
Setelah melewati pintu tol Padalarang Barat, maka jalan tol itu akan bercabang. Yang satu adalah lurus menandakan terus menuju Bandung, dan yang yang satu lagi akan belok ke kiri, ke arah Padalarang lalu akan menuju Cianjur, Sukabumi dan sekitarnya. Tidak jauh dari pintu tol Padalarang (Padalarang saja, tidak pakai barat. Tolong kamu mengerti, karena saya sulit menjelaskannya bagi yang tidak pernah ke sana), maka akan kamu temui gerbang sebuah kota baru yang kelihatannya menyenangkan, dialah itu Kota Baru Parahyangan namanya. Dari gerbang menuju komplek perumahan jaraknya cukup jauh, sehingga akan terasa lelah jika kamu berjalan kaki. Lingkungannya bersih dan bagus, layaknya komplek-komplek kota baru pada umumnya. Di sana manusia punya lingkungannya sendiri yang berbeda dari lingkungan manusia lain. Keamanan mungkin sangat terjamin di sana, berbeda dengan lingkungan manusia lain. Kini semakin banyak saja hunian-hunian macam begitu. Di Bandung, di Jakarta, di mana-mana. Manusia sudah maju rupanya.
Di hunian-hunian macam begitu, manusia punya ruang publik yang nyaman dan menentramkan. Ada taman, mesjid, rumah sakit, gereja, sekolah dan lain sebagainya. Hampir semua ruang publik tersebut terasa bersih dan aman. Ini cukup berbeda dengan kondisi ruang publik sebagian besar manusia yang lain. Padahal fungsinya sama. Sama-sama ruang untuk berinteraksi satu individu dengan individu yang lain. Lihatlah terminal, stasion, taman kota, bandara, alun-alun, toilet umum, halte, bis kota dan lain sebagainya itu, tempat kita bertemu dengan manusia lain itu, hampir semuanya adalah tempat yang menegangkan, tempat yang menuntut kewaspadaan yang tinggi, layaknya seperti labolatorium sosial tempat homo momini lupus saling menerkam. Apakah hal ini terjadi karena hierarki kekayaan? Atau karena hierarki level pendidikan? Atau karena tingkat keimanan? Atau karena memang harus seperti itu?
Sebagian besar dari kita bisa membuang sampah pada tempatnya jika berada di rumah sendiri, di kamar sendiri. Bisa menyemprotkan pilok pada tempatnya jika sedang berada di rumah sendiri. Bisa merasa nyaman jika di rumah sendiri. Bisa membersihkan toilet jika di toilet rumah sendiri. Tapi tidak begitu jika sedang berada di ruang publik. Seolah-olah yang ada di luar itu adalah bukan milik kita. Maka kita pun berlomba pasang pagar tinggi. Berlomba pelihara anjing penjaga rumah. Berlomba mempercantik diri dengan tidak peduli dengan kecantikan umum. Seolah-olah yang berada di luar pagar itu adalah segala hal tentang kejahatan, segala hal tentang pemicu stress, segala hal tentang keruwetan. Ini mungkin bukan masalah kekayaan, bukan masalah level pendidikan, bukan juga masalah keimanan, tapi mungkin masalah mental. Kita mungkin terlalu saling mengandalkan, yang akhirnya bukan solusi yang timbul tapi masalah yang tak kunjung selesai.
Saya jadi teringat pada sebuah cerita zaman dulu. Ini mungkin bisa menggambarkan keadaan kita sekarang :
”Suatu hari raja di negeri antah berantah memerintahkan kepada seluruh rakyatnya, untuk membawa sesendok madu ke atas sebuh bukit, untuk dituangkan di tempayan yang telah disediakan oleh raja tersebut. Madu tersebut harus di bawa pada tengah malam ketika gelap tengah menguasai. Maka ada seorang penduduk yang berpikiran licik ; dia akan mengganti madu tersebut dengan sesendok air, dia berpikiran bahwa sesendok air tidak akan mempengaruhi ribuan sendok madu dari penduduk lain, lagi pula tengah malam, maka tidak akan ada orang yang melihat, begitu pikirnya. Tapi ternyata semua penduduk tersebut berpikiran sama dengan dia, sehingga esok harinya tempayan raja itu penuh dengan air bukan madu”.
Pada beberapa sektor kehidupan, manusia Indonesia telah maju, tapi belum untuk hal yang satu ini. Dan ternyata saya orang Indonesia. [irf]
Uwa,
April ’08
(Diposting tanpa persetujuan siapa-siapa,
karena saya bukan siapa-siapa, kamu siapa? Kenapa ke sini?)
No comments:
Post a Comment