“Kita tak pernah memiliki
Rumah yang kita diami semusim
telah dituntut kembali
…
Tak ada yang kita punya
…
Yang kita bisa hanya
membekaskan telapak kaki,
dalam,
sangat dalam,
ke pasir
…
Semuanya luput
Juga waktu”
--Subagio Sastrowardoyo
Cinta tampil dalam wajahnya yang
murung. Orang-orang berpisah dan kesepian. Rumah tangga berantakan. Laki-laki
dan perempuan dewasa yang sama-sama kalah. Atau mungkin matang secara biologis,
tetapi masih mentah dalam sikap.
17 cerpen Raymond Carver membicarakan
hal itu. “What We Talk About When We Talk About Love” sebagai judul paling
kesohor dan banyak menginspirasi pelbagai produk budaya lain, nyatanya
menampilkan penggalan dialog yang dingin dan pahit.
“Tapi kalau sesuatu menimpa salah
satu dari kami besok, kukira orang yang satunya, pasangannya, akan berduka cita
sebentar, tahu, tapi kemudian pihak yang masih hidup akan bangkit dan mencintai
lagi, menemukan seseorang lain dalam waktu cukup singkat. Semua ini, semua
cinta yang kita omongkan ini, hanya akan jadi kenangan. Mungkin bahkan tidak
sampai jadi kenangan.”
Atau memang mestinya begitu? Manusia
harus move on, segera melupakan yang
indah-indah di masa lalu, karena waktu terus berderap. Jarak antara keindahan
dan kematian begitu tipis. Serupa taman dan makam.
Simak ucapan Holly kepada pasangan
dalam cerpen “Gazebo”. Dia menolak untuk kembali:
“Ada yang mati dalam diriku. Ia
sekarat lumayan lama dan akhirnya mati. Kau telah membunuh sesuatu, menjagalnya
dengan kapak. Sekarang semuanya kotoran.”
Apa pasal? Duane, pasangan Holly,
bercinta dengan Juanita.
Keretakan bermula pada suatu pagi.
Duane memasang ubin di kamar mandi. Juanita, perempuan Meksiko, pembantu yang
dipekerjakan Holly masuk untuk bersih-bersih. Mula-mula Duane dipanggil ‘Tuan’,
kemudian hanya dipanggil nama. Lalu mereka bercinta.
“Kau melangkahi pernikahan. Kau membunuh
kepercayaanku,” ujar Holly.
Duane dan Juanita melakukannya lima
kali dalam sepekan. Antara pukul 10 dan 11 siang. Di kamar mana pun yang tengah
Juanita bersihkan. Ya, Duane hanya perlu menyusulnya dan menutup pintu.
“Kami melakukannya dengan mesra,
tetapi lekas. Tidak masalah,” ucap Duane.
Kini, semuanya telah berakhir.
Kisah serupa hadir dalam cerpen “Oleh-oleh”.
Seorang perempuan penjual keliling Stanley Products datang ke sebuah rumah.
Diterima si suami dari pelanggannya. Palmer, nama suami si nyonya langganan,
menawarkan masuk dan duduk sebentar. Sementara dia hendak membawa uang untuk
membayar barang pesanan si nyonya.
Perempuan penjual keliling awalnya
menolak. Tapi akhirnya masuk juga. Basa-basi. Omong-omong. Merokok. Pembicaraan
pun mulai mengalir. Mereka merasa nyaman.
“Setelah itu semuanya berkabut. Aku
ingat menawarinya kopi […] Aku mengantarkan kopi buat dia, dan saat itu dia
sudah melepas jaketnya […] Lalu kucium dia. Kusandarkan kepalanya di sofa dan
aku menciumnya, dan aku bisa merasakan lidahnya mendesak-desak mau masuk
mulutku,” ucap Palmer.
Berapa usia mereka ketika
melakukannya? Palmer 55 tahun, anak-anaknya sudah dewasa. Sementara Sally,
perempuan penjual keliling itu separuh usia Palmer dan punya dua anak
laki-laki. Tapi cinta tak memedulikan usia. Kata Palmer, saat pertama kali
berjumpa dengan Sally, “Dia bukan yang tercantik. Tapi ada hal-hal yang
menyenangkan pada dirinya.”
Dan begitulah akhirnya. Hubungan
Palmer dan istrinya seolah baik-baik saja, tapi di belakang, Palmer kerap bertemu
dengan Sally secara rutin. Meski demikian, kepada anaknya yang telah
berkeluarga, saat mereka bertemu di bandara, Palmer masih sempat membela diri.
“Demi Tuhan, aku belum pernah mengkhianati
ibumu sekali pun selama kami menikah. Tak sekali pun. Padahal ada saat-saat
ketika aku ingin dan merasa punya kesempatan. [Tapi] seseorang bisa saja terus
mematuhi aturan dan tiba-tiba itu jadi tak berarti lagi,” ujarnya.
Persis seperti yang ditulis Andrea
Hirata dalam Edensor: cinta
berpindah, atau mati dan tumbuh, secepat memindahkan saluran tv lewat remote. Atau
seturut puisi populer Chairil Anwar: “Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”.
Dalam buku ini, Raymond Carver tak
hanya berkisah tentang perselingkuhan dan hubungan yang gagal. Tapi juga
kegilaan-kegilaan yang merundung tokoh-tokohnya dalam keseharian.
Lugas dan memikat. (irf)
1 comment:
Nice review kang. Jadi penasaran sangat dengan buku Raymond Carver ini
Post a Comment