“Kau ada nasi tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan.”
Demikian yang diucapkan Pram waktu datang ke rumah Ajip Rosidi di tahun 50-an.
Waktu itu Ajip mengontrak rumah di daerah Kramat Pulo, Jakarta Pusat. Dan pada
suatu siang, waktu dia mengetik di ruang depan, terdengar pintu rumahnya
diketuk. Waktu ia membuka, Pramoedya Ananta Toer muncul di balik pintu. Karena
istri Ajip sedang pulang kampung, maka yang ada hanya nasi dingin tanpa lauk-pauk,
lalu Pram makan nasi tersebut hanya dengan mentega.
Kalau ada kawan, yang saya berani berbicara kepadanya seperti
Pram bertanya soal nasi kepada Ajip, maka orang itu adalah bung Bawal. Entah
kenapa saya selalu tak pernah merasa sungkan untuk meminta tolong dan bantuan
kepada dia, sampai pada soal mengisi isi perut sekali pun. Rasa-rasanya dia
sudah saya anggap seperti saudara kandung sendiri.
***
Apabila waktu telah sempurna menggerogoti usia, dan ingatan
mulai tercerabut dari kenangan masa muda, maka beberapa paragraf yang terbuhul
dalam catatan ini barangkali bisa membantu, mungkin sekadar menepismu dari
mengerutkan dahi atau menggaruk kepala demi mengingat suara yang ada di ujung
ponsel, atau memastikan siapa orang yang berdiri di depanmu itu.
Kita telah selesai membicarakan kecemasan tentang masa depan,
tepat sehari setelah buku Laskar Pelangi
berada di genggaman. Di halaman 455 formula absurd mencuatkan kebenarannya.
“Satu titik dalam relativitas waktu; saat inilah masa depan itu.” Maka apa-apa
yang akan dinarasikan selanjutnya, lebih kepada jejalin cerita yang berarak di belakang.
Waktu ibarat busur yang ditarik dan siap dilepaskan menembus parade milisekon
kejadian yang tidak bisa diulang dalam presisi yang mengagumkan.
Seorang esais di tweetland
pernah menghimpun sejumlah catatan ke dalam buku yang dijadikannya sebagai
cinderamata di hari pernikahannya. Judulnya tak kurang dari : Traffic Blues; Saat Hujan Menderas dan Jalanan Mulai Tergenang. Dalam segugus
keyakinan, saya percaya bahwa tak ada yang lebih puitic melebihi huruf yang
hidup. Saya tak sepenuhnya dibesarkan oleh angka-angka, bahkan saya telah
memproklamasikan diri di penghujung masa sekolah, bahwa eksakta bukan jalan
yang akan saya lalui.
Prolog ini dimaksudkan sebagai apologi, atau mungkin
basa-basi, bahwa saya tidak bisa hadir langsung di hari pernikahanmu; di hari
perjanjian yang kuat itu.
Setelah ini pun saya tetap minta maaf, bahwa paragraph
selanjutnya adalah parade kata tentang jenak-jenak waktu yang telah banyak
mengabarkan peristiwa. Demikian.
Kalau ada rokok di tangan, boleh kita sebatang lagi.
***
Saya bukan sejenis kawan yang pandai menulis surat dengan diksi
yang syahdu penuh penghormatan layaknya Hamka dalam roman Di Bawah Lindungan Ka’bah. Begini beliau menulis :
“Sudah saya terima surat Sahabat yang terkirim bulan yang lalu.
Mula-mula saya sangat bersedih hati, sebab semenjak kita bercerai-cerai di
Jedah, tak pernah saya menerima surat dari engkau lagi. Tetapi setelah surat
itu saya terima dan saya baca, hilanglah kesedihan dan kedukaan hati dan
merawankan pikiran, yang kerap kali benar kejadian dalam kalangan pemuda-pemuda
kita.”
Tidak. Surat semacam itu hanya dihasilkan oleh seorang ulama cum
sastrawan yang kenyang pengalaman di palagannya. Saya hanya datang dalam compang-camping
bahasa, belajar pun baru sehari-dua, tak punya keunggulan di wilayah itu. Tapi
jika saya tak silap, bung tentu masih ingat, siapa yang bermain gitar di lorong
kosan pak Rauf itu? Malam-malam pula.
Dengan wajah memprihatinkan, seorang pemuda berani-beraninya
memainkan beberapa lagu dalam takaran fals yang menjengkelkan, ah tentu saja :
itulah bung sendiri!.
Ciwaruga tidak pernah sama lagi setelah itu. Sebab ada yang
menghabiskan kacang dalam kondisi sakit gigi menahun, atau kasur busa yang
dibuang setelah ada yang muntah dan tumbang di atasnya. Ikan asin memang
menyebalkan, dibuatnya seisi perut keluar lagi dengan syahdu, lalu tertawa
kekuda-kudaan. Sementara seorang kawan yang kelebihan berat badan doyan sekali
nitip membeli makan, dan tak lupa ada seorang pemuda gondrong tanggung yang
keranjingan mendengarkan lagu Utopia;
Sampai Habis Waktu.
Mula-mula, layaknya layangan yang diproyeksikan angin, kau
sewujud anak muda yang gemar menaklukkan puncak-puncak gunung. Tak kurang dari
Semeru, Slamet, Sindoro, Sumbing, sampai Rinjani pernah kau daki. Jangan tanya
saya ihwal Manglayang, bukankah puncak tak terlalu tinggi itu sudah menjadi
rumah kedua bagi kawan-kawan bersyal merah? Ah, maafkan saya yang terlampau
payah waktu kita bertiga dengan seorang kawan kosan Sarijadi mencoba menyapa
Manglayang.
Dalam kondisi kaki yang sakit, saya bahkan tak sempat ingat
sesobek puisi Idhan Lubis yang terkenal itu. Selera melankolik menguap entah ke
mana. Padahal dengan posisi saya yang baru saja terjungkal dari medan laga
pekerjaan, dan kau masih berjuang dengan beban akademik yang menekan,
barangkali cocok juga kalau mengutip puisi itu. Tak lebih begini bunyinya :
Turuti kelok-kelok jalan
Atau tinggalkan kota penuh merah flamboyan
Kini puncak-puncak yang pernah kau taklukkan tengah merindukan
anak kandungnya sendiri: seorang pecinta alam yang tak pernah mendandani diri
dengan basa-basi. Perjalanan adalah obat mujarab bagi jiwa yang sibuk meladeni
rutinitas. Ayahmu bilang, “pergilah jalan-jalan, lepaskan kejenuhanmu itu.” [irf]
2 comments:
kalau ada sumur diladang bolehlah kita menumpang mandi, kalau ada rokok ditangan bolehlah kita bakar sebatang lagi....
pada akhirnya menjadi warga negara dengan KTP "like earth" adalah perjalan panjang yang tidak terduga sebelumnya. nanti...jika kamu bersilaturahmi ke gubuk kami, maka akan kau dapati samar-samar puncak gede pangrango ketika segelas "liong bulan" yang masih berasap ditemani bala-bala.
[RBB]
aih liong bulan dan bala-bala, sesajen yg mantap!
kalau saja tidak ada koran berbahasa sunda yg terbit seminggu sekali, yg di sana saya kerap menulis, mungkin sudah jauh-jauh hari saya meninggalkan bandung. syukurlah, meskipun tidak besar, tapi tulisan2 yg dimuat cukup membantu melanjutkan perjalanan di bandung.
dan ihwal sukabumi, suatu saat saya akan merapat ke sukaraja!
Post a Comment