30 November 2019

Haruskah Menangisi Kematian Danarto?



Arief Budiman pernah mengatakan cerpen-cerpen Danarto seakan lahir dari situasi "kesurupan".

Seorang lelaki tua tengah menyeberang di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan. Sebuah motor yang dikendarai seseorang melaju di jalur yang digunakan lelaki tua itu. Waktu berhenti di tempat yang sama. Saat amat tepat mempertemukan keduanya. Kecelakaan terjadi. Pak tua terkapar. Kepalanya terluka parah.

“Darurat. Mas Danarto ditabrak di Ciputat. Keadaannya kritis. Kini dirawat [di] RS depan UIN. Tak ada identitas. Polisi menghubungi salah satu orang yang ada dalam hp Mas Danarto yaitu Agus Sarjono. Agus Sarjono kini di Bandung. Adakah yang bisa bantu hub[ungi] keluarga Danarto? Keadaannya kritis. Ditunggu polisi. Elza.”

Kabar itu ditulis sebagai status di laman Facebook akun 
Handry Tm. Ya, Danarto, pelukis dan cerpenis yang tinggal sendirian itu kemarin tertabrak motor. Kritis. Tadi malam, pukul 20.54 WIB, ia meninggal dunia di RS Fatmawati, Jakarta.

Danarto dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah, pada 27 Juni 1940. Ia mengenyam pendidikan di Akademi Seri Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Selepas berpisah dengan istrinya, Danarto tinggal sendirian di sebuah rumah kontrakan di Pamulang, Tangerang Selatan. Ia hidup dari menjual lukisan dan tulisan.

Sepanjang hayatnya, Danarto menulis sejumlah cerpen, naskah teater, esai, dan novel. Karya-karyanya, terutama cerpen, dinilai banyak pihak sebagai suatu bentuk baru dalam kesusastraan Indonesia.

Sejumlah buku kumpulan cerpennya, seperti Godlob, Adam Ma’rifat, Berhala, Gergasi, dan lain-lain, mendapat apresiasi dari masyarakat karena menghadirkan bentuk baru dalam penceritaan.

Menurut 
Sapardi Djoko Damono, Danarto mulai dikenal sebagai penulis cerpen sekitar akhir tahun 1960-an akhir ketika majalah Horison belum lama terbit. Karya-karya awal Danarto yang dimuat di Horison, menurut Sapardi, menunjukkan suatu ciri penulisan cerpen yang belum pernah ada sebelumnya dalam khazanah sastra Indonesia.

Cerpen Danarto mengejutkan banyak orang. Sapardi menambahkan bahwa hal tersebut terjadi karena si pengarang tidak peduli lagi pada karakteristik, plot, dan latar. Ceritanya mengalir begitu saja. Menggelinding.

“Strukturnya jadi sangat unik. saya tidak mengatakan longgar. Yang menjadikan cerita pendek Danarto berharga bukan ceritanya seperti apa, atau tokohnya seperti apa, tapi suasana yang dibangun oleh cerita pendek itu belum pernah ada di dalam cerita pendek Indonesia sebelumnya,” ujar Sapardi.

Keterkejutan masyarakat terhadap cerpen-cerpen Danarto, bahkan ada yang menyebut Danarto seolah menulis dalam keadaan kesurupan. Arif Budiman dalam Horison edisi April 1969 mengungkapkan hal tersebut.

“Saya merasa bahwa cerita-cerita pendek Danarto seakan-akan lahir dalam suatu keadaan ‘trance’. Jadi, bukan karena suatu proses kesadaran yang penuh, di mana si pengarang menguasai benar dirinya dan tahu ke mana dia akan pergi. Memang, cerita itu memberikan banyak hal baru dibandingkan cerita-cerita lain yang pernah ada di Indonesia,” ujarnya.

Sementara Abdul Hadi MW dalam Horison edisi Mei-Juni 1973, menyebut Danarto berhasil menemukan bahasa baru bagi pengungkapan alam pikiran dan perasaannya yang mistis, berkenaan dengan penjelajahan jiwa manusia yang ingin berontak terhadap sistem nilai yang ada, dan masuk pada nilai baru yang ditemuinya.

“Pelukisannya tentang pengalaman batin sangat filmis, dahsyat, dan mendirikan bulu roma, lengkap dengan kegalauan dan surealistis,” tulisnya.

Danarto sendiri (pada pertemuan kecil yang informal, 19 Januari 1973, di Ruang Kuliah Umum LPKJ Taman Ismail Marzuki) seperti terdapat dalam Rumah Sastra Indonesia (2002) karya Harry Aveling, menyatakan bahwa panteisme merupakan titik tolak kreatifitasnya.

Menurutnya, kita semua akan menjadi Tuhan, dan itu wajar sebagai perkembangan evolusi. Ia juga mempertanyakan apa itu baik dan buruk.

“Bukankah kita tak tahu apakah kebenaran dan keburukan itu?” ujarnya.

Harry menambahkan bahwa dalam kegelisahannya itu, Danarto mengakui keberadaannya dalam dua penegasan prinsip: Manusia mencapai Tuhan dan ketidakmungkinan manusia mencapai Tuhan.

Medio 1988, sejumlah cerpen Danarto sempat menjadi bahan diskusi atau mungkin sawala, atau “sambung rasa” kata salah satu penulisnya di koran Wawasan antara Sawali Tuhusetya dengan Rosa Widyawan.

Mula-mula 
Sawali Tuhusetya menulis artikel bertajuk “Menguak Absurditas Cerpen Danarto” yang dimuat di edisi 26 Juni 1988. Tiga bulan kemudian, artikel tersebut mendapat tanggapan dari Rosa Widyawan yang menulis “Tentang Cerpen Danarto: Absurditas Macam Apa?” yang dimuat di edisi 4 September 1988. Kemudian Sawali Tuhusetya membalasnya dengan artikel “Menemukan Kristal Hakikat Danarto”.

Menurut Sawali Tuhusetya, Danarto adalah penulis yang dilandasi alam pikiran moral panteistis yang meyakini bahwa segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan.

Ia menambahkan bahwa Danarto telah menjadi begitu yakin bahwa tokoh-tokoh ciptaannya mampu menerobos dimensi ruang dan waktu yang pada akhirnya menemukan klimaks konfliknya di tengah-tengah pertarungan kehidupan maya di alam fana.

“[…] dengan ucapan: “Melihat wajah Tuhan” seperti kata Rintrik. “Aku bukan hidup dan bukan mati. Akulah kekekalan”, seperti teriakan Abimanyu ketika maut menyongsongnya, ataupun “O, Pohon Hayatku”, desah perempuan bunting dengan nikmat setelah babaran,” tulis Sawali.

Rayani Sriwidodo, penulis buku Kereta pun Terus Berlalu, Percakapan Hawa dan Maria, Balada Satu Kuntum, dan lain-lain, seperti dikutip Sawali, menyatakan bahwa ada dua aspek yang menunjukkan corak baru dalam cerpen Danarto: (1) Aspek penyajian yang memasukkan unsur puisi, musik, dan seni luki, sehingga cerpen-cerpennya tampak efek puitis, musikal, dan artistik dekoratif, (2) Aspek muatan adanya tendensi moral patenistis yang meyakini ajaran bahwa segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan.

Sawali menambahkan bahwa tokoh dalam cerpen Danarto adalah tokoh imajiner yang sanggup menerobos benturan dimensi ruang dan waktu.

“Manusia super yang mampu bertahan dalam situasi dan kondisi apa pun,” terangnya.

Pengalaman spiritual Danarto dalam lakon hayatnya yang berliku-liku, terlukis di sekujur kisah yang ia tuliskan. Ada kerinduan kepada Tuhan yang bertalu-talu. Selasa siang, lelaki tua yang hidup sendirian dalam kondisi ekonomi semenjana itu terkapar di jalan.

Sebelum hari berganti esok, Danarto kembali kepada zat yang ia rindukan itu.

“Ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tidak terbatas. Luas bagai cakrawala. Mengapa harus ditangisi? Jelas ini salah tafsir,” tulis Danarto dalam cerpen “Jantung Hati“ yang terdapat dalam buku Kacapiring (2008). (irf)



Ket:

-Tayang pertama kali di tirto.id pada 11 April 2018
-Foto: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/

No comments: