J.S. Badudu tak pernah menjelma jadi semacam polisi bahasa. Ia sadar, bahasa mula-mula hadir dan hidup dalam keseharian.
Jika kamu merasa agak pening setelah bangun dari tidur
yang tidak nyenyak, atau pening karena mabuk, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) menyediakan kata untuk mengungkapkannya, yaitu
“pengar”.
Apabila kamu sering menggunakan kalimat “tidak bergeming” untuk menunjukkan sesuatu yang tidak bergerak, maka sebaiknya periksa lagi, sebab “bergeming” sudah berarti “tidak bergerak sedikit juga” alias “diam saja”.
Bahasa Indonesia hidup dalam keseharian kita. Terhampar dari komunikasi ke komunikasi. Sesekali dalam bentuk senandika. Lisan maupun tulisan. Namun, jika sedang santai, baiknya kita sesekali menengok kamus, untuk memeriksa ulang kata demi kata yang sering kita gunakan. Sering kali, dalam pemeriksaan ulang itu, kita akan menemukan kata-kata yang jarang digunakan dalam keseharian.
Membicarakan bahasa Indonesia modern tentu tidak dapat dipisahkan dengan Jusuf Sjarif Badudu (selanjutnya ditulis J.S. Badudu). Ia adalah seorang linguis atau ahli ilmu bahasa yang telah melahirkan sejumlah karya, juga sempat lama hadir di TVRI, warsa 1970-an dan 1980-an, dalam siaran “Pembinaan Bahasa Indonesia”.
J.S. Badudu lahir di Gorontalo, 19 Maret 1926. Selama hayatnya, ia mengajar puluhan tahun di Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), keduanya di Bandung. Ia juga merupakan orang pertama yang meraih gelar guru besar dari Fakultas Sastra Unpad.
Dulu, perjalanan dari Bandung ke Jakarta tentu saja tidak semudah seperti sekarang. Jalan tol belum ada, perjalanan mesti ditempuh lewat Puncak dan memakan waktu yang jauh lebih lama.
Menurut Ananda Badudu, cucu J.S. Badudu, yang dihubungi Tirto pada Selasa (5/3/2019)—berdasarkan penuturan dari keluarganya—perjalanan dari Bandung ke Jakarta dan sebaliknya yang menguras tenaga adalah salah satu pertimbangan yang diambil J.S. Badudu untuk berhenti membawakan acara “Pembinaan Bahasa Indonesia” di TVRI.
Informasi ini sempat juga disampaikan Dharmayanti Francisca Badudu, putri sulung J.S. Badudu. Saat itu (9/8/2017) Tirto menulis sebuah artikel tentang sejumlah talkshow yang berhenti tiba-tiba, dan salah satunya menyinggung J.S. Badudu yang diberhentikan dari acara yang diampunya, karena mengkritik penggunaan akhiran “-keun” yang sering dipakai Presiden Soeharto.
Dharmayanti Francisca Badudu meluruskan informasi tersebut. Menurutnya, anggapan keliru tersebut telah muncul sejak ayahnya masih ada. Kerap diberitakan sejumlah media, informasinya terus menyebar, sampai akhirnya seolah-olah menjadi kebenaran.
Keliru di sini maksudnya bukan hanya mengkritik Soeharto, melainkan juga kepada siapapun yang menggunakan kesalahan berbahasa tersebut.
“Beliau berhenti sebenarnya tidak ada teguran, tidak ada sanggahan mengenai apa yang disampaikan di televisi, tetapi beliau berhenti memang karena keputusan sendiri atas kesibukan-kesibukan di Universitas Padjadjaran sebagai Dekan. Kelelahan karena bolak balik Bandung-Jakarta. Setiap pekan,” katanya.
Apabila kamu sering menggunakan kalimat “tidak bergeming” untuk menunjukkan sesuatu yang tidak bergerak, maka sebaiknya periksa lagi, sebab “bergeming” sudah berarti “tidak bergerak sedikit juga” alias “diam saja”.
Bahasa Indonesia hidup dalam keseharian kita. Terhampar dari komunikasi ke komunikasi. Sesekali dalam bentuk senandika. Lisan maupun tulisan. Namun, jika sedang santai, baiknya kita sesekali menengok kamus, untuk memeriksa ulang kata demi kata yang sering kita gunakan. Sering kali, dalam pemeriksaan ulang itu, kita akan menemukan kata-kata yang jarang digunakan dalam keseharian.
Membicarakan bahasa Indonesia modern tentu tidak dapat dipisahkan dengan Jusuf Sjarif Badudu (selanjutnya ditulis J.S. Badudu). Ia adalah seorang linguis atau ahli ilmu bahasa yang telah melahirkan sejumlah karya, juga sempat lama hadir di TVRI, warsa 1970-an dan 1980-an, dalam siaran “Pembinaan Bahasa Indonesia”.
J.S. Badudu lahir di Gorontalo, 19 Maret 1926. Selama hayatnya, ia mengajar puluhan tahun di Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), keduanya di Bandung. Ia juga merupakan orang pertama yang meraih gelar guru besar dari Fakultas Sastra Unpad.
Dulu, perjalanan dari Bandung ke Jakarta tentu saja tidak semudah seperti sekarang. Jalan tol belum ada, perjalanan mesti ditempuh lewat Puncak dan memakan waktu yang jauh lebih lama.
Menurut Ananda Badudu, cucu J.S. Badudu, yang dihubungi Tirto pada Selasa (5/3/2019)—berdasarkan penuturan dari keluarganya—perjalanan dari Bandung ke Jakarta dan sebaliknya yang menguras tenaga adalah salah satu pertimbangan yang diambil J.S. Badudu untuk berhenti membawakan acara “Pembinaan Bahasa Indonesia” di TVRI.
Informasi ini sempat juga disampaikan Dharmayanti Francisca Badudu, putri sulung J.S. Badudu. Saat itu (9/8/2017) Tirto menulis sebuah artikel tentang sejumlah talkshow yang berhenti tiba-tiba, dan salah satunya menyinggung J.S. Badudu yang diberhentikan dari acara yang diampunya, karena mengkritik penggunaan akhiran “-keun” yang sering dipakai Presiden Soeharto.
Dharmayanti Francisca Badudu meluruskan informasi tersebut. Menurutnya, anggapan keliru tersebut telah muncul sejak ayahnya masih ada. Kerap diberitakan sejumlah media, informasinya terus menyebar, sampai akhirnya seolah-olah menjadi kebenaran.
Keliru di sini maksudnya bukan hanya mengkritik Soeharto, melainkan juga kepada siapapun yang menggunakan kesalahan berbahasa tersebut.
“Beliau berhenti sebenarnya tidak ada teguran, tidak ada sanggahan mengenai apa yang disampaikan di televisi, tetapi beliau berhenti memang karena keputusan sendiri atas kesibukan-kesibukan di Universitas Padjadjaran sebagai Dekan. Kelelahan karena bolak balik Bandung-Jakarta. Setiap pekan,” katanya.
Berbagi Ilmu Lewat Buku
Muchtaruddin Ibrahim dan kawan-kawan dalam Ensiklopedi
Tokoh Kebudayaan IV (1999) mencatat, J.S. Badudu menyelesaikan
pendidikan di Sekolah Guru Rakyat di Luwuk, Sulawesi Tengah pada 1941. Lima
tahun kemudian, ia pindah ke Ampana, masih di provinsi yang sama, untuk
mengajar di sebuah sekolah dasar.
Tidak terlalu lama mengajar di Ampana, ia melanjutkan sekolah ke Normaalschool di Tentena, Kabupaten Poso, dan lulus pada 1949. Dua tahun kemudian sekolah lagi di Kweekschool di Tomohon, tapi tidak diselesaikan karena merasa kekurangan fasilitas.
Ia berniat bekerja dan melanjutkan sekolah ke Jawa. Setelah melalui perjalanan panjang, ia akhirnya sampai ke Jawa dan diterima sebagai guru di SMP II Bandung. Pada 1963 ia menyelesaikan kuliah di Unpad Jurusan Bahasa Indonesia. Selanjutnya menjadi dosen di almamaternya dan mulai menerbitkan buku.
Semangatnya untuk belajar tak kunjung padam. J.S. Badudu terus kuliah dan meraih gelar doktor pada 1975 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan judul disertasi “Morfologi Kata Kerja Bahasa Gorontalo”.
Selain mengajar dan mengampu program bahasa Indonesia di TVRI, di tengah kesibukannya J.S. Badudu juga menulis puluhan buku tentang bahasa Indonesia. Bahkan saat usianya sudah semakin senja.
Dalam pengantar pada Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (2003)—yang dipublikasikan pada perayaan ulang tahunnya yang ke-77—ia menyampaikan penyusunan kamus tersebut memakan waktu lama, yaitu sekitar tujuh tahun karena pelbagai keterbatasan.
“Itu sebabnya, bila ada waktu senggang, saya lanjutkan pekerjaan saya [dan] saya [berhasil] menyelesaikannya,” tulisnya.
Menurutnya, kamus tersebut disusun karena ia tahu bahwa banyak pengguna bahasa Indonesia yang merasa kesulitan saat menemukan kata-kata serapan dari bahasa asing.
Bahasa Indonesia, terutama yang digunakan dalam tulisan selain non-fiksi, kerap dianggap kering. Dituding tak bercitarasa sehingga membosankan. Padahal, tudingan tersebut tergantung dari si pengguna, baik dalam hal perbendaharaan kata maupun penguasaan daya ungkap.
J.S. Badudu sempat menulis Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia yang mula-mula terbit pada 1984. Sejumlah ungkapan untuk menggantikan sebuah kata dapat diambil sebagai contoh.
Untuk menyampaikan pekerjaan yang tak berfaedah, kita bisa memakai ungkapan seperti berikut: “Memberi nasihat kepadanya seperti menyurat di atas air saja, tak akan dihiraukannya.”
Hendak menyebut para pelajar yang terdidik dengan baik, kita bisa menggunakan ungkapan: “Anak-anak guru itu semuanya masak ajar, tak pernah menyusahkan orangtuanya.”
Apabila mendapati seorang bijak bestari, banyak pengetahuannya, dan biasanya tempat orang meminta nasihat, kita bisa menyanjungnya dengan ungkapan: “Orangtua itu lautan budi tepian akal.”
Namun, ungkapan tentu hanya sebuah khazanah dalam berbahasa yang tak wajib digunakan. Tak sedikit orang yang menulis dengan lugas, padat, dan cergas, tapi tulisannya tetap basah dan enak dibaca. Dalam berbahasa, khususnya bahasa tulis, pembiasaan dan latihan adalah ujung tombak agar mampu meraih dua maksud sekaligus, yakni menyampaikan pesan dan pesan tiba tidak dengan buruk rupa.
Lalu ada pula peribahasa. Inilah sesuatu yang kata J.S. Badudu “tidak mudah dalam bahasa Indonesia”. Banyak orang yang tidak tahu apa artinya dari peribahasa tertentu. Selain itu, peribahasa pun tidak terlalu kerap muncul dalam lalu lintas komunikasi.
Untuk menjelaskan pelbagai peribahasa dan mengenalkan ulang peribahasa—yang boleh jadi kian terlupakan—J.S. Badudu menyusun Kamus Peribahasa: Arti dan Kiasan Peribahasa, Pepatah dan Ungkapan yang terbit pada 2008.
Puluhan karya lainnya telaten menghamparkan soal-soal kebahasaan. Ia sungguh-sungguh menjadikan bahasa Indonesia menjadi tak sekadar hidup dalam keseharian, tapi mengikatnya dalam buhulan karya yang bisa kita tengok manasuka.
Tidak terlalu lama mengajar di Ampana, ia melanjutkan sekolah ke Normaalschool di Tentena, Kabupaten Poso, dan lulus pada 1949. Dua tahun kemudian sekolah lagi di Kweekschool di Tomohon, tapi tidak diselesaikan karena merasa kekurangan fasilitas.
Ia berniat bekerja dan melanjutkan sekolah ke Jawa. Setelah melalui perjalanan panjang, ia akhirnya sampai ke Jawa dan diterima sebagai guru di SMP II Bandung. Pada 1963 ia menyelesaikan kuliah di Unpad Jurusan Bahasa Indonesia. Selanjutnya menjadi dosen di almamaternya dan mulai menerbitkan buku.
Semangatnya untuk belajar tak kunjung padam. J.S. Badudu terus kuliah dan meraih gelar doktor pada 1975 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan judul disertasi “Morfologi Kata Kerja Bahasa Gorontalo”.
Selain mengajar dan mengampu program bahasa Indonesia di TVRI, di tengah kesibukannya J.S. Badudu juga menulis puluhan buku tentang bahasa Indonesia. Bahkan saat usianya sudah semakin senja.
Dalam pengantar pada Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (2003)—yang dipublikasikan pada perayaan ulang tahunnya yang ke-77—ia menyampaikan penyusunan kamus tersebut memakan waktu lama, yaitu sekitar tujuh tahun karena pelbagai keterbatasan.
“Itu sebabnya, bila ada waktu senggang, saya lanjutkan pekerjaan saya [dan] saya [berhasil] menyelesaikannya,” tulisnya.
Menurutnya, kamus tersebut disusun karena ia tahu bahwa banyak pengguna bahasa Indonesia yang merasa kesulitan saat menemukan kata-kata serapan dari bahasa asing.
Bahasa Indonesia, terutama yang digunakan dalam tulisan selain non-fiksi, kerap dianggap kering. Dituding tak bercitarasa sehingga membosankan. Padahal, tudingan tersebut tergantung dari si pengguna, baik dalam hal perbendaharaan kata maupun penguasaan daya ungkap.
J.S. Badudu sempat menulis Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia yang mula-mula terbit pada 1984. Sejumlah ungkapan untuk menggantikan sebuah kata dapat diambil sebagai contoh.
Untuk menyampaikan pekerjaan yang tak berfaedah, kita bisa memakai ungkapan seperti berikut: “Memberi nasihat kepadanya seperti menyurat di atas air saja, tak akan dihiraukannya.”
Hendak menyebut para pelajar yang terdidik dengan baik, kita bisa menggunakan ungkapan: “Anak-anak guru itu semuanya masak ajar, tak pernah menyusahkan orangtuanya.”
Apabila mendapati seorang bijak bestari, banyak pengetahuannya, dan biasanya tempat orang meminta nasihat, kita bisa menyanjungnya dengan ungkapan: “Orangtua itu lautan budi tepian akal.”
Namun, ungkapan tentu hanya sebuah khazanah dalam berbahasa yang tak wajib digunakan. Tak sedikit orang yang menulis dengan lugas, padat, dan cergas, tapi tulisannya tetap basah dan enak dibaca. Dalam berbahasa, khususnya bahasa tulis, pembiasaan dan latihan adalah ujung tombak agar mampu meraih dua maksud sekaligus, yakni menyampaikan pesan dan pesan tiba tidak dengan buruk rupa.
Lalu ada pula peribahasa. Inilah sesuatu yang kata J.S. Badudu “tidak mudah dalam bahasa Indonesia”. Banyak orang yang tidak tahu apa artinya dari peribahasa tertentu. Selain itu, peribahasa pun tidak terlalu kerap muncul dalam lalu lintas komunikasi.
Untuk menjelaskan pelbagai peribahasa dan mengenalkan ulang peribahasa—yang boleh jadi kian terlupakan—J.S. Badudu menyusun Kamus Peribahasa: Arti dan Kiasan Peribahasa, Pepatah dan Ungkapan yang terbit pada 2008.
Puluhan karya lainnya telaten menghamparkan soal-soal kebahasaan. Ia sungguh-sungguh menjadikan bahasa Indonesia menjadi tak sekadar hidup dalam keseharian, tapi mengikatnya dalam buhulan karya yang bisa kita tengok manasuka.
Kenangan Seorang Cucu
Sekali waktu, saat Ananda Badudu berada
di rumah kakeknya di Bandung, sang kakek tengah menulis menggunakan mesin tik.
Sementara komputer yang tak jauh darinya digunakan sang cucu untuk bergembira
dengan gim.
Di ruang kerjanya terdapat banyak sekali buku, tapi ia tak pernah mewajibkan seorang pun dalam keluarganya, termasuk cucunya, untuk membaca buku tertentu. Namun, sikapnya itu justru membuat Ananda tertarik pada sejumlah buku, salah satunya adalah buku yang ditulis sang kakek sendiri tentang beberapa resensi terhadap pelbagai karya sastra.
Ananda mendapati pembahasan roman Atheis karya Achdiat Kartamihardja yang pertama kali terbit pada 1949. Ia tertarik dan mencari roman tersebut yang menurutnya memang bagus.
Pada dua alinea pertama tulisan ini saya menyinggung soal kata “pengar” dan “bergeming”, itu adalah contoh yang diceritakan Ananda sebagai pengalamannya dalam mengakrabi kamus bahasa Indonesia.
Menurut Ananda, kakeknya yang seorang pakar bahasa banyak memengaruhinya dalam berbahasa, termasuk dalam menulis sejumlah lirik lagu. Ia mencoba lebih telaten dalam menyusun diksi.
Seperti sikapnya yang tak pernah menentukan bacaan tertentu untuk keluarganya, begitu pula dalam penggunaan bahasa sehari-hari. J.S. Badudu tak pernah menjelma jadi semacam polisi bahasa. Ia justru sadar bahwa bahasa mula-mula hadir dan hidup dalam keseharian. Para penyusun kamus seperti dirinya mengumpulkan pelbagai kata dari yang hadir dan hidup itu.
Pada 12 Maret 2016, tepat hari ini tiga tahun lalu, Ananda dan seluruh keluarga besarnya mesti berpisah dengan sang kakek untuk selamanya. J.S. Badudu meninggal dunia di Rumah Sakit Hasan Sadikin dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. (irf)
Ket: Tayang pertama kali di tirto.id pada 12 Maret 2019
Foto: kapanlagi.com
No comments:
Post a Comment