05 April 2013

Terondol


Ini adalah salah satu anak rohani Pramoedya Ananta Toer yang terdapat dalam buku Menggelinding. Tulisan-tulisan Pram dalam buku tersebut sangat jarang ditemui di ruang publik. Jika dibandingkan dengan karya-karya Pram yang lain, yang lebih terkenal---misalnya kuartet Buru, tentu catatan ini kalah pamor. Kumpulan tulisan Pram dalam buku Menggelinding adalah tulisan-tulisan awal Pram dalam perjalanan kepenulisannya. Ini hanyalah sebuah usaha untuk mencatat ulang, dan menghadirkannya kepada kalian :

## Terondol ##

Kapal Manoora berlabuh di Tanjung Priok. Sekali lagi matanya menggerebak : tanah tumpah-darah. Jepang mementangkan sayapnya. Ia warga Angkatan Laut tentara Hindia Belanda. Dengan sendirinya lari porang-panting. Mula-mula ke Selon, Inggris, akhirnya Australia!. Selalu terkenang-kenang di rantau wajah istri dan anaknya. Kini tiba di tanah air. Tak ada orang datang menyambut. Hanya : ambulance. Paru-parunya telah dicicipi TBC.

Tiga bulan ia harus terkurung di gedung palang merah Nica, di gedung bekas “Volksraad”.

Keluar. Besar lagi cita-citanya, sebesar waktu di Australia, waktu ia berjuang menentang penjajahan. Ia telah merasai udara demokrasi di sana.

Di Jakarta?.

Hanya militerisme yang jadi tulang punggung kekuasaan Belanda. Ia ingin kuat, melaksanakan cita-cita dulu. Apa salahnya?. Ia tidak dinas di marine, kini cuma menerima pensiun.

Ia mau membentuk hidup baru, jadi nasionalis, bukan pekerja Belanda yang cuma untuk mendapat upah sekedar bisa mengisi perut. Tetapi, karcis kuning tak boleh lepas. Tak haram, pikirnya.

Sementara itu ia mencari keterangan dan menyurati ke pedalaman. Di mana istri dan anaknya?. Dulu mereka serumah dengannya di Surabaya. Pasti mereka telah kembali pada mertua. Surat balasan pun datang. Perkasa keluarga, membaca tulisannya, katanya. Kemudian kalimat-kalimat yang kering : tetapi, jangan kau salah mengartikan; telah ada yang mengurusi istrimu. Anakmu pun bertambah dua orang sejak kau tinggalkan. Siapa bisa disalahkan?. Kamu telah disangka mati dalam pertempuran laut.

Mula-mula ia merebahkan badan di kursi malas. Mata dikatupkan. Terbayang; cinta remaja mempersatukan mereka pada perkawinan itu. Kini orang yang akan dijelangnya direnggut oranglain. Alangkah banyak barang dibawanya dari Australia, Mekahnya Pasifik itu. Tetapi tak ada orang yang akan menerimanya. Ia pun mengusap dada.

Tidak, ia ingin kuat. Ia mau berusaha, berjuang. Banyak di antara kawan-kawannya lari ke pedalaman masuk jadi warga angkatan perang Republik. Ia tidak berani. Takut bertemu dengan istrinya. Orang yang disangkanya mati, datang kembali. Apa katanya dan suaminya nanti?. Dan keduanya saling cinta-mencintai. Sejak sekolah.

Apa gunanya disesalkan?. Ia mau berjuang. Tetapi kenang-kenangan indah itu takkan hapus. Sial?. Apa sebabnya?. Karena namanya : Oestin, nama mobil?. Barangkali karena ia memakai nama mobil itu. Tetapi bukan kehendaknya. Bapaknya orang gunung. Sekali ia ke kota, naik taksi, Oestin namanya. Karena itu anaknya dinamainya begitu. Menurut cita-citanya supaya senang hidupnya kelak, karena bisa bermobil-mobilan sepanjang hari, jadi supir.

Tetapi, siapa bisa melupakan hari remaja yang lalu. Dan hidup pun terasa  bila nasib menumbuk terantuk-antuk. Kini ia merasa hidup, karena mempunyai penanggungan. Sekali lintas datang juga sikap kebangsaannya: apa gunanya semua itu kalau dibandingkan dengan perjuangan untuk tanahair?. Jalan buntu. Bagaimana?. Berjuang di Jakarta!. Cuma satu jalannya : jadi pegawai Republik. Harapan kebahagiaan rumahtangga kabur. Hatinya diabui, mencapai kebahagiaan bangsa.

Ia mengurak kaki. Melangkah; Kementerian Dalam Negeri. Semua kantor yang ditemuinya. Cuma satu tidak menurut pengetahuannya : Kantor Balai Pustaka. Ia tahu dari kawan-kawan paling rendah gaji di situ. Berjuang pun harus mendapat nafkah yang seimbang!.

Ia menunggu, dan menunggu. Sebulan, dua bulan. Belum ada balasan. Ia mendapat pension uang merah, tetapi pakaian bawaan dari luar negeri tak luput disuruhnya parade ke pasar loak. Apa hendak dikata?. Beras lima perak seliter. Haram, ia tak sudi bekerja pada Nica lagi.

Hubungan darah kembali merusak dalam dadanya. Biar istri hilang, ia mau hidup berjajar dengan anaknya. Surat ditulis, minta kakaknya mengantarkan anaknya ke Jakarta. Tetapi, tulisannya, jangan sampai dikabarkan pada istriku aku sudah ada di Jawa dan masih hidup. Aku tak sanggup melihat perempuan yang kucintai bimbang bersuami dua!. Kakaknya disuruh mencari daya sendiri. Balasannya dingin saja. Ibu tak mengijinkan anaknya pergi turut pamannya. Kekuatan dan kesanggupan masih ada.

Sekali ini ia menangis. Ia merasa sedih. Karena itu ia merasa hidup kembali. Tetapi ia benci pada hidup seperti itu. Ah!. Apalagi kalau ia membuka kopor, tampak setelan piama. Ia mau mengistimewakan keturunannya di antara anak-anak sebayanya. Hambar saja harapannya.

Pakaiannya terus berbaris. Lima peti ia dulu bawa. Walaupun gunung, kalau dipacul setiap hari, datar juga akhirnya. Demikian pula dengan harapan. Kecewa dan kecewa, berbaris; lemah juga ketabahannya.

Tidak, masih ada sedikit ketabahan dalam dadanya. Ia berangkat, menghadap; dari kantor ke kantor, sampai pada kantor Perwabi yang masyhur itu. Satu saja jawabanta : tunggu dulu!. Ia pulang. Tandas cita-citanya. Keluarga dan bangsa sama saja. Perut dan hati berontak. Pemogokan umum menggarang dalam otaknya, pemogokan menuntut keadilan. Keadilan sosial?. Ia tidak tahu.

Seminggu ia tak bangun dari tempat tidur. Revolusi melata dalam dada. Darah pun keluar…TBC datang kembali. Dan ia terondol, habis kesanggupan, habis harta-benda, habis cita-cita, habis segala-galanya, seperti anak ayam tak berbulu kedinginan dalam hujan.

Sebulan kemudian perusahaan ibunya bangkrut, badannya!. Ia diantarkan kembali, berpatok dua. [ ]

Jakarta, 8 Mei 1947
Sadar No.2 Th. II,
16 Mei 1947
  

Yang Cantik dan Yang Sakit


Ini adalah salah satu anak rohani Pramoedya Ananta Toer yang terdapat dalam buku Menggelinding. Tulisan-tulisan Pram dalam buku tersebut sangat jarang ditemui di ruang publik. Jika dibandingkan dengan karya-karya Pram yang lain, yang lebih terkenal---misalnya kuartet Buru, tentu catatan ini kalah pamor. Kumpulan tulisan Pram dalam buku Menggelinding adalah tulisan-tulisan awal Pram dalam perjalanan kepenulisannya. Ini hanyalah sebuah usaha untuk mencatat ulang, dan menghadirkannya kepada kalian :

## Yang Cantik dan Yang Sakit ##

Walau sudah lama aku pikirkan namun hingga kini aku tetap takmengerti. Soalnya ialah : mengapa begitu banyak kesia-siaan dilakuakan para wanitra untuk menjadi cantik!.

Orang bilang, kecantiakn hanyalah rekaan, buatan. Tambah direka dan dibuat kecantikan itu tambah jelaslah hakikatnya.

Sebetulnya tak sampai hatilah aku mngetakan apa hakikatnya, tetapi karena ini termasuk dalam daerah ceritaku kali ini, terpaksa jugalah aku ceritakan. Hakikatnya: membuat para pria yang melihatnya timbul nafsu birahinya, membuat para wanita yang melihatnya disiksa oleh iri hatinya.

Memang kita semua bukanlah hidup di atas dan di dalam dunia hakikat, barangkali kita lebih banyak hidup di dalam dan di atas dunia ke sia-siaan. Pikiran-pikiran semacam ini timbul setelah aku memperhatikan kehidupan sekelamin suami-istri yang begitu damai dan mnyenangkan.

Si suami memuja istrinya yang bisa berjalan begitu menggiurkan bisa berdandan begitu ramping, walaupun telah beberapa orang naknya, bisa berbedak begitu lamat sehingga kulit langsatnya tak kabur karenanya. Sebaliknya sang siang dan malam, baik waktu hujan suami demikian rajin kerjanya---maupun panas---dan barangkali pun dapat memenuhi segala yang didambakan oleh istrinya.

Keduanya hidup rukun dan aman sentosa.

Nyonya mewakili jenis wanita yang sejati dan tuan mewakili jenis suami yang ideal. Nyonya mengurus parasnya dengan amat baik, dan tuan mencari uang dengan giatnya, serta tiap pagi mengantarkan anaknya masuk sekolah.

Karena tuan pegawai menengah dengan gaji yang pasti tidak cukup, di samping pekerjaannya yang tetap ia menyatut. Hasilnya kadang-kadang baik, kadang-kadang ia sendiri yang kena catut.

Tetapi seluruh hasil si suami tak kan cukup buat merawat kecantikan nyonya. Cobalah hitung sendiri berapa buat ongkos rambut yang tiap minggu harus diurus, belum lagi termasuk transport. Kemudian : bedak, rounge, lipstick, sipat alis, cat kuku, subal, kantung dada yang tiada musimnya, kalung rantai, anting, bros, dan sebagainya, dan sebagainya. Perhiasan-perhiasan yang bukan dari emas itu ternyata lebih mahal harganya karena tipa pakaian membutuhkan komposisinya sendiri. Maka tertelan habislah gaji si suami tiap bulan buat kesia-siaan itu. Akhirnya nyonya terpaksa membantu bekerja, sebagai apa aku tidak tahu. Ia berangkat di siang hari dan pulang enam jam kemudian.

Tentu saja akibatnya sudah nyata : anak-anaknya tiada berpendidikan dan terlerai dari kasih sayang orangtua. Sang babu menjadi raja di rumahtangga.

Tetapi penghasilan itu tak juga cukup. Suami-istri yang berbahagia itu tetap tinggal di sebuah pondok di kampung becek. Akhirnya keduanya mendapatkan pengahasilan baru : ambil orang indekos. Dan mereka perolehlah beberapa uang indekos. Kenyataan : separoh belanja makan mereka dibayar oleh orang-orang indekos ini. Orang-orang indekos ini tiada lain daripada anak-anak sekolah yang dititipkan orangtua mereka masing-masing kepada kebijaksanaan suami-istri itu. Karena itu tuan dan nyonya berhak menentukan pimpinan : dalam pergaulan rumahtangga dan dalam makan sehari-hari. Dengan demikian dapatlah belanja sehari-hari dicangkok sedemikian rupa sehingga tak melaupaui garis minimum.

Dan hidup pun berjalan terus seperti kincir angin baik ada angin maupun tiada.

Kemudian…..meniuplah desas-desus pada kuping nyonya : kalau beranak jangan susui si orok, menyusuimembuat perempuan menjadi lebih cepat tua. Dan waktu anaknya yang kesekian lahir, diturutilah desas-desus itu. Akibatnya, tiap hari harus dibeli susu asem cair, dan sekian puluh atau sekian ratus rupiah harus bertanggungjawab atas kecantikan si nyonya. Akibat lainnya ialah : tipa-tiap kali nyonya diserang demam susu dan tergolek setengah mati diranjang. Sehingga pada suatu kali datang seorang kawan yang memberi nasehat :

“kalau nyonya mau hentikan keluarnya air susu itu, pasanglah kantong dada nyonya tinggi-tinggi. Tiga hari kemudian berhentilah aliran air susu itu.”

Ia menuruti nasehat itu, dan lenyaplah demam itu.

Tetapi alangkah terkejutnya waktu dilihatnya di kaca bahwa mukanya menjadi tua dan berkeriput. Dengan diam-diam ia mendoa untuk keselamatan parasnya. Dengan tiada disangka-sangkanya terkabulah doanya. Pada suatu hari datang ibunya dari kampung dia memberinya nasehat :

“Tentu saja kau begitu cepat tua. Orang jangan menyalahi takdir Tuhan. Anak itu mesti kau susui dari dadamu sendiri.”

Dengan takzimnya ia turuti nassehat ibunya dan dengan penuh keyakian pula. Beberapa minggu kemudian wajahnya kembali berseri tetapi tubuhnya tumbuh menjadi langsing mendekati kurus, sekalipun tak kehilangan garis-garis lekuk dan lengkung kewanitaannya.

Harga barang-barang tiba-tiba meningkat. Bencana demi bencana alam menyusul. Daerah demi daerah mengalami kegagalan panen. Bahaya kelaparan menimpa desa demi desa. Gerombolan yang kehilangan daerah makmur berhijrah ke daerah yang masih dapat mereka harapkan untuk memeperoleh sumber bahan mentah. Harga-harag di kota membumbung tinggi, dan tap hari makin membumbung. Tuan kian hari kian menjadi kurus. Kedua belah bahunya nampak seperti ditarik oleh tenaga ajaib ke depan sehingga menjadi semakin bongkok. Antara sebentra ia memeperdengarkan batuknya yang tiada bertenaga. Kegesiatnnya memang tak berkurang, tetapi daya tahannya tambah dirasainya akan berkurangnya, sedang produksi kerjanya makin merosot.

Sementara itu nyonya kian gilang gemilang kecantikannya dalam kekurusan tubuh dan dan wajahnya. Kulitnya berubah menjadi begitu gemilang. Dan tiap pulang ke rumahia Nampak tambah berubah. Barangkali karena di jalanan lebih banyak lagi para pria yang memandangnya dengan birahinya. Nyatalah seri nyonya ini ditimbulkan karena kegembiraan hidup. apa lagi!, begitu banyak mata membirahikannya. Begitu banyak jantung memujanya.

Pada suatu hari yang tak menyenangkan tuan memuntahkan darah kental sebesar-sebesar jari. Dokter dipanggil. Tetapi paru-paru tuan yang telah compang-camping itu tak dapat disembuhkan dalam beberapa hari. Tuan harus diasingkan dari rumahtangganya. Tetap tuan sendiri tak mau :

“Kalau aku mati, biarlah mati dalam rawatan istriku.”

Mula-mula nyonya merawat suaminya dengan rajinnya. Mula-mula!. Tetapi kemudian lebih banyak ia merawat wajahnya. Seminggu tinggal di rumah tanpa pergi bekerja dan menerima berahi dari mata serta pujaan dari hati orang-orang lalulintas membuat hidupnya begitu sepi dan terpencil. Kareana itu ia pun mulai bekerja lagi.

Tuan tak bisa bicara apa-apa. Ia tak pernah punya uang simpanan. Dan ia tak pernah dianggap sebagai tokoh masyarakat yang patut menerima hutang, apa pula dalam keadaan sesakit itu. Kadang-kadang ia ingin melihat anaknya yang terkecil, tetapi ia tidak boleh. Ia tahan hatinya. Ia ingin diurus oleh istrinya sendiri. Tetapi keinginannya ini batal. Dan bersyukurlah ia menerima rawatan dari orang-orang indekosnya.

Dalam senulan tergolek di ranjang itu tak sejam pun istrinya pernah tidur di sampingnya seperti biasa. Dan pada suatu hari di waktu senja istrinya datang, menjenguk ke dalam kamarnya sambil membawakan susu. Ia belum lagi berganti pakaian. Ia lihat wajah istrinya begitu gilang gemilang, begitu mengikat, danmenggairahkan. Tiba-tiba berahinya timbul demikian hebatnya, seperti sebelum ia kawini dia.

“Tidurlah di sampingku,” katanya merajuk.

Nyonya mencinirkan bibirnya.

Tuan merasa terhina. Tetapi ia sakit. Ia tak dapat membela diri.

“Mengapa?,” Tanya tuan.

“kan kau tak ingin aku jatuh sakit juga.”

“Aku tahu hidupku hanya tinggal beberapa minggu atau bulan lagi. Aku tetap hormati dan puja kecantikanmu. Sebelum mati, berilah aku kenikmatan dari kecantikan yang beguru kuhormati dan kupuja itu.”

Sore itu juga nyonya pergi ke tempat tetangganya yang paling tua dan mnegadukan halnya.
Ah,non, aklau orang sedang diamuk nafsu, dia lupa segala-galanya. Sifat lupanya akan lebih kuat dari pikiran-pikirannya. Dalam nafsu yang lupa ini mungkin dia gigit lidah atau bibirmu. Lebih baik kau minta cerai, tetapi rawatlah dia terus sebagai manusia yang pernah mencintai dan mengasihi engkau.

Malam itu juga nyonya masuk kembali ke dlaam kamar tuan :

“Baiklah kujaga dan urus kau sampai baik, tetapi ceraikanlah aku,” katanya.

Tuan menjadi kaku seluruh tubuhnya mendengar penawaran itu. Matanya tak berkedip memandangi langit-langit kelampu. Ia tak bicara apa-apa. Tengah malam ia minta minum. Ia rasai jari-jari istrinya yang lentik dan lembut itu. Ia pegangi nyonya dengan kasihsayangnya.

“Kalau itu yang menajdi kemauan, kukabulkan permintaanmu itu……”

Seminggu itu nyonya mengurus surat cerai sehingga dapat. Dengan gembiranya ia perlihatkan surat itu kepada suaminya yang tergolek payah di ranjang. Ia lihat suaminya tersenyum. Tuan minta dipanggilkan orang-orang indekos dan meminta mereka untuk memperlihatkan anaknya yang terkecil. Ia pandangi anak itu dari suatu jarak. Begitu montok anak itu : tuan tersneyum berbahagia. Kemudian berbisik :

“Engkau akan hidup bahagia nak.”

Akhirnya ia suruh keluarkan si orok. Tiba-tiba. Ia berpaling kepada nyonya dan berkata perlahan :

“Sekarang kau bukan lagi istriku. Jangan kau dekati aku. Aku mau mati sendirian. Aku tak butuhkan kau, kau tak lagi membutuhkan aku. Bawalah segala yang kau kehendaki. Suruh anak-anak indekos mencari pondokan lain. Rumah ini tidak sehat bagi mereka. Bawa anak-anak pergi, juga anak ini tidak naik bagi mereka.

Ia lihat nyonya melelehkan airmata. ”Pergi!,” kata tuan. Nyonya masih juga tak bergerak. “Pergi!,” bentak tuan dengan suara yang lebih lelah.

Dua hari kemudian orang mendapatkan tuan telah meninggal di atas tempat tidurnya. Ia telah atur sendiri kedua belah tangannya yang tersilang di atas dada dan kaki yang telah dirapatkan.

Nyonya serta anak-anaknya datang untuk menangisi kematian tuan. Terlampau banyak air mata dirtumpahkannya sehingga matanya menjadi bengkak. Beberapa hari kemudian ia jual perabot rumahtangga yang ada, dan berangkatlah ia ke udik bersamaanak-anaknya. Orang bilang bahwa beberapa bulan lamanya nyonya hidup menjanda danbersunyi-sunyi di kampung.

Setengah tahun kemudian ia kembali ke kota tanpa anak-anaknya. Kembali ia giat bekerja untuk dapat merawat kecantikan dan mempertahankan kelangsingan resam tubuhnya. [ ]