Oleh: Petrik Matanasi
Sumber Tulisan: geotimes.co.id
“Ngeee!!! Ngeee!!!
Ngeee!!!”
Saya belum lama kembali
dari ziarah panjang saya di Sulawesi Selatan ketika sahabat saya, Muhammad
Iqbal, kasih alamat email Benedict O’Gorman Anderson alias Om Ben. Anak sejarah
mana yang tak tahu orang macam Om Ben? Saya bahkan belajar riset dan menulis
sejarah dari buku Om Ben—sebelum saya kenal dan berkawan.
Waktu itu, saya baru
saja diputusin pacar saya. Tanpa lama-lama, itu email saya
hubungi. Tentu saja saya perkenalkan diri dan mulai ngalor-ngidul soal
sejarah. Tak sampai 24 jam, Om Ben balas itu email. Saya seperti ketiban pulung.
Seorang profesor sejarah menghubungi sejarawan kacangan macam saya, itu
keajaiban dan anugerah besar dalam hidup saya. Balasan email itu panjang dan
lebar soal sejarah, tapi dalam bahasa yang kocak. Saya pun jadi lupa
“kejahatan” mantan yang mutusin saya itu. He he he he…
Bukannya saya harus bersedih?!
Obrolan berkembang.
Awalnya tentang Letkol Untung, si komandan G 30 S, lalu melebar ke
mana-mana. Soal kakek buyut asal Bagelen saya yang jadi KNIL, soal
ronggeng, soal orang Bagelen dan Banyumas yang doyan berkelahi. Beberapa bulan
kemudian, Om Ben ajak saya jalan-jalan ke Jawa Timur. Sebagai pengangguran,
saya ikut saja. Tentu akan banyak pencerahan lagi.
Desember 2010 Om Ben
datang. Saya bersama Edu Manik, Merry Filliana, Hendrik Manik, Hilman, Iqbal,
dan supir kami yang selalu menemani kami keliling Jawa Timur, Pak Gito.
Seminggu lebih kami lintasi Jember, Bondowoso, Situbondo, Tuban, Madiun,
Ponorogo, Pacitan, Semarang, lalu berpisah dengan Pak Gito di Semarang dan kami
ke Jakarta. Ada acara bedah buku di mana Om Ben terlibat di dalamnya. Semua
gratis. Saya hanya perlu duduk manis. Tentu saja ngobrol ngalor-ngidul soal
sejarah.
Dalam trip perdana bersama
Om Ben ini, Om Ben ajak kami ke sebuah tempat ziarah di Situbondo, sekarang
orang menyebutnya Penggepeng. Namun 90 tahun sebelumnya orang menyebutnya Bukit
Ulama. Kami mewawancarai Bapak Tua juru kunci makam keramat itu. Om Ben
mendengarkannya saja di sana.
Pulang dari sana Om Ben
diskusi dengan kami soal keterangan Bapak Tua itu. Dua tahun setelahnya kami ke
situ lagi dan Bapak Tua itu beri keterangan berbeda lagi. Tanpa sadar Om Ben
mengingatkan kami pentingnya kritis terhadap narasumber karena lupa adalah
penyakit manusia. Saya percaya, sebagai sejarawan Om Ben berhati-hati mencerna
informasi. Om Ben pernah menulis soal Bukit Ulama itu dalam jurnal Indonesia
Cornell University edisi April 2011.
Awal-awal kontak dengan Om
Ben, saya yang seharusnya patah hati, kerjaan saya hanya merampungkan naskah
100 halaman soal sejarah militer Indonesia—yang bahannya saya kumpulkan sejak
awal kuliah sampai selesai skripsi kedua saya. Kira-kira tujuh tahun. Sebelum
Om Ben datang, saya sudah kasih ke penerbit di Yogyakarta. Tapi saya berikan
satu buat Om Ben ketika kami bertemu pertama kali. Saya tidak sangka kalau itu
naskah dicoret-coret.
Om Ben juga bikin
koreksian belasan halaman. Mencerahkan sekali buat saya. Walau buku Sejarah
Tentara itu telanjur terbit juga pertengahan 2011. Om Ben bilang,
“itu buku jelek” dan tak mau beli. Saya maklum, karena yang saya dengar Om Ben
dianggap profesor killer oleh mahasiswa-mahasiswanya.
Bagi saya, Om Ben tidak
pelit ilmu. Dia suka berbagi bacaan ke kami. Pustawan Cornell berdarah
Kalimantan, yang juga tetangga yang tak ubahnya keluarga bernama Ben Abel,
barangkali sering direpotkan cari-cari koleksi Om Ben yang sudah bertumpuk.
Dari Om Ben dan Iqbal saya pun belakangan kenal Ben Abel. Om Ben pernah bantu
riset saya. Iseng-iseng, saya tunjukan ketikan saya tentang Thomas Najoan si
Raja Pelarian di Boven Digoel sana kepada Om Ben. Om Ben tampak tertarik. Dia
lalu suruh saya menghubungi Rudolf Mrazek—yang namanya juga wangi di kalangan
Indonesianis dan karyanya begitu pentng dalam historiografi Indonesia.
Perintah mahaguru saya
ikuti. Rupanya, soal rasa berbagi, Rudolf sama saja dengan Om Ben, tidak pelit
buat saya. Dengan cepat Rudolf balas email saya. Ini anugerah lagi. Rudolf juga
tertarik. Bahkan dia memberi petunjuk apa yang harus saya baca dan Rudolf
bahkan menemui saya di Arsip Nasional Jakarta beberapa bulan setelah email
pertama saya. Saya bahkan ngintilin beliau saat wawancara
dengan seorang ibu yang masa kecilnya di Boven Digoel. Rudolf bahkan memperbolehkan
saya bertanya juga.
Baik Rudolf dan Om Ben,
mereka suka bertanya dan mengamati apa yang bagi orang Indonesia remeh-temeh.
Orang jenius selalu memikirkan apa yang tak dipikirkan orang lain. Rudolf
memberi kepercayaan saya untuk bikin transkrip wawancara, saya tak tolak itu.
Dengan senang hati karena terkait dengan Digoel. Naskah Thomas Najoan pun
rampung. Rudolf bahkan rela kasih kata pengantar. Om Ben senang. Apalagi
setelah buku itu jadi.
Itulah satu-satunya buku
saya yang dipuji Om Ben. Sebetulnya saya heran, kenapa sejarawan kelas dunia
macam Rudolf dan Om Ben tak pelit ilmu dan terbuka? Padahal saya banyak temui
akademisi di Indonesia begitu angkuh dengan gelarnya.
Om Ben sangat mempengaruhi
saya dalam mengajar di kelas sebagai guru sejarah selama empat tahun terakhir.
Pesannya yang masih saya teladani: “Ajarkan sejarah dengan tawa!” Itu relevan
buat saya karena sejarah sudah jadi pelajaran tak menyenangkan di Indonesia.
Tugas guru sejarah adalah mendekatkan siswa pada sejarah karena sejarah dekat
dengan hidup kita semua, bahkan sejarah adalah kita!
Om Ben suka sekali dengan
cerita hebat murid-murid saya—yang jago lukis; juara lomba cerdas-cermat
sejarah; juara menulis dan lainnya. Om Ben ingin sekali bertemu mereka, sayang
tak pernah terwujud.
Om Ben suka anak-anak,
yang disebutnya: tuyul-tuyul. Saya pernah cerita soal murid saya yang terbawa
arus di Pagaralam. Om Ben hampir menangis dan bilang, “Ini tidak adil! Kenapa
harus anak-anak?” Om Ben memang humanis! Om Ben pernah cerita soal gerakan
anti bullying yang dilakukannya bersama beberapa kawannya
ketika di Eton College—sekolah menengah bergengsi di Inggris di mana Pangeran
William adalah alumninya juga. Om Ben bilang ke juniornya: “Kami tak akan
memukul kalian, tapi nantinya kalian jangan memukul junior kalian.”
Sudah banyak yang menulis
tentangnya dua hari terakhir, setelah kematiannya yang tiba-tiba, dinihari 13
Desember 2015 lalu. Saya dan istri saya, Dewi Yulia Sari, terkejut. Pada 9
Desember, bersama istri saya, saya kunjungi Om Ben di rumah Edu Manik. Saya
melihat Om Ben makin kurus, meski tetap bersemangat waktu tunjukkan kaos
bertulis Ngeee!!!!
Menurut istri saya,
kondisi Om Ben sudah menurun. Tak seperti Februari 2015 waktu pertama istri
saya ketemu Om Ben. Pada Kamis, 10 Desember, saya datang ke kuliahnya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok. Setelah itu
kami sempat makan malam bersama di Mang Engking. Ternyata itu “Perjamuan
Terakhir” bersama Om Ben buat saya.
Slamat Djalan, Om Ben. Damailah slalu di sana… Salam
anget dari kitorang semua… Kamsia… []
No comments:
Post a Comment