"How many more lies that should blind our eyes?
We can do something to our life
All this time we’re blind."
***
Asan, orang yang sempat saya cacat dalam dua buah cerita
pendek, tiba-tiba datang di personal message sebuah jejaring sosial; bertanya
soal nomor yang bisa dihubungi. Dia yang sudah lama terapung-apung bekerja di
kapal pesiar tiba-tiba saja pulang dan sekarang kerja di bilangan Kelapa
Gading. Tak lama kemudian ponsel berbunyi, ya ini suara. Saya setengah tidak
percaya. Begitu cepat waktu berlalu, rasanya baru kemarin, di 2009 itu saya
sempat numpang tidur di kosannya di daerah Tebet. Pagi-pagi sarapan secangkir
Good Day dan suara Green Day. Lalu dia tidur lagi sebab kerjanya malam hari,
sementara saya meluncur ke GI meneruskan JIFFest di hari kedua.
Kemarin seorang tamu datang, tapi entah siapa. Rasa-rasanya
saya tidak punya musuh, tapi tiba-tiba diserang dengan deretan kalimat ambigu. Sekilas
seperti karakter tokoh di sebuah cerita pendek Budi Darma; absurd. Tapi seru
juga, rasanya seperti punya kawan baru. Meskipun diolok-olok sebagai orang yang
berlindung di balik tameng kata-kata, dan mungkin dia ada benarnya juga, tapi
memang inilah tempatnya, tempat saya berteduh dikala hati bernuansa biru. Tentang
persepsi, dari dulu saya tidak pernah berubah. Orang mau bicara apa pun, bagi saya
itu menjadi sekunder bahkan tak berarti apa-apa.
Di gang yang busuk itu, tempat puluhan keluarga menyambung hidup,
pada sebuah sore terdengar suara seorang ibu membentak anaknya dengan kata-kata
kasar. Madrasah pertama dalam kehidupan
itu membakar sumbunya sampai menyentuh titik ledak. Barangkali madrasah pertama
sedang jengkel atau marah, tapi kata-kata kasar itu akan sangat manis terdengar
di telinga siapa pun yang merasa punya atau pernah mempunyai seorang ibu. Ingatan
akan lari ke sana, ke saat-saat ketika ibu dengan sangat rajin membaluri kita
dengan doa-doa dan pelukan paling hangat di dunia.
Pada sebuah pagi di bus Transjakarta. Seorang pemuda
bersitegang dengan seorang perempuan cantik. Yang diributkan adalah tempat
duduk, karena seperti biasa bus penuh. Si cantik minta duduk, tapi si pemuda
tak memberinya. Si cantik tidak sedang sakit, tidak sedang hamil, tidak cacat, dan
tentu saja masih muda. Lalu alasan apa yang membuat pemuda itu harus berdiri
dan membiarkan tempat duduknya diambil orang?. Oh mungkin karena alasan
gender?, tapi bukankah sekarang sudah polusi oleh istilah-istilah emansipasi
dan kesetaraan gender?. Jangan salahkan pemuda itu kalau dia tidak bisa
romantic. Karena bisa saja dia bergaya tengik, menjelma menjadi pahlawan
kesiangan dan pamrih dibayar tunai oleh sebuah perkenalan.
Kadang-kadang saya merasa garis batas fiksi
mulai banyak yang memuai. Seperti sebuah gegar budaya yang datang tiba-tiba. Seorang
konservatif yang tidak pandai berdiplomasi bisa saja bersikap total, tapi dia
tidak akan pernah memilih menjadi pengemis. Potret ini seperti roman-roman
di zaman Balai Pustaka, terdengar sangat old skool. Padahal sekarang, seperti
kata Efek Rumah Kaca, sudah berada di titik “kenakalan remaja di era
informatika”. Tarik-menarik lintas batas fakta dan fiksi ini menggiring saya ke
sana, ke spirit baru yang mengapung. Jauh melebihi Alice in Woderland ataupun
film pertama Mouly Surya. [ ]
2 comments:
hahahhaa...
Entahlah. Ada perasaan bangga. Suatu kehormatan bagi saya, walaupun dengan nama anonim, bisa menjadi buah pikir anda (kawan).
Kenapa entah?? Karena masih ada kecewa dalam diri, ternyata seorang penulis idealispun pernah juga menuliskan beda pemikiran diseberang dinding, yang saya yakin, orang yang dimaksud tidak selalu melewati jalannya.
Mengenai kata "pengecut", maaf jika terlalu kasar. toh seperti katamu juga, saya pun terlalu pengecut dengan menggunakan nama anonim. Tapi ijinkanlah saya jadi seorang pengecut yang menyambangi rumah si tuan-nya, barangkali, jika Tuhan menghendaki, kita bisa bertemu dan minum kopi..
aaahhh.. indahnya sore ini..
terimakasih atas ijin komentarnya (kawan)..
:D
Beginilah, saya Irfan, sudah jelas di profile, nah Bung atau Nona siapa?, itu saja.
Post a Comment