05 October 2012

(Apakah) Deadlock?


Berikut berturut-turut saya ambil dari akun twitter yang bernama @SamadAbraham, tanggal 6 Oktober 2012, jam 09.25 wib  :

# Malam ini adalah titik nadir dalam upaya pemberantasan korupsi di negara kita ini.

# Kriminalisasi terhadap KPK sudah dilakukan bukan oleh oknum kepolisian tapi sudah oleh institusi POLRI itu sendiri.

# Tuduhan yang dilayangkan oleh Polri terhadap penyidik kami Sdr Novel Baswedan sungguh sangat mengada ada.

# Kriminalisasi terhadap Novel oleh Polri dilandasi oleh argumen dan logika yang menghina akal sehat publik.

# Posisi Presiden yang membiarkan Polri menyalahgunakan otoritasnya untuk meneror KPK adalah sangat disayangkan.

# Sumpah Presiden yang akan memimpin pemberantasan korupsi dan berada digarda depan dalam upaya tsb adalah omong kosong.

# Saya terus terang sudah geram terhadap perilaku Polri sbg institusi yang melemahkan pemberantasan korupsi dan Presiden yang diam saja.

# Jangan salahkan kami dan publik jika Presiden akan dikenang nantinya sebagai pemimpin yang melindungi koruptor dan cedera janji.

# Diamnya Presiden membuat saya curiga; jangan-jangan dia atau anggota keluarganya disandera oleh Polri terkait suatu kasus.

# Terimakasih tak terhingga kepada teman2 atas dukungannya selama ini. Mohon maaf saya tidak bisa menjawab satu persatu tweet teman2.

# Satu hal yang pasti. Kami tidak akn mundur sejengkal pun berjihad melawan koruptor walau kami diteror oleh polri atas sepengetahuan Presiden. 

***

"Lebih dari semua itu, tulisan-tulisan edisi khusus grunge ini hendak melihat ke belakang untuk membantu menentukan sebenarnya seberapa jauh kita berjalan. Mengapa teman-teman politisi muda kita memilih menjadi anggota partai dan menjadi korup ketika seharusnya mereka menolak mendapat reward apapun dari kerja mereka. Atau kalau itupun terlalu mahal mungkin kita bisa menilai seberapa jauh kita sebagai pribadi mengalami kemunduran. Tragis memang ketika kita hanya bisa mengingat hari-hari heroik itu telah berlalu dan semua menjadi normal kembali." 

Taufiq Rahman mungkin tidak perlu meralat catatannya pada edisi grunge itu, tapi kini nampaknya "sebuah karya" akan kembali lahir. Siapa pun berhak punya interpretasi terhadap kicauan-kicauan akun @SamadAbraham tersebut. Jika akun itu memang benar adalah akun resmi Abraham Samad sang ketua KPK 2011-2015, maka inilah tanda-tanda deadlock yang sangat telanjang. Muara akan kembali klasik, mungkin Mei 1998 akan kembali terulang. Manuver para anggota parlemen sangat memuakkan, mereka ramai-ramai lempar wacana tentang pencabutan undang-undang yang akan melemahkan KPK. Di mana epicentrum korupsi?. Semua lembaga negara berhak menyangkal, tapi argumentasi itu akan patah di meja tipikor.  

Generasi yang lahir di tengah kondisi ketika buku-buku sejarah berada di bawah pengawasan ketat rezim Orde Baru barangkali akan sangat jarang menemukan catatan tentang komunikasi frontal dan privat di antara para negarawan dan para pelaku sejarah kelahiran republik. Rasa-rasanya ketika masih duduk di bangku sekolah, saya tidak pernah menemukan dialog antara Soekarno dan M. Natsir seperti yang ditulis di buku "Natsir, Politik Santun di antara Dua Rezim" terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. Berikut petikan dialognya :        

Soekarno : “Bung Natsir, kita ini dulu berpolemik, ya, tapi sekarang jangan kita buka-buka soal itu lagi.”

Natsir : “Tentu tidak. Dalam menghadapi Belanda, bagaimana pula?. Nanti saja.”


Dialog antara Natsir dan Soekarno di atas adalah awal dari hubungan yang mulai mesra antara kedua tokoh tersebut setelah sebelumnya sempat terlibat polemik tajam di surat kabar. Mereka berseberangan pendapat ihwal kiprah dan akibat yang ditimbulkan oleh Mustafa Kemal Ataturk yang menjadi aktor runtuhnya Turki Ottoman. Seperti yang ditulis tim TEMPO, “Soekarno menganjurkan faham nasionalisme dan mengkritik Islam sebagai ideology seraya memuji ‘sekularisasi’ yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Turki. Sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Turki Ottoman, sambil menunjukkan akibat-akibat negatifnya. Tulisan-tulisan Natsir jernih dan argumentatif.”

Masalalu sejarah kita bisa dilacak dari polemik-polemik yang argumentatif bukan dari hantaman-hantaman tajam seperti hari-hari belakangan ini. Hal ini seperti menggiring prediksi setiap pengikut berita bahwa komunikasi memang sedang menuju jalan buntu. Gambar mesra di atas bisa jadi tak lebih dari poster FTV di sebuah station televisi swasta. Polarisasi dari dulu sudah jelas, bahwa mayoritas simpati masyarakat tidak akan pernah berpihak ke lembaga-lembaga negara yang disinyalir menjadi ecpicentrum korupsi. Maka setiap usaha untuk melemahkan dan menggembosi KPK akan menimbulkan sentimen dan dukungan yang luar biasa besar dari masyarakat. 

Ketersediaan social media dewasa ini memang hampir tak terbendung, setiap orang berhak mengaksesnya, tak terkecuali ketua KPK. Namun tentu saja hal ini akan menjadi polemik, karena efek yang ditimbulkan di era multi interpretasi seperti sekarang bisa jadi dan kapan pun berpotensi menjadi letupan. Bukan melarang ketua KPK untuk berkicau di twitter, tapi mungkin bisa dibayangkan bagaimana besarnya simpati yang mengalir dari setiap orang yang membenci korupsi di negeri ini. Barangkali terlalu jauh, tapi kita belum lupa sepenuhnya dengan Revolusi Melati.

Di atas semuanya, kejujuran adalah jalan menuju tenteram bagi siapa saja yang menyisakan ruang bersih bagi nurani yang jernih. Dan simpati yang mengalir deras itu sesungguhnya adalah narasi besar tentang nurani yang tidak sepenuhnya menjadi jelaga. Meskipun mungkin pada akhirnya letupan itu hanya terjadi di social media, setidaknya sebuah benih "magnum opus" telah kita semai. [ ]     

      

No comments: