22 January 2009

Tangis di Pagi Hari Bulan Oktober

Banyak sekali orang yang mengagumi dan terinspirasi oleh hujan, dari yang banyak itu salah satunya adalah dia. Dengan bunyinya hujan selalu memberi tahu bahwa pucuk daun jambu kedinginan. Hujan juga selalu mengabarkan tentang air yang jatuh di batu dan rerumputan. Hujan bisa membedakan antara atap rumah dan kubah mesjid. Tapi bunyinya tak terdengar di hati manusia, sebab di tempat itu hujan diendapkan pada bagian yang terdalam dan sunyi.

Adalah dia yang berjalan di pagi yang murung itu. Setelah tadi malam sesuatu yang menyesakkan mengusiknya, dia tidak bisa memejamkan mata. Meski bola lampu telah dipadamkan dan tirai jendela telah dirapatkan, tetap saja kantuk tak kunjung tiba menghampirinya. Ada sesuatu yang menari-nari di benak pikirannya, terlebih lagi di langit jiwanya. Maka lihatlah akhirnya dia hanya bisa berdialog dengan bantal yang perlahan mulai basah, bukan oleh hujan tapi airmatanya, sebab selain jatuh di luar, hujan juga telah diendapkan di titik terdalam perasaannya.

Dan di pagi hari bulan oktober yang gerimis itu, dia melangkah menyusuri setapak jalan dan menembus kabut. Harapannya sederhana : hujan tak berhenti jatuh dan tak ada seorang pun yang menyapanya. Tak sedikit pun lintasan pikiran yang mengajaknya untuk sejenak berteduh atau menyapa anak kecil yang berdiri di ambang pintu dengan berseragam sekolah. Dia hanya terus berjalan menunduk, entah apa yang dilihatnya. Yang jelas bukan tanah yang becek dan bebatuan yang basah. Tatapannya jauh menembus itu semua, sejauh angannya yang melayang-layang pada kejadian tadi malam.

Sesekali kawanan burung kecil berkejaran di udara, gerakannya seperti hendak merobek pemandangan awan yang pucat dan murung. Ada juga semilir angin menggoyangkan pucuk tanaman rambat yang membelit pagar rumah anak kecil berseragam sekolah. Deru mobil lain lagi, lamat-lamat terdengar di kejauhan dan akhirnya menghilang. Semua itu menandakan bahwa masih ada kehidupan dan harapan. Tapi sayang tak mampu menghiburnya.

Dalam setapak jalan yang sepi dia menangis lirih, airmatanya berjejalin dengan air hujan yang menetes di pipi. Hujan selalu pintar menyesuaikan dengan suasana hati. Di pagi hari bulan oktober itu dia menangis pelan sekali. Dia tengah menikmati pesona kesedihannya sendiri. [ ]

(Dedicated to Hermi Kusumawaty & Sapardi Djoko Damono)

No comments: