Nasib RAM 1GB. Nge-replace bulan dalam worksheet excel saja lamanya bukan main. Memang rumusnya lumayan banyak, tapi menunggu begitu lama dan hanya melihat dialog box yang bertuliskan "find and replace" adalah penderitaan yang tersembunyi dan mampat. Sementara kawan di sebelah begitu lincahnya pindah-pindah menu secepat kedipan mata. Ya, hidup memang mengerikan kadang-kadang. Jadi ini adalah catatan menunggu, menunggu excel menyelesaikan perhitungannya, menunggu dialog box memberi tahu bahwa replace sudah berhasil. Semacam membunuh waktu, atau menunggu buka puasa sambil makan kuaci.
Bekerja dengan deadline seperti doping alami untuk selalu siaga. Tak perlu kopi hitam atau minuman berkafein cap banteng merah. Melihat dengan lekat perjalanan tanggal, seperti menunggu algojo memenggal kepala. Waktu menjelma menjadi guru olahraga yang memegang stopwatch sambil bersiap meniup peluit. Sementara pasukan pendukung mulai kedodoran, hang berkali-kali. Daripada pusing akhirnya saya mulai nge-chant anthem-nya West Ham dengan volume yang diusahakan terdengar sopan. Kawan di sebelah berkomentar, "Hati-hati Bung, aku perhatikan, sejak kau suka West Ham, kelakuan kau kadang-kadang menakutkan. Lagi pula biasa sajalah, kelakuan para Green Street Hooligan itu bukan untuk ditiru". What?!, apa hubungannya ini?!. Saya terawang jejak rekam klub favoritnya, ah barangkali dia fansnya Blackpool. Dulu, seorang kawan pernah bilang, "Bung, kau ini orangnya tak bisa terima kritikan dari oranglain, pandainya hanya mengkritik orang saja!." Dan saya tak menjawabnya, hanya saja tiba-tiba teringat sepenggal lirik lagu Mocca, "Excuse me sir, you don’t even know me, I will never give up what I believe." Dan dia berlalu, tak pernah kembali lagi.
Kawan sebelah berkicau lagi, dan kau tahu apa yang dia katakan? : "Bung, yang kita cari dari perempuan itu minimal dua hal, yang pertama daya tarik seksual dan yang kedua daya tarik intelektual." Damn!. Apa hubungannya perempuan dengan klub sepakbola?!. Saya lihat lekat-lekat wajahnya, tapi tak saya temukan tanda-tanda dia mengidap penyakit gila. Mungkinkah dia salah minum obat?. Sungguh---minimal dari yang dia katakan, setelah saya cerna berulang-ulang, tak ada korelasi sedikit pun antara klub sepakbola dengan daya tarik perempuan. Pikirannya seperti meloncat-loncat dalam labirin gelap.
Sebelum dia berkicau lagi, saya segera pasang headset dan mendengarkan Bosanova Jawa, menghindar dari komentar-komentarnya yang tidak nyambung.Petikan gitar yang tenang mengiringi lirik-lirik bahasa Jawa yang hanya sekira 60 persen dapat saya mengerti.
Belum khatam sepuluh menit, kawan di sebelah mencabut headset dan mulai berkicau lagi. "Tak baik bekerja sambil mendengarkan musik Bung, bikin kau menjadi asosial." Mau apa lagi sih dia?. Khotbah berlanjut. "Bung pernah memperhatikan logo West Ham United?." Tentu saja, jawab saya dalam hati. "Ada tiga gambar salib di sana Bung!. Tiga Buah!. Bukan main. Banyak betul!. Macam bukan orang Islam saja kau ini. Belum lagi gambar palu yang bersilangan, tak jauh beda dengan logo palu-arit partai komunis di seluruh dunia. Mau kau dianggap antek-antek PKI?. Pilih klub sepakbola itu yang logonya bagus dong, macam Blackburn Rovers : bunga mawar merah, sedap betul dipandang. Atau paling tidak macam Derby County, logonya gagah sekali, tak kurang dari domba jantan yang siap menyeruduk dengan tanduknya yang keras. Pilih yang begitu, bukan yang aneh-aneh!."
Saya belum membuka mulut, hanya mengingat-ngingat kata-kata Herper Lee di buku To Kill A Mockingbird. Kurang lebih begini tulisnya : "Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya."
Ya, dulu waktu sekolah di Bandung saya tidak mengerti kenapa orang-orang begitu bersemangat pergi ke stadion Siliwangi, lengkap dengan atribut dan bendera Persib. Atau gaduh di warung kopi waktu pemain Maung Bandung mencetak gol. Kegaduhan dengan desibel yang melebihi suara petasan di acara pengantin sunat. Seorang kawan, sekitar tahun yang saya lupa lagi kapan, rajin betul bangun dini hari, pergi ke air untuk cuci muka dan kemudian nongkrong di depan tv demi menyaksikan pasukan Galatasaray di Piala Champion---sebelum era liga.
Entah kenapa, kadang-kadang, saya suka melamun ketika sedang bekerja. Hanya sebentar, biasanya tak lebih dari 5 menit. Seperti siang itu ketika kawan di sebelah ramai berkicau. Saya membayangkan tentang bagaimana caranya memotong sebuah generasi, terutama generasi sepakbola Indonesia. Kalau saya sedang bosan dan tak ada pilihan hingga akhirnya menyalakan tv, dan di tv ada berita tentang orang-orang pengidap penyakit gila di federasi sepakbola negeri ini, saya selalu ingin tertidur dan bangun ketika mereka semua telah mati. Bukan imperior, tapi alangkah menyenangkannya jika federasi sepakbola di negeri ini bisa mengelola potensi sepakbola Nusantara seperti FA di Inggris. Semalam saya baru menonton (lagi) The Damned United, dan merasa takjub dengan totalitas klub-klub kecil di negeri Ratu Elisabeth itu dalam mengelola dan memperlakukan semua elemen klub.
Menjadi juara, tak lebih dari soal giliran. Ya, nyatanya Nottingham Forest, Glasgow Celtic, Aston Villa, dan Red Star Belgrade pun pernah memegang trofi Piala Champion. Jadi lebih dari itu sebenarnya,---tampar saya untuk klise yang satu ini---bahwa sepak bola pun memerlukan dedikasi. Meski hanya film, The Damned United telah memberikan sebuah referensi sahih tentang bagaimana mencintai dan menghormati sepak bola. Sebagai sebuah klub kecil, Derby County hanya memiliki fasilitas stadion yang kurang baik---barangkali lebih sopan daripada mengatakan buruk dan mengkhawatirkan---, tapi ketika hasil drawing piala FA putaran ke-3 mempertemukan mereka dengan Juara Divisi 1 yaitu Leeds United (Derby sendiri waktu itu berada di zona degradasi Divisi 2), mereka sangat antusias menyambut partai tersebut. Sebuah hiperbola cinema memang, tapi terharu juga melihat sang manajer ikut merapikan rumput lapangan, membersihkan toilet, merapikan tempat ganti pemain, dan membersihkan lantai di sepanjang lorong tempat para pemain menuju lapangan. Ya, demi menyambut tamu kehormatan (Leeds United Sang Juara), para punggawa Derby berusaha mempercantik stadionnya yang kumuh.
Lima menit selesai, dan itulah durasi saya untuk melamun. Dua jam kemudian, kadang-kadang "kesenangan" itu kambuh lagi. Sekarang excel "sudah pulih". Kawan di sebelah sedang tidak berkicau. Saya tengok layar monitornya, rupanya dia sedang jalan-jalan via Google. Pantas saja pertanyaannya terkadang loncat-loncat, tergantung apa yang sedang dia baca. Ya, internet memang sudah merusak kontruksi cara berpikir manusia. Dia telah sukses mengacak-ngacak perangkat kuno normatif yang disebut "fokus". Orang jadi terlalu membuka banyak link, banyak menyerap informasi yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Pahalanya tak lain adalah diganjar oleh pengetahuan yang meriah tapi dangkal. Kalau tak percaya, silahkan baca tulisan ini dari awal, dijamin pasti anda akan setuju bahwa tulisan ini tak jelas ujung-pangkal kontruksinya. [ ]
Bekerja dengan deadline seperti doping alami untuk selalu siaga. Tak perlu kopi hitam atau minuman berkafein cap banteng merah. Melihat dengan lekat perjalanan tanggal, seperti menunggu algojo memenggal kepala. Waktu menjelma menjadi guru olahraga yang memegang stopwatch sambil bersiap meniup peluit. Sementara pasukan pendukung mulai kedodoran, hang berkali-kali. Daripada pusing akhirnya saya mulai nge-chant anthem-nya West Ham dengan volume yang diusahakan terdengar sopan. Kawan di sebelah berkomentar, "Hati-hati Bung, aku perhatikan, sejak kau suka West Ham, kelakuan kau kadang-kadang menakutkan. Lagi pula biasa sajalah, kelakuan para Green Street Hooligan itu bukan untuk ditiru". What?!, apa hubungannya ini?!. Saya terawang jejak rekam klub favoritnya, ah barangkali dia fansnya Blackpool. Dulu, seorang kawan pernah bilang, "Bung, kau ini orangnya tak bisa terima kritikan dari oranglain, pandainya hanya mengkritik orang saja!." Dan saya tak menjawabnya, hanya saja tiba-tiba teringat sepenggal lirik lagu Mocca, "Excuse me sir, you don’t even know me, I will never give up what I believe." Dan dia berlalu, tak pernah kembali lagi.
Kawan sebelah berkicau lagi, dan kau tahu apa yang dia katakan? : "Bung, yang kita cari dari perempuan itu minimal dua hal, yang pertama daya tarik seksual dan yang kedua daya tarik intelektual." Damn!. Apa hubungannya perempuan dengan klub sepakbola?!. Saya lihat lekat-lekat wajahnya, tapi tak saya temukan tanda-tanda dia mengidap penyakit gila. Mungkinkah dia salah minum obat?. Sungguh---minimal dari yang dia katakan, setelah saya cerna berulang-ulang, tak ada korelasi sedikit pun antara klub sepakbola dengan daya tarik perempuan. Pikirannya seperti meloncat-loncat dalam labirin gelap.
Sebelum dia berkicau lagi, saya segera pasang headset dan mendengarkan Bosanova Jawa, menghindar dari komentar-komentarnya yang tidak nyambung.Petikan gitar yang tenang mengiringi lirik-lirik bahasa Jawa yang hanya sekira 60 persen dapat saya mengerti.
Belum khatam sepuluh menit, kawan di sebelah mencabut headset dan mulai berkicau lagi. "Tak baik bekerja sambil mendengarkan musik Bung, bikin kau menjadi asosial." Mau apa lagi sih dia?. Khotbah berlanjut. "Bung pernah memperhatikan logo West Ham United?." Tentu saja, jawab saya dalam hati. "Ada tiga gambar salib di sana Bung!. Tiga Buah!. Bukan main. Banyak betul!. Macam bukan orang Islam saja kau ini. Belum lagi gambar palu yang bersilangan, tak jauh beda dengan logo palu-arit partai komunis di seluruh dunia. Mau kau dianggap antek-antek PKI?. Pilih klub sepakbola itu yang logonya bagus dong, macam Blackburn Rovers : bunga mawar merah, sedap betul dipandang. Atau paling tidak macam Derby County, logonya gagah sekali, tak kurang dari domba jantan yang siap menyeruduk dengan tanduknya yang keras. Pilih yang begitu, bukan yang aneh-aneh!."
Saya belum membuka mulut, hanya mengingat-ngingat kata-kata Herper Lee di buku To Kill A Mockingbird. Kurang lebih begini tulisnya : "Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya."
Ya, dulu waktu sekolah di Bandung saya tidak mengerti kenapa orang-orang begitu bersemangat pergi ke stadion Siliwangi, lengkap dengan atribut dan bendera Persib. Atau gaduh di warung kopi waktu pemain Maung Bandung mencetak gol. Kegaduhan dengan desibel yang melebihi suara petasan di acara pengantin sunat. Seorang kawan, sekitar tahun yang saya lupa lagi kapan, rajin betul bangun dini hari, pergi ke air untuk cuci muka dan kemudian nongkrong di depan tv demi menyaksikan pasukan Galatasaray di Piala Champion---sebelum era liga.
Entah kenapa, kadang-kadang, saya suka melamun ketika sedang bekerja. Hanya sebentar, biasanya tak lebih dari 5 menit. Seperti siang itu ketika kawan di sebelah ramai berkicau. Saya membayangkan tentang bagaimana caranya memotong sebuah generasi, terutama generasi sepakbola Indonesia. Kalau saya sedang bosan dan tak ada pilihan hingga akhirnya menyalakan tv, dan di tv ada berita tentang orang-orang pengidap penyakit gila di federasi sepakbola negeri ini, saya selalu ingin tertidur dan bangun ketika mereka semua telah mati. Bukan imperior, tapi alangkah menyenangkannya jika federasi sepakbola di negeri ini bisa mengelola potensi sepakbola Nusantara seperti FA di Inggris. Semalam saya baru menonton (lagi) The Damned United, dan merasa takjub dengan totalitas klub-klub kecil di negeri Ratu Elisabeth itu dalam mengelola dan memperlakukan semua elemen klub.
Menjadi juara, tak lebih dari soal giliran. Ya, nyatanya Nottingham Forest, Glasgow Celtic, Aston Villa, dan Red Star Belgrade pun pernah memegang trofi Piala Champion. Jadi lebih dari itu sebenarnya,---tampar saya untuk klise yang satu ini---bahwa sepak bola pun memerlukan dedikasi. Meski hanya film, The Damned United telah memberikan sebuah referensi sahih tentang bagaimana mencintai dan menghormati sepak bola. Sebagai sebuah klub kecil, Derby County hanya memiliki fasilitas stadion yang kurang baik---barangkali lebih sopan daripada mengatakan buruk dan mengkhawatirkan---, tapi ketika hasil drawing piala FA putaran ke-3 mempertemukan mereka dengan Juara Divisi 1 yaitu Leeds United (Derby sendiri waktu itu berada di zona degradasi Divisi 2), mereka sangat antusias menyambut partai tersebut. Sebuah hiperbola cinema memang, tapi terharu juga melihat sang manajer ikut merapikan rumput lapangan, membersihkan toilet, merapikan tempat ganti pemain, dan membersihkan lantai di sepanjang lorong tempat para pemain menuju lapangan. Ya, demi menyambut tamu kehormatan (Leeds United Sang Juara), para punggawa Derby berusaha mempercantik stadionnya yang kumuh.
Lima menit selesai, dan itulah durasi saya untuk melamun. Dua jam kemudian, kadang-kadang "kesenangan" itu kambuh lagi. Sekarang excel "sudah pulih". Kawan di sebelah sedang tidak berkicau. Saya tengok layar monitornya, rupanya dia sedang jalan-jalan via Google. Pantas saja pertanyaannya terkadang loncat-loncat, tergantung apa yang sedang dia baca. Ya, internet memang sudah merusak kontruksi cara berpikir manusia. Dia telah sukses mengacak-ngacak perangkat kuno normatif yang disebut "fokus". Orang jadi terlalu membuka banyak link, banyak menyerap informasi yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Pahalanya tak lain adalah diganjar oleh pengetahuan yang meriah tapi dangkal. Kalau tak percaya, silahkan baca tulisan ini dari awal, dijamin pasti anda akan setuju bahwa tulisan ini tak jelas ujung-pangkal kontruksinya. [ ]
No comments:
Post a Comment