Ini adalah salah satu anak rohani Pramoedya Ananta Toer yang
terdapat dalam buku Menggelinding. Tulisan-tulisan Pram dalam buku tersebut
sangat jarang ditemui di ruang publik. Jika dibandingkan dengan karya-karya
Pram yang lain, yang lebih terkenal---misalnya kuartet Buru, tentu catatan ini
kalah pamor. Kumpulan tulisan Pram dalam buku Menggelinding adalah
tulisan-tulisan awal Pram dalam perjalanan kepenulisannya. Ini hanyalah sebuah
usaha untuk mencatat ulang, dan menghadirkannya kepada kalian :
## Terondol ##
Kapal Manoora berlabuh di Tanjung Priok. Sekali lagi matanya
menggerebak : tanah tumpah-darah. Jepang mementangkan sayapnya. Ia warga
Angkatan Laut tentara Hindia Belanda. Dengan sendirinya lari porang-panting.
Mula-mula ke Selon, Inggris, akhirnya Australia!. Selalu terkenang-kenang di
rantau wajah istri dan anaknya. Kini tiba di tanah air. Tak ada orang datang
menyambut. Hanya : ambulance. Paru-parunya telah dicicipi TBC.
Tiga bulan ia harus terkurung di gedung palang merah Nica, di
gedung bekas “Volksraad”.
Keluar. Besar lagi cita-citanya, sebesar waktu di Australia,
waktu ia berjuang menentang penjajahan. Ia telah merasai udara demokrasi di
sana.
Di Jakarta?.
Hanya militerisme yang jadi tulang punggung kekuasaan
Belanda. Ia ingin kuat, melaksanakan cita-cita dulu. Apa salahnya?. Ia tidak
dinas di marine, kini cuma menerima pensiun.
Ia mau membentuk hidup baru, jadi nasionalis, bukan pekerja
Belanda yang cuma untuk mendapat upah sekedar bisa mengisi perut. Tetapi,
karcis kuning tak boleh lepas. Tak haram, pikirnya.
Sementara itu ia mencari keterangan dan menyurati ke
pedalaman. Di mana istri dan anaknya?. Dulu mereka serumah dengannya di
Surabaya. Pasti mereka telah kembali pada mertua. Surat balasan pun datang.
Perkasa keluarga, membaca tulisannya, katanya. Kemudian kalimat-kalimat yang
kering : tetapi, jangan kau salah mengartikan; telah ada yang mengurusi
istrimu. Anakmu pun bertambah dua orang sejak kau tinggalkan. Siapa bisa disalahkan?.
Kamu telah disangka mati dalam pertempuran laut.
Mula-mula ia merebahkan badan di kursi malas. Mata
dikatupkan. Terbayang; cinta remaja mempersatukan mereka pada perkawinan itu. Kini
orang yang akan dijelangnya direnggut oranglain. Alangkah banyak barang
dibawanya dari Australia, Mekahnya Pasifik itu. Tetapi tak ada orang yang akan
menerimanya. Ia pun mengusap dada.
Tidak, ia ingin kuat. Ia mau berusaha, berjuang. Banyak di
antara kawan-kawannya lari ke pedalaman masuk jadi warga angkatan perang
Republik. Ia tidak berani. Takut bertemu dengan istrinya. Orang yang
disangkanya mati, datang kembali. Apa katanya dan suaminya nanti?. Dan keduanya
saling cinta-mencintai. Sejak sekolah.
Apa gunanya disesalkan?. Ia mau berjuang. Tetapi
kenang-kenangan indah itu takkan hapus. Sial?. Apa sebabnya?. Karena namanya :
Oestin, nama mobil?. Barangkali karena ia memakai nama mobil itu. Tetapi bukan
kehendaknya. Bapaknya orang gunung. Sekali ia ke kota, naik taksi, Oestin
namanya. Karena itu anaknya dinamainya begitu. Menurut cita-citanya supaya
senang hidupnya kelak, karena bisa bermobil-mobilan sepanjang hari, jadi supir.
Tetapi, siapa bisa melupakan hari remaja yang lalu. Dan hidup
pun terasa bila nasib menumbuk
terantuk-antuk. Kini ia merasa hidup, karena mempunyai penanggungan. Sekali
lintas datang juga sikap kebangsaannya: apa gunanya semua itu kalau
dibandingkan dengan perjuangan untuk tanahair?. Jalan buntu. Bagaimana?.
Berjuang di Jakarta!. Cuma satu jalannya : jadi pegawai Republik. Harapan kebahagiaan
rumahtangga kabur. Hatinya diabui, mencapai kebahagiaan bangsa.
Ia mengurak kaki. Melangkah; Kementerian Dalam Negeri. Semua
kantor yang ditemuinya. Cuma satu tidak menurut pengetahuannya : Kantor Balai
Pustaka. Ia tahu dari kawan-kawan paling rendah gaji di situ. Berjuang pun
harus mendapat nafkah yang seimbang!.
Ia menunggu, dan menunggu. Sebulan, dua bulan. Belum ada
balasan. Ia mendapat pension uang merah, tetapi pakaian bawaan dari luar negeri
tak luput disuruhnya parade ke pasar loak. Apa hendak dikata?. Beras lima perak
seliter. Haram, ia tak sudi bekerja pada Nica lagi.
Hubungan darah kembali merusak dalam dadanya. Biar istri
hilang, ia mau hidup berjajar dengan anaknya. Surat ditulis, minta kakaknya
mengantarkan anaknya ke Jakarta. Tetapi, tulisannya, jangan sampai dikabarkan
pada istriku aku sudah ada di Jawa dan masih hidup. Aku tak sanggup melihat
perempuan yang kucintai bimbang bersuami dua!. Kakaknya disuruh mencari daya
sendiri. Balasannya dingin saja. Ibu tak mengijinkan anaknya pergi turut
pamannya. Kekuatan dan kesanggupan masih ada.
Sekali ini ia menangis. Ia merasa sedih. Karena itu ia merasa
hidup kembali. Tetapi ia benci pada hidup seperti itu. Ah!. Apalagi kalau ia
membuka kopor, tampak setelan piama. Ia mau mengistimewakan keturunannya di antara
anak-anak sebayanya. Hambar saja harapannya.
Pakaiannya terus berbaris. Lima peti ia dulu bawa. Walaupun
gunung, kalau dipacul setiap hari, datar juga akhirnya. Demikian pula dengan
harapan. Kecewa dan kecewa, berbaris; lemah juga ketabahannya.
Tidak, masih ada sedikit ketabahan dalam dadanya. Ia
berangkat, menghadap; dari kantor ke kantor, sampai pada kantor Perwabi yang
masyhur itu. Satu saja jawabanta : tunggu dulu!. Ia pulang. Tandas
cita-citanya. Keluarga dan bangsa sama saja. Perut dan hati berontak. Pemogokan
umum menggarang dalam otaknya, pemogokan menuntut keadilan. Keadilan sosial?.
Ia tidak tahu.
Seminggu ia tak bangun dari tempat tidur. Revolusi melata
dalam dada. Darah pun keluar…TBC datang kembali. Dan ia terondol, habis
kesanggupan, habis harta-benda, habis cita-cita, habis segala-galanya, seperti
anak ayam tak berbulu kedinginan dalam hujan.
Sebulan kemudian perusahaan ibunya bangkrut, badannya!. Ia
diantarkan kembali, berpatok dua. [ ]
Jakarta, 8 Mei 1947
Sadar No.2 Th. II,
16 Mei 1947