26 February 2020

Jalan Braga di Antara Dulu dan Kini


Jalan Braga merupakan jalan paling ikonik di Kota Bandung.

Braga, ruas jalan paling ikonik di Kota Bandung ini punya ikatan kuat dengan kopi. Bisa dibilang, Braga lahir karena kopi.

Semua bermula dari Andries de Wilde, seorang juragan perkebunan yang mempunyai gudang kopi di daerah yang sekarang menjadi kompleks Balai Kota Bandung. Untuk menghubungkan gudang kopi dengan De Grote Postweg atau Jalan Raya Pos sebagai jalur utama di Pulau Jawa, sebuah jalan setapak dipakai. Biasanya, para pelintas maupun pedagang yang lewat sini menaiki pedati. Sebelum bernama Jalan Braga, orang-orang menyebutnya sebagai Jalan Pedati atau Karrenweg.

Pedati hanya menjadi masa lalu. Petang itu, Sabtu (12/1/2019), kendaraan bermotor berkuasa di atas jalan yang dilapisi batuan andesit ini. Gas buangnya mengambang di udara, hinggap mana suka, juga terhisap orang-orang yang tengah mengantri di depan sebuah kedai kopi.

Toko Kopi Djawa nama kedai kopi itu. Sebelumnya bernama Toko Buku Djawa, tapi di mula 2015, riwayat toko buku berusia puluhan tahun itu berakhir. Mengikuti jejak toko buku lain di Jalan Braga yang lebih dulu pamitan. Kini, di ruas jalan sepanjang kira-kira 600 meter itu, toko buku yang tersisa hanya Nusa Cendana.

“Musuh terbesar kami adalah pembajakan,” ujar Sigit, pemilik toko buku tersebut.

Jualan utama Nusa Cendana adalah buku-buku kedokteran dan bahasa Jerman. Surat kabar, tabloid, dan majalah, yang sebelumnya selalu dipajang menggantung di balik kaca besar yang menghadap jalan, kini tak ada. Pergeseran pembaca dari cetak ke daring menjadi alasannya.

Menurut Sigit, Nusa Cendana masih mampu bertahan karena kerap menjual buku-bukunya dalam jumlah besar ke sejumlah lembaga pendidikan dan perpustakaan di beberapa kota di Jawa Barat.

“Meski tak seramai dulu, tapi masih lumayan,” imbuhnya.

Penjualan langsung di toko, terang Sigit, tak banyak. Ia sadar, kini Jalan Braga beranjak menjadi kawasan yang dikuasai oleh niaga kuliner. Restoran, toko roti, kedai kopi, mini market, kafe, dan beer house, lebih ramai dikunjungi pembeli ketimbang toko busana, cenderamata, juga toko buku.

Tempo dulu, salah satu tengara ruas jalan ini adalah toko buku van Dorp, letaknya tak jauh dari lintasan jalan kereta api yang memotong Jalan Braga. Warsa 1940, van Dorp sempat menjual buku bertajuk Indische Tuinbloemen.

Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha mencatat dalam Braga Jantung Parijs van Java (2008), Indische Tuinbloemen merupakan buku botani seri album lukisan bunga yang ditulis oleh botanikus Kebun Raya Bogor, M.L.A. Bruggeman. Sementara lukisan-lukisan bunga di dalamnya dikerjakan oleh Ojong Soerjadi.

Indische Tuinbloemen memuat 107 kolom kosong yang bisa dilengkapi dengan kartu lukisan bunga. Setiap membeli satu kartu, maka pembeli berhak mendapat bibit bunga sesuai dengan gambar di kartu yang ia beli.

“Barang siapa yang hendak melengkapi koleksi lukisan bunga album tersebut, tentunya harus siap pula menjadi seorang penama bunga […] Dengan begitu, van Dorp secara tidak langsung telah menggiring warga Bandung untuk keranjingan menanam bunga,” tulisnya.

Setelah Belanda hengkang dari tanah air, van Dop gulung tikar. Dari tahun ke tahun, gedung yang dulu mereka tempati berganti-ganti fungsi, dari tempat hiburan malam sampai toko alat tulis kantor. Kini, gedung tersebut sering dijadikan tempat pameran buku. Sehari-hari nampak tak ada kegiatan.

Di belakang Jalan Braga, ada Kampung Affandie. Kampung ini berada di pinggiran sungai Ci Kapundung. Tak beda dengan perkampungan lain di perkotaan, Kampung Affandie terdiri dari gang-gang kecil tempat para bocah bermain. Sejumlah gerobak penjual makanan nampak terparkir manasuka.

Pagi, siang, sore, warga kampung tersebut sering tengah duduk di beranda rumah mereka yang sempit sambil ngobrol dan mencari kutu. Orang-orang yang lewat mengucapkan “punten (permisi)” sebagai adab.

Dari Jalan Braga, kampung ini jelas tak terlihat, sebab letaknya di bawah dan tertutup jajaran pertokoan dan hotel. Baru-baru tersiar kabar, sejumlah rumah di Kampung Affandie dirobohkan untuk pembangunan hotel.

“Iya, sebagian udah hancur. Katanya sih buat hotel. Mereka (pengembang) juga mau nutup Gang Affandie, tapi ditolak warga,” ujar penjual rokok bernama Ugi.

Menurut Hendrik F. Wieland dalam Braga: Revitalisation in an Urban Development (1997) seperti dikutip Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha, pada awal pembangunan Jalan Braga medio 1826, sudah ada kampung bernama Babakan Soeniaradja.

Ugi mengontrak kamar bersama empat orang kawannya sesama penjual rokok dan kopi keliling. Harga sewa kamar per bulan 500 ribu, jadi mereka masing-masing membayar 100 ribu.

Menurut Ugi, penghasilannya per hari rata-rata 50 ribu, belum dipotong makan dan rokok. Sebulan sekali pulang ke Singajaya, membawa uang sekitar satu juta. Anaknya dua, tinggal bersama istrinya di kampung halaman.

“Harus hemat, kalo gak gitu sedikit sekali yang bisa dibawa pulang,” imbuhnya.

Tukang parkir, pegawai toko, pegawai kebersihan kota, dan penjual lukisan, adalah sejumlah orang yang kerap membeli dagangannya. Jika melintas di Jalan Braga, penjual seperti Ugi akan tampak tengah jongkok di trototar menunggu para pembeli.

“Kopi hiji (satu), kang,” ujar saya saat pertama kali membuka percakapan dengannya yang tengah jongkok dekat lapak penjual lukisan.

Hampir sebelas belas tahun Ahmad, 62 tahun, berjualan lukisan di trotoar jalan Braga. Ia sebelumnya berkeliling dari satu hotel ke hotel yang lain di seantero Bandung. Lukisan yang ia jual berasal dari Jelekong, sebuah desa di Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Seperti Ugi, ia juga tinggal di Kampung Affandie. Namun, bukan sebagai pendatang dari luar kota.

Satu lukisan kecil ia tawarkan 75 ribu rupiah, dan 150 ribu jika ditambah bingkai. Itu hanya penawaran awal. Kesepakan dengan para pembeli tentu di bawah harga tersebut. Sehari paling banyak ia menjual empat lukisan.

Ahmad tak sendirian. Sepanjang Jalan Braga, penjual lukisan para seniman Jelekong cukup banyak, termasuk yang berjualan di dalam toko. Lukisan-lukisan yang dipajang di dinding-dinding toko yang tutup, yang umumnya lukisan pemandangan perdesaan, buah-buahan, binatang, dan Braga tempo dulu, sering dijadikan latar belakang para penjerat foto diri.

Tina, Erna, dan Arini, baru selesai berburu foto. Tiga perempuan muda ini tengah duduk di depan sebuah mini market sambil menikmati ragam camilan. Ketiganya telah menyelesaikan kuliah dan bekerja di tempat berbeda-beda.

Mereka mulanya akan berburu foto di daerah Bandung utara. Hendak menjerat rutinitas alam dari Gunung Putri, Lembang: matahari terbit. Namun, karena bangunnya kesiangan, akhirnya mereka menuju Braga.

Selain gemar mengambil gambar bertema cerita persona, mereka juga menyukai bangunan-bangunan tua yang melimpah di sepanjang Jalan Braga.

“[Bangunan tua] harus dijaga ya, karena kan bersejarah,” ujar Erna.

Kawasan Jalan Braga memang dipenuhi bangunan tua, salah satunya Gedung Merdeka yang dulu bernama Societeit Corcordia. Gedung ini adalah tempat berkumpul para juragan perkebunan dan orang orang-orang Eropa elite lainnya untuk bersosialisasi dan berpesta.

Gedung ini dilengkapi sebuah bioskop yang terpisah dari bangunan utama yang bernama Corcordia Bioscoop. Bangunannya menyerupai kaleng biskuit. Kini, gedung bioskop tersebut bernama De Majestic.

Selain itu, ada juga bangunan Rathkamp, Au Bon Marche, DENIS, Sumber Hidangan, Blok het Snoephuis, Gerzon’s Modemagazijnen, Hellerman, De Concurrent, Gedung Gas, Maison Bogerijen (Braga Permai), Toko Es Krim Baltic dan lain-lain.

“Tepat di pojok melingkar simpang Jalan Braga dan Jalan Naripan berdiri sebuah bangunan yang digunakan oleh Maison Vogelpol. Kemudian sempat ditempati Toko Chotimall & Co. Bangunan ini lebih terkenal saat digunakan sebagai Restoran Es Krim Baltic,” tulis Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha dalam Braga Jantung Parijs van Java (2008).

Di pinggir trotoar depan Toko Es Krim Baltic itulah, malam itu, saya berbincang dengan Budiman, 40 tahun, seorang penarik becak. Ia berasal dari Majalaya, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung. Becak yang ia pakai bukan miliknya, melainkan kepunyaan seorang bos yang tinggal di daerah Tegallega. Setiap hari ia wajib setor 10 ribu. Sedari pagi, ia berangkat dari Tegallega menuju Pasar Baru. Menjelang sore, saat aktivitas pasar mulai sepi, ia mangkal di Jalan Braga. Begitu setiap hari.

Istri dan ketiga anaknya tinggal di Majalaya. Anak yang paling besar telah duduk di bangku SMA, anak kedua SMP, dan yang bungsu baru SD. Istrinya buka warung kecil-kecilan, sekadar berjualan makanan yang biasa dibeli anak-anak.

Pendapatan Budiman per hari sekitar 50 ribu. Hari itu, pukul 19.30, ia baru memperoleh penghasilan 35 ribu. Rencananya malam itu mau mangkal sampai pukul 23.00.

“Sering juga sih mangkal sampai pagi,” ujarnya.

Seminggu dua kali Budiman pulang ke Majalaya. Selama bekerja, ia tidur di bedeng milik bosnya, atau jika mangkal sampai pagi ia bisa terlelap di becaknya. Budiman mengaku, meski bekerja begitu keras mendera fisik, tapi kesehatannya relatif terjaga.

“Penyakit tukang becak mah cuma dua, masuk angin dan perut perih karena kebanyakan diganjal kopi,” katanya.

“Gak makan, kang?”

“Makan, tapi telat, sayang duitnya,” pungkas Budiman.

Pukul 20.00 lewat saya pamit. Hujan mulai mengguyur Braga. Budiman beringsut masuk ke becaknya. (irf)



Tayang pertama kali di Tirto.id pada 16 Januari 2019

Foto: Beritagar

25 February 2020

MRT Ratangga dan Sejarah Obsesi Pejabat terhadap Dunia Wayang



Sejak zaman Orde Baru, pemerintah sering menamai benda-benda publik berteknologi tinggi dengan nama dari dunia wayang, termasuk kini pada MRT Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan nama rangkaian kereta MRT atau Mass Rapid Transit alias Moda Raya Terpadu pada Senin (10/12/2018) di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Nama yang diambil untuk rangkaian kereta tersebut adalah Ratangga.

“Namaku diambil dari puisi di kitab Arjuna Wijaya dan Kitab Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular. Dalam bahasa Jawa Kuno, Ratangga artinya kereta perang. Kereta perang identik dengan kekuatan dan pejuang. Dalam menjalankan tugasku, aku akan selalu tangguh dan kuat mengangkut para pejuang Jakarta yang sedang berikhtiar untuk kehidupan yang lebih baik”, demikian keterangan yang tertulis pada spanduk berdiri yang dipampangkan dalam acara itu.

Dalam Kamus Indonesia Jawa (2015) yang disusun Sutrisno Sastro Utomo, Ratangga diartikan sebagai berikut: “Roda: cakra, catra, glindhingan, jantra, ratangga, rodha (tentang kereta, sepeda, motor, mobil), sengkalang (lingkar roda)”

Jika nama rangkaian keretanya Ratangga, maka nama bor yang bergerak horizontal untuk membuat jalan MRT adalah Antareja. Nama itu diberikan Presiden Jokowi tiga tahun lalu saat meresmikan pengeboran pertama jalur bawah tanah itu pada Senin (21/9/2015).

“Yang jago ambles bumi ya Antareja itu,” kata 
Jokowi saat menjawab pertanyaan wartawan, seperti dikutip Detik.

Nama Ratangga dan Antareja berasal dari khazanah wayang. Dan ini bukan sesuatu yang baru dalam penamaan benda-benda teknologi tinggi di Indonesia, khususnya benda yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat dan sebagai simbol kebanggaan, baik buatan asing maupun karya sendiri.


Sejak Zaman Sukarno

Dalam dunia militer nasional, para pengampu alutsista pun kerap menamai persenjataan mereka dengan nama-nama yang berasal dari dunia pewayangan. Antasena, misalnya, dijadikan nama tank boat pertama di Indonesia yang pada Juli 2018 masih berbentuk purwarupa.

Nama tokoh pewayangan yang sangat legendaris dalam dunia militer kita adalah Dewa Ruci. Kapal untuk pelatihan para taruna atau kadet Akademi Angkatan Laut ini juga sering mengarungi samudra dalam tugas-tugas kenegaraan.

Selain itu, nama sejumlah kapal selam Angkatan Laut pun masih ada hubungannya dengan dunia pewayangan, yakni nama-nama senjata para protagonis dalam kisah Mahabharata. KRI (Kapal Republik Indonesia) Nagapasa, Nanggala, Cakra, dan Ardadedali yang menjadi nama kapal selam itu adalah senjata milik Indrajit, Baladewa, Kresna, dan Arjuna.


Tradisi penamaan ini bahkan telah berlangsung sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru. Pasukan pengawal presiden zaman Sukarno dinamakan Cakrabirawa yang merupakan senjata pamungkas Kresna. Setelah rezim berganti, nama Cakra disandang pasukan Kostrad.

Tahun 1995, yang disebut-sebut sebagai tahun keberhasilan dirgantara nasional, Soeharto menamai empat pesawat N250 buatan IPTN masing-masing dengan nama Gatotkaca, Krincing Wesi, Koconegoro, dan Putut Guritno.

Sedyatmo, penemu teknik konstruksi cakar ayam, juga sempat menamai jembatan yang ia imajinasikan akan menghubungkan pulau Sumatra, Jawa, dan Bali dengan nama “Jembatan Ontoseno (Antasena)”, meskipun sampai sekarang belum juga terwujud.

“Sebagai seorang penggemar wayang, Sedyatmo mengambil nama ini dari tokoh pewayangan. Ontoseno (Antasena) atau Anantasena adalah nama salah satu tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam naskah Mahabharata karena merupakan asli ciptaan para pujangga Jawa,” tulis Ahmad Effendi dan Hermawan Aksan dalam Prof. Dr. Ir. Sedyatmo: Intuisi Mencetus Daya Cipta (2009).


Mengagungkan yang Langka

Nama-nama tokoh pewayangan dalam benda berteknologi tinggi dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum tak bisa dilepaskan dari dominasi etnis Jawa dalam jajaran pengambil keputusan.

Daftar nama yang lahir dari budaya Jawa yang telah disebutkan dalam artikel ini masih bisa diperpanjang. Misalnya Bhayangkara. Nama pasukan elite Kerajaan Majapahit ini dilekatkan dengan korps kepolisian.

Sementara jika dilihat dari aspek estetika dan spirit, pemilihan tokoh pewayangan Jawa ini bisa dibandingkan misalnya dengan wayang Sunda, yang lahir dari akar yang sama.

Wayang Sunda yang biasa disebut wayang golek, seperti dicatat Sarah Anais Andrieu dalam Raga Kayu, Jiwa Manusia: Wayang Golek Sunda (2017), kerap dinilai secara negatif dibandingkan dengan wayang kulit sebagai “kakaknya” yang menurut dia lebih mempunyai prestise.

“Dianggap kurang artistik, sekadar hiburan biasa, remeh, terlalu populer, wayang [golek] ini sering dianggap mengalami kemunduran. Para dalang lazim dituduh merusak bentuk wayang, bahkan hingga saat ini,” imbuhnya.

Andrieu menambahkan pula bahwa James R. Brandon dalam Theatre in Southeast Asia (1967) juga mencatat kecenderungan ini, yakni wayang golek hanya dihargai sebagai hiburan daripada nilai spiritual.

“Menurut sejarah, dahulu wayang golek Sunda memiliki status yang setara dengan wayang kulit Jawa. Kini, tingkat artistik pertunjukan-pertunjukannya telah merosot dan prestise wayang pun ikut jatuh bersamanya,” imbuh Brandon seperti dikutip Andrieu.
Wayang, dalam hal ini wayang dari tradisi Jawa yang dianggap lebih adiluhung seperti dicatat Sarah Anais Andrieu, memang menjadi satu budaya yang “dijaga” agar tak kehilangan wibawanya.

Ini dicatat Nunus Supardi dalam Bianglala Budaya: Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013 (2016). Pada pengantar dalam Kongres Pewayangan 2005 yang terbuhul di buku tersebut, disebutkan bahwa wayang sebagai produk budaya tengah mengalami ancaman dari produk budaya lain seperti film dan TV karena perubahan cara pandang dan cara pikir masyarakat.

“Wayang merupakan harta kultural yang tidak hanya bersifat konkret tetapi lebih bersifat simbolik. Pengembangan wayang menjadi sesuatu yang naturalis-realis-konkret justru akan menghilangkan ciri khas wayang itu sendiri,” tulis pengantar tersebut.

Sifat simbolik wayang, tambah pengantar itu, yang tak hanya hadir sebatas tontotan, melainkan juga sebagai tuntunan dan tatanan, adalah hal yang penting sehingga mesti dipertahankan. Tujuan utamanya adalah agar tak terjadi pengikisan pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap wayang.

“Dengan cara demikian, salah satu fungsi wayang sebagai media syiar, karena di dalamnya bermuatan tuntunan, akan semakin diminati oleh masyarakat modern sehingga dapat membawa masyarakat menuju suatu tatanan sosial budaya yang berkepribadian luhur,” imbuhnya.

Makna wayang yang begitu adiluhung itu akhirnya tentu saja menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk melekatkan nama-nama tokohnya, juga senjata para protagonis dalam benda-benda “langka” seperti pesawat, kereta, kapal selam, dan lain-lain. Ya, bukankah capaian teknologi tinggi masih merupakan barang langka di negeri ini?

Perlakuan terhadap benda-benda “langka” ini mengingatkan saya pada paparan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas-batas Pembaratan (2018) saat ia menjelaskan salah satu barang yang langka di Jawa, yakni bijih besi.

Menurut Lombard, mengutip dari para ahli prasejarah dan etnolog, meski besi telah lama dikenal di Nusantara, tapi keberadaannya amat sedikit dan bukan di Jawa, melainkan di bagian utara Filipina, bagian tenggara Kalimantan, bagian tengah Sulawesi, daerah pedalaman Sumatra, dan Sumbawa.

Sepanjang masa prakolonial, di Jawa bahkan tidak ada bijih besi. Kalau pun ada karena aktivitas perdagangan, ketersediaannya amat sedikit. Hak mengerjakan besi juga dianggap melekat pada sekelompok perajin pemegang hak istimewa yang dianggap memiliki kekuatan gaib, yakni pandai besi.

“Di mana pun di Nusantara, pandai besi sedikit banyak dipandang sebagai empu yang memiliki kekuatan magis, tetapi dapat dibayangkan bahwa di Jawa, konteks ritual dan magisnya lebih terasa karena kelangkaan logam itu,” tulisnya.

Oleh karena itu, sambungnya, meski produk senjata dari Jawa seperti keris merupakan sebuah rekayasa teknik dan keterampilan yang luar biasa, tapi ukurannya sangat kecil jika dibandingkan dengan pedang bangsa Frank, dan tidak mungkin diproduksi dalam jumlah besar.

“Sungguhpun terletak di antara India dan Cina, di mana kita tahu, teknik pengolahan logam telah dapat berkembang sejak sangat dini dan secara besar-besaran untuk ukuran zamannya, Nusantara secara tragis tetap tersisih dari pemilikan peralatan besi yang begitu diperlukan untuk menebas dan memerangi hutan,” imbuh Lombard.

Jika dulu perlakuan terhadap benda yang terbuat dari bijih besi begitu diagungkan di Jawa karena kelangkaannya, maka kiwari penamaan benda berteknologi tinggi dengan nama-nama dari dunia wayang menandakan satu hal: bangsa ini tengah mengulang sejarahnya sendiri.

Apabila masa lalu menyuratkan bahwa peralatan besi diperlukan untuk “menerabas dan memerangi hutan”, maka barangkali kedua kata kerja itu kini bisa dilekatkan kembali untuk “menerabas dan memerangi” tantangan zaman.
(irf)


Tayang pertama kali di Tirto.id pada 12 Desember 2018

Foto: Grid.ID

23 February 2020

Gulma di Majalah Sabili dan Riuh Sastra yang Reda Begitu Saja



Majalah Islam Sabili pernah memuat cerpen "Pulang" yang hampir sekujurnya sama dengan bagian 7 roman Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer.

Ini belum terlalu lama terjadi. Belum genap satu dasawarsa berlalu. Majalah Islam Sabili yang sudah berhenti terbit sejak tahun 2014, sempat memuat cerpen yang sangat mirip dengan bagian ketujuh novelet Bukan Pasar Malam (cetakan 9: 2004) karya Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya ditulis Pram).

“Pulang” karya Kukuh Setyo Prakoso (selanjutnya ditulis Kukuh) dimuat di Majalah Islam Sabili No. 07 TH XVI, 23 Oktober 2008/23 Syawal 1429.

Perhatikan paragraf berikut:

“Sesudah mandi, aku ada kesempatan melihat-lihat rumah dan pelataran. Mandi itu sebenarnya bukan mandi yang betul-betul. Air di kota kami yang kecil ini tebal oleh lumpur Bengawan Solo. Hanya sesekali saja airnya jernih. Pembagian air PDAM di sini agak pelit. Sehari menyala, lalu sehari kemudian mati. Barangkali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air PDAM yang teratur, bening, dan baik. Di sini, orang berjalan dengan kulitnya yang berkerak-kerak. Kami menyebutnya dengan busik,” tulis Kukuh.

Bandingkan dengan tulisan Pram ini:

“Jam sembilan pagi aku bangun. Baru sesudah mandi ada kesempatan padaku melihat-lihat rumah dan pelataran. Mandi itu sebetulnya bukan mandi betul-betul. Air di kota kami yang kecil ini tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng di sini tak boleh diharapkan. Barangkali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air ledeng dengan teratur, bening, dan baik. Di sini, orang berjalan-jalan dengan kulitnya yang berkerak-kerak.” (Bukan Pasar Malam: hlm. 42)
Atau coba baca juga yang ini:

“Ya Gus, rumahmu ini aku juga yang mendirikan dulu. Waktu itu kamu baru bisa tengkurap. Tiga puluh tahun yang lalu! Dan selama itu, rumahmu ini belum pernah diperbaiki. Pikir saja. Tiga puluh tahun! Itu tidak sebentar bila dibandingkan dengan jeleknya tanah di sini. Cobalah lihat rumah-rumah tembok yang didirikan sesudah rumahmu. Semua itu sudah roboh, retak, dan sobek-sobek. Rumahmu ini masih kuat.” Sekarang nada suaranya berubah menjadi ketua-tuaan. “Kalau bisa Gus, harap rumahmu itu diperbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan engkau sudah terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orangtua dulu: Apabila rumah itu rusak, maka yang menempatinya pun rusak,” tulis Kukuh.

Dan ini tulisan Pram:

“Ya, Gus, rumahmu itu aku juga yang mendirikan dulu. Waktu itu engkau baru bisa tengkurap. Dua puluh lima tahun yang lalu! Dan selama itu, rumahmu itu belum pernah diperbaiki. Pikir saja. Dua puluh lima tahun! Itu tidak sebentar dibandingkan dengan jeleknya tanah di sini. Cobalah lihat rumah-rumah tembok yang didirikan sesudah rumahmu—semua itu sudah roboh, bongkar, dan sobek-sobek. Rumahmu itu masih kuat.” Sekarang suaranya jadi ketua-tuaan. “Kalau bisa, Gus, kalau bisa—harap rumahmu itu engkau perbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan engkau sudah terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orang tua-tua dulu: Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak.” (Bukan Pasar Malam: hlm. 43-44)

Sebagai contoh terakhir, saya kutipkan satu lagi:

“Tiba-tiba seluruh badan bapak bergerak, seperti tertarik-tarik oleh sesuatu. Matanya terbuka dengan tiada memandang. Kemudian badai batuk menerjang. Dan dalam keadaan ini, tak ada satu pun manusia yang mampu ringankan beban deritanya. Aku hanya bisa melihat penderitaannya, dengan rasa sesal mengiris dada. Muka yang pucat pasi itu jadi membiru oleh batuknya. Dan ketika batuk mereda, terdengar perkataan dari bapak, ‘Ada-ada saja hidup manusia ini’,” tulis Kukuh.

Sementara berikut tulisan Pram:

“Dan mata itu tertutup lagi. Sebentar saja. Tiba-tiba seluruh badan itu tertarik-tarik. Matanya terbuka dengan tiada memandang. Kemudian badai batuk menerjang. Dan dalam keadaan seperti itu, tak ada manusia di seluruh dunia bisa meringankan penderitaannya. Dan aku hanya bisa mengawasi dengan penderitaan yang meruyak di dalam dada. Muka yang pucat itu jadi kebiru-biruan oleh batuknya. Dan waktu batuk itu reda terdengar suaranya yang diucapkan cepat-cepat: ‘Ada-ada saja hidup manusia ini’.” (Bukan Pasar Malam: hlm. 46-47).

Cerpen “Pulang” sepanjang 1229 kata itu hampir di sekujurnya sama dengan tulisan Pram. Di bawah tulisannya Kukuh menulis: “Made in Cepu, 17 September 2008, pukul 7.26 a.m)”.

Tahun 2008 saya sempat mengirim surat pembaca ke redaksi Majalah Islam Sabili, tepatnya redaktur Elka (Lembaran Khazanah), rubrik yang menggawangi cerpen, tapi tak pernah ada tanggapan.

H.B. Jassin dalam Tifa Penyair dan Daerahnya (1985) bagian 21 “Plagiat, Saduran, Pengaruh”, menjelaskan bahwa plagiat adalah menyalin sebagian atau seluruhnya dari sebuah karangan, kemudian menambahkan namanya di bawah tulisan itu seolah-olah miliknya.

“Cara yang begini disebut plagiat, pencurian atau pencaplokan, sebab sama dengan mencuri, yakni mencuri hasil pikiran orang,” tulis Jassin.

Sementara saduran, menurut Jassin, adalah karangan yang diambil jalan cerita dan bahan-bahannya dari karangan lain, misalnya dari karya pengarang luar negeri, dengan mengubah dan menyesuaikan nama-nama dan suasana serta kejadian-kejadian di negeri asing itu dengan keadaan di negeri sendiri.

“Tapi pada saduran ini pun selalu harus disebut nama karangan dan pengarang aslinya dan disebutkan pula bahwa disadur, meskipun pengarangnya telah beratus tahun jadi tengkorak dan negerinya jauh dari negeri kita,” tambahnya.

Pengalaman membaca berbagai bahan bacaan dari para pengarang, penyair, pujangga, ahli filsafat, dll, sedikit banyak akan memengaruhi karya si pengarang. Itulah yang dimaksud Jassin sebagai pengaruh. Namun Jassin menegaskan bahwa pribadi yang kuat bisa melebur pengaruh-pengaruh itu, sehingga karyanya tidak berbau jiplakan yang ditempel-tempelkan, melainkan karya yang berwatak sendiri.

Jika menilik cuplikan cerpen “Pulang” yang ditulis Kukuh, dan membandingkannya dengan Bukan Pasar Malam karya Pram, pembaca bisa menilai sendiri posisi cerpen “Pulang” tersebut: apakah sebagai karya plagiat, saduran, atau hanya terpengaruh oleh Pram?


Keriuhan di Ladang Sastra Indonesia Tahun 2000-an

Muhidin M. Dahlan dalam Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 (2011) di bagian penutup bertajuk “Plagiat, Keributan Omong Kosong, dan Kehormatan” mendokumentasikan beberapa peristiwa sastra pada tahun 2000-an yang mengundang keriuhan di media sosial.

Kasus pertama yang ia bahas adalah cerpen “Perempuan Tua dalam Rashomon” yang ditulis Dadang Ari Murtono. Cerpen yang sempat dimuat di Lampung Post (5 Desember 2010) dan Kompas (30 Januari 2011), dituduh plagiat dari cerpen “Rashomon” karya cerpenis Jepang, Ryunosuke Akutagawa.

Setelah kasus Dadang, Muhidin kemudian membahas puisi Taufiq Ismail, “Kerendahan Hati” yang mirip dengan puisi “Be the Best of Whatever You Are” karya Douglas Malloch.

Media sosial ribut. Bramantyo Prijosusilo berkomentar keras, “Khabarkan kepada dunia, penyair jahat Taufiq Ismail yang suka menekan-nekan seniman muda dengan cara-cara selintutan, adalah plagiator tuna-budaya.”

Komentar Bramantyo Prijosusilo kemudian menuai tanggapan beragam. Taufik Ismail yang marah, yang katanya “tidak terima dinista sedemikian”, hendak menyeret Bramantyo ke ranah hukum. Namun, akhirnya kasus ini berujung dengan damai. Bramantyo meminta maaf.

Selain dua kasus tersebut, ada juga pemaparan tentang cerpen “Dodolit Dodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma yang mirip dengan “Tiga Pertapa” karya Leo Tolstoy. Mula-mula akun Facebook Akmal Nasery Basral mengunggah cacatan bertajuk “Dodolit Dodoltolstoy” yang isinya menceritakan pengalaman dia waktu menghadiri Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011 di Bentara Budaya Jakarta pada tanggal 27 Juni, yang salah satunya menampilkan cerpen “Dodolit Dodolibret”.

Muhidin menerangkan bahwa Akmal menulis delapan poin kesamaan antara cerpen Seno dengan Tolstoy, di antaranya yaitu: (1) Fokus cerita tentang seorang pemuka agama yang resah melihat cara berdoa masyarakat umum yang salah (Guru Kiplik versi SGA, dan Uskup versi Tolstoy), (2) Sang pemuka agama pergi ke sebuah pulau. (Berlokasi di tengah danau luas versi SGA, dan berlokasi di tengah lautan luas versi Tolstoy), dll.

Seperti pada dua kasus sebelumnya, soal ini pun mengundang banyak tanggapan dari para sastrawan, tapi kemudian cepat mereda.

“Kasus Seno Gumira Ajidarma dan Tolstoy itu pun kita tahu kemudian mereda dengan cepat, lalu melenyap. Tak ada kelanjutan. Mungkin sekadar sport agar media sosial itu tak hanya berisi keluh-kesah, 'status' personal dan sehari-hari, dan sesekali puisi-puisi pendek atau cerita pendek yang diposting tergesa-gesa untuk meraup sesegera mungkin pujian antarkenalan, serta agenda-agenda kesusastraan,” tulis Muhidin.

Beberapa kasus di atas, termasuk kasus di Majalah Islam Sabili yang sepi dan tidak ada tanggapan sama sekali, menambah catatan sejarah sastra Indonesia yang masih muda usia.

Dalam catatan pembuka buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 (2011), Muhidin M. Dahlan menulis, “[…] ini sejarah kita, sejarah sastra Indonesia. Mari buka, mari baca. Dan setelah itu, generasi berikutnya akan menimbang mana yang pantas disiangi (karena gulma), mana yang perlu ditumbuhkan (karena padi). Mana yang dibabat, mana yang ditumbuhkan.”
(irf)

Tayang pertama kali di Tirto.id pada 20 Maret 2018

20 February 2020

Bakri Siregar dan Sastra dalam Gelombang Politik Lekra


Ia sempat menyusun buku Sejarah Sastra Indonesia Modern yang kental dengan jargon "revolusioner".

Sebagaimana kawan-kawannya sesama pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Bakri Siregar ditahan tanpa pernah diadili. Ia baru dibebaskan pada 1977, dan meninggal pada 19 Juni 1994, tepat hari ini 25 tahun yang lalu.

Sebelum badai politik menggulung PKI, organisasi pendukung, serta para simpatisannya, lelaki kelahiran Langsa, Aceh, pada Desember 1922 itu sempat menulis buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern Djilid 1 (1964) yang peredarannya dilarang seiring penahanannya.

Selagi tinggal di Medan, ia pernah menjadi redaktur harian Pendorong dan redaktur majalah Arah. Warsa 1952, ia bergabung dengan Lekra dan setahun kemudian memimpin Lekra cabang Sumatra Utara.

Kiprah Lekra Sumatra Utara di lapangan kebudayaan sempat ia banggakan pada Kongres Nasional Lekra di Solo, Februari 1959. Menurut Koko Hendri Lubis dalam Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan (2018), pada kongres tersebut Bakri Siregar menyatakan, “Orang di Sumatra Utara tidak mungkin melakukan kerja budaya [sic] yang berarti, tanpa memperhitungkan faktor Lekra.”

Pernyataannya mendapat tanggapan meski tak ramai, sebab Lekra pada saat itu adalah raksasa di lapangan kebudayaan yang siap menggulung lawan-lawannya. Adalah A.H. Dharsono, esais Medan yang terkenal kritis yang berani mencibirnya.

Koko Hendri Lubis menambahkan, tanggapan A.H. Dharsono dimuat dalam majalah Konfrontasi, No. 30, Mei-Juni 1959 dengan judul “Pidato Bakri Siregar jang Amis di Solo”.

Menurut Lubis, pidato Bakri Siregar tentang peran Lekra di Sumatra Utara memang agak dibesar-besarkan. Namun, kegusaran A.H. Dharsono terhadap pidato Bakri Siregar dengan menyantumkan pelbagai sumbangan organisasi budaya di luar Lekra dianggap tidak proporsional.

“Pengaruh Bakri atas seniman Lekra maupun yang agak ‘kekiri-kirian’ sedemikian besar di Medan,” imbuhnya.


Tempat Istimewa bagi Multatuli

Salah satu karya Bakri Siregar adalah Saidjah dan Adinda (1954), saduran dari Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Isu kemanusiaan dalam kisah ini menjadi perhatian Lekra bahkan pimpinan pusat PKI.

D.N. Aidit sebagaimana dituturkan Ibarruri Sudharsono dalam “Terjemahan Kiri” yang dihimpun dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009), sempat menguraikan pentingnya penerjemahan karya Multatuli di hadapan Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner tanggal 28 Agustus 1964.

Makalah D.N. Aidit yang dimuat di majalah sastra Zaman Baru itu subjudulnya berbunyi “Kapan Ronggowarsito dan Multatuli Diterdjemahkan?”

Menurutnya, dua karya yang tidak ditulis dalam bahasa Indonesia itu berhasil mengungkapkan keadaan masyarakat Indonesia. Dan untuk menegakkan kepribadian nasional di bidang sastra, maka keduanya mesti lekas diterjemahkan dan diterbitkan.

“Multatuli dalam karja-karjanja mengungkapkan tema-tema Indonesia dan ia menulis dengan ketjintaan jang besar kepada Rakjat Indonesia,” ungkap Aidit.

Dalam makalah tersebut, Aidit memuji saduran Bakri Siregar terhadap karya Multatuli yang telah sering dipentaskan. Baginya, jika pementasan Saidjah dan Adinda baik, maka kaum tani yang tengah melakukan pelbagai perlawanan pengusiran dari tanah garapannya, akan melihat dirinya sendiri sedang dipentaskan.

“Sekali pun [karya Bakri Siregar] tipografinya kurang baik, tapi yang jelas penerbitannya telah memenuhi suatu keperluan bagi perjuangan kaum tani di Sumatra Utara ketika itu,” imbuhnya.

Begitu pentingnya sosok Multatuli bagi Lekra, bahkan Pramoedya Ananta Toer seperti ia sampaikan dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian! (2006) sempat mengusulkan kepada Presiden Sukarno untuk mendirikan patungnya, tapi ditolak.

Pram berpendapat, dan mungkin juga sependapat dengan Bakri Siregar dan D.N. Aidit, Multatuli adalah sosok yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah.

“Sebelumnya, di bawah pengaruh Jawanisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa mereka dijajah,” tegas Pram.


Tenaga Revolusi dalam Sejarah Sastra Indonesia

Mula sejarah sastra Indonesia modern terus menjadi perdebatan. Sejumlah penulis, seperti A. Teeuw, Ajip Rosidi, H.B. Jassin, dan Zuber Usman telah melakukan beberapa ikhtiar, baik sebagai penelaah maupun sebagai dokumentator. Anggitan mereka melahirkan kanon sastra beserta argumentasinya.

Sebagai penulis kiri, Bakri Siregar dalam karyanya Sedjarah Sastera Indonesia Modern Djilid 1 (1964), memilih sejumlah tokoh yang menurutnya revolusioner sebagai pemula sastra Indonesia modern.

“Sastera Indonesia modern bermula dengan kesadaran nasional… dia dimulai dengan tradisi repolusioner jang dilaksanakan oleh Mas Marco Kartodikromo,” tulisnya seperti dikutip esais 
Bandung Mawardi.

Bakri Siregar juga mengajukan dua nama lain, yakni Semaun dan Rustam Effendi sebagai tokoh awal sastra Indonesia modern. Benang merah ketiga tokoh ini amat jelas, yakni karya mereka menggambarkan kritik dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.

Sejumlah karya Mas Marco Kartodikromo seperti Student Hidjo (1919) dan Rasa Merdeka (1924) dilarang pemerintah kolonial. Penulisnya keluar masuk penjara, dan ia meninggal di tanah pembuangan Boven Digul.

“Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, baik dalam bahasa Jawa maupun dalam bahasa Indonesia, secara tegas pertama kali melemparkan kritik terhadap pemerintah jajahan serta kalangan feodal,” tulis Asep Sambodja dalam Asep Sambodja Menulis tentang Sastra Indonesia dan Pengarang Lekra (2011).

Sementara karya Semaun Hikayat Kadiroen (1924), menurut Bakri Siregar menjadi dasar untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Karya ini disita, dan pasca pemberontrakan PKI 1926 dianggap sebagai bacaan di bawah tanah. Dan Bebasari (1926) karya Rustam Effendi berupa sindiran terhadap penguasa, serta menggambarkan cita-cita kemerdekaan.

Berbeda dengan Zuber Usman yang menyebut Abdullah bin Abdulkadir Munsji sebagai penutup zaman lama dan pembuka era baru, Bakri Siregar justru tak menjadikannya sebagai sang pemula dalam sejarah sastra modern Indonesia.

Asep Sambodja menerangkan, keengganan Bakri Siregar memasukkan Abdullah bin Abdulkadir Munsji karena—setelah membaca memoarnya yang bertajuk Hikayat Abdullah—ia menganggap pengarang itu terlalu memuji dan mengagumi penjajah Inggris.

“Sikap seperti itu, menurut Bakri Siregar, sebagai kompleks rasa rendah diri yang terlalu besar pada diri Abdullah dalam menghadapi orang kulit putih, hingga praktis merendahkan bangsanya dan bangsa-bangsa lain di Asia,” imbuh Sambodja.

Maman S. Mahayana dalam Kitab Kritik Sastra (2015) menjelaskan, sebagian pihak yang menilai Abdullah sebagai tali burut (kaki tangan, konco, begundal) kolonial Inggris, karena tokoh ini dibesarkan dalam situasi yang unik.

“Ia dibesarkan dalam lingkaran tradisi keberaksaraan, sementara masyarakatnya waktu itu masih berada dalam tradisi kelisanan,” ungkapnya.

Sementara menurut Amin Sweeney dalam Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (2005), pengaruh Inggris yang diserap oleh Abdullah bersumber dari teks yang menuntut daya intelektual yang formulanya jelas, bukan dari tradisi kelisanan.

“Abdullah dipaksa meringkuk menghadap buku. Penumpuannya senantiasa pada huruf dalam berbagai bahasa,” tulisnya.

Di luar “pembelaan” para penulis tentang sosok Abdullah bin Abdulkadir Munsji, dalam catatan Asep Sambodja, Bakri Siregar pun sebetulnya mempunyai penilaian positif terhadapnya, yakni dalam batas tertentu Abdullah sanggup mengkritik kaum bangsawan Melayu.

Namun, selain karena anggapan bahwa Abdullah dinilai terlampau memuja Inggris, penyusunan buku sejarah sastra modern Indonesia yang dilakukan oleh Bakri Siregar tentu mempunyai argumentasi politik lain.

Dan yang paling utama, setidaknya dilihat dari sejumlah tanggapan buku tersebut, napas revolusioner yang menjadi tulang rusuk propaganda Lekra dan PKI, menjadi pertimbangan paling penting.

Bakri Siregar, sebagaimana kawan-kawannya di Lekra, menulis pada zaman ketika pilihan ideologi begitu kentara. Pilihan politik diekspresikan dengan amat jelas dalam pelbagai karya.

Dalam gelombang politik seperti itulah ikhtiar penyusunan sejarah sastra Indonesia modern ia lakukan. (irf)


Tayang pertama kali di Tirto.id pada 19 Juni 2019

Foto: Wikipedia

Merapi dalam Kosmologi Jawa: Takdir, Cobaan, atau Peringatan?


Sejak Mataram membangun basis kekuasaannya di selatan Jawa, Gunung Merapi dianggap sebagai salah satu tempat sakral bagi dinasti tersebut. 

Minggu malam (16/12/2018) sekitar pukul 19.00, Gunung Merapi meluncurkan lava pijar sejauh 300 meter ke arah hulu kali Gendong. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menyatakan intensitas guguran lava relatif rendah dan mengimbau masyarakat sekitar Gunung Merapi tetap tenang. Masyarakat juga diminta untuk tetap waspada dan mengikuti informasi pertumbuhan kubah dan guguran lava.

Dalam riwayat panjang aktivitas vulkaniknya, Gunung Merapi kerap memakan korban jiwa dan kerugian materi yang tak sedikit. Meski demikian, Merapi punya tempat istimewa di tengah masyarakat Jawa yang menganggapnya sebagai bagian dari kosmologi kehidupan. Dua tempat lain yang juga menjadi bagian dari kosmologi itu adalah keraton dan laut selatan.

Dalam pelbagai catatan tentang Keraton Mataram, ketiga tempat ini merupakan poros spiritual utara-selatan. Menurut Keraton Jawa (2017) yang ditulis oleh Ashadi, sumbu ini disebut sebagai poros sejati kelanggengan dinasti Mataram yang merupakan simbol dari proses kehidupan manusia menuju keabadian.

“Hal ini dipersonifikasikan oleh persetubuhan dua makhluk halus berlainan jenis, yaitu Kyai Sapu Jagad sebagai penguasa Gunung Merapi dan Ratu Kidul sebagai penguasa Laut Kidul, yang buah dari dari perkawinan itu adalah benih raja-raja Mataram,” tulisnya.

Namun, pendapat tentang siapa yang kawin dengan penguasa laut selatan sehingga tempat ini menjadi bagian dari poros utara-selatan memang tidak tunggal. Berbeda dengan Ashadi, H.J. De Graaf dalam Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa (1989) menyebutkan bahwa justru yang kawin dengan Nyai Rara Kidul adalah seorang raja Mataram saat dinasti ini mulai muncul.

Lebih lanjut ia menerangkan, dalam pelbagai kisah dan adat istiadat, di daerah-daerah sepanjang pesisir selatan Jawa itu bahkan dijumpai sisa-sisa ritual penghormatan dari zaman pra-Islam terhadap kekuasaan penguasa Segara Kidul atau Laut Selatan.

“Di sekitar muara Sungai Opak dan Sungai Progo di Segara Kidul di daerah Mataram, kepercayaan itu bertahan lama,” imbuhnya.

Hal ini bertalian juga dengan keberadaan gunung di sekitar Keraton Mataram, yakni Gunung Lawu dan Gunung Merapi, yang juga dihormati dengan upacara keagamaan untuk menghormati para dewa gunung.

Saat Panembahan Senopati menyusuri Sungai Opak ke arah hilir sungai menuju kediaman Dewi Segara Kidul, tulis De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintah Senopati (1985), pamannya yang bernama Juru Martini menuju ke utara ke puncak Gunung Merapi untuk mencari kesaktian.

Artinya, sejak semula pendirian Mataram Islam, simpul utara-selatan yang terdiri dari Gunung Merapi-Keraton-Laut Kidul, memang telah menjadi poros penting bagi Mataram, baik sebelum maupun setelah Perjanjian Giyanti yang membelah kekuasaan raja Jawa.

Sementara Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (2018) menyatakan gunung sebagai bagian dari konsep lama tentang kekuasaan. Amatan Lombard berangkat dari perwajahan sampul buku Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hawengku Buwono IX (1982) yang menampilkan wajah Sultan dengan latar belakang Gunung Merapi yang tengah meletus.

“Tanpa komentar pun, asosiasi ini mengingatkan kita pada posisi raja-raja zaman dulu sebagai raja gunung,” tulisnya.


Letusan Merapi bagi Perang Jawa

Dalam Perang Jawa (1825-1830), letusan Gunung Merapi pada Desember 1822 disusul oleh gempa berturut-turut pada tahun-tahun berikutnya. Di tengah ketegangan antara Diponegoro dengan Belanda, penduduk Jawa tengah-selatan menganggap peristiwa alam ini sebagai pertanda penting akan datangnya perubahan.

“Selain kerusakan fisik akibat letusan itu, peristiwa-peristiwa tersebut hampir pasti membantu meningkatkan harapan-harapan akan Ratu Adil menjelang pecahnya Perang Jawa,” tulis Peter Carey dalam Kuasa Ramalan Jilid 2: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2011)

Dalam Babad Diponegoro, seperti yang dikutip Peter Carey, letusan ini digambarkan begitu dahsyat:

Gunung Merapi terbakar/pucuknya bagai terlontar ke langit/Yogyakarta serasa tertutup olehnya/Langit berubah menjadi api/gemuruhnya menggentarkan/ia menggelegar dan mengguntur/apinya memancar ke segara arah/Dalam kegemparan besar/semua/di mana-mana orang berusaha sekuatnya cari selamat.

Dalam situasi seperti itu, tambah Carey, Diponegoro tengah tertidur ketika pecah letusan pertama. Ia terbangun karena mendengar jeritan dan langsung menuju halaman bersama istrinya, lalu memandangi langit. Dahsyatnya peristiwa alam itu ia anggap sebagai pertanda amarah Allah.

“Renungan batin Diponegoro bahwa peristiwa itu adalah pertanda amarah Ilahi tentulah akan timbul juga di hari orang banyak […] disusul dengan sejumlah gempa pada Desember 1823, Januari 1824, dan September 1925, dipercaya sebagai bukti lanjutan bahwa Jawa akan memasuki suatu zaman baru,” tulis Carey.


Peninggalan Hindu dan Tafsir Letusan

Pandangan Gunung Merapi sebagai tempat sakral bagi masyarakat Jawa tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan lama yang mengandung unsur agama Hindu. Menurut Guru Besar Antropologi UGM Heddy Shri Ahimsa-Putra, sebagai pecahan dari Mataram Islam, Keraton Yogyakarta dibangun atas kesadaran penuh akan hal ini.

Sampai sekarang, penghormatan terhadap Gunung Merapi tidak hanya dilakukan oleh keraton sebagai institusi, tapi juga hidup dalam keseharian sebagian masyarakat.

Jika keraton mengadakan upacara labuhan sebagai upaya membangun relasi dengan “penjaga-penjaga” gaib yang ada di daerah-daerah di Gunung Merapi dan Gunung Lawu, maka masyarakat menjadikan gunung-gunung tersebut sebagai tempat bertapa, tempat menyendiri, dan tempat mencari “inspirasi”.

“Orang-orang tertentu yang aliran Kejawen, kadang-kadang naik gunung dengan gurunya dan melakukan juga seperti [memberi] sesaji atau semedi. Masih ada seperti itu [dalam kehidupan] sehari-hari,” ujar Heddy Shri Ahimsa-Putra ketika dimintai komentar oleh Tirto.

Letusan Merapi memang sangat terbuka untuk ditafsirkan oleh pelbagai lapisan masyarakat Jawa. Termasuk oleh Diponegoro menafsirkan letusan Gunung Merapi pada 1822 sebagai amarah Ilahi sampai-sampai ia yakin untuk melawan Belanda.

Heddy Shri Ahimsa-Putra berpendapat bahwa secara umum tafsir tersebut terbagi tiga, yakni takdir, cobaan, dan peringatan.

Masyarakat kecil, tambahnya, biasanya menyikapi gunung meletus itu sebagai takdir. Sementara sebagian pejabat menyebutnya cobaan. Para ulama serta paranormal meyakininya sebagai peringatan.

Kecil atau besar, letusan Gunung Merapi sejatinya tidak sekadar peristiwa alam, tapi juga peristiwa sosial yang berkaitan dengan sejarah panjang kosmologi Jawa dalam memperlakukan alam, dalam hal ini gunung.

Maka sikap Mbah Maridjan yang tewas setelah menolak meninggalkan kediamannya ketika Merapi meletus pada Oktober 2010 kiranya dapat dilihat dari sudut pandang ini.
(irf)



Tayang pertama kali di Tirto.id pada 19 Desember 2018

Foto: Wikipedia

12 February 2020

Tragedi Karbala, Kematian Husein bin Ali, dan Terbelahnya Islam


Kobaran duka.
Petaka memecah di
langit Karbala.

Pemimpin Islam setelah Rasulullah dan khalifah pertama Abu Bakar wafat mengalami berbagai ujian. Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua tewas dibunuh Abu Lu’Lu’ah, seorang pandai besi asal Persia. Ia mendendam setelah Persia ditaklukkan pasukan Islam. Pada suatu pagi saat Umar bin Khattab dan kaum Muslimin melaksanakan salat Subuh di Masjid Nabawi, Abu Lu’Lu’ah menikam tubuh khalifah hingga tersungkur dan meninggal dunia.

Sementara khalifah ketiga, Utsman bin Affan, tewas dibunuh kaum oposisi saat terjadi krisis politik yang tidak puas dengan kepemimpinannya. Kaum Muslimin yang datang dari Mesir, Bashrah, dan Kufah mengepung rumah khalifah selama hampir empat puluh hari. Utsman bin Affan akhirnya tewas dihunjam dua tombak pendek milik para oposisi.

Dan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat meninggal dunia dibunuh Abdurrahman bin Muljam, seorang kaum Khawarij, ketika ia sedang wudu untuk menunaikan salat Subuh. Abdurrahman bin Muljam yang datang tiba-tiba mengayunkan pedangnya yang terhunus. Khalifah keempat itu tak sempat mengelak hingga pedang mengenai kepalanya dan ia roboh. Beberapa saat kemudian ia meninggal dunia.

Sejak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dari Bani Umayyah yang berkedudukan di Syam atau Suriah terus merongrong. Ia berambisi merebut tampuk kekuasaan khalifah. Dua hari sepeninggal Khalifah Ali bin Abi Thalib, kaum Muslimin di Kufah sebagai pusat pemerintahan Islam membaiat Hasan bin Ali (selanjutnya ditulis Hasan).

Menurut Al-Hamid Al-Husaini dalam Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya (1978), beberapa saat sebelum Ali bin Abi Thalib wafat, salah seorang sahabatnya bertanya apakah para pengikutnya harus membaiat salah satu putranya, yakni Hasan. Ali bin Abi Thalib menjawab, “Aku tidak menyuruh dan tidak melarang.”

Mulanya Hasan enggan menerima pembaiatan dirinya sebagai khalifah, tapi ia didesak penduduk Kufah sehingga akhirnya menerimanya.

“Keengganan itu tampak sekali dari sikapnya yang pasif selama dua bulan sejak dibaiat sebagai khalifah. Selama itu ia tidak mengambil langkah apa pun juga terhadap ancaman Muawiyah bin Abu Sufyan di Syam yang sudah siap siaga hendak mencaplok seluruh dunia Islam,” tulis Al-Hamid Al-Husaini.

Karakter Hasan yang lebih menyukai perdamaian membuat ia mengirim surat kepada Muawiyah, isinya mengajak Muawiyah untuk bergabung bersama orang-orang yang telah membaiatnya sebagai khalifah. Namun, Muawiyah yang telah berpengalaman dalam dunia politik justru menjawabnya dengan sinis.

“Jika aku yakin bahwa engkau lebih tepat menjadi pemimpin daripada diriku, dan jika aku yakin bahwa engkau sanggup menjalankan politik untuk memperkuat kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan musuh, tentu kedudukan khalifah akan kuserahkan kepadamu,” jawabnya.

Muawiyah lalu melanjutkan dalam surat balasannya bahwa dirinya yakin jika ia lebih sanggup menjadi khalifah daripada Hasan karena lebih tua dan berpengalaman. Ia bahkan menyuruh Hasan untuk mendukung dirinya sebagai khalifah.

Muawiyah lalu membawa pasukannya yang besar dari Syam menuju Kufah untuk menggulingkan Hasan yang telah dibaiat sebagai khalifah. Mendengar kabar pergerakan pasukan Muawiyah, Hasan mengumpulkan penduduk Kufah untuk bersiap melawan pasukan tersebut.

Namun, penduduk Kufah yang telah membaiatnya sebagai khalifah justru merosot mentalnya. Sebagian dari mereka tidak menyambut seruan khalifah. Hanya sebagian saja yang bersiap maju ke medan pertempuran.

Nahas, Ubaidillah bin Abbas, orang yang ditunjuk untuk memimpin pasukan yang bersiap membela khalifah tersebut ternyata berkhianat dan berbalik mendukung Muawiyah. Hal ini membuat semangat pasukan longsor. Malah karena persoalan politik lainnya, mayoritas penduduk Kufah berbalik hendak menjatuhkan khalifah.

Di tengah situasi yang rumit tersebut, khalifah akhirnya memutuskan untuk melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Salah satu poin perjanjian damai tersebut adalah menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, yang dikutip Hamka dalam pengantar di buku karya Al-Hamid Al-Husaini, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya anakku [Hasan]Rasulullah kerap memanggil cucunya dengan ungkapan ‘anakku’—ini adalah Sayid (Tuan). Dan moga-moga Allah akan mendamaikan dengan anak ini di antara dua golongan kaum Muslimin.”

Hal ini, menurut Hamka, memang terjadi pada tahun 40 Hijriyah saat Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah, sehingga dua kubu yang berseteru dapat bersatu di bawah kekhalifahan Muawiyah.

“Tahun penyerahan kuasa itu dinamai orang: ‘Aamul Jamaah’ atau tahun bersatu kembali,” tulis Hamka.

Permintaan Baiat dari Kufah

Hasan yang telah menyerahkan kekhalifahannya kepada Muawiyah akhirnya meninggalkan Kufah dan pergi ke Madinah. Sampai akhir hayatnya ia tinggal di kota tersebut. Sementara Muawiyah meninggal dunia pada tahun ke-60 Hijriyah setelah sebelumnya menobatkan Yazid bin Muawiyah (selanjutnya ditulis Yazid), anaknya, sebagai putra mahkota yang akan meneruskan kepemimpinannya.

Sepeninggal dua orang tersebut, sejarah mencatat bahwa kebencian Muawiyah kepada Ali bin Abi Thalib dan kebencian Muawiyah kepada Hasan, terus berlanjut ketika Yazid berkuasa yang membenci Husein, adiknya Hasan. Hal inilah yang akhirnya mengobarkan perang, atau lebih tepatnya pembantaian terhadap Husein dan pengikutnya di Karbala.

Dalam catatan Al-Hamid Al-Husaini, kebencian Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib dilatari tiga hal: Pertama, fanatisme kekabilahan yang secara turun-temurun menanamkan kebencian dan permusuhan terhadap orang-orang Bani Hasyim (Ali bin Abi Thalib keturunan Bani Hasyim). Kedua, karena Muawiyah tahu bahwa dalam peperangan masa lalu antara kaum Musyirikin Quraisy dan kaum Muslimin, banyak keluarga dan kerabatnya yang tewas di ujung pedang Ali bin Abi Thalib. Ketiga, Muawiyah mengenal tabiat Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat Nabi yang keras membela kebenaran dan keadilan serta berani bertindak tegas terhadap kebatilan dan kezaliman.

Naiknya Yazid sebagai penguasa baru yang berkedudukan di Damaskus, Syam, segera mengintai keselamatan Husein yang tinggal di Madinah. Mata-mata berkeliaran mengawasi gerak-gerik cucu Rasulullah tersebut. Demi keselamatan, ia beserta keluarganya akhirnya pindah ke Makkah.

Penduduk Kufah yang semula daerahnya dijadikan pusat pemerintahan kekhalifahan, merasa kecewa dengan kepemimpinan Yazid. Mereka mengharapkan perubahan, dan harapan itu mereka sandarkan kepada Husein.

Mereka lalu meminta Husein untuk pergi ke Kufah untuk mereka baiat sebagai khalifah. Dalam surat permintaan yang diterima Husein, mereka menyatakan bahwa lebih dari 100.000 penduduk Muslimin Kufah telah siap menerima kedatangannya.

Meski kabar tersebut merupakan angin segar bagi Husein karena ternyata ada dukungan yang begitu besar untuk menghadapi kezaliman Yazid, tapi ia tak buru-buru menerima permintaan tersebut.

Mula-mula ia mengutus Muslim bin Aqil pergi ke Kufah untuk memperoleh keterangan yang pasti tentang keadaan yang sebenarnya. Tak lama setelah tiba di Kufah, Muslim bin ‘Aqil menulis surat kepada Husein yang isinya menginformasikan bahwa penduduk Kufah telah bulat untuk membaiat Husein sebagai khalifah.

Namun, kabar kedatangan Muslim bin ‘Aqil ke Kufah dan rencana pembaiatan Husein sebagai khalifah terdengar oleh Yazid. Ia lalu mengganti kepada daerah Kufah, Nu’man bin Bisyr oleh Ubaidillah bin Ziyad yang terkenal kejam.

Pergantian kepala daerah tersebut membuat penduduk Kufah ketakutan, dan nasib Muslim bin ‘Aqil pun diintai marabahaya. Setelah mencoba bersembunyi di rumah penduduk, akhirnya Muslim bin ‘Aqil tertangkap dan dibunuh pasukan Ubaidillah bin Ziyad.

Situasi Kufah yang telah berubah drastis dan terbunuhnya Muslim bin ‘Aqil tak segera diketahui Husein. Kabar yang ia terima lewat surat yang dikirimkan utusannya tempo hari membuat Husein yakin untuk berangkat ke Kufah.

Sejumlah sahabat dan keluarga Husein menasihatinya agar ia membatalkan niatnya untuk berangkat ke Kufah. Mereka mencemaskan Husein dan ragu akan sikap penduduk Kufah.

“Aku khawatir kalau mereka membohongimu dan akan membiarkanmu menghadapi musuh seorang diri, bahkan tidak mustahil mereka akan berbalik menghantammu dan akan berlaku kejam terhadap keluargamu,” Kata Abdullah bin Abbas, saudara Husein.

Nasihat serupa disampaikan juga oleh Abdullah bin Ja’far, ipar Husein. Ia tergesa-gesa menulis surat dari Madinah dan diantarkan langsung oleh kedua orang anak laki-lakinya kepada Husein.

“Aku minta dengan sangat supaya anda membatalkan rencana keberangkatan ke Kufah setelah menerima suratku ini. Aku benar-benar khawatir kalau niat anda itu akan mengakibatkan anda binasa bersama segenap anggota keluarga anda. Kalau hal itu sampai terjadi, maka padamlah cahaya di permukaan bumi ini. Ingatlah, bahwa diri anda sesungguhnya adalah lambang semua orang beriman,” tulis Abdullah bin Ja’far.

Pembantaian Karbala

Namun, semua nasihat dan kekhawatiran yang terpancar dari keluarga dan para sahabatnya tidak berhasil membatalkan niat Husein untuk pergi ke Kufah. Keharuan menyelimuti penduduk Makkah saat mereka akhirnya terpaksa melepas Husein dan rombongannya yang hendak menuju Kufah pada 18 Zulhijah tahun ke-60 Hijriyah.

Sebelum tiba di Kufah, Husein mengutus Qeis bin Mashar As-Saidawiy untuk pergi ke kota tersebut, untuk memastikan kembali situasi Kufah. Namun nahas, Qeis bin Mashar As-Saidawiy tertangkap Ubaidillah bin Ziyad dan pasukannya, lalu ia dibunuh.

Saat Qeis bin Mashar As-Saidawiy pergi menjalankan perintahnya, datang kabar kepada Husein tentang kematian Muslim bin ‘Aqil dan situasi Kufah yang telah berubah. Namun, Husein beserta sebagian rombongan terus melanjutkan perjalanan menuju Kufah.

Kabar kedatangan Husein dan rombongannya di dekat perbatasan Kufah disambut dingin penduduk Kufah yang konon lebih dari 100.000 ribu orang menyatakan janji setianya kepada Husein. Kekhawatiran keluarga dan sahabat Husein di Makkah yang menasihatinya agar tidak berangkat ke Kufah ternyata benar.

Rombongan Husein tiba di Karbala pada 2 Huharram 61 Hijriyah di bawah pengawasan ketat pasukan berkuda utusan Ubaidillah bin Ziyad yang dipimpin oleh Al-Hurr bin Yazid At-Tamimiy. Sementara Ubaidillah bin Ziyad sang kepala daerah Kufah kemudian menyiapkan pasukan tempur berkekuatan 4000 orang dengan persenjataan lengkap yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash.

Pada 10 Muharam 61 Hijriyah atau 10 Oktober 680 Masehi, tepat hari ini 1338 tahun lalu, 4000 pasukan yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash menyerbu rombongan Husein yang hanya berkekuatan 72 orang; 32 orang prajurit berkuda dan 40 orang pejalan kaki, selebihnya terdiri dari anak-anak dan perempuan.

Pasukan Husein bertempur merangsek menghadapi hujan panah, lembing, tombak, dan ayunan pedang pasukan musuh. Namun, mereka akhirnya tumpas. Setelah pasukannya habis, akhirnya Husein pun dibunuh.

Perang Karbala merupakan kelanjutan dari riwayat panjang tentang perselisihan dan permusuhan kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah. Karen Amstrong dalam Sepintas Sejarah Islam (2000) menyebutnya sebagai "fitnah" yang melanda dunia Islam. Dan Perang Karbala pula yang menjadi puncak permusuhan itu menjadi batu tapal dimulainya keterbelahan antara kaum Sunni dan Syiah secara luas di seluruh dunia.

Persoalan politik itu seolah-olah menjadi hulu ledak bagi timbulnya perdebatan yang tak berkesudahan, sebab kemudian dibumbui juga oleh perbedaan lain yang disebut-sebut kaum Sunni sebagai perbedaan secara syariat dan akidah. Sunni dan Syiah sama-sama mencintai Ahlul Bait atau keluarga Rasulullah, tapi karena persoalan syariat dan akidah semakin meruncing, maka keduanya tak bisa disatukan laksana air dan minyak.

Dalam pengantarnya di buku Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya (1978), Hamka menerangkan jika dirinya ditanya akan berpihak ke mana dalam pertentangan yang terjadi pada masa lalu itu, maka ia mengungkapkan bahwa dirinya akan berpendirian seperti para ulama terdahulu seperti Imam Abu Hanifah, Hasan Al Bishri, dan Umar bin Abdul Aziz yang berkata:

"Itulah darah-darah yang telah tumpah, yang Allah telah membersihkan tanganku dari percikannya; maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku." (irf)

Tayang pertama kali di Tirto.id pada 10 Oktober 2018
Foto: Wikipedia