13 November 2019

Nasib Renta Teleskop Zeiss Bosscha Jelang Satu Abad


Polusi cahaya di Lembang kini menjadi tantangan terbesar bagi Observatorium Bosscha yang selesai dibangun pada 1928 atau 90 tahun lalu.

Carl Zeiss lahir di Weimar, Jerman, pada 11 September 1816. Ia adalah pakar optik yang pada 1846 mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang sistem optik di Kota Jena. Perusahaan inilah yang pada 1921, dikunjungi oleh Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang juragan perkebunan teh di Malabar, Bandung, Jawa Barat.

Bersama koleganya, J. Voute, Bosscha memesan sebuah teleskop fotografik dengan diameter 60 cm dan panjang fokus sekitar 11 meter, untuk digunakan di observatorium yang hendak dibangun di daerah Lembang, Bandung Utara. Teleskop tersebut diyakini merupakan instrumen yang tepat untuk melakukan pengamatan paralaks bintang.

Atas permintaan J. Voute, sebuah teleskop visual yang identik ditambahkan sehingga menghasilkan dua buah teleskop yang dapat bekerja mandiri dalam satu buah tabung. Kelak, teleskop refraktor ganda yang dipesan ini dikenal dengan sebutan Teleskop Zeiss.

Rencana pembuatan observatorium diputuskan pada rapat pertama Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging atau Perhimpunan Astronom Hindia Belanda. Pada pertemuan tersebut, Bosscha bersedia menjadi penyandang dana utama. Observatorium yang mulai dibangun pada 1923 itu berdiri di sebidang tanah yang disumbangkan oleh keluarga Ursone, pemilik perusahaan susu bernama Baroe Adjak.

Warsa 1928, atau tujuh tahun sejak pemesanan, Teleskop Zeiss yang dibawa oleh kapal Kertosono milik Rotterdamsche Llyod, akhirnya tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal itu membawa 27 peti berisi bagian-bagian dari teleskop besar. Peti-peti seberat 30 ton dilayarkan secara gratis dari Belanda yang selanjutnya dibawa ke Bandung dengan menggunakan kereta api.

Dari Bandung, perjalanan dilanjutkan ke Lembang dengan menggunakan sejumlah kendaraan milik pasukan Zeni. Bagian Konstruksi dan Bangunan Jembatan Jawatan Kereta Api (Staatspoorwagen) bertugas menyetel teleskop di dalam bangunan kubah besar yang telah disiapkan.

Pemasangan teleskop menghabiskan waktu beberapa bulan. Setelah selesai dipasang, pada 7 Juni 1928 diselenggarakan acara peresmian Teropong Kubah Besar Zeiss. Acara tersebut dihadiri oleh Gubernur Jenderal Belanda, Andries Cornelis Dirk de Graef, yang kemudian memberikan bintang kehormatan kepada Bosscha.

Pengamatan Bintang Ganda

Dalam rilis tertulis yang dipublikasikan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (FMIPA ITB) selaku pengelola Observatorium Bosscha, disebutkan bahwa salah satu fungsi Teleskop Zeiss adalah untuk mengamati bintang ganda.

Program yang telah dimulai sejak 1924 ini merupakan program prioritas sejalan dengan laju perkembangan ilmu fisika bintang saat itu. Mula-mula pengamatan bintang ganda di Observatorium Bosscha dilakukan secara visual menggunakan mata telanjang. Para astronom melihat langsung posisi bintang ganda dari teleskop, lalu menentukan posisi dan jarak pisahnya dengan bantuan mikrometer.

Mulai 1946 Teleskop Zeiss dilengkapi dengan plate holder yang dapat menyangga plat fotografi di bidang fokus teleskop. Sejak itu, pengamatan fotografi dimulai hingga pengujung 1999, saat plat fotografi tak lagi diproduksi dan pengamatan beralih menggunakan kamera digital.

Hasil pengukuran posisi bintang ganda tersebut dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dan dimuat dalam katalog bintang ganda, di antaranya di Washington Double Star Catalog, dan Database of Visual Double Star Observed at Bosscha Observatory.

Dalam mini museum yang berada di kompleks Observatorium Bosscha dijelaskan bahwa bintang ganda adalah pasangan bintang yang bergerak di sekitar pusat massa sistem di bawah tarikan gravitasi bersama. Pada banyak kasus, bintang-bintang itu bergerak dalam bentuk orbit elips yang dijelaskan dalam hukum Kepler.

Pengamatan bintang ganda sangat penting bagi astronomi karena informasi tentang gerak sistem hasil interaksi kedua komponen bintang, memungkinkan perhitungan massa bintang. Pengamatan ini memungkinkan penghitungan orbit untuk penentuan massa bintang. Selanjutnya, pengetahuan ini dapat dipakai untuk pengujian teori evolusi bintang.

Mahasena Putra, Lektor Kepala di FMIPA ITB dan mantan Direktur Observatorium Bosscha menjelaskan teori evolusi bintang salah satunya untuk menentukan massa bintang, yang selanjutnya dipakai untuk meramal masa depan bintang.

Jika massa sebuah bintang diketahui, maka keberakhirannya dapat dihitung. Semakin besar massa bintang ketika dilahirkan, maka umurnya akan semakin pendek karena reaksi nuklir di dalamnya akan semakin kencang, yang menyebabkan bintang tersebut cepat meledak dan mati.

Bintang terbentuk dari awan yang bertebaran di alam semesta—bukan awan yang barada di dalam atmosfer bumi—yang mengandung hidrogen, helium dan lain-lain. Mereka akan berkumpul, berputar, dan semakin padat, lalu terbentuklah bintang. Bintang yang lahir atau terbentuk ini mempunyai massa yang berbeda-beda. Seperti halnya makhluk hidup, bintang mengalami kelahiran, bertambah tua dan mati.

Sebagai contoh, imbuh Mahasena Putra, matahari yang merupakan bintang dilahirkan 4,5 miliar tahun yang lalu, dan kini memasuki tengah umur. Ia diperkirakan akan mati 4,5 miliar tahun yang akan datang.

"Bintang seperti matahari [yang massanya ketika dilahirkan kecil] umurnya bisa sampai 9-10 miliar tahun. Kalau bintang yang massanya besar bisa hanya 10 juta tahun, [reaksi nuklirnya] boros, 10 juta tahun akan mati, meledak,” ucapnya.

Perawatan si Zeiss

Teleskop Zeiss merupakan teleskop paling besar dan tertua di Observatorium Bosscha. Meski begitu, performanya masih prima dan masih dapat terus diandalkan. Hal ini tidak terlepas dari perawatan yang dilakukan secara telaten.

Mochamad Irfan, Staf Sains dan Pendukung di Observatorium Bosscha yang bertanggungjawab merawat teleskop tersebut menjelaskan bahwa secara garis besar perawatan ditujukan pada tiga hal, yakni sistem mekanik, sistem kelistrikan, dan sistem optik.

“Secara prinsip sih sederhana, tapi karena ukurannya masif maka pengerjaan [perawatannya] biasanya memakan waktu berhari-hari,” ujarnya.

Teleskop Zeiss yang berada pada bangunan berkubah rancangan Charles Prosper Wolff Schoemaker—yang juga merancang Masjid Cipaganti, Hotel Preanger, Villa Isola, dll—yang sangat ikonik, dilengkapi dengan lantai yang dapat bergerak naik turun. Lantai ini biasanya dinaikkan sampai batas maksimal untuk membersihkan Teleskop Zeiss yang posisinya ditidurkan.

Selain ukurannya yang besar, udara Lembang yang lembab pun menjadi tantangan tersendiri bagi para staf dalam melakukan perawatan teleskop.

Dalam keseharian, setelah dipakai para pengamat bintang, para staf juga selalu memastikan semua benda terletak pada tempatnya dan berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini, imbuh Irfan, dilakukan karena lupa atau lalai bisa menimpa siapa saja, termasuk para pengamat bintang yang memakai ruangan tersebut.

Dalam beberapa peristiwa gempa, meski tidak pernah terjadi kerusakan, para staf di Observatorum Bosscha selalu memeriksa sejumlah bagian di ruangan tempat Teleskop Zeiss berada, untuk memastikan tidak ada kerusakan atau pergeseran sistem mekanik yang bisa membahayakan.

Belakangan, di lantai pertama ruangan berbentuk lingkaran itu dilengkapi dengan peredam suara. Menurut Irfan, agar percakapan di satu sisi tidak terdengar terlalu nyaring di sisi lainnya. Hal ini terbukti saat saya naik ke lantai berikutnya yang tidak dilapisi peredam suara. Percakapan di sisi yang berseberangan dengan posisi saya berdiri, meski dilakukan secara pelan, terdengar sangat jelas.

Perawatan teleskop di kompleks Observatorium Bosscha tidak hanya dilakukan di dalam ruangan, di bagian luar pun rutin dilakukan pembersihan, pengecatan, dan penambalan jika ada atap yang bocor. Saat saya berkunjung, tembok luar bangunan berkubah tempat Teleskop Zeiss berada terlihat cerah karena belum lama dilakukan pengecatan ulang.

“Sekarang [pengecatan tembok] pakai cat yang mahal, karena jika pakai cat murah biasanya hanya bertahan lima tahun,” pungkasnya.

Tantangan Polusi Cahaya

Kondisi pencahayaan, khususnya di sekitar observatorium sangat berpengaruh terhadap hasil pengamatan. Langit yang bersih diperlukan agar pengamatan optimal. Jika pencahayaan lampu tidak ditata dengan baik, maka akan menyebabkan polusi cahaya yang akan mengganggu proses pengamatan astronomi.

Lembang yang dulu merupakan daerah yang sepi, sebagaimana daerah-daerah lain di Bandung Raya, mengalami perkembangan permukiman yang signifikan yang akhirnya menimbulkan polusi cahaya. Hal ini membuat Observatorium Bosscha mendapat tantangan yang tak mudah demi menjaga keberlangsungan perkembangan sains di Indonesia.

Untuk menjawab tantangan ini, ITB selalu pengelola Observatorium Bosscha menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah Jawa Barat, instansi-instansi terkait, dan masyarakat untuk menjamin perlindungan terhadap kawasan ini melalui pelbagai aturan dan imbauan.

Perlindungan terhadap Observatorium Bosscha, secara fisik maupun—secara implisit—pengaturan tata cahaya di sekitarnya, juga tercantum dalam Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung.

Pada pasal 61 ayat 2 menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu cagar budaya dan ilmu pengetahuan yang dilindungi. Sementara pasal 99 tentang arahan peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, poin (e) menyebutkan ketentuan untuk kawasan Observatorium Bosscha, yakni (1) ditetapkan dengan radius 2,5 kilometer dari Observatorium Bosscha, (2) ketentuan teknis lain lebih lanjut diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Namun sayang, Perpres yang terdiri dari 121 pasal tersebut tidak secara gamblang menyebut soal pengaturan tata cahaya di sekitar Observatorium Bosscha. Aturan ini hanya disebut dalam pasal 99 poin (e) bagian 2 dengan redaksional “ketentuan teknis lain lebih lanjut diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”, yang barangkali bisa ditafsirkan meliputi soal aturan tata cahaya.

Ikhtiar lain yang dilakukan oleh Observatorium Bosscha untuk mengurangi cahaya lampu adalah dengan membagikan tudung lampu kepada masyarakat sekitar yang fungsinya agar pijar cahaya tidak mengarah ke atas yang dapat mengganggu kejernihan langit.

Tahun 2015, saat Direktur Observatorium Bosscha dijabat oleh Mahasena Putra, saya bersama kawan-kawan dari Komunitas Sahabat Bosscha sempat ikut membagikan tudung lampu itu kepada masyarakat.

Di sebuah lapangan tak jauh dari SD Negeri Merdeka yang beralamat di Jalan Peneropongan Bintang, di sela pembagian dan pemasangan tudung lampu, seorang kawan berujar, “[Pembagian tudung lampu] ini seperti menabur garam di laut ya.”

Ungkapannya tentu saja pesimistis, tapi barangkali itulah cara dia merespons polusi cahaya yang sudah sangat masif, dan menentukan nasib keberadaan observatorium. Bisa jadi lokasi observatorium Bosscha Lembang akan digantikan di lokasi observatorium baru skala nasional yang kini sedang disiapkan
 di Kupang, NTT. (irf)



Ket:

- Tayang pertama kali di tirto.id pada 3 Desember 2018

No comments: