Sejumlah catatan personal membuka katup prasangka antaretnis dan antaragama yang terkumpul dalam buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia.
Masa kecil Aan Anshori dipenuhi purbasangka terhadap
orang-orang Tionghoa. Kenangan pertamanya tentang orang Tionghoa adalah sosok
perempuan tua yang biasa dipanggil Cik Nik. Dan memori itu dipenuhi kesan
negatif. Cik Nik memiliki sebuah lapak sembako di pasar Mojoagung, Jombang,
tempat ibu Aan berjualan.
“Secara personal, kala itu, Cik Nik merupakan gambaran tepat bagaimana sosok Tionghoa dijejalkan ke memori saya: pelit, tidak ramah, cuek, bicaranya straight-forward, hidupnya hanya untuk urusan harta. Beberapa Tionghoa yang saya temui saat kecil kebanyakan seperti itu. Saya tidak suka dengan mereka dan mulai meng-gebyah uyah semua Tionghoa,” kenangnya.
Pikiran masa kecil Aan yang lahir dan dibesarkan di desa Kauman, Jombang, melantur ke mana-mana. Ia sempat kasihan kepada Cik Nik, yang dalam pikirannya adalah calon penghuni neraka.
“Bersenang-senanglah di dunia. Kalian akan teronggok di dasar neraka karena tidak memilih Islam,” gumam batinnya saat itu.
Kenakalan masa bocahnya pun diwarnai pelbagai peristiwa yang didorong kebencian terhadap orang Tionghoa. Apabila Ramadan tiba, selepas santap sahur dan salat Subuh, ia dan kawan-kawannya kerap membuat kegaduhan di depan toko-toko milik orang Tionghoa. Gerbang toko mereka dipukul-pukul sambil berteriak menantang, bel elektriknya dirusak, dan kadang mencoreti dinding toko.
Sekali waktu, Aan dan kawan-kawan merencanakan kejahatan khas anak kecil, yakni mencuri. Jika anak-anak biasanya nyolong mangga atau buah-buahan lain milik tetangga yang masih menggantung di pohon, maka mereka mencuri di toko milik Tionghoa. Dengan adrenalin yang menjompak, Aan berhasil mencuri sepasang kaos kaki dari Toko SK, sebuah toko milik Tionghoa yang ramai dipadati calon pembeli.
Mereka juga kerap menyerang anak-anak Tionghoa, baik secara verbal maupun fisik. Panggilan “Cina gosong” dan “Cina gak sunat” biasanya menjadi bahan provokasi yang mereka lontarkan. Jika anak-anak Tionghoa tersinggung dan menantang, maka tawuran pun tak terelakkan. Aan mengaku, banyak sekali anak Tionghoa yang pernah dipukuli kepalanya serta dimintai uang dengan cara memaksa oleh dirinya dan kawan-kawan.
“Sepanjang yang saya bisa ingat, saya merasa puas ketika bisa membikin mereka sengsara. Saya merasa kami berbeda dengan mereka dan tidak ada alasan untuk berbuat baik terhadap mereka. Untuk apa berbuat kebaikan pada orang yang secara terang berbeda, baik fisik bahkan agama? Bagi saya, mereka terlihat aneh dengan kulit putih dan mata sipitnya,” kenang Aan.
Seiring waktu, purbasangka itu mulai luntur. Saat duduk di masa akhir SMP, ia mulai membaca kiprah Gus Dur yang rajin menyuarakan hak-hak minoritas, termasuk warga Tionghoa. Sosok dan pemikiran Gus Dur membuat satu titik balik dalam diri pegiat jaringan GUSDURian ini.
Pengalaman tersebut ia tulis dalam buku bertajuk Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia (2018). Bersama 72 penulis lain dari pelbagai latar belakang, yang juga menceritakan pengalaman masing-masing tentang persinggungan antara kaum mayoritas dan minoritas, khususnya Tionghoa dan bukan Tionghoa, Aan hendak merajut kebersamaan dan toleransi yang selama ini koyak, lewat kenangan-kenangan personal.
“Refleksi pengalaman pribadi para penulis dalam bertetangga, berhubungan dengan teman, bahkan orang lain terutama antara etnis Tionghoa dan bukan etnis Tionghoa merupakan nilai yang berharga,” tulis editor dalam pengantar buku ini.
“Secara personal, kala itu, Cik Nik merupakan gambaran tepat bagaimana sosok Tionghoa dijejalkan ke memori saya: pelit, tidak ramah, cuek, bicaranya straight-forward, hidupnya hanya untuk urusan harta. Beberapa Tionghoa yang saya temui saat kecil kebanyakan seperti itu. Saya tidak suka dengan mereka dan mulai meng-gebyah uyah semua Tionghoa,” kenangnya.
Pikiran masa kecil Aan yang lahir dan dibesarkan di desa Kauman, Jombang, melantur ke mana-mana. Ia sempat kasihan kepada Cik Nik, yang dalam pikirannya adalah calon penghuni neraka.
“Bersenang-senanglah di dunia. Kalian akan teronggok di dasar neraka karena tidak memilih Islam,” gumam batinnya saat itu.
Kenakalan masa bocahnya pun diwarnai pelbagai peristiwa yang didorong kebencian terhadap orang Tionghoa. Apabila Ramadan tiba, selepas santap sahur dan salat Subuh, ia dan kawan-kawannya kerap membuat kegaduhan di depan toko-toko milik orang Tionghoa. Gerbang toko mereka dipukul-pukul sambil berteriak menantang, bel elektriknya dirusak, dan kadang mencoreti dinding toko.
Sekali waktu, Aan dan kawan-kawan merencanakan kejahatan khas anak kecil, yakni mencuri. Jika anak-anak biasanya nyolong mangga atau buah-buahan lain milik tetangga yang masih menggantung di pohon, maka mereka mencuri di toko milik Tionghoa. Dengan adrenalin yang menjompak, Aan berhasil mencuri sepasang kaos kaki dari Toko SK, sebuah toko milik Tionghoa yang ramai dipadati calon pembeli.
Mereka juga kerap menyerang anak-anak Tionghoa, baik secara verbal maupun fisik. Panggilan “Cina gosong” dan “Cina gak sunat” biasanya menjadi bahan provokasi yang mereka lontarkan. Jika anak-anak Tionghoa tersinggung dan menantang, maka tawuran pun tak terelakkan. Aan mengaku, banyak sekali anak Tionghoa yang pernah dipukuli kepalanya serta dimintai uang dengan cara memaksa oleh dirinya dan kawan-kawan.
“Sepanjang yang saya bisa ingat, saya merasa puas ketika bisa membikin mereka sengsara. Saya merasa kami berbeda dengan mereka dan tidak ada alasan untuk berbuat baik terhadap mereka. Untuk apa berbuat kebaikan pada orang yang secara terang berbeda, baik fisik bahkan agama? Bagi saya, mereka terlihat aneh dengan kulit putih dan mata sipitnya,” kenang Aan.
Seiring waktu, purbasangka itu mulai luntur. Saat duduk di masa akhir SMP, ia mulai membaca kiprah Gus Dur yang rajin menyuarakan hak-hak minoritas, termasuk warga Tionghoa. Sosok dan pemikiran Gus Dur membuat satu titik balik dalam diri pegiat jaringan GUSDURian ini.
Pengalaman tersebut ia tulis dalam buku bertajuk Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia (2018). Bersama 72 penulis lain dari pelbagai latar belakang, yang juga menceritakan pengalaman masing-masing tentang persinggungan antara kaum mayoritas dan minoritas, khususnya Tionghoa dan bukan Tionghoa, Aan hendak merajut kebersamaan dan toleransi yang selama ini koyak, lewat kenangan-kenangan personal.
“Refleksi pengalaman pribadi para penulis dalam bertetangga, berhubungan dengan teman, bahkan orang lain terutama antara etnis Tionghoa dan bukan etnis Tionghoa merupakan nilai yang berharga,” tulis editor dalam pengantar buku ini.
Jejak
Kelam Masa Lalu
Di Indonesia, kebencian terhadap etnis Tionghoa, saking
sudah terlalu lama berlangsung, seringkali tumbuh tanpa disadari dan tanpa
alasan. Persis seperti yang dikisahkan Aan. Perbedaan fisik dan agama kemudian
menjadi motor penggerak dan pembenaran atas kebencian tersebut.
Sejarah mencatat, setelah hidup sukses sebagai pedagang di Nusantara, orang-orang Tionghoa yang datang dari daratan Cina lalu beranak-pinak dan enggan kembali ke negeri asal. Hubungan kaum Tionghoa dengan penduduk pribumi mulai renggang saat Belanda memanfaatkan mereka sebagai tukang pungut pajak.
Seperti ditulis Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara Sejarah Indonesia (2008), orang-orang Tionghoa yang hidup sebagai petani dijadikan pemungut tol di jalan raya dan perente di desa-desa Jawa. Di sisi lain, imbuhnya, masyarakat Jawa lebih suka diperintah raja mereka sendiri daripada oleh Belanda, apalagi saat orang-orang Tionghoa dibebaskan untuk memungut pajak.
“Segelintir etnis Tionghoa selama ratusan tahun dijadikan alat oleh Belanda untuk menjadi mesin penghasil uang yang sangat efektif tapi kotor dan sangat merusak, yang dampaknya menimbulkan kebencian dan sentimen rasial sebagian rakyat Indonesia,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003).
Kebencian macam itu kerap memicu pembantaian dan persekusi terhadap orang-orang Tionghoa, sehingga lini kala sejarah Nusantara dipenuhi banjir darah etnis ini. Politik segregasi yang dilakukan Belanda juga semakin memperuncing perbedaan dan kerap menimbulkan ketegangan.
Pelbagai peristiwa politik pada masa pemerintah Orde Lama dan Orde baru pun beberapa kali menyeret orang-orang Tionghoa sebagai korban, dan terus berlanjut hingga era reformasi. Kemudian generasi kiwari menerima kebencian ini sebagai warisan yang seolah-olah tidak bisa diurai. Perasaan berbeda dan stereotip berlebihan ikut menyuburkannya sehingga mewujud menjadi sumbu yang mudah dibakar.
“Ini tidak lepas dari sejarah panjang politik identitas yang diberlakukan VOC untuk menjaga agar kaum Jawa dan keturunan Cina tidak bersatu dan tidak menyaingi perdagangan VOC, serta kemudian dilanjutkan oleh Orde Baru yang melakukan banyak pembatasan terhadap warga keturunan Cina. Selama masa Orde Baru, pelbagai stigma dan purbasangka akan warga keturunan Cina berkembang,” tulis Anita A. Wahid dalam pengantar Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia.
Menyemai Damai Lewat
Perjumpaan
Pada Mei 2018, seperti dituturkan Aan,
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama
(Lakpesdam NU) Jombang dan GUSDURian Jombang menggagas pertemuan antara SD
Kristen Petra—yang mayoritas siswanya dari etnis Tionghoa—dengan Madrasah
Ibtidaiyah Islamiyah.
Aan berkisah, mula-mula rombongan SDK Petra hendak datang ke MI Islamiyah dengan menggunakan bus mewah, tapi ia larang karena khawatir akan membuat anak-anak MI Islamiyah kaget dan minder. Setelah sempat terjadi perdebatan, akhirnya mereka datang dengan menggunakan kereta odong-odong.
“Saat mereka [rombongan SDK Petra] datang, terjadi awkward moment. Kedua gerombolan anak-anak dari sekolah berbeda itu terlihat canggung. Namun tak lama kemudian suasana menjadi cair, saat saya lemparkan sebuah bola ke halaman sekolah. Mereka spontan main bersama,” ucapnya saat acara bedah buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia (2018) di Gereja Kristen Indonesia Maulana Yusuf, Bandung (3/12/2018).
Menurut Aan, perjumpaan lintas etnis dan agama sangat penting dilakukan, apalagi sejak usia dini. Prasangka dan kebencian, imbuhnya, seringkali terjadi karena ketidaktahuan.
Dalam buku setebal 436 halaman yang dibedah pun, sejumlah kisah perjumpaan para penulis memberikan jalan untuk saling mengenal dengan baik, sehingga kebencian tak beralasan dapat diganti dengan kemesraan penuh persahabatan.
Dalam tulisan berjudul “Bersekolah di Negeri hingga Lewatkan Malam Ramadan di Masjid Luar Batang”, Freddy Mutiara—keturunan Tionghoa yang menjadi dosen di Universitas Surabaya—mengisahkan riwayat perjumpaannya dengan orang-orang bukan Tionghoa dan beda agama yang diliputi kemesraan kemanusiaan.
“Pengalaman-pengalaman ini berkontribusi besar terhadap perspektif saya dalam memandang keberagaman […] Tentu banyak pengalaman interaksi lintas suku dan agama lain yang belum terceritakan oleh saya sebagai seorang Tionghoa. Semoga sekelumit pengalaman personal ini mengokohkan ke-Indonesiaan dan persaudaraan sebangsa kita semua,” tulisnya.
Kisah-kisah personal 73 penulis tentang interaksinya dengan orang-orang Tionghoa dan bukan Tionghoa menjadi sebuah ikhtiar untuk menjembatani jarak yang terus-menerus diperlebar oleh persoalan politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain.
Pengalaman mereka barangkali adalah pengalaman kita juga—yang harus diceritakan untuk membuka katup-katup prasangka dan menerima perbedaan sebagai kekuatan. (irf)
Aan berkisah, mula-mula rombongan SDK Petra hendak datang ke MI Islamiyah dengan menggunakan bus mewah, tapi ia larang karena khawatir akan membuat anak-anak MI Islamiyah kaget dan minder. Setelah sempat terjadi perdebatan, akhirnya mereka datang dengan menggunakan kereta odong-odong.
“Saat mereka [rombongan SDK Petra] datang, terjadi awkward moment. Kedua gerombolan anak-anak dari sekolah berbeda itu terlihat canggung. Namun tak lama kemudian suasana menjadi cair, saat saya lemparkan sebuah bola ke halaman sekolah. Mereka spontan main bersama,” ucapnya saat acara bedah buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia (2018) di Gereja Kristen Indonesia Maulana Yusuf, Bandung (3/12/2018).
Menurut Aan, perjumpaan lintas etnis dan agama sangat penting dilakukan, apalagi sejak usia dini. Prasangka dan kebencian, imbuhnya, seringkali terjadi karena ketidaktahuan.
Dalam buku setebal 436 halaman yang dibedah pun, sejumlah kisah perjumpaan para penulis memberikan jalan untuk saling mengenal dengan baik, sehingga kebencian tak beralasan dapat diganti dengan kemesraan penuh persahabatan.
Dalam tulisan berjudul “Bersekolah di Negeri hingga Lewatkan Malam Ramadan di Masjid Luar Batang”, Freddy Mutiara—keturunan Tionghoa yang menjadi dosen di Universitas Surabaya—mengisahkan riwayat perjumpaannya dengan orang-orang bukan Tionghoa dan beda agama yang diliputi kemesraan kemanusiaan.
“Pengalaman-pengalaman ini berkontribusi besar terhadap perspektif saya dalam memandang keberagaman […] Tentu banyak pengalaman interaksi lintas suku dan agama lain yang belum terceritakan oleh saya sebagai seorang Tionghoa. Semoga sekelumit pengalaman personal ini mengokohkan ke-Indonesiaan dan persaudaraan sebangsa kita semua,” tulisnya.
Kisah-kisah personal 73 penulis tentang interaksinya dengan orang-orang Tionghoa dan bukan Tionghoa menjadi sebuah ikhtiar untuk menjembatani jarak yang terus-menerus diperlebar oleh persoalan politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain.
Pengalaman mereka barangkali adalah pengalaman kita juga—yang harus diceritakan untuk membuka katup-katup prasangka dan menerima perbedaan sebagai kekuatan. (irf)
Ket:
-Tayang pertama kali di tirto.id pada 6 Desember 2018
-Foto: tropenmusem
No comments:
Post a Comment