31 May 2021

Raymond Carver, Kisah Cinta yang Rapuh dan Cepat Berlalu


“Kita tak pernah memiliki

Rumah yang kita diami semusim

telah dituntut kembali

Tak ada yang kita punya

Yang kita bisa hanya

membekaskan telapak kaki,

dalam,

sangat dalam,

ke pasir

Semuanya luput

Juga waktu”

 

--Subagio Sastrowardoyo

 

Cinta tampil dalam wajahnya yang murung. Orang-orang berpisah dan kesepian. Rumah tangga berantakan. Laki-laki dan perempuan dewasa yang sama-sama kalah. Atau mungkin matang secara biologis, tetapi masih mentah dalam sikap.

17 cerpen Raymond Carver membicarakan hal itu. “What We Talk About When We Talk About Love” sebagai judul paling kesohor dan banyak menginspirasi pelbagai produk budaya lain, nyatanya menampilkan penggalan dialog yang dingin dan pahit.

“Tapi kalau sesuatu menimpa salah satu dari kami besok, kukira orang yang satunya, pasangannya, akan berduka cita sebentar, tahu, tapi kemudian pihak yang masih hidup akan bangkit dan mencintai lagi, menemukan seseorang lain dalam waktu cukup singkat. Semua ini, semua cinta yang kita omongkan ini, hanya akan jadi kenangan. Mungkin bahkan tidak sampai jadi kenangan.”

Atau memang mestinya begitu? Manusia harus move on, segera melupakan yang indah-indah di masa lalu, karena waktu terus berderap. Jarak antara keindahan dan kematian begitu tipis. Serupa taman dan makam.

Simak ucapan Holly kepada pasangan dalam cerpen “Gazebo”. Dia menolak untuk kembali:

“Ada yang mati dalam diriku. Ia sekarat lumayan lama dan akhirnya mati. Kau telah membunuh sesuatu, menjagalnya dengan kapak. Sekarang semuanya kotoran.”

Apa pasal? Duane, pasangan Holly, bercinta dengan Juanita.

Keretakan bermula pada suatu pagi. Duane memasang ubin di kamar mandi. Juanita, perempuan Meksiko, pembantu yang dipekerjakan Holly masuk untuk bersih-bersih. Mula-mula Duane dipanggil ‘Tuan’, kemudian hanya dipanggil nama. Lalu mereka bercinta.

“Kau melangkahi pernikahan. Kau membunuh kepercayaanku,” ujar Holly.

Duane dan Juanita melakukannya lima kali dalam sepekan. Antara pukul 10 dan 11 siang. Di kamar mana pun yang tengah Juanita bersihkan. Ya, Duane hanya perlu menyusulnya dan menutup pintu.

“Kami melakukannya dengan mesra, tetapi lekas. Tidak masalah,” ucap Duane.

Kini, semuanya telah berakhir.

Kisah serupa hadir dalam cerpen “Oleh-oleh”. Seorang perempuan penjual keliling Stanley Products datang ke sebuah rumah. Diterima si suami dari pelanggannya. Palmer, nama suami si nyonya langganan, menawarkan masuk dan duduk sebentar. Sementara dia hendak membawa uang untuk membayar barang pesanan si nyonya.

Perempuan penjual keliling awalnya menolak. Tapi akhirnya masuk juga. Basa-basi. Omong-omong. Merokok. Pembicaraan pun mulai mengalir. Mereka merasa nyaman.

“Setelah itu semuanya berkabut. Aku ingat menawarinya kopi […] Aku mengantarkan kopi buat dia, dan saat itu dia sudah melepas jaketnya […] Lalu kucium dia. Kusandarkan kepalanya di sofa dan aku menciumnya, dan aku bisa merasakan lidahnya mendesak-desak mau masuk mulutku,” ucap Palmer.

Berapa usia mereka ketika melakukannya? Palmer 55 tahun, anak-anaknya sudah dewasa. Sementara Sally, perempuan penjual keliling itu separuh usia Palmer dan punya dua anak laki-laki. Tapi cinta tak memedulikan usia. Kata Palmer, saat pertama kali berjumpa dengan Sally, “Dia bukan yang tercantik. Tapi ada hal-hal yang menyenangkan pada dirinya.”

Dan begitulah akhirnya. Hubungan Palmer dan istrinya seolah baik-baik saja, tapi di belakang, Palmer kerap bertemu dengan Sally secara rutin. Meski demikian, kepada anaknya yang telah berkeluarga, saat mereka bertemu di bandara, Palmer masih sempat membela diri.

“Demi Tuhan, aku belum pernah mengkhianati ibumu sekali pun selama kami menikah. Tak sekali pun. Padahal ada saat-saat ketika aku ingin dan merasa punya kesempatan. [Tapi] seseorang bisa saja terus mematuhi aturan dan tiba-tiba itu jadi tak berarti lagi,” ujarnya.   

Persis seperti yang ditulis Andrea Hirata dalam Edensor: cinta berpindah, atau mati dan tumbuh, secepat memindahkan saluran tv lewat remote. Atau seturut puisi populer Chairil Anwar: “Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”.

Dalam buku ini, Raymond Carver tak hanya berkisah tentang perselingkuhan dan hubungan yang gagal. Tapi juga kegilaan-kegilaan yang merundung tokoh-tokohnya dalam keseharian.

Lugas dan memikat. (irf)

28 May 2021

Ketika Jurnalis Membongkar Kasus Pembunuhan Berencana

Kirana, mantan selingkuhan Jaka—jurnalis di desk kriminal—tewas dalam kecelakaan tunggal. Rem mobilnya blong dan meluncur ke jurang. Ayah Kirana, Adiguna, anemer paling kaya se-Bandung. Dia amat terpukul atas kepergian anaknya yang mengenaskan. Namun, dia juga tak bersedia diwawancarai oleh awak media.

Selain karena pernah saling jatuh hati dan tugas dari kantor, Jaka juga merasa janggal dengan kematian mantan kekasihnya itu. Ketika dia datang ke rumah Adiguna dan ditolak secara halus oleh tuan rumah, Jaka mencium gelagat yang mencurigakan.

Bison alias Alam, kakak Kirana, disebutkan oleh ayahnya setengah gila. Ibunya, istri Adiguna, konon kerap mengamuk. Sementara para pembantu mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu.   

“Temui Nyi Karsih di Desa Batununggal,” ujar Bison pendek ketika Jaka hendak pamit.

Karsih rupanya mantan pembantu Adiguna yang tengah hamil karena disetubuhi majikannya. Sementara Karsa, kakaknya, mantan salah satu sopir Adiguna. Ya, kakak-beradik itu bekerja di rumah yang sama sebelum Kirana tewas.

Sebelum menemui Karsih, Jaka terlebih dulu menemui Duri, atau Kirana biasa memanggilnya Bi Duri. Wanita setengah baya yang masih menarik serta tinggal di rumah yang bagus. Dulu, saat Kirana dan Jaka masih dekat, mereka kerap berkunjung ke rumah itu.

Jaka mencoba mengorek keterangan dari Duri, namun wanita itu telah diperintahkan oleh Adiguna untuk tutup mulut kepada jurnalis. Meski mulanya susah, tetapi akhirnya Jaka berhasil membuat Duri percaya bahwa segala keterangannya tidak akan diwartakan.

Wawancara itu dibumbui dengan hasrat terpendam Jaka terhadap Duri yang rupanya merangsang berahinya.

“Dia (Bi Duri) menghirup dulu kopinya, seperti amat nikmat. Hati tak menentu, degdegan oleh dua tiga hal, degdegan oleh tali kutang [Bi Duri] dan cerita yang belum diungkapkan. Bibir manis [Bi Duri] terbasahi air kopi, menjadikannya terlihat semakin manis,” ungkap Jaka dalam senandika.

Setelah menemui Duri, Jaka minta bantuan kepada Suminar, rekan kerjanya. Mereka kemudian menemui Karsih dan Karsa. Teka-teki kematian Kirana pun mulai terbuka. Selubung misteri kian jelas saat mereka menemui Garnida—pacar Kirana yang pernah kuliah bareng di Australia. Garnida sakit. Kematian Kirana amat memukulnya. Pacarnya itu mati dalam keadaan mengandung anaknya.

Kemudian semuanya terbongkar setelah mobil yang dibawa Kirana saat jatuh ke jurang diperiksa ke bengkel.

Aam Amilia, penulis kisah ini, berhasil menggiring pembaca hingga ke pengujung cerita. Sayang, ketika otak pembunuhan Kirana terbongkar, motif pelaku terbilang klise. Tapi bagaimana pun, dalam khazanah sastra Sunda, kisah seperti Imah Agréng (Rumah Mewah)—cetakan pertama April 2021—terbilang masih langka. Bagi saya, kisah ini cukup mengejutkan.

Di sisi lain, jika ditilik latar belakang penulis yang merupakan tokoh jurnalistik, cerita seperti ini memang sangat memungkinkan lahir dari rahim sastra Sunda. Bagi pembaca muda yang terbiasa dengan dunia digital, teks ini akan sedikit berjarak karena Aam Amilia terbilang generasi lampau (kelahiran 1946).

Media yang tampil dalam cerita adalah media cetak, dan penulis masih setia memakai kata “wartawan” dan “wartawati” alih-alih “jurnalis”. Di luar itu, penulis berhasil mengemukakan kondisi kompetitif di antara media dalam “memegang” isu.

“Bagus, sampai sekarang belum ada wartawan dari koran lain yang mengetahui [kasus ini]. Soalnya, aku tidak buru-buru melapor ke polisi. Jika sudah ada di tangan polisi, biasanya sulit menutupinya dari pendengaran wartawan lain,” ujar Jaka kepada dirinya sendiri.       

Penulis juga berhasil menggambarkan suasana newsroom desk kriminal yang amat dinamis. Keseharian mereka sekilas seperti adegan dalam film-film detektif. Cara menutup cerita pun cukup menarik: menjelentrehkan bahwa kerja-kerja jurnalis adalah sambungan sejumlah halte, dari napas panjang satu ke napas panjang berikutnya.

Lebih dari itu, ungkap Aam Amilia melalui Jaka, kerja sebagai jurnalis akan terasa sangat nikmat ketika tulisan berdampak positif bagi masyarakat.

“Sebuah kegembiraan yang tak ternilai oleh uang sebanyak apa pun,” imbuhnya klise. (irf)

Politikus dan Puisi-Puisi Buruk yang Menjadi Populer


Hari-hari ini, kondisi masyarakat gampang tersulut, terutama pasca polarisasi Pilpres 2014 yang berlanjut hingga Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Banyak hal dicurigai sebagai usaha satu kubu menyerang kubu yang lain. Ketegangan kerap terjadi dari satu peristiwa ke peristiwa. Kehidupan sosial menjadi rawan dan rentan.

Di tengah situasi masyarakat seperti itu, Kamis 29 Maret 2018, dalam acara “29 Tahun Anne Avantie Berkarya” di ajang Indonesia Fashion Week 2018, Sukmawati membacakan puisi berjudul “Ibu Indonesia”.

“Aku tak tahu syariat Islam / yang kutahu sari konde ibu Indonesia / sangatlah indah / lebih cantik dari cadar dirimu […] Aku tak tahu syariat Islam / yang kutahu suara kidung ibu Indonesia / sangatlah elok / lebih merdu dari alunan azanmu…”

Potongan puisi tersebut menyulut kemarahan. Sukmawati dilaporkan ke polisi dengan tuduhan telah melakukan penistaan terhadap agama Islam.

“Seharusnya Sukmawati belajar dari kasus Ahok tentang penistaan agama yang telah menimbulkan kegaduhan luar biasa di masyarakat,” ujar 
Djudju Purwantoro, sekjen Ikatan Advokasi Muslim Indonesia (IKAMI).

Rabu, 4 April 2018, bertempat di Warung Daun, Cikini, Sukmawati mengklarifikasi puisi kontroversialnya tersebut. Menurutnya, seperti dilansir 
Kompas, puisi yang dibacakannya tersebut adalah refleksi keprihatinannya ihwal rasa wawasan berkebangsaan. Ia menambahkan bahwa puisi “Ibu Indonesia” ditujukan agar anak bangsa tidak melupakan jati dirinya.

Hasta Indriyana, penyair yang telah menerbitkan beberapa buku puisi, seperti Rahasia Dapur Bahagia, Belajar Lucu dengan Serius, Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta, dan Seni Menulis Puisi, menyebut puisi Sukmawati tersebut jelek. Menurutnya, makna puisi itu banyak yang kontradiktif.

“Ia mengaku tidak tahu syariat Islam, tapi kemudian membandingkannya dengan yang lain […] Mengapa harus membandingkan dua hal jika salah satu di antaranya tidak dipahami? Ini fatal,” 
ujarnya.

Namun, puisi tersebut kadung menjadi bahan perbincangan dan sawala di masyarakat. Sebagian menganggapnya penistaan, sebagian lagi menyebutnya sekadar ekspresi. Status Sukmawati sebagai salah satu anak Sukarno dan Ketua Umum PNI Marhaenisme, membuat puisi tersebut menguar ke ruang publik dan menjadi sorotan banyak media.

Sukmawati bukan tokoh publik pertama yang membacakan puisi-puisi yang sarat dengan kalimat-kalimat verbal. Setahun sebelumnya, Gatot Nurmantyo yang saat itu masih menjabat sebagai Panglima TNI, sempat juga membacakan cuplikan puisi berjudul “Tapi Bukan Kami Punya” karya Denny JA dalam acara Rapimnas Golkar di Novotel Hotel, Balikpapan.

“ […] Lihat padi menguning / menghiasi bumi sekeliling / desa yang kaya raya / tapi bukan kami punya / Lihat hidup di kota / pasar swalayan tertata / ramai pasarnya / tapi bukan kami punya / Lihatlah aneka barang / dijual belikan orang / oh makmurnya / tapi bukan kami punya...”

Dari teks lengkap puisi yang ditulis Denny JA, Gatot hanya membacakan bagian pertama saja yang menyoroti tentang ketimpangan, kepemilikan, yang “tapi bukan kami punya”.

Kekayaan desa dan kota dalam puisi itu begitu banyak, Denny JA menggambarkannya dengan: “sangat subur tanahnya, sangat luas sawahnya”, “lihat padi menguning, menghiasi sekeliling”, “pasar swalayan tertata, ramai pasarnya”, “lihatlah aneka barang, dijual belikan orang, oh makmurnya”, tapi masyarakat umum yang diwakili tokoh “Jaka” bukan pemilik kekayaan tersebut.

Namun, 
puisi itu belum selesai, sebab pada bagian berikutnya Denny JA juga membahas “Jaka” yang diperlakukan tidak adil di hadapan hukum. Ia diceritakan memimpin aksi demonstrasi yang memicu kerusuhan. Jaka ditangkap polisi. Di hadapan polisi, Jaka menjawab: “Kami tak punya sawah / hanya punya kata / Kami tak punya senjata / hanya punya suara”.

Jika Gatot membacakan utuh puisi itu, maka gagasan yang disampaikan Denny JA sejatinya adalah masalah konflik agraria yang sekarang begitu marak di perdesaan akibat agresifnya laju pembangunan.

Sebagai panglima penjaga teritorial, Gatot justru melihat kasus dalam puisi Denny JA sebagai ancaman kewilayahan, alih-alih konflik lahan yang kerap merugikan rakyat.

“Pengungsi ilegal masuk, pulau kita banyak, ini yang sangat berbahaya. Dampak imigrasi penduduk, dulu ada bangsa Indian, sekarang nggak ada, hampir punah. Aborigin sekarang hampir punah,” ujar Gatot seperti dilansir 
detik.com

Setahun sebelum Gatot membacakan puisi Denny JA, tepatnya tanggal 23 September 2016, Fadli Zon—politisi Partai Gerindra, membacakan puisi berjudul “Sajak Tukang Gusur”. Ia membacakannya saat pengumuman nama Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta, bertempat di rumah Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, di Jalan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Puisi penuh tendensi itu adalah genderang perang yang ditabuh Fadli Zon dan para sekondannya untuk menghadapi Pilgub Jakarta 2017. Sasaran tembaknya jelas Ahok sebagai gubernur petahana. Dari bait pertama, puisi 
“Sajak Tukang Gusur” telah garang menggedor-gedor:

“Tukang gusur, tukang gusur / Menggusur orang-orang miskin / Di kampung-kampung hunian puluhan tahun / Di pinggir bantaran kali Ciliwung / Di rumah-rumah nelayan Jakarta / Di dekat apartemen mewah / Mal yang gagah / Semua digusur, sampai hancur”

Sampai pengujung puisi, Fadli tak mengendorkan serangan. Puisi tersebut lalu mendapat sambutan meriah dari para pendukung Partai Gerindra dan PKS yang hadir dalam acara tersebut.

Dibacakan oleh seorang politikus yang berseberangan dengan pengampu kebijakan pembangunan dan penataan ibu kota, puisi itu hanyalah untaian bait banal. Kritik ditunggangi kepentingan politik. Oleh karenanya, puisi yang di bacakan Fadli Zon, barangkali, hanya sedikit di bawah agitasi.

Media menyoroti hal ini, “Sajak Tukang Gusur” menyebar lewat kanal-kanal pemberitaan. Lalu dilipatgandakan kekuatan daring.

Di luar respon masyarakat yang terbelah, ketiga puisi dalam paparan di atas, yakni “Ibu Indonesia”, “Tapi Bukan Kami Punya”, dan “Sajak Tukang Gusur” melenggang ke hadapan publik dengan mulus. Para tokoh politik dan militer punya keleluasan membacakan apa yang ingin mereka sampaikan. Sebelum dirisak masyarakat, mereka tak ada yang mengahalangi untuk membacakan puisi.

Sekali waktu, keleluasaan itu sempat menjadi barang mahal bagi seorang DN. Aidit, Ketua Umum Partai Komunis Indonesia: puisinya ditolak Harian Rakjat, media yang justru menjadi salah satu corong PKI.

Sabtu malam, sekitar awal 1965, telepon kantor Harian Rakjat yang beralamat di Jalan Pintu Besar Selatan No. 93 berdering. DN. Aidit hendak menanyakan nasib puisinya yang ia kirim ke media tersebut. Amarzan selaku redaktur yang bertugas menyeleksi kiriman puisi menjelaskan, puisi karya Ketua Umum Comite Central PKI tersebut tak akan dimuat karena dinilai belum layak.

“Hening. Lalu brak! Telepon dibanting,” tulis 
Tempo.

Satu jam kemudian, telepon Harian Rakjat kembali berbunyi. Kali ini Njoto, kolega DN. Aidit di PKI yang sekaligus Pemimpin Redaksi Harian Rakjat yang menghubungi. Ia bertanya kepada Amarzan apakah tidak ada hal-hal lain yang bisa dipertimbangkan agar puisi yang ditolak itu bisa dimuat. Singkat Amarzan menjawab, “tidak.”

“Baik. Kalau begitu, saya mendukung keputusan Bung,” balas Njoto.

Sekali itu, harapan DN. Aidit yang ingin menampilkan karyanya pupus. Meski marah dan menempuh cara lain dengan menghubungi Njoto demi puisinya dimuat di koran corong partainya, tapi ikhtiarnya tetap gagal. Puisinya terbenam. Kuasa tak menolongnya.

Puisi buruk DN. Aidit, atau “belum layak dimuat” kata Amarzan, dan sederet puisi banal yang dibacakan oleh para politikus kiwari, mengabarkan satu hal bahwa birahi tampil begitu menggelegak. Panggung politik seolah belum cukup menampung hasrat itu. (irf)

Kisah Iwan Simatupang Menjadi Manusia Hotel

“Ibu ini memang ada rumah, tapi juga ada trauma di masa lalu. Karena yang bersangkutan pernah dirampok, ada tindak kekerasan. Itu yang bikin trauma,” kata Bambang Kusuma, kuasa hukum Candri Widarta, pelaku dugaan penelantaran anak yang tinggal di hotel selama 10 tahun.

Candri Winarta, menurut keterangan polisi, tinggal di hotel yang berbeda-beda. Ia berpindah-pindah dari Twin Plaza, Peninsula, dan Le Meridien. Menghabiskan biaya yang tak sedikit tentu saja. Menurut pengakuannya ia mendapat bantuan dana dari gereja, dan ia juga mengaku melakukan praktik pengobatan tradisional, sehingga menganggap wajar tinggal di hotel selama bertahun-tahun.

“Kalau punya duit, memangnya kenapa?” ujarnya.

Meski dengan motivasi berbeda, pada 1960-an, Iwan Simatupang (selanjutnya ditulis Iwan)—sastrawan pengarang novel Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), dll, pernah melakukan hal yang sama dengan Candri: memutuskan tinggal di hotel.

Iwan pertama kali menikah dengan Corinne Imalda de Gaine (Corry) pada tahun 1955. Mereka dikaruniai dua orang anak, Ino Alda dan Ion Portibi. Lima tahun kemudian istrinya meninggal. Hal ini membuat ia terpukul. Warsa 1961, Iwan menikah lagi dengan Tanneke Burki, penari balet di Bandung. Dari pernikahannya yang kedua, Iwan mempunyai lagi anak bernama Violeta. Pernikahan keduanya kemudian bubar pada tahun 1964.

Kehidupan rumahtangga Iwan dan relasi lainnya menjadi salah satu penyebab yang mendorongnya untuk tinggal di hotel. Bagaimana sesungguhnya perjalanan hidup Iwan sebelum tinggal di hotel?

Riwayat hidup Iwan berdasarkan catatan Dami N. Toda dalam Novel Baru Iwan Simatupang (1984) mula-mula sekolah di SMA Padang Sidempuan, tapi tidak selesai karena keburu terjadi Agresi Militer Belanda II. Dalam kecamuk revolusi itu Iwan bergabung dengan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) sebagai komandan, dan aktif juga di Perhimpunan Pelajar Indonesia Sumatra Utara sebagai ketua.

Tahun 1949 ia tertangkap Belanda dan dilepaskan di Medan. Setelah tamat dari HBS Medan, ia melanjutkan ke Sekolah Kedokteran Surabaya, lalu melanjutkan studi di Belanda dan mendapatkan jodoh orang sana. Setelah itu belajar pada Full Course International Institute For Social Studies di Den Haag, dan Ecole de L’Europe (Brugge), sambil belajar drama di Amsterdam. Tahun 1958 belajar filsafat pada Prof. Jean Wahl di Sorbonne (Paris).

Namun riwayat pendidikan Iwan diragukan Ajip Rosidi. Dalam kumpulan mini biografi dan tulisannya lainnya yang dihimpun di buku Lekra Bagian dari PKI (2015) bab “Iwan Simatupang”, Ajip menyebutkan bahwa Iwan berangkat ke Eropa pada tahun 1954 atas undangan dari Sticusa atau Stichting voor Culturele Samenwerking (Yayasan Kerjasama Kebudayaan) di Belanda dengan tujuan memajukan kehidupan budaya di daerah jajahan Belanda.

Sticusa dibubarkan pada 1956 dan Iwan kembali ke Indonesia awal 1958. Ajip menjelaskan bahwa kalau benar Iwan kuliah, itu dimungkinkan setelah Sticusa bubar. Tapi jarak antara lembaga tersebut bubar dengan kepulangan Iwan ke Indonesia amat pendek, sedangkan kalau kuliah membutuhkan waktu yang lebih dari dua tahun.

“Kalau dia benar masuk universitas niscaya dibutuhkan waktu yang lebih lama, karena dia baru mungkin kuliah setelah Sticusa bubar, yaitu tahun 1956. Dengan disebutnya nama empat universitas […] sedangkan ia di Eropa [di luar Belanda] setelah undangan Sticusa habis hanyalah kira-kira dua tahun saja. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cerita tentang Iwan mengikuti kuliah di empat universitas itu semuanya hanya angan-angan saja,” tulis Ajip. (hlm. 138)

Anggapan Ajip tentang Iwan yang berangan-angan, ia tegaskan dalam hal lain di luar cerita kuliah.

“Banyak cerita tentang Iwan yang dikisahkan sebagai anekdot saja. Kita tak tahu sampai di mana kebenarannya. [...] Saya sendiri kalau mendengar cerita Iwan, banyak diam, karena tidak semua ceritanya dapat dengan mudah dikenali sebagai khayalan. Dan caranya bercerita sangat mengasyikkan,” terangnya. (hlm. 139)

Sepulangnya dari Eropa, ia tinggal sebentar di Cipanas, lalu pindah ke Bogor. Di sinilah istrinya meninggal karena sakit tifus yang membuat Iwan sangat menderita. Di tahun yang sama dengan kematian istrinya, Iwan dirawat di Klinik Sakit Jiwa dengan komplikasi bronchitis. Novel Ziarah yang ia tulis dari bulan Oktober sampai November 1960 adalah persembahan untuk istrinya.

Hotel Salak Kamar 52

Bersama dua orang anaknya Iwan pernah tinggal di Hotel Salak, Bogor, di kamar 52. Berapa lama ia tinggal di hotel tersebut? M. Ryana Veta dalam “Selamat Sore, Pak Iwan: Memori 4 Agustus, Setahun Meninggalnya Iwan Simatupang” yang dimuat Harian Abadi, 8 Agustus 1971, menyebutnya 4 tahun.

M. Ryana Veta yang tergabung dalam grup Study Teater Bogor menceritakan bahwa Iwan menyediakan konsumsi latihan drama untuk ia dan kawan-kawannya ketika akan mementaskan drama “Pangeran Wiraguna” karya Mochtar Lubis. Ia menambahkan bahwa itu terjadi sekitar bulan Juli tahun 1967 saat Iwan masih tinggal di hotel Salak.

“Kehadirannya selama 4 tahun di kota Bogor banyak memberi pikiran-pikiran baru bagi sementara pekerja kesenian kota itu,” tulisnya.

Sementara Aulia A. Muhammad dalam Bayang Baur Sejarah: Sketsa Hidup Penulis-penulis Besar Dunia (2003) bab “Si Manusia Hotel” menulis bahwa Iwan tinggal di Hotel Salak selama 9 tahun (sejak 13 Agustus 1961-5 November 1969).

Di luar perbedaan tentang berapa lama Iwan tinggal di Hotel Salak, dalam surat-suratnya kepada H.B. Jassin, seperti dikutip Aulia A. Muhammad, Iwan terlihat tertekan oleh persoalan-persoalan hidup.

Dalam surat bertitimangsa 14 April 1968 yang ia tulis di kamar 52 Hotel Salak, Iwan menyampaikan bahwa ia banyak mengalami kegetiran, dan itu hanya bisa diobati jika novel-novelnya terbit.

“Aku banyak sekali mengalami kegetiran akhir-akhir ini, Hans. Dan, hanya dengan terbitnya novel-novelku inilah yang mampu memberi kompensasi kepada frustasi-frustasiku. Bahkan, kegetiran yang bagaimanapun aku tak gentar menghadapinya, bila saja karya-karyaku dapat terbit,” tulis Iwan.

Lalu pada 3 Desember 1968, saat bulan Ramadan, ia menulis, “Mengapa terasa begini menyesakkan dada kesulitan yang kita alami, Hans? Cari uang susah, memelihara hubungan pribadi baik dengan kenalan atau kawan sangat sulit, sedangkan langit terlalu biru dan cerah sekali, serta jalan-jalan aspal kering sekali.”

5 November 1969, Iwan menulis surat lagi, “Rasa asing dalam diriku, terhadap diriku, anak-anakku, dan dunia selebihnya semakin parah saja. Aku semakin tak punya kepentingan apa-apa lagi dengan kehidupan dan dunia ini. Aku semakin letih saja.”

Dari ketiga kutipan surat tersebut tampak sekali hidup Iwan tidak sedang baik-baik saja. Ia kesulitan mencari uang, novel-novelnya yang kata dia mampu memberi kompensasi terhadap frustasi-frustasinya tak kunjung terbit. Ia juga kesulitan memelihara hubungan pribadi dengan kawan dan kenalannya. Pada akhirnya hal-hal itu membuat ia merasa asing dan menyatakan tak punya kepentingan lagi dengan kehidupan.

Iwan memang sempat mengalami hubungan yang kurang baik dengan sebuah penerbit. Hal itu ia sampaikan kepada H.B. Jassin di surat tanggal 30 Oktober 1963.

Menurutnya, ia dibuat repot oleh Zaini dari Mega Bookstore. Novel Merahnya Merah yang rampung ditulis pada Oktober 1961, dijanjikan Zaini akan segera terbit dalam sebulan. Namun ternyata Zaini meralatnya, bahwa novel tersebut baru bisa terbit paling cepat setelah Januari 1964. Hal ini tenrtu saja menjengkelkan Iwan, sebab ia membutuhkan uang untuk biaya hidupnya.

“Alangkah nonchalant-nya penerbit macam Saudara Zaini ini. Dia terlalu sadar rupanya akan pentingnya dia—penerbit, bagi kita, para pengarang! Apa boleh buat aku terpaksa mengalah. Sebab, aku mempunyai kepentingan yang sangat agar terbit segera mungkin!” tulisnya.

Karya-karya Iwan memang mengalami jeda cukup panjang antara waktu selesai penulisan dengan waktu terbitnya: Merahnya Merah selesai ditulis 5 Oktober 1961, terbit 1968 oleh Gunung Agung. Ziarah selesai 2 Desember 1960, terbit 1969 oleh Djambatan. Kering kelar 5 Desember 1961, terbit 1972 oleh Gunung Agung. Kooong selesai tahun 1968, terbit 1975 oleh Pustaka Jaya.

Dalam surat-suratnya yang lain, Iwan menyampaikan bahwa ia tinggal di hotel karena suka dan terpaksa, meski ia pun menulis bahwa pada dasarnya “kita tak pernah merasa betah”.

“Inilah inti dari psikologi manusia hotel. Ia adalah tamu! Dan tamu selalu berarti: (baru) datang, (bakal) pergi (lagi). Jadi, ia manusia datang dan pergi. Ia manusia mobil. Ia selalu ada dalam perjalanan, antara datang dan pergi. Oleh sebab itu, bumi kehidupan manusia hotel juga berlangitkan relativisme. Filsafat hidup hari-harinya adalah juga filsafat riskan,” tambahnya.

Tuhan bagi manusia hotel, terang Iwan, adalah polisi yang setiap hari mengontrol hidup melalui buku tamu. Selain itu, piket patrol garnisun bagi manusia hotel selalu menyediakan banyak penamaan: manusia tersangka-gerombolan-petualang-penganggur.

“Pada hakikatnya, tanpa berita acara dari piket patrol garnisun ini, manusia hotel sudah lama menjadi kesemuanya itu. Manusia hotel adalah the modern tramp, pengembara yang berpretensi punya kegelisahan modern, berpretensi jadi Don Kisot modern. Manusia hotel adalah partisan dalam arti yang sebenarnya,” ujar Iwan.

Iwan keluar dari Hotel Salak karena kondisi keuangan dan kesehatannya semakin memburuk. Ia kemudian menumpang di bagian belakang rumah adiknya di Jalan Kencana 11, Jakarta.

Saat Sides Sudyarto—penulis buku Salat Lebaran di Kamp Konsentrasi (2006) menjenguknya, ia harus menahan tangis melihat kondisi Iwan yang dijerat kemiskinan. Iwan duduk seorang diri di tepi tempat tidurnya dengan hanya mengenakan celana dalam. Tangannya tengah menjahit bagian celana anaknya. Ia menyambut Sides dengan perubahan muka yang menjadi cerah.

Sambil menjahit kancing celana anaknya ia berkata, “Sides, sudah lama kutunggu kau. Hari ini, kau harus mengemis untukku. Kalau tidak, resep dokter ini tak tertebus dan aku akan segera meninggal,” ujar Iwan. (Aulia A. Muhammad dalam Bayang Baur Sejarah: Sketsa Hidup Penulis-penulis Besar Dunia: 2003, hlm. 87)

4 Agustus 1970, pukul 10 pagi, Iwan meninggal dunia di rumah kakak perempuannya. Pada pidato pemakamannya, Frans Seda (teman dekat Iwan yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan) berkata:

“Saya teringat pada Iwan di saat saya mengajarkan Schubert, yaitu Simfoni yang tak selesai-selesai, dan inilah yang saya lihat dalam hidupmu berjalan, simfoni dari pahit getir, frustasi, kontradiksi-kontradiksi. Iwan, kamu selalu intensif dalam hidup ini, intensif dalam marah, dalam hal-hal yang menggiurkan, kepahlawanan yang hebat-hebat, dan di situlah kau Iwan menjadi besar.” (irf)

09 May 2021

Sejarah Jampangkulon (Bagian 1)

Aku dilahirkan pada awal tahun 1918, di ibu kota Kewedanaan Jampangkulon. Zaman itu, yang disebut kewedanaan suka disebut juga distrik, sementara kecamatan onderdistrik. Seingatku, waktu aku masih kecil nama ibu kota Jampangkulon adalah Cicurug Pamerangan. Entah kenapa sebabnya ditambahi sebutan Pamerangan, seperti pernah menjadi tempat peperangan saja. 

Namun konon, hal itu untuk membedakannya dengan kota Cicurug yang menjadi ibu kota Kewedanaan Cicurug, yang letaknya di sebelah utara-barat Kabupaten Sukabumi, di sisi jalan menuju Bogor. Juga aku tidak tahu, kenapa sebabnya belakangan nama Cicurug Pamerangan tak pernah dipakai lagi, cukup disebut Jampangkulon saja, sama dengan sebutan untuk seluruh wilayah Kewedanaan Jampangkulon. Akhirnya sekarang—kalau bukan kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah sangat tua—sudah tidak ada lagi yang tahu bahwa dulu ibu kota Kewedanaan Jampangkulon bernama Cicurug Pamerangan.

Padahal di dua kewedanaan lain yang ada di daerah Pajampangan, yaitu Jampangtengah dan Jampangwetan, dari zaman dulu nama ibu kotanya tidak sama dengan nama kewedanaannya. Ibu kota Kewedanaan Jampangtengah bernama Bojonglopang, sementara ibu kota Kewedanaan Jampangwetan adalah Sukanagara. Dari dulu hingga kiwari tetap tak pernah berubah.

Kewedanaan Jampangkulon terletak di ujung selatan Kabupaten Sukabumi. Jaraknya dari ibu kota kabupaten kurang lebih 100 kilometer. Di sebelah barat dan selatan Jampangkulon berbatasan dengan Laut Kidul atau yang sekarang bernama Samudera Indonesia—dulu bernama Indische Oceaan atau Samudera Hindia. Di sebelah utara berbatasan dengan Kewedanaan Palabuanratu dan Kewedanaan Jampangtengah. Sementara di sebelah timur berbatasan dengan Kewedanaan Jampangwetan yang secara administratfi masuk wilayah Kabupaten Cianjur. Ke laut sebenarnya masih jauh, khususnya ke pantai tempat bermain, yaitu Ujunggenteng dan Pangumbahan.

Dulu Ujunggenteng merupakan pelabuhan tempat menaikkan rupa-rupa hasil perkebunan ke atas kapal, seperti: karet kopra, dan tapioka. Namun sekarang pelabuhan itu tak pernah dipakai lagi. Kalau yang datang ke Pangumbahan tujuannya ingin melihat tempat penyu bertelur, malah kalau bisa sembari ingin melihat penyu tengah bertelur. Diintipnya malah hari saat bulan tak bersinar, bahkan tak boleh menyalakan lampu senter karena akan mengganggu yang akan bertelur.

Di Kabupaten Sukabumi, meski letak Jampangkulon adalah yang paling jauh dari pusat kota, tetapi dalam bidang kehidupan sehari-hari tidak terlalu ketinggalan dari daerah-daerah yang lain yang letaknya “lebih tengah” atau lebih dekat ke kota. Kemajuan Jampangkulon saat itu mencakup bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Buktinya pada tahun 1930-an sudah berdiri HIS Pasundan yang mandiri dengan jumlah murid yang lumayan banyak. Guru-gurunya juga punya wewenang yang sesuai dengan ketentuan. HIS Pasundan itu didirikan oleh Paguyuban Pasundan Cabang Jampangkulon.

Dalam bidang ekonomi juga tidak terlalu ketinggalan, sebab para pengusaha pribumi—meski usahanya kecil—sudah ada yang bisa diandalkan. Tidak semuanya dikuasai oleh para pengusaha Tionghoa. Sementara dalam bidang politik, selain Paguyuban Pasundan, terdapat juga Gerakan SI (Sarekat Islam).

Ketika para anggota SI banyak yang ditangkap oleh pemerintah kolonial pada tahun 1920-an—berdasarkan tuduhan terkait dengan gerakan Partai Komunis Indonesia yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah—beberapa anggota SI Jampangkulon juga ikut ditangkap. Malah menurut kabar, para tahanan itu diikat dan ditarik oleh polisi dan selanjutnya dibawa ke pengadilan di Sukabumi. Beberapa orang dijatuhi hukuman oleh pengadilan. [bersambung]

 

Diterjemahkan dari Otobiografi Raden Muchtar Affandi berjudul Mulangkeun Panineungan: Dumasar Pangalaman-Pangalaman Sajati, Nu Cumantél kana Haté, Nyangkaruk dina Kalbu, Kumacacang na Implengan (1997).