Oleh: Taufiqurrahman
Orang
seperti saya sebenarnya tidak punya cukup alasan untuk menjadi fans Morrissey
atau menyukai musik dari band dia yang terkenal di tahun 1980-an, The Smiths.
Laki-laki berumur di atas tiga puluh tahun, berkeluarga dengan anak perempuan
kecil yang cantik serta memiliki karier yang lumayan baik. Pendek kata saya
tidak lagi memiliki banyak pertanyaan-pertanyaan eksistensialis yang masih
membuat jiwa tidak tenang.
Namun
begitulah kenyataannya, saya masih dengan rajin mendengarkan ratapan Morrissey
tentang hidup sendiri tanpa cinta, tentang rasa tidak diinginkan, kesendirian,
alienasi, atau bahwa esensi dari hidup adalah penderitaan yang tidak akan
pernah berakhir. Lagu yang paling saya sukai dari The Smiths adalah “Heaven
Knows I’m Miserable Now” dari album perdana mereka di mana Morrissey berbagi
penderitaan dan kemarahan dengan pendengar:
“/I was looking for a job, and then I found a job // and heaven knows I’m miserable now // In my life why do I smile at people who I’d much rather kick in the eye/”
Lagu
yang paling saya sukai dari album solo karir Morrissey adalah “I Have Forgiven
Jesus”, dari album solo yang menurut saya adalah terbaik, yakni You Are The Quarry. Ini adalah sebuah
lagu tentang kemarahan kepada Tuhan karena sudah memberikan cinta kepada dia,
namun tidak pernah bisa memakainya untuk mencintai orang lain:
“/I have forgiven Jesus for all of the love he placed in me // When there’s no one I can turn to with this love/”
Di album
terakhir Morrissey, Years of Refusals,
Morrissey yang juga semakin tua malah menjadi semakin getir. Di lagu “I’m OK by
Myself” dengan getir ia membalikkan badan dari dunia atau siapapun yang hendak
memberi cinta dan perhatian:
“/I found that I am Ok by myself // and I don’t need you // or your benevolence to make sense // I don’t need you // or your homespun philosophy/”
Sangat
marah. Kalau di masa lalu ketika masih bersama The Smiths kemarahan Morrissey
ditujukan kepada berhala-berhala kemapanan seperti monarki Inggris dan Ratu
Elizabeth melalui lagu “The Queen is Dead”, atau ditujukan kepada pemakan
daging di lagu “Meat is Murder”, atau marah kepada eksekutif industri rekaman
di lagu “Frankly, Mr. Shankly”, kini kemarahan Morrissey menjadi semakin
personal bahkan cenderung menjadi semakin eksistensialis, sebuah permasalahan
yang seharusnya sudah selesai ketika seorang laki-laki sudah memasuki usia yang
cukup dewasa atau cukup senja malah.
Namun
entah kenapa saya masih terpesona dengan Morrissey kini, ketika saya juga sudah
cukup dewasa dan ketika Morrissey juga sudah pantas menjadi kakek dari anak
perempuan saya, dan tidak cukup lagi punya banyak alasan untuk marah kepada
dunia atau kepada siapapun.
Atau
mungkin karena saya berhutang kepada Morrissey yang memperkenalkan saya kepada
karya-karya Oscar Wilde, atau membuat saya mencari dan menggali makna dari
puisi-puisi John Keats atau William Butler Yeats. Tiga pujangga besar Inggris
tersebut dikutip Morrissey di lagu The Smiths yang paling indah menurut saya,
yaitu “Cemetery Gates” dari album The Queen Is Dead”.
Atau
mungkin karena petikan gitar Johnny Marr yang begitu bening dan sejuk di hampir
semua album The Smiths bersama Morrissey (kecuali “How Soon Is Now” di mana
Marr bermain dengan efek tremolo yang sangat terkenal itu). Tidak juga,
album-album solo Morrissey penuh dengan suara gitar yang gahar dan hampir
menjadi punk.
Atau
mungkin karena Morrissey sendiri yang masih seperti misteri. Tidak jelas betul
orientasi seksualnya, sampai-sampai muncul dugaan bahwa dia gay. Bisa juga
karena legenda yang dibangun selama hampir seperempat abad tentang
pertunjukan-pertunjukan hidup The Smiths yang dipenuhi penggemar fanatik
laki-laki maupun perempuan yang suka melempar bunga ke panggung, menerjang
petugas keamanan panggung hanya untuk bisa mencium atau memeluk Moz, nama
panggilan kesayangan Morrissey.
Apapun
itu, saya sudah berinvestasi lumayan serius untuk The Smiths. Saya bukan
penggemar fanatik yang perlu menata rambut atau berpakaian ala Morrissey, atau
memasang tato “Meat Is Murder”. Namun saya cukup serius suka dengan The Smiths
dengan tidak pernah menghapus lagu-lagu The Smiths dari ipod saya dan memiliki
album The Queen Is Dead dalam bentuk piringan hitam.
Saya
juga perlu membuat janji dengan diri sendiri bahwa suatu saat saya harus bisa
menyaksikan pertunjukkan musik Morrissey (menyaksikan The Smiths mungkin agak
susah karena Johnny Marr dan Morrissey nampaknya susah untuk akur, jadi konser
reuni pasti susah terwujud).
Saat itu
datang juga. Sekitar bulan Januari saya mendapat email dari Ticketmaster,
perusahaan pengelola pertunjukan musik dan penjual tiket yang mengabarkan bahwa
Morrissey akan menggelar tur Amerika Serikat dalam rangka mendukung penjualan
album terbarunya Years of The Refusal.
Saya
lihat Chicago menjadi bagian dari kota tujuan tur itu. Tanpa berpikir panjang,
hari itu juga saya memesan tiket pertunjukan seharga 37 dollar—namun dengan
biaya lain yang tidak jelas—membengkak menjadi 60 dollar. Ticketmaster, kali
ini saya masih sabar memaafkanmu.
Tiga
minggu kemudian saya sudah mendapat tiket elektroniknya. Jadi saya sudah
membeli tiket itu tiga bulan sebelum pertunjukannya sendiri digelar. Begitu
berdedikasinya saya kepada Morrissey. Tidak juga, saya hanya takut kalau saya
pesan tiket belakangan harganya menjadi semakin mahal dan risiko tidak kebagian
tiket menjadi semakin besar.
Dan
memang benar, ketika hari pertunjukan datang, jam 7 malam ketika saya sampai ke
Aragon ballroom di kawasan komunitas Asia Tenggara di kota Chicago, antrian di
pintu masuk sudah sangat panjang. Dan hanya butuh waktu setengah jam untuk
Aragon ballroom menjadi penuh oleh orang-orang setengah baya—ini pasti fans
asli Morrissey dari tahun 1980-an yang kini sudah hidup mapan dan cukup punya
uang untuk membeli re-issue semua album The Smiths.
Dan sebagian
lagi penuh oleh anak-anak muda trendi dan hip yang saya yakin lebih suka
membeli kopi album Years of The Refusal
dalam bentuk piringa hitam dibanding CD. Ini adalah anak-anak muda yang saya
yakin bahagia dan sehat secara mental, namun butuh untuk menyukai Morrissey
untuk mendapat stempel pengakuan bahwa mereka adalah pecinta musik yang serius
dan atau suka membaca buku.
Saya
datang sendiri malam itu, karena saya juga yakin bahwa mungkin tidak ada
satupun orang dari kampus saya yang peduli untuk datang—saya tidak bisa
berharap banyak dari anak-anak muda kampus saya yang lebih suka mendengarkan
Disturbed, Slipknot, dan Daughtry, bukan merendahkan cuma beda selera saja.
Jam 9
malam, Morrissey membuka pertunjukan dengan mengagetkan kami. Memakai jas
tuxedo dan dasi kupu-kupu. Agak mengejutkan untuk orang yang pernah mengutuk
monarki Inggris dan hendak membawa Margaret Thatcher ke pisau pancung gilotin.
Tidak apa-apa, kami semua langsung memaafkan dia ketika lagu pertama yang
dinyanyikan adalah “This Charming Man”.”
Dan
dengan lagu ini saya juga akhirnya bisa menemukan kenapa saya suka dengan
Morrissey. Kharisma, gaya, dan kecerdasan yang susah dicari bandingannya.
Gayanya masih sama, meliuk-liuk kemayu, menarik kabel mikrofon dan
memutar-mutarnya seperti lasso, dan kadang menyanyi dengan suara falsetto dan
mendayu-dayu.
Aragon ballroom diam seketika ketika Morrissey memperkenalkan anggota band satu per satu dan diakhiri dengan kata-kata nyinyir: “Dan terakhir saya sendiri, tidak memiliki identitas,” semua orang di arena pertunjukan saling memandang kanan kiri tanda saling mengerti, sebelum tertawa dan bertepuk tangan sekencang-kencangnya, dan itulah yang terjadi sepanjang malam di hari Sabtu kemarin di Aragon ballroom. []
Foto: rollingstone.com
No comments:
Post a Comment