan komplek pemakaman ini seperti hendak mengabadikan luka; bahwa ya, kita memang berbeda, dan tak dapat disatukan.

Pecinan sebagai simbol pembeda (keterasingan) antara keturunan Cina dengan etnis lain ternyata berlanjut sampai pasca kematian. Di bukit-bukit, jenazah-jenazah yang rabuk persemaian atau abu dingin dalam tempat-tempat yang kerap dido’akan, lagi-lagi terasing dari leburnya pergaulan agama dan etnis.

Tapi saya pun bisa bersangka baik; mungkin pemisahan ini untuk mempermudah kerja-kerja statistik, atau mungkin juga untuk kenyamanan ritual pemakaman tiap-tiap agama.


Sebagaimana sejarah yang tak melulu hitam-putih, tak semuanya bisa dikategorikan pada dua kutub antara kawan dan lawan, demikian juga dengan komplek pemakaman. Pukul rata tidak berlaku di Cikadut, sebab di antara makam-makam bernisan tulisan Cina dan dilengkapi dengan simbol Dewa Langit dan Dewa Bumi tersebut, ternyata ada juga makam orang-orang Kristen yang ditandai dengan salib, juga ada makam orang Cina keturunan yang beragama Islam.

Ibu Djuhriah salahsatunya. Di nisan mantan guru kepala di SD Priangan tersebut bertuliskan aksara Arab yang berbunyi; Inna lillahi wainnailaihi rojiun (Sesungguhnya kami berasal dari Alloh, dan kepada Allohlah kami kembali). Konon guru muslim itu masih keturunan Cina. Murid-murid sekolah dasar di sekolah bekas Ibu Djuhriah mengabdi semasa hidupnya, kerap berziarah ke makam ini ketika hendak menjalani ujian. Entah mendo’akan orang yang telah meninggal, atau malah sebaliknya. Sebab kedua hal ini kadang-kadang dipisahkan oleh selaput tipis.

Selain itu, ada juga satu makam yang dinisannya bernama Ibu Ipoh. Di nisan ini pun bertuliskan aksara Arab, dan bahkan di simbol Dewa Bumi pun tulisannya memakai huruf Arab yang bunyinya : Dewa Tanah. Dua nisan tersebut hanyalah contoh kecil, karena mungkin di dalam komplek pemakaman Cikadut yang luas masih terdapat nisan-nisan orang Islam yang lain.  

***


“Islam datang dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali asing sebagaimana kedatangannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.” (HR. Muslim)

Selepas Cikadut, jika diteruskan ke atas, maka akan sampai ke Panyandaan. Di sana ada bukit yang cukup terjal, jalan untuk kendaraan yang kemiringannya membuat kesal para pejalan kaki adalah bukti. Di puncak bukit, selain ada dua situs pra Islam, juga terdapat sebuah pesantren yang bernama Baitul Hidayah.

Pesantren yang lokasinya jauh dari perkampungan ini dihuni oleh sekira (baru) 100 santri. Hal ini selain dipengaruhi oleh letaknya yang susah dijangkau, juga karena masih terbilang baru, berdirinya di tahun 2010. Dari dua orang santri yang kebetulan sedang duduk di dekat situs tersebut, diketahui bahwa setiap santri hanya diperbolehkan pulang ke rumah sebanyak dua kali dalam setahun, atau satu semester sekali. Kedua santri yang ajak bicara itu berasal dari Sukajadi dan Ciburial-Dago.

Selain pondok pesantren yang menekankan mempelajari kitab kuning (di antaranya Fathul Barri dan Riyadus Solihin--yang kini terjemah bahasa Indonesianya sudah beredar luas), di sana juga terdapat jenjang pendidikan setingkat SMA dan SMP. Namun sebagaimana umumnya pondok pesantren, setelah lulus SMA santri tidak boleh langsung keluar, harus mengabdi dulu di pondok selama setahun. Di lingkungan pesantren semua santri diwajibkan berkomunikasi memakai bahasa Arab dan bahasa Inggris, tapi rupanya kurang ketat—buktinya saya bisa berkomunikasi memakai basa Sunda dengan mereka. Sementara ini Ponpes Baitul Hidayah di Panyandaan belum menerima santri putri, mungkin karena keterbatasan tenaga pengajar.   

Hal-hal demikian, yaitu; cara berkomunikasi, bahan bacaan, pengabdian setahun, dan jarang pulang tentu tidak terlalu aneh, sebab di pondok pesantren di seantero Pulau Jawa hal tersebut hampir sama. Yang menarik buat saya justru pemilihan tempat. Berlokasi di puncak bukit dan jauh dari keramaian, membuat pesantren ini seolah-olah ingin mengasingkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan masyarakat luas.

Mungkinkah tujuannya ingin seperti bunyi hadits yang saya tulis di atas? Entah, sebab setahu saya kata “asing” di hadits tersebut bukan merujuk pada letak geografis, namun lebih kepada penerimaan umat terhadap ajaran Islam. Istilah “Islam KTP” dan semua turunannya mungkin lebih tepat untuk menggambarkan kata “asing” tersebut. Artinya, antara Islam sebagai ajaran dan pemeluknya ada jarak yang jauh, yang mungkin bisa dijembatani oleh sesuatu yang bernama taqwa.

Namun lagi-lagi, karena secara normatif mengedepankan prasangka itu kurang elok, mungkin lebih baik pertanyaan-pertanyaan tersebut diendapkan dulu.

***

Dari dua tempat yang dikunjungi itu, saya mendapuk kata “asing” menjadi man of the match di perjalanan kali ini. Pada pengelompokan kuburan dan pesantren yang menjauh dari khalayak ramai, menguar aroma keterasingan yang tajam—yang kemudian memicu sederetan pertanyaan.

Tak apa, sebab seperti kata Socrates; hidup yang tak pernah dipertanyakan, tidak layak untuk dilanjutkan. [ ]



Foto : Arsip Irfan TP

08 March 2015

Pileuleuyan Toko Buku Djawa


Di Jalan Braga, méh pahareup-hareup pisan jeung réstoran Braga Permai, aya toko buku nu ngaranna Toko Buku Djawa. Kira dua minggu ka tukang, basa babaturan kuring—wanci haneut moyan,  ngaliwat ka hareupeun éta toko, cenah katingali aya sababaraha jalma nu keur ngangkutan buku jeung majalah. Sabab teu pati yakin, nya isukna kuring ningali sorangan ka lebah dinya. Ana nepi, enya wé toko téh geus kosong. Buku, majalah, poto, kartu pos, jeung barang jualeun nu séjénna geus teu nyésa hiji-hiji acan.

Toko buku ieu ditutup alatan nu meuli ka dinya geus langka pisan. Kuring kungsi sababaraha kali balanja buku di dinya. Hiji waktu basa kuring keur nempoan buku jang beulieun, di jero tiiseun pisan. Iwal ti kuring jeung si tétéh nu nungguan toko, euweuh deui jalma séjén nu ngadon ngalanto ka jero. Mun ditempo tina harga, saenyana harga buku-buku di dieu teu béda jeung nu di toko buku gedé. Tapi teuing kunaon asa ku langka-langka teuing nu balanja di dieu mah.

Toko Buku Djawa diadegkeun taun 1955, ampir bareng jeung diayakeunna Konpérénsi Asia Afrika, hartina umur éta toko buku téh geus ampir 60 taun. Dina waktu nu panjang éta, Toko Buku Djawa kungsi ngalaman “géngsi” nu lain lumayan. Maksudna mun warga balanja buku di dinya, bisa disebutkeun leuwih pinunjul batan mun meuli di toko buku nu séjén. Tapi ku lantaran beuki dieu beuki kaséréd ku saingan nu teu saeutik, atuh puguh wé kayaanna beuki ripuh.

Anyeuna toko nu geus kosong téh dijagaan ku dua urang jelema. Ti luar mah sok katempo keur maraén catur. Bakat ku hayang nyaho, nya kuring ngawanikeun manéh asup ka jero, tuluy tatanya ka nu duaan. Dumasar tina katerangan nu ngajagaan toko, nu gaduh toko buku téh saurna Nyonya Tung (yuswana tos 80 taun), anjeunna badé ngalih ka Australia. Éta toko téh kapayunanna baris dijadikeun toko kadaharan atawa sapatu, can pati tangtu saurna.

Mun urang nempoan jalma nu sok ngaradon popotoan di sapaparat Jalan Braga, utamana nu popotoan pikeun kaperluan “Pra Wědding”, Toko Buku Djawa téh minangka kaasup pang minengna dijadikeun “Background” jang dipoto. Hal ieu bisa jadi lantaran lolobana mah di Jalan Braga téh toko kadaharan, kuayana toko buku nyieun hiji kamonésan nu alus pikeun dijieun poto. Katambah deuih wangunanna masih kénéh wangunan jaman baheula, lumayan kauurus, jeung masih tohaga.

Anyeuna toko buku nu nyésa di Jalan Braga kari dua siki deui. Kahiji nu aya palebah péngkolan, nu tokona dicét beureum. Nu Kadua nu gigireun Jalan Kejaksaan, nu témbok wangunanna loba dicurat-corét ku pilok. Teu mustahil dua toko buku ieu gé hiji mangsa mah baris “tilar dunya” kawas Toko Buku Djawa, lamun seug dagangna tuluy-tuluyan tiiseun.

Kang Ridwan Hutagalung (nu nyerat buku Braga, Jantung Parijs van Java) basa diwawancara ku salah saurang wartawan hiji koran gedé sasauran, “Basa hotél nu jangkung di Jalan Braga diadegkeun, kuring jeung babaturan protés ka ditu-ka dieu, sabab naon? Éta hotél téh geus ngagantikeun wangunan-wangunan kolot nu pinuh ku sajarah. Tapi orokaya, euweuh nu ngadéngékeun. Tah, kuring paurna hal siga kitu téh bakal kajadian deui, nu ahirna urang lalaunan ngahapus ingetan sajarah urang sorangan.”

Terus kumaha carana sangkan wangunan-wangunan kolot nu pinuh ku sajarah téh bisa tetep ngadeg? Numutkeun Kang Ridwan mah saurna kedah aya kasadaran ti urang saréréa. Kututupna Toko Buku Djawa téh kudu dijieun pelajaran ku sing saha waé nu paduli kana wangunan-wangunan titinggal jaman baheula. Anjeunna neraskeun, yén cara nu basajan tapi keuna, nyaéta ku meuli barang-barang nu dijual di toko nu nempatan wangunan heubeul.

Ku dibeulianna éta toko, bisa mantuan ngalantarankeun kabutuhan sapopoéna kacumponan. Atuh mun seug beuki loba nu balanjana, tangtu lain ngan ukur kabutuhan sapopoé wungkul, dalah kauntungan pikeun tuluy ngagajih pagawé, mayar séwa jeung pajeg gé tangtu baris lancar.

Tah, ku hal sakituna, ieu luyu sareng sasauran Kang Ridwan, “Loba pisan jalma nu protés jeung ambek-ambekan basa wangunan-wangunan cagar budaya diruntuhkeun, tapi maranéhna teu nyieun lampah nanaon. Ari ngamumulé hayang, tapi carana siga nu teu apal, pan ieu teu adil. Nya minimal beulian atuh toko-toko nu nempatan wangunan heubeul téh. Hal éta basajan katempona, tapi keuna kana tujuan.”

Ti dua minggu ka tukang nepi ka hareupna (teuing nepi iraha), Toko Buku Djawa téh baris ngan ukur panineungan. Masih inget kénéh basa kuring meuli buku ngeunaan komplék candi nu kapanggih di Karawang: barang kuring asup ka toko, si tétéh nu nungguan katempo keur ngalamun, meureun dina panyawanganna éta toko buku téh moal lila deui. Teu sangka anyeuna geus ninggang di mangsa. Pileuleuyan Toko Buku Djawa. [irf]



Foto : Arsip Irfan TP