Seperti
layaknya mesin, tubuh manusia juga mempunyai mekanisme tersendiri. Bagaimana
sepiring nasi Padang diolah oleh alat pencernaan sehingga hasil akhirnya
menjadi sewujud sesuatu yang terdampar di septic tank. Atau bagaimana serbuan
berbagai macam perasaan berhasil melelehkan airmata di kedua pasangnya. Lain
lagi dengan darah, dia mengalir teratur di kanal-kanal tubuh yang tak terlihat.
Semuanya bekerja dengan sangat sistematis, dan jatuh sakit adalah tanda bahwa
mereka tidak bekerja dengan sempurna.
Si mesin
tubuh juga perlu perawatan, maka olahraga sering kita lakukan. Tak ketinggalan
berbagai macam multivitamin kita jejalkan. Sepintas tubuh yang sering kita
banggakan itu tidak jauh beda dengan mesin pembuat kecap yang mengolah kedelai
hitam menjadi cairan kental yang hitam juga. Atau dengan mesin pembuat kertas
yang memakan ribuan batang pohon kesayangan para aktivis pecinta lingkungan.
Apakah kecanggihan manusia hanya berhenti sampai di sana? Jawabannya silahkan
temukan pada jiwa-jiwa kalian yang mulia.
Manusia
berhenti menjadi manusia kalau dia tidak punya perasaan, maka sering kita
dengar manusia seperti itu adalah manusia setengah robot. Maka kalau kamu marah
lalu puluhan margasatwa berhamburan dari mulutmu, berarti kamu masih manusia.
Kalau kamu kesal lalu membanting pintu atau memukul meja, berarti kamu masih
manusia.
Agar
perasaan tidak menghasilkan tindakan yang destruktif, maka dia harus
dihaluskan. Kata guru saya waktu MTs, salah satu cara memperhalus perasaan
adalah dengan cara banyak membaca karya sastra. Membaca karya sastra ternyata
tidak semegah yang dikira sebelumnya, karena apa yang dituliskan di sana adalah
refleksi yang ada di sekitar kita, bisa benda dan bisa juga peristiwa.
Tanpa kamu sadari
tiba-tiba saja gunung, pantai, bunga, gelombang, matahari, angin, bintang,
hujan, bulan, rumput, malam, senja, daun, burung, awan dan bahkan pagar halaman
menjadi benda-benda yang sering diperhatikan kalau kamu sedang jatuh cinta.
Semua benda itu tiba-tiba saja menjadi indah dalam wujud metafora.
Membaca
karya sastra tidak melulu tersiksa dengan kata-kata penyair yang susah
dimengerti maknanya, tapi juga tentang bagaimana menyandarkan gelisah hati
ketika kamu tengah patah hati. Dengan variasi kata-kata, sastra seperti ingin
menyadarkan bahwa bagaimanapun keadaannya, kamu tidak pernah benar-benar hidup
sendirian. Selalu ada contoh kisah di sana, tentang dunia manusia yang banyak
ragamnya.
Maka suatu
hari ketika jiwamu sedang diserang sesuatu, tiba-tiba saja kamu menjadi seorang
penyair, kamu menjadi pandai membuat kata-kata indah dan mengalir. Lihat saja
catatan harianmu yang telah lalu, kamu dapat mendeteksinya bahwa catatanmu itu
adalah gambaran cuaca yang sedang terjadi di alam jiwamu.
Menghaluskan
perasaan, mungkin ini juga yang tengah dialami oleh D. Zawawi Imron ketika
beliau menulis sebaris kalimat ini:
"Kalau
aku ikut ujian dan ditanya soal pahlawan, namamu ibu yang akan aku sebut lebih
dulu." [irf]
Ilustrasi
Foto: observenigeria.com
No comments:
Post a Comment