31 October 2012

Ora Urus

Saya hanya tertarik dengan sebuah klub yang pernah aktif di kompetisi Galatama yang sekarang telah menjadi almarhum. Maka waktu menginjakkan kaki di sana, saya tanya laki-laki dengan logat aneh itu, "di mana stadion klub Gelora Dewata?." Dan ternyata saya salah, saya tidak sedang di London. Mereka bukan orang-orang yang terinfeksi bola, tapi paket-paket hiperbola yang melambungkan ekspektasi, sebelum akhirnya meluncur ke bawah mencium tanah. Saya coba berjalan sendiri lalu terduduk di pojok bibir pantai itu, menghisap cigarette dan menenggak Greensand, kemudian membasahi baju dengan samudera asin, tapi tetap saja masih belum bisa menawarkan apa-apa. Maka waktu seorang kawan bilang, "jadi sekarang kamu mengerti kan kenapa saya suka pergi ngebolang?," saya jawab, "ah, tidak juga." Dunia seperti di belah dua, dan saya berdiri tegak di satu belahan yang bersebarangan dengan orang-orang kebanyakan. Barangkali ini juga disebut polarisasi, maka saya tidak perlu menyeberang hanya untuk menyamakan frekuensi.  

Pasangan sejenis yang melangsungkan pernikahan itu seperti simbol bahwa batas-batas normatif telah runtuh. Saya sama sekali tidak terkejut, karena di sana orang asing adalah mesin yang menggerakkan roda. Maka waktu petasan raksasa menyentuh ujung sumbu, dan ledakan besar memakan korban, roda ekonomi itu berhenti tiba-tiba. Apa yang diminati di sana, adalah bukan terutama bentang geografisnya, tapi adat dan budaya yang mengendap dalam tulang belakang. Datanglah dan cium aroma laut itu, maka matilah segala yang kau tahu. 

Khotbah dan nasihat tentang firdaus yang terhampar di bumi akan menjadi sia-sia, sebab sesuatu yang dihiperbola tidak akan pernah suka ketika wajah aslinya begitu telanjang. Menenggak rib di sepanjang Legian sambil mencari jersey West Ham ternyata tidak sepernuhnya menjadi pekerjaan sia-sia, setidaknya saya tahu bahwa di negeri ini ada juga yang menjual jersey Everton, meskipun memang masih dalam kepungan tim-tim besar yang sangat rajin berjualan. Jangan tanya tentang impresi, sebab seminggu setelah semuanya berlalu, seorang hawa dari Bandung bilang, "kapan kita ke sana lagi?." Pertanyaan yang menarik saya pikir.  

Dan saya mulai mengingatnya. Skenario tidak membawanya ke sini, untuk duduk di sebelah atau sekedar beriringan dalam jalan yang searah. Tapi dia belum terjangkau. Ya, belum. Hanya sepotong pagi yang membawa wajahnya dalam balutan matahari. 

Dari sesaji itu tercium aroma masalalu ketika Islam mulai masuk ke Jawa. Dalam kilasan-kilasan pengetahuan tanpa bantuan Google dan Wikipedia saya membayangkan orang-orang Majapahit yang tidak mau tunduk kepada arus besar itu eksodus ke arah timur, menyeberang laut dan sampailah di tanah baru penuh harapan tempat mereka menyelamatkan iman. Sekarang bukti-bukti fisik tentang kejayaan Hindu di pulau Jawa mungkin sangat sedikit, tapi coba dengarkan cerita-cerita tentang roh, pemujaan, dan hal-hal lain yang sekarang telah sah dilabeli sebagai klenik, pasti benang merah itu akan samar-samar mulai terlihat. Di titik ini saya diam-diam mulai bersyukur bahwa semakin ke barat jumlah Wali Songo semakin sedikit, ya hanya seorang Sunan Gunung Djati. Formasi 5-3-1 bukan tanpa alasan saya pikir,  karena buktinya sampai sekarang pun suku di wilayah barat adalah yang paling sulit untuk "ditaklukkan". 

Waktu seperti gelembung udara yang terperangkap dalam sebuah kantong plastik, lalu ketika saat itu tiba kantong plastik meledak dan menghamburkan perasaan  yang seringkali mencuat ketika orang-orang mulai berpisah, mulai melajutkan lagi hidupnya masing-masing. Orang-orang timur yang ramah itu kembali lagi ke tanahnya masih dengan logat yang lucu dan menyenangkan. Orang-orang dari ujung barat yang mudah akrab kembali juga ke haribaan "medan berperangnya". Sementara orang-orang dari tanah pertengahan yang terlihat sedikit apatis mulai mengemasi perasaannya, mereka mulai tersadar bahwa waktu baru saja memenggal kepala. Orang-orang yang berasal dari tanah yang tidak jauh dari pusat kekuasaan mulai melamun dan membayangkan tentang saat untuk kembali ke tempat itu. Sementara ketika di sebelah kanan yang terlihat hanya awan, saya mulai mendengarkan John Lennon : "I feel the sorrow, oh i feel dreams, Everything is clear in my heart." [ ]


No comments: