01 April 2012

Di Bawah Pohon Durian (Oleh: Farid Gaban)


Ibu Siti Maswiyah meninggal dunia dengan tenang. Dan dikuburkan dengan ceria. Usianya 60. Saya tidak pernah mengenalnya, bahkan tak pernah bertemu dengannya semasa hidup. Tapi, saya membayangkan dia wanita yang bahagia. Bahagia di dunia, bahagia pula di akhirat. Dia meninggal dengan cara yang membuat setiap orang Islam iri. Wallahu'alam.

Di Desa Waru, Kecamatan Parung, Bogor, siang itu kami melihat jenazahnya ditanam di kebun belakang rumah tempat puluhan tahun, sejak zaman Jepang, dia membesarkan anak-cucunya. Saya tak melihat kepedihan terlalu mendalam di situ. Anak-anak kecil tanpa alas kaki-cucu-cucu yang ditinggalkannya-berseliweran sementara yang dewasa mengayunkan cangkul, memasukkan tanah ke dalam liang kubur, sambil mengisap rokok dan bercanda.

Tak ada karangan bunga. Tak ada prosesi panjang. Tak ada bunyi tangis sesenggukan. Tak ada wanita-wanita berkerudung hitam dengan kacamata ryben menutupi air mata menetes-netes. Tak ada upacara dengan sambutan-sambutan panjang. Tak ada tembakan salvo....

Tak ada semua hal itu, tata cara dan ornamen yang diciptakan terutama bagi mereka yang masih hidup. Simpel. Sederhana. Dan itulah cara khas orang Betawi menguburkan kerabatnya yang meninggal. Kematian - seperti juga hidup - bukanlah sesuatu yang teramat istimewa.

"Cukuplah kematian menjadi contoh bagi mereka yang hidup," kata ustadz yang memimpin doa di atas pusara. Kematian bukanlah sesuatu yang patut ditakuti dan ditangisi. Dia pasti akan datang."

Saya teringat sepotong bait dalam sajak Pastoral karya penyair Acep Zamzam Noor:

"Maut bukanlah kabut yang mengendap-ngendap
Tapi salju
Yang berloncatan bagai waktu
Dan menyumbat pernapasanmu
Maut bukanlah kata-kata
Tapi doa
Yang memancar bagai cahaya surga
Dan membakarmu tiba-tiba."

Dan kematian Ibu Maswiyah memang bukan kematian yang layak ditangisi. "Ibu meninggal tanpa sakit, malah dalam keadaan tidur," kata salah seorang anaknya, ketika berpidato ringkas di atas pusara.

Pagi hari itu Ibu Maswiyah masih sehat seperti biasa, berjamaah subuh bersama suami dan anak-anak. Sore hari, ketika datang shalat ashar, dia masih membangunkan suaminya untuk berjamaah. Lalu dia sendiri berangkat tidur. Tidur untuk selamanya. Tuhan telah memanggilnya ketika dia dibangunkan untuk shalat Maghrib.

Di kebun belakang rumah itu tubuh yang meninggal kini bersemayam. Di situ, di bawah udara sejuk Parung, setiap pagi embun akan jatuh ke pusara dari dedaunan pohon melinjo dan bulir-bulir buahnya. Pohon pisang seperti selalu ingin menghibur dengan menari-nari ketika angin bertiup. Pucuk-pucuk pohon kelapa yang menjulang setia menunjukkan pemandangan ke langit yang sebiru laut luas. Matahari siang setia menerobos sela-sela daun pohon durian dan rambutan, jatuh di atas pusara yang hangat. Persemayaman yang sempurna, yang membuat iri setiap orang Jakarta-tempat orang hidup berimpitan, mati pun bingung mencari ruang kosong yang damai dari penggusuran.

Tubuh yang mati kini menyatu dengan tanah dan rabuk persemaian pohon palem dan salak di sekelilingnya. Dia belum berhenti memberi kesuburan pada sekelilingnya, seperti ketika dia hidup.

Dari rahim wanita itu tumbuh sembilan anak. Entah berapa liter air susu dan berapa luas kesabaran harus dia berikan untuk membesarkan anak-anak yang belakangan memberinya 34 cucu serta tujuh orang buyut. Tidakkah wanita itu adalah pahlawan atau-meminjam kata-kata sastrawan Madura Zawawi Imron: "bidadari yang berselendang bianglala"

Dunia mungkin merindukan wanita seperti itu, ketika banyak wanita kini menginginkan hanya sedikit anak bukan karena keluarga berencana tapi karena takut hilang keindahan tubuhnya. Dunia juga merindukan orang seperti itu, sementara banyak orang kini ingin hidup serba mudah : ingin gula tapi emoh kalorinya, ingin keju tapi ogah lemaknya, ingin kaya tapi bukan kerja keras dan kesabarannya.

"Tak ada cahaya tanpa kegelapan," kata sastrawan Prancis, Henry Levy. "Jika ada, itu adalah ilusi manusia yang fatal." [fg]

No comments: