31 May 2021

Raymond Carver, Kisah Cinta yang Rapuh dan Cepat Berlalu


“Kita tak pernah memiliki

Rumah yang kita diami semusim

telah dituntut kembali

Tak ada yang kita punya

Yang kita bisa hanya

membekaskan telapak kaki,

dalam,

sangat dalam,

ke pasir

Semuanya luput

Juga waktu”

 

--Subagio Sastrowardoyo

 

Cinta tampil dalam wajahnya yang murung. Orang-orang berpisah dan kesepian. Rumah tangga berantakan. Laki-laki dan perempuan dewasa yang sama-sama kalah. Atau mungkin matang secara biologis, tetapi masih mentah dalam sikap.

17 cerpen Raymond Carver membicarakan hal itu. “What We Talk About When We Talk About Love” sebagai judul paling kesohor dan banyak menginspirasi pelbagai produk budaya lain, nyatanya menampilkan penggalan dialog yang dingin dan pahit.

“Tapi kalau sesuatu menimpa salah satu dari kami besok, kukira orang yang satunya, pasangannya, akan berduka cita sebentar, tahu, tapi kemudian pihak yang masih hidup akan bangkit dan mencintai lagi, menemukan seseorang lain dalam waktu cukup singkat. Semua ini, semua cinta yang kita omongkan ini, hanya akan jadi kenangan. Mungkin bahkan tidak sampai jadi kenangan.”

Atau memang mestinya begitu? Manusia harus move on, segera melupakan yang indah-indah di masa lalu, karena waktu terus berderap. Jarak antara keindahan dan kematian begitu tipis. Serupa taman dan makam.

Simak ucapan Holly kepada pasangan dalam cerpen “Gazebo”. Dia menolak untuk kembali:

“Ada yang mati dalam diriku. Ia sekarat lumayan lama dan akhirnya mati. Kau telah membunuh sesuatu, menjagalnya dengan kapak. Sekarang semuanya kotoran.”

Apa pasal? Duane, pasangan Holly, bercinta dengan Juanita.

Keretakan bermula pada suatu pagi. Duane memasang ubin di kamar mandi. Juanita, perempuan Meksiko, pembantu yang dipekerjakan Holly masuk untuk bersih-bersih. Mula-mula Duane dipanggil ‘Tuan’, kemudian hanya dipanggil nama. Lalu mereka bercinta.

“Kau melangkahi pernikahan. Kau membunuh kepercayaanku,” ujar Holly.

Duane dan Juanita melakukannya lima kali dalam sepekan. Antara pukul 10 dan 11 siang. Di kamar mana pun yang tengah Juanita bersihkan. Ya, Duane hanya perlu menyusulnya dan menutup pintu.

“Kami melakukannya dengan mesra, tetapi lekas. Tidak masalah,” ucap Duane.

Kini, semuanya telah berakhir.

Kisah serupa hadir dalam cerpen “Oleh-oleh”. Seorang perempuan penjual keliling Stanley Products datang ke sebuah rumah. Diterima si suami dari pelanggannya. Palmer, nama suami si nyonya langganan, menawarkan masuk dan duduk sebentar. Sementara dia hendak membawa uang untuk membayar barang pesanan si nyonya.

Perempuan penjual keliling awalnya menolak. Tapi akhirnya masuk juga. Basa-basi. Omong-omong. Merokok. Pembicaraan pun mulai mengalir. Mereka merasa nyaman.

“Setelah itu semuanya berkabut. Aku ingat menawarinya kopi […] Aku mengantarkan kopi buat dia, dan saat itu dia sudah melepas jaketnya […] Lalu kucium dia. Kusandarkan kepalanya di sofa dan aku menciumnya, dan aku bisa merasakan lidahnya mendesak-desak mau masuk mulutku,” ucap Palmer.

Berapa usia mereka ketika melakukannya? Palmer 55 tahun, anak-anaknya sudah dewasa. Sementara Sally, perempuan penjual keliling itu separuh usia Palmer dan punya dua anak laki-laki. Tapi cinta tak memedulikan usia. Kata Palmer, saat pertama kali berjumpa dengan Sally, “Dia bukan yang tercantik. Tapi ada hal-hal yang menyenangkan pada dirinya.”

Dan begitulah akhirnya. Hubungan Palmer dan istrinya seolah baik-baik saja, tapi di belakang, Palmer kerap bertemu dengan Sally secara rutin. Meski demikian, kepada anaknya yang telah berkeluarga, saat mereka bertemu di bandara, Palmer masih sempat membela diri.

“Demi Tuhan, aku belum pernah mengkhianati ibumu sekali pun selama kami menikah. Tak sekali pun. Padahal ada saat-saat ketika aku ingin dan merasa punya kesempatan. [Tapi] seseorang bisa saja terus mematuhi aturan dan tiba-tiba itu jadi tak berarti lagi,” ujarnya.   

Persis seperti yang ditulis Andrea Hirata dalam Edensor: cinta berpindah, atau mati dan tumbuh, secepat memindahkan saluran tv lewat remote. Atau seturut puisi populer Chairil Anwar: “Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”.

Dalam buku ini, Raymond Carver tak hanya berkisah tentang perselingkuhan dan hubungan yang gagal. Tapi juga kegilaan-kegilaan yang merundung tokoh-tokohnya dalam keseharian.

Lugas dan memikat. (irf)

1 comment:

Yonal Regen said...

Nice review kang. Jadi penasaran sangat dengan buku Raymond Carver ini