19 June 2013

Milad ke-9

“Bung, kau dipanggil Ketua Program Studi, segera!.” Kabar itu saya terima waktu memimpin rapat persiapan ospek jurusan, di siang yang terik, di sebuah rungan kecil yang pengap oleh asap rokok. 


Saya pamit, dan rapat diteruskan dengan dipimpin oleh wakil saya, Wakil Ketua Pelaksana Ospek Jurusan. Ada yang berkecamuk di kepala sepanjang saya menuju ruang kerja Ketua Program Studi. Ada apa gerangan?. Selintas terpikir, apakah ini ada hubungannya dengan perijinan kegiatan ospek?, tapi bukankah tidak ada yang ganjil dari kegiatan tahunan ini?. 


Di pintu, saya mengetuk dan mengucap salam. “Silakan masuk,” kemudian saya duduk di kursi, tepat di hadapan Ketua Program Studi. Beliau tidak langsung bicara, hanya melihat sebuah ---mungkin jurnal penelitian. Tak lama berselang, masuk wali kelas saya, seorang dosen mata kuliah Kewirausahaan. Perempuan, muka masam mengandung gemuruh kemarahan. “Ini Pak, anak ini yang masuk keruangan saya dan mengacak-ngacak meja kerja sampai berantakan!.”     


Saya tersentak. Apa?, mengacak-ngacak meja kerja sampai berantakan?!. 


Ketua Program Studi masih diam, hanya saja sekarang pandangannya tertuju ke saya. Dosen yang marah entah duduk atau berdiri, yang jelas dia persis di belakang saya. “Kamu ikut ibu dulu ke ruangannya,” dan saya berjalan mengikuti dosen marah itu. Ini pembantaian!. 


Dan benar saja. “Duduk!.” Pesakitan mengikuti perintah dosen. “Kamu mau pending!”


***


Adalah kampus yang jauh dari hiruk-pikuk kota tempat saya menghabiskan masa muda selama tiga tahun. Judulnya kuliah, tapi yang dilakoni tentu saja melebihi kata itu jika perspektifnya hanya transfer ilmu secara formal. Pada semester ke-5 awal, yaitu ketika mahasiswa-mahasiswi baru mencoba memulai mengadu peruntungan di kampus yang sepi itu, saya entah kenapa, secara aklamasi terpilih menjadi Ketua Pelaksana Ospek Jurusan. Bagi saya ini sebuah gegar leadership. Apa sebab?. Dari semester satu dan mulai bergiat di organisasi, saya tak pernah sekalipun menjadi kampiun dalam soal pemilihan pemimpin, tak pernah menjadi objek “sorot kamera”, tak pernah sekalipun berjalan di titian para “selebritis” itu. Saya malah lebih sering bergerak di belakang layar. Membuat konsep, merancang strategi, dan belajar bermanuver dalam politik kampus. Maka tak berlebihan jika saya merasa gamang ketika terpilih sebagi Ketua Pelaksana. 


“Susun konsep yang cerdas, agar kita bisa melewati pagar birokrasi,” demikian bisik seorang kawan waktu rapat belum dimulai. Satir memang. Di kampus yang jauh dari “peradaban” dan pergaulan, jajaran dosen dan pimpinan kampus seringkali dijadikan sebagai musuh, dianggap sebagai birokrasi yang seringkali menghambat kegiatan mahasiswa. 


Lalu riwayat saya tarik beberapa bulan ke belakang. Di kelas, dosen dan kawan-kawan seringkali mampus tak berkutik dihajar debat yang tendensius, gemuruh, panas, yang padahal itu hanyalah bumbu masa muda saja. Waktu berlalu berkejaran, maka sekali waktu datanglah tugas itu : buat makalah tentang kewirausahaan. Detik-detik itu adalah juga bertepatan dengan kesibukan mempersiapkan ospek jurusan. Saya terlambat mengumpulkan tugas!. Pada sebuah sore yang sepi, saya naik ke lantai dua dan menengok ruangan dosen yang kosong melompong, tak seorang pun. Dengan tugas di tangan, saya masuk ke ruangan lalu menaruhnya di tumpukan karya kawan-kawan sekelas yang lebih dulu selesai dikerjakan. Besoknya, terjadilah malapetaka itu.


***


“Saya perhatikan, setiap kali saya mengajar di kelasmu, kamu selalu saja sentiment, berusaha memojokkan saya sebagai dosen!.” Tahu kan suara perempuan yang sedang marah?. “Kalau kamu merasa lebih pintar, silakan gantikan saya. Ngomong sama Ketua Jurusan!.” Dalam hati : “Sudahlah Bu, ini sudah sore, saya mesti mimpin rapat.” 


Kemudian ibu dosen membawa si pesakitan ke ruangan Ketua Jurusan. Yang didatangi dengan enteng berujar, “tunda saja kelulusannya setahun.” What!!.


Yang terbayang langsung dua hal : biaya kuliah dan malu!. Lulus yang tertunda adalah pembengkakkan biaya. Jatah disangoni selama tiga tahun harus bertambah lagi satu tahun, dan orangtua menanggung beban semuanya : biaya uang semester, biaya kost, biaya makan, dan tetek bengek yang lain. Lagi pula, malu juga jika harus mengulang satu tahun bersama dengan para junior.


Sore itu keputusan masih menggantung; antara pending atau hanya peringatan tertulis. Hal yang kedua yang saya harapkan. Tapi entah harus menunggu berapa lama lagi. Maka mulai detik itu kecemasan berparade di titian waktu. Bukan soal riwayat akademik yang cacat yang saya takutkan, tapi tanggungan biaya hidup dan biaya kuliah yang menggantang itulah yang membebani pikiran, dengan alasan apapun alangkah tidak bersopan santun kalau harus menambah beban orangtua lagi.


Menjelang maghrib saya menemui kawan-kawan organisasi dan mengatakan semuanya. “Ini bukan soal keberanian, tapi kegiatan kaderisasi yang kita pertaruhkan. Saya mundur bukan berarti takut dihadang para dosen, namun jika usaha saya dipukul mundur, organisasi ini akan mencatat sejarah tentang kegagalan. Kita tentukan dengan voting untuk memilih Ketua Pelaksana yang baru.” Dan kawan-kawan setuju. Mereka maklum dengan masalah, dan menghargai keputusan saya. Selanjutnya saya kembali ke fitrah, kembali bergerak di belakang layar.


***


Dalam cemas yang masih berparade akibat tekanan dosen dan pihak jurusan, saya mencari obat penawar. Pada sebuah petang rembang yang gerimis, sebuah angkot saya hentikan. Saya meluncur ke toko buku di jalan Merdeka. Buku itu tergeletak begitu saja. Tanpa bungkus plastik, dan sedikit lusuh. covernya berwarna coklat, dan tinggal satu biji : “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta”. 


Buku yang kesepian itu, tanpa disangka-sangka sebelumnya, langsung saya bawa ke kasir. Di kamar kosan yang bercahaya remang, saya menggigil. Ada spirit meluap-luap dari apa yang dituturkan penulisnya; drop out, miskin, tapi bersikeras memilih dan meyakini jalan. Inilah jalan tetirah. Penawar luka kecewa dari hidup yang terus dicangkul dan diseret. Saya seperti baru lahir. Batu tapal bagi setapak jalan yang membuat saya bisa menghirup kembali udara segar. Saya bubuhkan tanggal, tanda tangan, dan sebaris catatan di halaman sebelum pengantar : “Bandung, 2 Juli 2004---di bawah tekanan jurusan.”


Sekira dua minggu lagi buku ini akan ulangtahun yang ke-9 semenjak saya membelinya. Sedapat-dapat saya catat ulang Kata Pengantar-nya. Bukan untuk memperingati dendam, bahkan ajakan rekonsiliasi bagi diri saya sendiri untuk melarung masalalu yang penuh dengan kecemasan. “Scripta Manent Verba Volant. Yang tertulis tetap mengabadi, yang terucap berlalu bersama angin.”


***

Gelombang datang dan pergi, tiada pernah berakhir. Sepotong kalimat pendek yang sengaja didahulukan dalam pengantar ini, bisa jadi terkesan klise. Tetapi selama nafas masih menikahi kehidupan, begitulah yang terjadi. Gelombang besar menggairahkan gemuruh, sebuah pergolakan, bahkan perburuan liar. Sedangkan gelombang yang kecil, tenang, dan landai, melahirkan cinta dan keindahan, sebuah romantika yang tak jarang memabukkan.

Demikian pula dengan sebuah pribadi, sebuah perjalanan jiwa di selembar peta, mencari alamat menuju muara. Siapakah yang tak pernah berontak, jengkel, marah, misuh-misuh, atau bahkan sebaliknya, cuek begitu saja menghadapi sebuah persoalan. Dan siapa pula yang tak pernah begitu penasaran, sangat perhatian, menunggu sepenuh kecemasan, dan memimpikan sebuah hal yang sangat diharapkan. Demikianlah, namun segalanya kerap seperti angin, berdesir begitu saja menghampiri reranting dan dedaunan, membelai lembut atau malah memperkosa bunganya, dan setelah itu pergi, hilang entah ke mana.

Tetapi tidak demikian bila segalanya mampu direkam, dituturkan, atau lebih penting lagi : dicatatkan. Sebuah pengalaman tidak mudah hilang dan dilupakan. Bagi sebagian orang, sesungguhnya tradisi menulis ini sudah dilakukan semenjak manusia mulai mengenal peradaban. Mereka menggurat setiap hal yang dianggapnya menarik dengan simbol, gambar, dan tulisan di batu-batu, dinding-dinding gua, kulit-kulit binatang, atau di sebilah senjata tajam. Bukan sebagai apai yang suatu saat bisa meletupkan dendam, tetapi menjadi cermin, pelajaran sekaligus evaluasi, baik bagi diri maupun orang lain. Setidaknya, dengan menuangkan gagasan, dalah bahasa Hannah Arendt, “Derita menjadi tertanggungkan ketikaia menjelma cerita”. Apalagi menuangkan cerita tidak sekedar dengan kata-kata yang terucapkan, tetapi tertuliskan. Keberadaannya menjadi lebih abadi. Kapan dan di mana saja dapat dibuka dan dibaca kembali. Oleh siapa saja. 

Maka, buku yang berjudul Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta ini sengaja dihadirkan untuk pembaca, sesungguhnya hanyalah ingin menyuguhkan sebuah hal yang penting : sebuah perjalanan yang pada akhirnya harus dicatat. Di dalamnya pembaca akan menemukan sebuah pribadi yang menarik dan penuh pergolakan; sebuah pengalaman yang unik dan sarat pergulatan. Adalah Muhidin M. Dahlan, seorang yang sangat mencintai dunia tulis-menulis dan perbukuan, bahkan demi kecintaannya ini, ia menjadi sangat kuat menahan lapar dan derita, kehidupan nggetih yang dijalaninya meski tak jarang malah melahirkan kekecewaan. Namun, justru karena itulah akhirnya buku ini lahir dan beberapa bukunya yang lain. Sebuah karya yang enak dibaca, karena Muhidin menulisnya sepertinya dengan easy going begitu saja, nyaris tak berbeda dengan orang yang sedang bertutur, namun sarat dengan muatan.

Apabila pembaca menemukan gelombang yang bergemuruh dan meledak-ledak dalam buku ini, tangkaplah gelombang itu, tundukkan, agar kita dapat berselancar atau berenang menuju pantai berpanorama keindahan. Atau sekalian menyelam menuju kedalaman yang paling dalam, untuk menemukan ketenangan. Sebab hanya dengan keindahan---meski ini sangat tergantung pada bagaimana kenyataan itu disikapi sehingga menjadi indah---dan ketenangan, konon kata para pertapa, biksu, pelaku meditasi, dan sufi agung, kebijaksanaan dan kebahagiaan hidup akan dapat diraih. Tetapi akhirnya, semua terserah dan berpulang kepada para pembaca bagaimana menyikapi buku ini. Semoga berguna tidak hanya bagi pembacca yang mencintai dunia tulis-menulis dan perbukuan, tetapi bagi siapa saja yang masih menghargai komitmen, keyakinan, pilihan hidup, dan keindahan cinta. Selamat membaca. [ ]

Jendela, 2003

---uwa, juni ‘13 

Sudara

Yang ada dalam pikiran saya hanya satu tafsir, satu perkiraan, bahwa menulis memang terkadang mengundang marabahaya. Ini adalah respon terhadap komentar seorang kawan yang berbunyi : “Saya sudah takut menulis.”


Juga hal ini mengundang semacam ke-insyaf-an, yang meskipun tidak saya terima semuanya, bahwa menulis adalah sebuah gerak menabur jejak yang berpotensi dicitrakan sebagai bercak, sebagai noda, sebagai track record yang mungkin akan bisa memburamkan masadepan. 


Alasan ini memang cukup kuat, terlebih bagi tulisan-tulisan yang bertabur metafor, kiasan-kiasan berbahaya nan absurd, dan aroma sindiran berinsting karnivora. Jangankan tulisan seperti itu, bahkan esai dan kolom di koran pun yang sebenarnya benderang masih layak untuk disusupi pengertian-pengertian berbeda dari para pembacanya. Tapi inilah belantara bahasa yang ditumbuhi ribuan pohon kata, setiap kalimat bukan rumus eksakta dengan presisi yang mengagumkan.


Tentu, tak ada secuil pun paksaan untuk menulis. Tak ada sebiji dzarah pun alasan yang patut dipaksaan kepada siapa pun untuk bergiat mencatat. Kalau pun saya masih saja mencoba setia di titian ini, tak lebih hanyalah sebuah cara untuk melarung setiap peristiwa, setiap kegelisahan, dan beberapa batu tapal yang hangus dibakar waktu. Sebab saya tidak menemukan cara yang lebih lirih untuk merayakan hal-hal tersebut. 


Disadari ataupun tidak, pergeseran makin terasa. Baik dalam wujud perspektif, maupun nalar logis-praktis. Penyebabnya beragam, dan salahsatunya adalah pemetaan ulang tentang tanggungjawab. Hormat saya tak berkurang sehasta pun kepada kawan-kawan yang sudah maju ke medan laga, menembus batas kenyataan, yang sudah berhasil menyingkap tirai tebal berbahan obrolan-obrolan masamuda, menuju setapak lain yang lebih syahdu dan dewasa. 


Namun begitu, ini bukan sebuah apologi, bukan pula sebuah nasihat berkarat, hal-hal semacam itu sudah biasa kita cairkan dengan tertawa renyah berderai-derai. Pun di titik ini, dari sudut pandang paling karib, bagi saya tak ada yang berubah sedikit pun. Dalam derajat yang egaliter, hormat dan cinta saya tak pernah berkurang. Mungkin band dari Yogya sudah gatal ingin menuliskan sebuah lirik bagi persahabatan seperti ini, namun lagi-lagi kita buyarkan hal itu dengan saling maklum yang membebaskan.  


Sebait puisi Sitok Srengenge nampaknya lebih cocok ditujukan kepada  manusia lembut dari jenis yang berlainan, namun entah, saya memaknainya lebih luas lagi :


Aku rangkum rahim di mana kau dulu mukim, rentang tangan yang selalu

menjagamu, kubebaskan kau bergerak dan berbiak dalam diriku

Aku kosong abadi yang menghendaki kau sebagai isi.[ ]


juni ‘13    





06 June 2013

Arsip Botol

Sebelum lupa bagaimana caranya memasukkan tulisan ke dalam botol, kiranya ada baiknya juga saya catatkan sedikit renonansi  tulang rusuk itu. Tapi saya bukan Chairil, lagi pula dia sudah lama terbaring di Karet. Hanya saja kemarin waktu si pembaca sarang angin tiba-tiba merasa gelisah karena jarak tinggal sedikit lagi, saya pula demikian saja tiba-tiba teringat sekuplet tulisan Chairil :

Aku kira
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.

Waktu mula-mula kita kenal pun, dulu, kita sudah tidak bisa menolak dewasa. Kita bukan kanak-kanak lagi. Tapi cinta kita, kawan, selamanya akan selalu muda. Seperti dua orang bapak yang kita bayangkan tengah berbincang dalam dialog yang paling karib dan penuh canda, di musholla itu.

Saya tidak menemukan sekolah puisi, tapi siapa sesungguhnya yang bisa mengajarkan rasa?. Lagu cinta picisan menjadi terdengar elegan, dari seberang lautan kau bercinta di udara, macam RRI saja. Nasib itu sendiri bukan metafora, melainkan---lagi-lagi kata Chairil---“kesunyian masing-masing”. Ini mungkin akan terdengar terburu-buru, hanya saja saya sempat membuka catatan harian dan mendapati empat paragraph tulisan kau yang di bawahnya dilengkapi dengan embel-embel : Budayawan dan Konsultan. Macam betul. Tapi begini paragraph awalnya :

Kalau kamu baca tulisan ini, mungkin saya sedang bermesraan dengan istri, atau juga sedang main petak umpet dengan anak saya.

Tiga paragraph lagi sudah saya catat di kertas bungkus cigarette dan dimasukkan ke dalam botol bekas minuman berenergi, dan tenang, sudah saya buang ke sungai. Kau ambillah nanti di laut. Kalau kau temukan, pastikan itu botol, bukan perahu kertas. Sebab dirimu sendiri adalah perahu kertas bagi dirinya. Ah, bagaimana kau bisa lupa, bukankah begitu apa yang telah dimantrakan oleh Sapardi :

Kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali, alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.

"Ia akan singgah di Bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.”

Lupakan episode Bintang jatuh dan Ikan Kerapu, kini saatnya untuk kau menepati janjimu, kawan. Kronik arsip yang saya simpan masih jelas mencatat dalam lembaran-lembaran risalah bertajuk Pirates of Cigarettes. Di seri kedua sequel tersebut kau pernah begitu syahdu menulis :

Tak banyak yang sanggup bertahan dengan kita
Di mana kejutan hanya dalam tenda dan penat belaka
Tapi jika nanti ada yang bisa mengerti
Dia pasti kita jadikan tuan puteri
     
Anggap saja ini semacam mukadimah, sebab saya belum ingin berhenti menulis. Ah, tapi mungkin ada benarnya juga kata Chairil, sementara ini saya menjadi Ahasveros dulu. [ ]

juni '13