“Barangkali lebih baik orang ini memiliki kerja routine yang
tiap hari diulang-ulanginya daripada menjadi pengarang yang mana tiap suap nasi
yang dimakannya adalah ketengan daripada keutuhan jiwanya sendiri,” tulis si
pengarang.
Anaknya yang montok tiba-tiba jatuh sakit. Sementara
kepalanya kosong dari pokok karangan. Ya, karangan. Sesuatu yang dapat ia tukar
dengan uang yang tak seberapa. Itu pun kalau para redaktur mau menerima
karangannya. Dan apabila para redaktur berminat dengan apa yang ia tulis, uang
honorarium yang diterimanya akan habis pula di tangan dokter sebagai ongkos
memeriksa anaknya, dan sebagian lagi untuk menebus sejumlah obat.
Ia ingin memberikan yang terbaik kepada para calon
pembacanya, namun kepalanya masih melompong. Jari-jarinya macet. Tak dapat
menuliskan pokok karangan.
Sejenak ia tinggalkan meja kerjanya, lalu pergi ke kamar
menciumi anaknya yang montok namun tergolek lemah. Ia kemudian pergi keluar dan
bertemu dengan seorang kawannya sambil menghisap kretek. Dari pertemuan itu
tiba-tiba terbit satu ide pokok karangan, jiwanya menjompak, gembung dengan
optimisme, ia lalu segera pulang.
Ketika akan kembali duduk di depan meja kerjanya, beberapa
kawannya telah menyambut ia di rumah: hendak pinjam buku dan pinjam uang—sesuatu
yang kini amat dibutuhkannya. Lalu obrolan-obralan mengalir disertai kepulan
asap kretek. Saat kawan-kawannya pulang, si pengarang telah kehilangan
semangat, pokok karangan yang semula ia dapat di jalan tiba-tiba menguap.
“Jahanam! Jahanam!” teriaknya dalam hati, mengutuki
kehilangan semangat dan pokok karangan.
Istrinya datang membawa nasi dan sayur kangkung. Si pengarang
mengharapkan sayur kacang tanah atau sate kambing yang membakar, yang mampu memberi
daya pada tenaga jiwanya. Harapan itu lalu menghilang ketika istrinya mengajak
ia makan.
“Kau harus punya kesabaran,” ujar istrinya.
“Aku hanya ditentukan oleh ledakan-ledakan sesaat yang
terjadi dalam jiwaku. Aku bukan pengarang intelektuil. Aku hidup untuk menghidupi,
dan menghidupi untuk hidup—bukan pesolek kecerdasan! Seorang pesolek cukup
waktu untuk bersabar. Dan pesolek? Pesolek adalah binatang yang paling buas
yang tiada kenyang-kenyangnya akan mangsa. Aku tak membutuhkan mangsa,” jawab si
pengarang dalam hati.
Suara batuk anaknya terdengar lagi. Sementara seorang tamu
datang pula ke rumahnya. Setelah terlibat beberapa percakapan, tamu itu
akhirnya pulang. Kali ini si pengarang tak bisa lagi menyerah, ia paksakan
untuk menulis. Dan akhirnya sebuah karangan jadi juga. Sebelum ia pergi menjual
karangannya, ia ciumi anaknya yang tergolek sakit.
“Karangan ini tidak begitu baik, saudara. Tapi asal saudara
tak meninggalkan intelegensi saudara, itu sudah cukup. Akhirnya tiap orang
mesti hidup,” kata seorang redaktur yang menerima karangannya dengan tulus.
Uang hasil penjualan karangannya kemudian beralih ke kantong
dokter dan seorang kasir apotek. Mereka—si pengarang, istri dan anaknya
kemudian pulang tanpa uang sisa di kantongnya.
“Bagaimana uang belanja besok?” tanya istrinya.
Kisah tersebut ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya
ditulis Pram) dalam buku Menggelinding 1
dengan judul Jalan yang Amat Panjang.
Buku setebal 548 halaman itu menghimpun tulisan-tulisan awal Pram dalam riwayat
kepengarangannya yang panjang selama rentang 1947-1956.
“Dalam tulisan awal Pram ini kita akan menemukan pribadi yang
polos, apa adanya dan belum terbebani oleh pesan-pesan ideologi tertentu,”
demikian cuplikan narasi yang terdapat di sampul belakang buku ini.
Dari 58 tulisan yang dihimpun, Pram beberapa kali menulis
tentang pahit getir seorang pengarang dalam menghidupi hayatnya.
Selain kisah di atas, dalam tulisannya yang lain, Sunyisenyap di Siang Hidup, Pram
mewedarkan kisah tentang seorang pengarang yang telah menduda. Ia hidup dalam
petak kamar kontrakan yang semenjana. Jalan menuju tempat tinggalnya berlumpur,
dan air untuk sekadar mencuci muka selamanya keruh.
Si pengarang kerap kangen kepada anak-anaknya yang terpaksa
berpisah karena ia dan istrinya bercerai. Kini ia hidup sendirian, meski
kadang-kadang kekasihnya datang menjenguk. Tekanan darahnya tinggi, perut dan
ginjalnya rusak dimakan malaria.
“Ia ingin menciumi anak-anaknya. Ia ingin masuk ke dalam
toko, membelikan mainan dan bahan pakaian untuk mereka, dan juga untuk ibunya,
tokoh congkak yang menghadapi kecongkakannya. Ia gagapi sakunya. Dan saku itu
kosong. Ia ingat pada honorarium yang kemarin diterimanya, dan yang sekarang
telah lenyap lagi ke tangan orang-orang lain yang tak dikenalnya. Barangkali
besok ada honorarium lagi, doanya,” tulis Pram.
Dalam ruang kosong sepi, si pengarang menghimpun segala
pengalaman dan pengamatan hidupnya, namun isi kepalanya tak kunjung penuh. Ia
merenung-renung. Menulis jelas bukan perkara gampang. Kalau suatu ketika ide
menyambar-nyambar, ia segera menulis, tapi gangguan tak pernah sepi.
“Ia mengambil mesin tulis dari atas lemari, mulai mengetik, mencurahkan
perasaannya. Kata demi kata, kalimat demi kalimat. Pada pertengahan kalimat
yang kelima, bayi dari petak sebelah rumah menjerit. Jari-jarinya berhenti
menari,” tulis Pram.
Hari ini banyak media daring yang mengundang para kontributor
untuk mengirimkan tulisan. Beberapa menyediakan kompensasi berupa uang dan
buku. Sebagian lagi hanya uang, dan ada juga yang hanya menyediakan buku. Ketika
membuat media tersebut, para pemiliknya mungkin hanya ingin bersenang-senang
dengan cara bertegur sapa dan berbagi semampunya. Para penulis yang mengirimkan
karyanya pun barangkali berpikiran sama, sekadar mengisi waktu luang.
Kompensasi hanya bonus yang diterima dengan kegembiraan yang wajar saja.
Tapi, apakah hari ini tidak ada penulis yang mengerahkan
segala upayanya demi mendapatkan beberapa rupiah untuk pengobatan anaknya? Atau
untuk menambal hidupnya hari demi hari? Tidak adakah yang segetir itu?
Ketika bertamu ke kontrakan seorang kawan, saya mendapatinya
tengah duduk termangu di depan laptop. Layar Ms. Word-nya masih kosong. Sonder
kopi, sonder asap kretek.
“Bung, punya rokok?” Tanyanya waktu saya menghampiri.
“Honor belum masuk, padahal tulisanku sudah dimuat cukup
lama. Sudah lewat dua hari dari jadwal pengiriman honor,” sambungnya.
Ia hanya mengenakan kaos singlet. Udara panas menampar-nampar
kamarnya yang sempit. Beberapa buku bergeletakan di dekatnya. Saya tak
mengajaknya bercakap. Seperti banyak dialami penulis kere dengan kemampuan
alakadarnya, menulis tak boleh diganggu, persis seperti yang dialami si
pengarang pertama yang anaknya tengah sakit.
Dari dekat jendela saya nikmat mengepul-ngepulkan asap. Sementara
ia masih gelisah. Kadang tangannya memijat kepala, atau diketuk-ketukkan ke
atas meja. Sejak menganggur tiga tahun lalu, kawan saya ini menggantungkan
hidupnya dari menulis. Media besar dengan honor menggiurkan, meski tak kerap, beberapa
kali berhasil ditembusnya. Sisanya media kecil, honor kecil, namun membantunya
menyambung hidup.
“Bung, rokokmu masih ada, toh?”
Saya mengulurkan setengah bungkus sambil balik bertanya,
“Siapa memang yang belum kasih honor, Bung?”
Dia tak menjawab. Kembali berkonsentrasi dengan tulisannya
yang belum rampung. Asap mulai mengepul lagi. Jam sudah menunjukkan pukul 14.24,
matahari sudah lama tergelincir ke barat.
“Bung, masih pegang duit? Aing belum makan dari pagi,”
ujarnya.
Sambil memberinya selembar rupiah berwarna hijau, entah
kenapa saya teringat lagi kata-kata Pram dalam Bumi Manusia, “Seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran
apalagi dalam perbuatan.”
Ia lalu keluar menuju warteg terdekat. Tangannya terlihat
sedikit gemetar. Jika hajat menunaikan kewajiban terhadap badannya telah usai,
ia akan kembali ke depan laptopnya. Kembali mengeteng jiwanya yang tertuang
dalam tulisan-tulisan. [irf]