22 January 2009

Hari yang Biasa

Ada satu saat dimana kita merasa tidak berarti. Sangat tidak berarti. Bisa kemarin, sekarang atau besok. Bisa juga dulu atau nanti. Saat dimana kita merasa terpuruk sendirian dalam hari yang biasa. Hari yang jauh dari istimewa. Saat ketika orang-orang menjauh, kabur dari pandangan dan komunikasi. Relasi publik yang selama ini direngkuh hilang teratur dan akhirnya lenyap. Atau mungkin mereka ada, tapi keberadaannya tidak menyisakan apa-apa selain sebuah kehampaan abadi.

Pada waktu suram itu, keluarga menjadi dingin tak ada kehangatan, semua berjalan sendiri-sendiri. Sahabat hilang satu-persatu menuju cita-citanya masing-masing. Percintaan sudah berakhir, lalu dia menjadi mantan, dan apa yang bisa diharapkan dari seorang mantan cinta?. Orang yang diam-diam dikagumi kehilangan karakter, dia menjadi rapuh dan memalukan. Lalu secret admirer kalau ada, mereka pun mundur teratur dan lenyap tak berbekas. Bahkan musuh sebagai relasi publik negatif tiba-tiba hilang entah kemana. Kita jadi seorang asosial. Hidup sendirian dan yang paling penting adalah merasa sendirian dan ditinggalkan. Semua kehilangan rasa.

Lalu kita mencoba melihat media komunikasi, dan ternyata sama saja. Hp, fs, email, blog dan yang lainnya semuanya sunyi, tak ada lalu lintas komunikasi. Semua yang kita senangi menjadi hambar. Ketertarikan, hobi, komunitas, gaya hidup, cita-cita dan semuanya menjadi luntur sebelum akhirnya luruh menyentuh titik nadir yang paling rendah. Buku-buku jadi kehilangan rasa, semuanya hambar dan kaku. Pramoedya tak lagi bisa diandalkan. Tetralogi Buru hanya jadi tumpukan kertas saja. Kemudian musik pun sama, hanya terdengar membosankan. Lagu-lagu jadi sendu dan cengeng. Keadaan seperti sedang berkonspirasi memojokkan ke-aku-an yang selama ini dibanggakan.

Saat seperti itu nampaknya susah untuk dikendalikan dan dicari pengalihannya, karena untuk berkomunikasi dengan Tuhan pun kita selalu gagal dan jauh dari khusuk. Kita benar-benar terasing. [ ]

No comments: