07 December 2020

Buku-buku yang Saya Baca Selama Pandemi 2020 - bagian 4

Catatan Perang Korea (Mochtar Lubis)

Mochtar Lubis berangkat ke Korea Selatan saat Perang Korea telah berjalan sekitar tiga bulan. Seoul telah hancur dan pasukan Korea Utara telah mundur. Meski Perang Korea berlangsung selama tiga tahun, tetapi catatan Mochtar Lubis terkesan bahwa perang akan segera berakhir. Dia hanya sekali terperangkap dalam kontak tembak ketika patroli ke Ujingbu, itu pun hanya sebentar.

Menurutnya, wartawan yg meliput perang ini bersamanya hanya sekitar 30 orang. Kebanyakan dari Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Di luar itu masing-masing hanya satu dari Filipina, Indonesia, dan Turki.

"Kebanyakan wartawan asing yg datang ke Korea [...] datang untuk membuat laporan-laporan 'ar-exploits' (kegagahan-kegagahan dan pengalaman-pengalaman perang) serdadu-serdadu AS. Mereka tidak atau jarang sekali berhubungan dengan rakyat," tulisnya.

Lain itu, imbuh Mochtar, para wartawan juga hanya memberitakan para serdadu yg berasal dari daerahnya masing-masing. Seorang wartawan dari Texas utara misalnya, ia hanya mewartakan para serdadu yg berasal daerah tsb.

"Dari hari pertama saya turun di Pusan, saya berjanji pada diri saya sendiri untuk mencari hati bangsa Korea ini," tulis Mochtar.

Mungkin inilah yg mendorong Mochtar Lubis mengabaikan "kegagahan" perang dan mengisahkan para korban serta kampung-kampung yg berbau busuk dari pupuk kotoran manusia, juga kota yg bau amis darah. Sayangnya, ia menulis secara selewatan.

 

Rumah Kertas (Carlos Maria Dominguez)

Bluma Lennon namanya. Dosen di Universitas Cambridge ini tewas tertabrak mobil saat berjalan sambil membaca buku Emily Dickinson.

"Buku mengubah takdir hidup orang-orang," tulis si pengarang.

Tak lama setelah itu, sebuah buku tiba di meja mendiang Bluma dari seorang bibliofil di Uruguay bernama Carlos Brauer. Orang ini hidupnya dipenuhi buku. Seluruh ruangan rumahnya sesak. Mobilnya ia berikan ke kawannya agar garasi bisa dipenuhi buku. Ia siang malam membaca buku sampai akhirnya indeks buku yg tengah ia buat terbakar.

Brauer kemudian memboyong buku-bukunya ke sebuah daerah terpencil di tepi laut dan membuat pondok yg dibangun dari buku-buku itu, termasuk lantai dan dindingnya. Buku hanya membawanya pada kesia-siaan. Juga ini:

"Seorang perempuan tua pergi menemuinya dan meminta dia menangkal guna-guna yg membuat perutnya menggembung besar sampai seperti mau meletus. Perempuan itu pulang dengan kecewa, menyebut bahwa orang itu dukun sihir yg tak punya kekuatan apa-apa."

Brauer serupa segelintir orang di Buenos Aires yg kata Dominguez: halusinatif. Begini tulisnya, "Orang-orang jadi kaya raya dalam semalam berkat buku-buku yg payah, yg dipromosikan habis-habisan oleh penerbitnya, di suplemen-suplemen koran, melalui pemasaran, anugerah-anugerah sastra, film-film acakadut, dan kaca pajang toko-toko buku yg perlu dibayar demi ruang untuk tampil menonjol."

Seperti manusia, buku punya nirfaedahnya masing-masing.

Serupa manusia, buku banyak yg tidak berguna.

 

Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang (Luis Sepulveda)

Zorbas, kucing di pelabuhan Hamburg yg gendut dan berbulu hitam. Sekali waktu seekor camar jatuh di dekatnya. Tubuh camar itu berlumur minyak hitam dan bau, dan itulah penerbangannya yg terakhir. Sebelum ajal merenggutnya, camar itu bertelur dan meminta Zorbas berjanji untuk merawat dan mengajari anaknya terbang, kelak.

Sejumlah kucing pelabuhan kemudian menguburkan camar malang itu pada suatu malam yg diliputi duka:

"Dan sekarang kita ucapkan selamat tinggal kepada camar ini, korban bencana yg disebabkan oleh manusia. Mari julurkan leher ke arah bulan dan meongkan lagu perpisahan kucing-kucing pelabuhan."

Kemudian kucing-kucing pelabuhan itu mengerjakan apa yg mesti mereka lakukan: menepati janji Zorbas.

Satu lagi isu lingkungan dari Luis Sepulveda. Marjin Kiri menamai seri ini sebagai Pustaka Mekar, seri bacaan untuk anak-anak dan remaja. Cocok untuk warganet yg doyan mengeong, "anaknya mulai aktif ya, Bun."

 

Gadis Minimarket (Sayaka Murata)

"Aku belum punya pengalaman seksual dan aku tak punya kesadaran soal seksualitasku. Aku hanya tak peduli dan tak pernah merisaukannya. Tapi, mereka membicarakan semua itu dengan asumsi aku menderita," ujar Furukura.

Gadis ini berusia 36. Ia sudah 18 tahun kerja di minimarket sebagai karyawan tidak tetap, belum pernah pacaran, dan direcoki dunia di sekelilingnya, kecuali benda-benda mati di minimarket.

Sejak kecil ia dianggap berbeda dengan anak kebanyakan, aneh, bahkan mengerikan. Padahal, ia hanya kritis, tetapi dinilai tak lazim. Untuk dianggap sama dengan orang lain, ia akhirnya menjadi pendiam. Bekerja di minimarket adalah caranya agar terlihat normal.

"Bekerja di minimarket kerap disepelekan. Buatku itu menarik, dan kalau ada yg melakukan itu padaku, aku suka menatap wajahnya. Dan setiap kali melakukan itu aku merasa: seperti itulah manusia."

Mulanya, dia pikir, di lingkungan pekerjaannya, orang-orang tak akan rewel bertanya soal jodoh, tapi rupanya sama saja.

"Rasanya sekarang dia menurunkan levelku dari pegawai minimarket menjadi betina dari spesies manusia," ungkapnya setelah sang manajer mulai banyak tanya.

Kisah yg menerbitkan simpati, juga kejengkelan. Relasi manusia yg diukur dengan norma-norma mayoritas, menyeret si sedikit ke jurang keasingan, lebih tepatnya diasingkan. Sayaka Murata, lewat gadis 36 tahun ini, seperti ingin menonjok arogansi itu.

 

Aib dan Nasib (Minanto)

Kisah-kisah yg mirip di koran Lampu Merah, dijahit, diceritakan ulang dalam bentuk penulisan "fragmen-fragmen episodik dengan alur maju mundur." Kira-kira demikian keseluruhan karya Minanto ini.

Aib dan Nasib yg menjadi pemenang 1 Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019, sepenuhnya berisi konflik. Hari-hari dibangun dari perkelahian, pemerkosaan, tengkar bapak-anak, taruhan bersenggama, pencurian, kekerasan rumah tangga, hingga laku politikus busuk yg menagih kembali "serangan fajar" karena dia tak terpilih.

Dalam kondisi sosial masyarakat yg demikian, masih punya tempatkah sang "aib"? Apalagi yg mesti disembunyikan, ditutupi, atau sesuatu yg bikin malu dari ikatan-ikatan sosial yg hampir seluruhnya berisi kekerasan, di tubir dalam jerat kekinian berupa pemilu dan medsos?

Ngilu rasanya menamatkan novel ini. Membaca 263 halaman berita-berita kriminal dan kemiskinan yg tumpang tindih dan bertubi-tubi. Dan seperti juga tertulis dalam sampul belakang, Minanto intinya hanya menyodorkan satu pertanyaan:

"Malah aku heran, kenapa TV-TV tidak datang ke Tegalurung buat siaran berita. Padahal kukira setiap hari pastilah ada berita kriminal, apalagi di Tegalurung. Tidak pagi tidak siang tidak sore tidak malam."

 

Tempat Terbaik di Dunia (Roanne van Voorst)

Seorang antropolog asal Belanda membagikan pengalaman hidupnya selama setahun di sebuah permukiman kumuh di bantaran sungai di Jakarta yg akhirnya digusur pemerintah. Ia menuliskannya dalam tujuh bagian. Isinya--karena mudah saya bayangkan, juga beberapa kali mengalaminya--jadi terkesan klise.

Roanne, begitu ia biasa dipanggil, berkisah tentang kepemilikan portofon (walkie talkie) untuk mendapat informasi dari penjaga pintu air, jaringan listrik yg buruk dan berbahaya, budaya korupsi dan amtenar brengsek, akses kesehatan yg tak terjangkau, persepsi seks, aktifitas ekonomi semenjana, dan budaya komunal yg mencekik privasinya.

Meski cukup lama (setahun dan masih bolak-balik setelah kampung itu digusur), tapi dari paparannya, saya menangkap bias. Dirinya yg seorang bule, saya kira, di mata warga yg ia teliti--stereotip padanya tidak sepenuhnya tanggal. Sebaliknya, Roanne juga banyak pukul rata, atau katakanlah stereotipnya terhadap orang Indonesia cukup pekat. Ia misalnya menulis, "Budaya Indonesia adalah budaya 'kami', budaya 'kelompok' dan dalam 'kelompok'."

Ihwal hidup komunal yg ia jalani selama hampir setahun di tempat penelitiannya, membuatnya menyempatkan diri pergi sendirian. Baginya, menjadi anonim tanpa ada yg menyapa dan menghabiskan waktu sendirian adalah kebutuhan untuk memulihkan energi. Celakanya, saat ia duduk di bangku bioskop hendak menikmati kesendirian, tiba-tiba seorang ibu dan tiga orang anak merecokinya. Saya kira, tak perlu jadi orang Belanda untuk merasakan kejengkelan yg sama dengannya.

 

Hari-hari Terakhir Sukarno (Peter Kasenda)

Bermula dari dua kekuatan yg berhadap-hadapan, PKI vs Angkatan Darat, Sukarno akhirnya tak mampu lagi menjadi penyeimbang. AD menunggu dalih, PKI masuk perangkap, maka terjadilah pembantaian besar-besaran.

Pagi 1 Oktober 1965, Soeharto mengambil alih kendali AD, ia tak mengizinkan Pangdam Jaya (Umar Wirahadikusumah) menghadap Sukarno. Lalu berturut-turut gelombang demonstrasi, penyusupan pasukan liar, hingga Supersemar. Kekuasaan Sukarno perlahan digerogoti hingga Nawaksara ditolak MPRS. Lalu mandat dicabut, penahanan Istana Bogor, Batutulis, dan Wisma Yaso.

Ngilu mengikuti persalinan kedua Indonesia ini. Bagaimana sebuah orde dipreteli perlahan, kerawanan perang saudara, dan episode kesepian seorang orator yg dijauhkan dari keriuhan.

Catatan medis beberapa perawat tentang Sukarno, meski kurang lengkap, tapi cukup menggambarkan penderitaan hari demi hari sang proklamator yg kian lemah.

Dua hari sebelum wafat, Bung Hatta datang menengoknya di RSPAD.

"Hatta, kau di sini...?"

"Ya, bagaimana keadaanmu, No?"

Tangan Hatta memegang tangan kawannya itu. Sukarno pun terisak seperti anak kecil.

"No..."

Hatta tak melanjutkan kata-katanya. Bibirnya bergetar menahan kesedihan. Bahunya terguncang-guncang. [irf]

03 December 2020

Buku-buku yang Saya Baca Selama Pandemi 2020 - bagian 3

Surat-surat ti Jepang 2 (Ajip Rosidi)

Dari Jepang, Ajip rupanya memerhatikan nasib karya Pram. Ia berkali-kali menyayangkan pelarangan buku-buku Pram oleh Jaksa Agung. Ia juga kecawa terhadap para sastrawan di tanah air yg tak membela Pram. Dalam surat kepada S.I. Poeradisastra (Buyung Saleh) bertitimangsa 18 Juni 1981, ia menulis, "Maca ngeunaan larangan kana Bumi Manusia & Anak Semua Bangsa. Maca deuih koméntar Jassin jeung Catatan Pinggir GM. Jigana kana moal aya nu ngabéla secara jujur, nya. Tragis!"

Ia juga ternyata yg "ngajeujeuhkeun" Mikihiro Moriyama untuk kuliah di Unpad sampai kelak melahirkan buku "Semangat Baru". Selain mendorong generasi di bawahnya (Edi S. Ekadjati) dan sesamanya (Dodong Djiwapradja) untuk menulis, Ajip juga mendorong para sastrawan cum aktivis dan jurnalis di atasnya untuk menulis memoar, di antaranya Tjaraka yg pernah dibuang ke Digul dan Moh. Koerdie.

"Henteu kedah ngadamel sajarah, keun éta mah ancokeuneun keur ahli sajarah. Ua mah nyerat pangalaman pribadi baé: anu karasa jeung kaalaman ku pribadi," tulisnya dalam surat kepada Tjaraka.

Surat-surat Ajip, meski hampir semuanya "serius", tapi tetap menyertakan hal-hal yg tampak sepele namun sejatinya wujud perhatian dan kemesraan persahabatan. Ia misalnya beberapa kali menyelipkan uang dalam amplop beserta surat untuk kawannya dalam menghadapi lebaran. Ajip menyebutnya "kanggo mésér cangkang kupat".

Di lain waktu, ia bahkan membelikan peralatan memancing untuk Dodong Djiwapradja di Bandung. Barang itu dibawa istrinya dari Jepang ke Indonesia. "Dong, déwék mihapé jeujeur useup jeung sapuratina, keur ilaing. Sugan baé ari boga jeujeur mah, aya cecekelan, ulah sok gampang katuralengan," tulisnya.

Surat terakhir yg dihimpun dalam buku ini ditujukan kepada Rusman Sutiasumarga. Dan lagi-lagi Ajip "menyelipkan" sejumlah uang: "Ku margi pun bojo ngadadak téa, atuh henteu kabujeng mésér oléh-oléh pisan. Nu mawi ieu baé nyelapkeun 'atahanana', supaya tiasa langkung mangpaat da tiasa diluyukeun sareng kaperyogian nu dikintunna. Mugi ditampi kalayan iklas, sanaos henteu ageung, étang-étang tawis katineung ti katebihan."

 

Surat-surat ti Jepang 3 (Ajip Rosidi)

Jilid 3 dibuka oleh surat kepada Yoseph Iskandar (pengarang roman sejarah Sunda). Dalam surat tersebut Ajip menyayangkan sikap sebagian sarjana Sunda yg masih rendah diri dan banyak ketakutan. "Salah sahiji sikep sarjana téh kuduna terbuka. Henteu kudu sieun kapiheulaan ku sarjana deungeun, lamun enya urang baris bisa ngamajukeun bahasan anu leuwih orisinil, anu leuwih alus," tulisnya.

Dalam surat lain yg juga ditujukan kepada Yoseph Iskandar, Ajip tak bosan-bosan mendorong pengarang muda itu agar serius dan fokus dalam berkarya. Pelbagai nasihat ia jejalkan, di antaranya: (1) "Anu baris jadi ciri yén urang kungsi kumelendang di dunya téh, nya karya kréatif, lain pagawéan administratif!" (2) "Lain nyipta ngarah meunang honorarium saratus rébu atawa dua ratus rébu, tapi nyipta sajatining ciciptaan! Lamun éta ciptaan urang téa dibayar gedé, nya sukur, lamun henteu, da éta lain tujuan." (3) "Lamun Yoséph enyaan hayang jadi pangarang anu eusian, anu ngajunggiring, ulah pisan palid kabawa ku usum."

Juga kepada Oméng Abdurrahman (yg menulis skripsi tentang Mohammad Ambri): "Perlu pisan Oméng leuwih réa macaan buku, ulah ngan ku lantaran rék nyusun skripsi baé. Sabab jalma anu bacaanana leuwih jembar, pasti baris katémbong dina tulisanana."

Dari 3 jilid yg baru saya baca (total 6 jilid), bagi saya terdapat satu pertanyaan, yaitu surat-surat Ajip kepada Abdullah Mustappa (waktu itu masih redaktur majalah Manglé) yg isinya selalu penuh dengan perintah/permintaan/minta tolong. Hal ini hampir sama dengan surat-surat yg ditujukan kepada Edi S. Ekadjati, meskipun dengan nada yg lebih sopan. Usia Abdullah Mustappa memang di bawah Ajip, dan mungkin salah satu orang kepercayaannya. "Honorariumna, ulah dikirimkeun ka sasaha, tapi asupkeun baé kana dana kapereluan basa katut sastra Sunda téa. Ngan, ulah maké ngaran akang. Paké baé ngaran Titis Nitiswari (anak akang nu bungsu)."

 

Tapak Meri 1: 1995 (Ajip Rosidi)

"Tapak meri dina leuwi

Galeuh kangkung awi bitung
Sanyataning suwung"

(Jejak itik di lubuk
Isi kangkung bambu betung
senyatanya tiada)

Ajip jelas ingin membalikkan "sanyataning suwung" dengan menerakan jejak dalam catatatan harian yg ia rawat dari 1995 sampai 2017. Jejak itik ini baru diterbitkan dalam tiga buku: catatan 1995 (mulai Juni) dan 1996, dibelah per enam bulan.

Banyak orang bertanya-tanya dari mana energi Ajip menulis catatan hariannya hingga tingginya melebihi tubuhnya sendiri? Setelah menamatkan buku ini, saya kira apa yg dikerjakan Ajip bukan sesuatu yg istimewa, artinya banyak orang bisa melakukannya, syaratnya cuma satu: disiplin. Jika sedang di rumah, Ajip menulisnya setiap malam sebelum tidur. Jika sedang bepergian, ia mencatatnya dalam beberapa lembar kertas untuk kemudian disalin.

Membaca Tapak Meri dapat membayangkan keseharian Ajip ketika masih tinggal di Jepang. Ia rutin mengajar, mengisi pelbagai acara, berkirim surat, mengendalikan penerbitan di Indonesia, bermain dengan cucu, belanja buku, sering ke dokter, makan soba, dll.

"Ajip Rosidi téh urang Sunda anu lampar, mentingkeun pisan silaturahmi, kritis dina nyanghareupan rupaning masalah jeung geus aktif dina rupa-rupa aktivitas sosial ti keur rumaja kénéh," tulis Abdullah Mustappa dalam pengantarnya.

Ya, ratusan atau mungkin ribuan surat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda yg ia kirimkan ke sejumlah saudara dan sahabatnya menunjukkan hal itu. Ia juga menyediakan waktunya untuk mengunjungi kawan-kawannya, termasuk para eksil di Eropa, saat ia mengumpulkan data ttg kesusastraan Sunda di Leiden. Begitu pula ketika ia liburan ke Indonesia, kawan-kawannya dari mulai di Jatiwangi, Imbanagara, Bandung, sampai Purwakarta ia singgahi dalam beberapa perjalanan. Namun, Ajip juga galak kepada kawannya yg menyepelekan janji dan utang. "Nulungan mah nulungan tapi janji ulah jalir," tulisnya.

 

Kenang-kenangan Orang Bandel (H. Misbach Yusa Biran)

Misbach anak seorang Digulis. Ayahnya, Ayun Sabiran (teman Buya Hamka), pemuda Minang yg dibuang karena ikut gerakan melawan Belanda. Sementara ibunya, Yumenah, gadis Banten yg ikut Salihun (kakek Misbach) yg juga dibuang ke Digul. Jadi orangtuanya menikah di pembuangan. Maka itu, Misbach menyebut dirinya sebagai turunan pemberontak.

Misbach orang film. Ia dekat dengan Usmar Ismail (Perfini) dan Djamaluddin Malik (Persari), dwitunggal film Indonesia. Ia juga pendiri Sinematek, lembaga arsip film partikelir yg menghabiskan 30 tahun umurnya dalam kubangan yg menyakitkan. "Citra" sebagai nama piala FFI juga ia yg cetuskan setelah menyanyikan lagu gubahan Cornel Simanjuntak dan Usmar Ismail.

Misbach selamanya dikecewakan oleh film, tapi ia tak pernah berhasil meninggalkannya. Tak bercita-cita beristrikan artis, ia malah menikahi Nani Wijaya--artis populer, seorang mahasiswi kriminolog UI.

Memoar Misbach merekam kehidupan orang-orang film era 1950-an hingga 1980-an, juga dinamika Seniman Senen yg urakan dan selamanya bermimpi muluk. Catatan ini juga menjawab kenapa misalnya film "Tiga Dara" disebut film India, bagaimana Lesbumi mencoba mengimbangi Lekra dan menghilang setelah PKI tumpas, dll.

 

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad: Belajar dari Para Maestro Nonfiksi (Fahri Salam)

"Iraha urang meunang buku manéh?" ceuk Fahri saméméh nandatangan buku ieu. Geus lila méréna, ngan poho waé rék macana, kakara kacumponan anyeuna. Ceuk sawatara babaturan, utamana para éditor, cenah Fahri téh éditor nu ngaménak, karesepna ngagugulung naskah nonfiksi paranjang nu pinuh ku carita. Bubuhan atuh kungsi lila di Pantau jeung Pindai, katurug-turug di kantor lila nyekel indépth. Buku ieu gé eusina lima artikel paranjang nu ditarjamahkeun tina rupa-rupa média.

Kuring kataji ku artikel mimiti nu jejerna "Mari Berkenalan dengan Pamela Colloff, Penulis yang Bagusnya Brengsek Banget di Texas". Nyaritakeun wartawan Texas Monthly nu miboga kasabaran nu jembar dina enggoning nulis laporan pikeun medal di kantorna.

"Ia mengambil segala apa pun dari risetnya selama berbulan-bulan--kutipan, nukilan dari surat kabar, observasi, dan catatan--lalu menyalinnya ke dalam satu dokumén Word. Dokumén inilah yg jadi basis seluruh cerita," ceuk Lyz Lenz.

Opat artikel deui ngeunaan Hémingway, maéhan manéh babarengan di Jepang, tukang dagang buku nu maot dibom, jeung cara Lawrence Wright nulis buku-bukuna. Kabéhanana pikaresepeun jang nambah-nambah kanyaho yén tétéla nulis artikel nu munel téh teu gampang, teu bisa dirurusuh deuih, éstu kudu leukeun jeung junun ngalakonana.

"Aturan dasar dalam jurnalisme: ajak bicaralah setiap orang," kitu ceuk Wright.

 

Awéwé Dulang Tinandé (Tjaraka)

"Béjana Caraka dina hirupna tara salat. Kudu ulah pétot didu'akeun ku urang sangkan arwahna ditampi ku Gusti sarta dipaparin tempat anu mulya di hadirat Anjeunna," kata H. Wiredja Ranusulaksana alias Ki Umbara kepada Ajip Rosidi.

Tjaraka kerap menulis di Manglé saat majalah itu dipimpin oleh Ki Umbara. 19 cerpen yg tersaji di buku ini juga hasil kurasi dari cerpen-cerpen yg pernah tayang di media itu.

Nama asli Tjaraka adalah Wiranta. Ia kelahiran Conggéang, Sumedang, 1902. Setelah pemberontakan PKI 1926, ia termasuk yg dibuang ke Boven Digul. Di zaman Jepang, ia juga pernah masuk bui.

Sebagai pengarang yg mengalami tiga zaman (kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, dan kemerdekaan), Tjaraka mendadarkan pergulatan dan perubahan sosial orang Sunda dalam mengarungi era yg terus berubah.

Hampir semua cerpennya mirip mini biografi, karena meski dibumbui imajinasi, tapi kerap berdasarkan pengalaman pribadinya. Pelbagai latar tempat disebutkan secara jelas hingga dapat menuntun pembaca (yg mengetahui tempat-tempat itu) mengikuti jalan cerita.

 

Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga (Vijay Prashad)

Kataji ku judulna, sampulna ongkoh deuih, da Marjin Kiri mah sok alus waé nyieunna, rapih. Tapi pangpangna mah hayang apal, naha enya béntang beureum téh nyaangan dunya katilu? Bener wé geuning, 12 artikel nu ditulis ku Vijay Prashad téh ngadadarkeun rupa-rupa nagara nu kacaangan ku Revolusi Oktober 1917. Iraha kacaanganna téh? Baheula! Da anyeuna mah geus réa nu teu walakaya. Jadi kuring mah ngarasa buku ieu saperti odé, syair pujian.

Komo mun maca artikel panungtung nu jejerna "Kenangan akan Komunisme". Vijay téh dibabarkeun di Benggala Barat. Basa umurna 10 taun, Front Kiri meunang pemilu di Kolkata. Taun 1981 manéhna munggaran meuli Das Kapital. Harita bibina geus asup kana gerakan komunis. Lila-lila manéhna gé asup ka Partai Komunis India (Marxis). Tah, Vijay nu ceuk Marjin Kiri disebut "intelektual Marxis dari India" sapanjang ieu buku "ngahaleuang" ngeunaan Revolusi Oktober 1917 nu saeutik lobana mangaruhan nagara-nagara dunya katilu, saperti Kuba, India, Mesir, Indonésia, jeung nu séjénna. Malah manéhna gé nyabit-nyabit Tan Malaka jeung DN. Aidit sagala.

Sihoréng nu ngaranna Uni Soviét ukur bisa ngadeg kurang leuwih 70 taun da kaburu burak dina taun 1991. Ceuk Vijay, salah sahiji nu nyieun Uni Soviét ancur téh lantaran "tidak menyuburkan aspirasi demokratis. Malahan, dengan mengekang demokrasi, ia memungkinkan Barat--yg hanya demokratis dari luarnya--mengaku-aku sebagai penjunjung demokrasi." Padahal baheula ceuk Engels dina taun 1848, "Zaman kita, zaman demokrasi, tengah merekah."

Vijay nambahkeun, yén hal ieu nu tungtungna nyieun "konsep kediktatoran proletariat menjadi direduksi menjadi kediktatoran partai, dan ini seringkali direduksi lagi menjadi kediktatoran tokoh-tokoh papan atas di partai."

Nu matak ceuk manéhna, keur Partai Komunis India (Marxis) mah ancurna Uni Soviét téh teu matak reuwas sabab geus kairong.

Di panungtung tulisanna, Vijay ngajak, yén cenah "Kita harus mengembangkan ide-ide baru untuk memperdalam makna sosialisme, sebuah tradisi hidup bukan masa lalu yg tinggal bangkai." Kumaha carana? Teu tétéla.

 

Amanat dina Napas Panungtungan (Mh. Rustandi Kartakusumah)

Dalam laporan panjang Agus Sopian untuk Pantau mengenai majalah Manglé yg bertajuk "Tujuh Melati nan Layu", Rustandi Kartakusumah disebutkan sempat mengundang kekhawatiran sejumlah sastrawan Sunda saat ia mulai memimpin Manglé. Rustandi orang PNI, dan afiliasi politiknya ditakutkan akan mengubah haluan Manglé. Nyatanya, Rustandi justru mampu membawa Manglé pada jalan kejayaan dan berhasil mendidik para pengarang muda.

Meski demikian, dalam buku yg memuat lima cerpen ini pilihan politik Rustandi terhadap PNI tetap menyala. Ia berkali-kali mengutip Bung Karno, terutama soal terdesaknya budaya Nasional oleh budaya Barat. Dalam tiga cerpennya ia mengemukakan tentang lunturnya kepribadian bangsa dan pentingnya idealisme di kalangan pemuda. Ia mengejek modernitas yg membebek Barat sembari mendorong bangkitnya kesadaran idealisme.

Dua cerpen lain, yakni pembuka dan penutup, berkisah tentang peperangan di era Revolusi (Amanat Dina Napas Panungtungan) dan di zaman Rasul (Kélébétkeun Bandéra Rasul). Cerpen pertama tentang kepahlawanan dengan sedikit, sangat sedikit, kebrengsekan kombatan. Jauh beda dengan misalnya kisah Farid dalam "Di Tepi Kali Bekasi" yg amat telanjang mendadarkan pelbagai kekacauan di pusaran Revolusi. Sementara cerpen terakhir hanya usaha menerjemahkan riwayat dari zaman kenabian yg cukup populer.

Selain cerpen yg terakhir, secara umum karya Rustandi ini cukup menonjol. Dia begitu sabar, telaten menggambarkan perubahan-perubahan dalam jiwa manusia.

 

Geus Surup Bulan Purnama (Yous Hamdan)

12 cerpen dari pengarang yg pernah jadi guru di SMP Muhammadiyah IV Sayati, SMP 1 Garut, dan SMA Negeri Margahayu. Pengarang Sunda, memang banyak diisi oleh para guru, malah sejak zaman Daeng Kanduruan Ardiwinata. Akibatnya, banyak karya-karya yg penuh nasihat.

Dalam buku ini, 2 cerpen merupakan kisah zaman Rasul, yakni tentang Bilal yg berhenti azan setelah Rasul wafat dan tentang gugurnya tiga pemimpin pasukan Islam dalam Perang Mu'tah. Dua kisah yg cukup populer, terutama di kalangan anak-anak sekolah agama sore hari.

Yg paling menonjol adalah cerpen "Bedug". Sekilas mirip "Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis, tapi "Bedug" justru dibalik perspektifnya. Alkisah, seorang kiai meninggalkan masjid dan pesantrennya untuk menjadi anggota parlemen, konon demi "menasihati pemimpin". Namun, masjid dan pesantrennya jadi telantar. Anak-anak muda kembali main dan mabuk. Bahkan tak ada seorang pun yg memukul bedug sebagai tanda waktunya salat.

Sementara dalam cerpen "Abah" dan "Pileuleuyan Tangkal Cangkring" (fabel), modernitas dan pembangunan membuat tatanan sosial menemukan bangunan baru yg sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Sosok Abah yg kesepian hidup di kota, dan burung manyar yg tempat tinggal dan lingkungannya terdesak pabrik.

Cerpen-cerpen lainnya berupa kritik sosial akan agama yg hanya jadi ajang gengsi dan tak becus memenuhi kebutuhan umat. Sementara cerpen "Juragan Mantri" berupa kisah guru yg sibuk mengajar tiga kelas dalam waktu bersamaan.

 

Oléh-oléh Pertempuran (Rukmana Hs.)

Jika pada periode kemerdekaan ada Adang S. yg seorang tentara dan rajin menulis cerpen tentang pengalamannya di garis depan dalam pelbagai operasi militer, maka Rukmana Hs. mewakili kisah di sekitar perang revolusi. Adang banyak dibumbui humor, sementara Rukmana lebih dingin.

Cerpen-cerpennya yg penuh tragedi khas revolusi mengingatkan pada karya-karya Pram seperti "Percikan Revolusi" dan "Subuh". Rukmana mengisahkan anak yg membunuh bapak karena keharusan militer, warga sipil membunuh pejuang yg istrinya hendak dinikahi, memenggal tahanan kamp interniran, mengeksekusi kawan seiring, istri tengah hamil ditelan arus sungai saat hijrah Siliwangi, dll.

Sayangnya--seperti juga diutarakan Ajip Rosidi dalam pengantarnya--Rukmana terlalu sering menggunakan gaya sorot balik yg akhirnya mudah ditebak dan menjadi klise. Ia selalu mengaitkan kejadian masa lampau dengan para tokoh yg hidup di masa kiwari. Berulang-ulang, dihadirkan dalam bentuk lamunan, ingatan, nyawang mangsa ka tukang, seolah tak punya gaya penceritaan lain. Jika saja ia mengurangi gaya itu, niscaya akan lebih kaya. Akan muncul tuturan seperti kesaksian, atau semacam jurnal harian dari para kombatan.

Selain gaya sorot balik, Rukmana juga sesekali membumbuinya dengan pengalaman-pengalaman gaib para narator yg masih berkaitan dengan soal revolusi. Misalnya seorang veteran bertemu lagi dengan kawan lamanya, lalu diajak berkunjung ke rumah, namun ternyata--setelah sadar dari pingsan--rumah itu adalah kuburan. Mirip cerita-cerita dalam lakon Petruk dan Gareng karya Tatang S.

Buku ini mendapat Hadiah Sastra Rancagé tahun 2007. Kurangnya cerita-cerita revolusi dalam bahasa Sunda mungkin jadi salah satu pertimbangan dewan juri untuk memenangkan "Oléh-oléh Pertempuran" dengan beberapa kelemahannya. [irf]

02 December 2020

Buku-buku yang Saya Baca Selama Pandemi 2020 - bagian 2

Angkong Hantu (Rudyard Kipling)

Hanya terdiri dari dua cerpen: Angkong Hantu dan Sebuah Penipuan Bank. Sesuai dengan latar belakang penulisnya yg lahir dan banyak menghabiskan waktunya di India, dua cerpen ini berlatar kehidupan di India.

Cerita pertama tentang seseorang yg terus menerus dihantui kesalahan lewat kehadiran angkong (gerobak/kereta bertenaga manusia) dari dunia gaib. Sementara kisah kedua tentang menunda kematian dengan berbohong: menyenangkan orang yg sekarat agar mampu bertahan, menunda kematiannya hari demi hari.

Bagi saya, Rudyard Kipling amat asing, tak pernah sekalipun mendengar namanya, juga karya-karyanya. Dalam keterangan tentang pengarang di buku tipis ini disebutkan bahwa saat berusia enam tahun ia dibawa pulang ke Inggris dan pada umur 17 tahun kembali ke India.

Konon ia menderita kurang penglihatan. Celakanya, ia kerap tertawa hingga hampir nangis dan dipastikan kacamata tebalnya akan berembun. Barangkali kondisi inilah--menurut informasi di buku ini--yg mendorong ia menulis novel pertamanya yg bercerita tentang kebutaan yg semakin parah.

 

Ibunda (James Joyce)

Terdiri dari empat cerpen James Joyce: Pasar Malam, Adik Perempuan, Eveline, dan Ibunda. Sebagai cerpen yg dijagokan penerbit, buat saya, Ibunda tak begitu menarik, ceritanya mirip sinetron.

Pasar Malam lebih baik, memotret tragedi yg begitu dekat dengan keseharian: tentang keterlambatan, ketololan orang dewasa, dan kekecewaan yg bisa melahirkan dendam.

Alkisah, seorang bocah laki-laki jatuh cinta pada perempuan yg lebih tua dari dirinya. Mulanya, perbedaan usia membuat si bocah malu dan segan untuk mengutarakan ketertarikannya.

"Saat kami hampir bersisian, aku mempercepat langkah dan melewatinya. Terus begitu dari pagi ke pagi. Aku tak pernah bicara padanya. Namun, namanya selalu membuat darahku tersirap," ungkap di bocah.

Namun akhirnya timbul juga keberanian si bocah untuk sekadar bercakap-cakap dengan gadis idamannya. Si perempuan berkata bahwa dirinya suka akan pasar malam, tapi tak bisa pergi karena ada misa. "Jika aku ke sana (pasar malam), akan kubawakan sesuatu untukmu," ujar si bocah.

Dan terjadilah tragedi itu. Pamannya si bocah yg akan memberinya uang pulang terlambat sehingga semuanya menjadi ambyar: sudah larut malam, kereta hampir penghabisan, pasar malam telah berkemas, si bocah hanya menelan kesia-siaan.

"Mataku terbakar oleh air mata kemarahan dan kesakitan," ujarnya.

 

Madiun 1948: PKI Bergerak (Harry A. Poeze)

Merupakan jilid ke-6 dari seri "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia". Pada jilid ini Tan Malaka sangat minim disebut, dan kisah memang terpusat pada peristiwa di Solo dan Madiun.

Kedatangan Moeso setelah lama mukim di Moskow, ReRa Hatta, keadaan di Solo yg membuat Siliwangi frustasi, penculikan dan pembunuhan para perwira Panembahan Senopati, perseteruan FDR dengan GRR, dll: membuat Solo menjadi wild west.

Komunis terdesak dan memusatkan kekuatan di Madiun. Akibat "provokasi Hatta"--begitu mereka menyebut--perebutan kekuasaan terjadi di Madiun.

Sukarno-Hatta mengirim Siliwangi, juga pasukan Soengkono di Jawa Timur memilih pemerintah. Madiun terjepit. PKI membentuk satu kolone panjang dan melakukan longmars. Basis-basis gerilya di Jawa Timur keteteran karena kehadiran pasukan Soengkono. Kolone itu bertahan kurang lebih dua bulan sebelum akhirnya banyak yg menyerah atau tertangkap dan dieksekusi.

Moeso tewas. Amir Sjarifoeddin, Maroeto Daroesman, Oei Gee Hwat, dll yg berjumlah sebelas orang dibawa ke Ngalihan, sebelah timur Solo. Atas keputusan Gatot Subroto selaku Gubernur Militer, mereka semua dieksekusi.

Dramatis dan brutal!

Poeze melengkapinya dengan pelbagai pandangan politik dan sejarah dari pihak-pihak yg terlibat, historiografi "resmi", historiografi lain, dan pandangan Barat.

 

Locéng Garéja Bérécoli (Adang S)

Adang S. wafat pada Februari 2020. Ia mantan prajurit baret hijau Batalion 330/Kujang I Siliwangi yg sekarang menjadi bagian dari Kostrad. Salah satu karyanya yg cukup terkenal adalah "Ngepung Kahar Muzakar": semacam jurnal dari garis depan penumpasan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Buku ini terdiri dari 14 cerpen berbahasa Sunda yg tujuh di antaranya menceritakan kehidupan tentara yg beberapa mungkin diangkat dari pengalamannya sendiri: penugasan di Kongo, pertempuran di Timor Timur, terjun di hutan Papua, terkurung di rawa Kalimantan, dan perang di zaman Jepang.

Dua di antara tujuh cerita tentang kehidupan tentara adalah kisah kasih prajurit yg beda pangkat dan kisah klise tentang percintaan yg putus karena penugasan.

"Sedeng ari atasan téa, wajib dihormat--tur sagala paréntahna wajib dilakonan. Teu meunang henteu. Bongan kuring jadi tentara," batin Mayor Sutrisno dalam cerpen "Tentara Reuneuh" yg jatuh cinta pada Letnan Mulyani, atasannya.

"Teu kungsi lila, si perwira ngora datang deui. Saperti kadatangan ti heula, anyeuna gé panon teu ngiceup. Lantis melong manéhna ti mimiti pipina, biwirna, panonna, bulu panonna, buukna jeung...eusi pésakna! Ari kitu, ari awéwé maké pakéan seragam téh, jiga mésakan buah!" tutur Mayor Sutrisno yg kian tergila-gila pada atasannya.

Tujuh cerita lain yg tak ada kaitannya dengan ketentaraan, beberapa terasa terburu-buru dalam memungkasi kisah, seperti cerpen "Dewi Sinta ti Sunyaruri" dan "Lahar Amarah". Sisanya lumayan ditulis secara sabar.

Adang S. seorang kombatan, petempur, bukan perwira yg sibuk ngurus taktik dan strategi. Karena itu kisah-kisah yg ditulisnya terasa amat nyata menggambarkan situasi di garis depan: ledakan, darah, meregang nyawa, lebaran di rawa, tersangkut di pohon besar hutan Papua, desing peluru, dll.

 

Sanggeus Umur Tunggang Gunung (Usep Romli H.M.)

Usép Romli H.M wafat pada Rabu, 8 Juli 2020 di Limbangan, Garut. Judul buku ini, juga beberapa cerpen di dalamnya terasa pas dengan berita duka ini.

Di lingkaran pertemanan saya yg kecil, mantan wartawan Pikiran Rakyat ini sempat menjadi bahan "guyonan", sebab ia amat produktif menulis di beberapa koran, majalah, dan tabloid berbahasa Sunda dan Indonesia. Kalau di antara kawan ada yg rajin menulis, maka dia akan dipanggil "Pa Usép".

Buat saya, buku kumpulan cerpen ini seperti siniar Simamaung yg oleh salah seorang pendengarnya didengarkan sedikit demi sedikit karena isinya menarik. Khawatir cepat sampai di pengujung.

"Sanggeus Umur Tunggang Gunung" merupakan salah satu dari sembilan cerpen di buku ini. Secara keseluruhan, Usép Romli tampak maras dengan kondisi kiwari: kerusakan alam dalam "Lauk Cimanuk", pergeseran yg sakral menjadi profan dalam "Néangan Pajaratan", laku transaksional antara pengusaha dengan pemerintah yg hanya menyengsarakan rakyat kecil dalam "Tower", kesia-siaan demokrasi karena banyak melahirkan para koruptor pada "Aki Jumli Milu Pemilu", dll.

Sebagai tokoh NU Jabar, ia juga tak jarang menghadirkan sosok ajengan dan santri dalam karyanya, disertai satu dua dalil sebagai penguat. Tak ketinggalan ia juga menyebut gerombolan DI/TII dalam beberapa fragmen sebagai tengara bahwa periode itu amat lekat dengan ingatan warga Jabar.

"Pemilu harita, éstuning keur prihatin. Jaman kacow ku gorombolan. Dua poé saméméh poéan nyolok, lembur Cipalung diduruk. Sapoé sabada nyolok, bagéan Pasanggrahan géhéng. Ngan taya korban jiwa wungkul," tulisnya.

Di pengujung "Néangan Pajaratan", dua alineanya mengingatkan saya pada puisi "Pastoral" Acep Zamzam Noor:

"Maut bukanlah kabut yg mengendap-ngendap/tapi salju/yg berloncatan bagai waktu/dan menyumbat pernapasanmu.

Maut bukanlah kata-kata/tapi doa/yg memancar bagai cahaya surga/dan membakarmu tiba-tiba."

 

Siti Rayati (Moh. Sanoesi)

Perlawanan Haji Hasan dalam Peristiwa Cimareme, Garut, pada 1919 mendorong Moh. Sanoesi menulis dangding berjudul "Garut Génjlong" di surat kabar Pajajaran. Karya itu mengkritik keserakahan Bupati Garut. Warsa 1923, "Siti Rayati" yg menceritakan kelaliman pegawai kontrak (perkebunan) asal Belanda, diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Dachlan Bekti, Bandung.

Steenhart nama orang Belanda itu. Dia baru kehilangan nyai karena meninggal dunia. Sedih belaka, tetapi hanya sebentar, sebab berahinya mendorong dia untuk segera mencari perempuan lain. Steenhart sosok yg kasar dan hampang leungeun, mudah memukul para pekerja pribumi. Yg tertimpa sial adalah Patimah. Buruh pemetik teh itu menjadi sasaran berahi Steenhart selanjutnya.

Penderitaan panjang Patimah seperti paduan antara nasib Nyai Ontosoroh dalam "Bumi Manusia" dengan Laura dalam "Orang-orang Oetimu". Patimah melahirkan dalam perjalanan di sebuah kebun di Desa Cirayati. Anaknya ia tinggalkan dalam kesedihan yg memuncak.

Kelahiran anaknya membuka babak baru penceritaan. Sanoesi membawa pembaca pada masa-masa awal pergerakan nasional saat pendidikan mulai membuka kesadaran pribumi. Pers mulai ditakuti para priyayi karena membongkar borok-boroknya, seperti percakapan ini:

"Pikir baé Ti, ulah gancang-gancang, kolot mah sok tara salah," saur Pangawulaan, "moal enya Titi teu nyaho naon gawéna tukang surat kabar..."

"Kantenan terang mah, éta margina nu mawi abdi teu risi deui."

"Enya tukang ngorék-ngorék jeung ngabongkar kasalahan priyayi."

"Tah éta nu mawi abdi satuju téh, margi di dieu perlu pisan diayaan tukang kitu..."

"Siti Rayati" dianggap sebagai salah satu karya penting dalam literatur Sunda klasik abad ke-20. Keberanian sang pengarang banyak menginspirasi pengarang Sunda lain setelahnya.

Tahun 1926 Moh. Sanoesi dibuang ke Boven Digul, Papua, dan baru dibebaskan pada 1931. Setelah kembali ke Bandung ia kembali aktif di dunia pergerakan dan jurnalistik.

 

Rasiah nu Goréng Patut (Soekria/Joehana)

Gelombang aksi mogok melanda Jawa. Para buruh kereta api tak sudi diupah rendah. 8 Mei 1923, Semaoen ditangkap di Semarang. Oleh pemerintah kolonial, ia dianggap telah menyalakan api protes. Di titimangsa yg sama dengan penangkapan Semaoen, buruh kereta api di Bandung melakukan aksi serupa.

Jika para pentolan ditangkap, mereka yg turut serta dalam pemogokan dipecat. Salah seorang peserta aksi mogok di Bandung adalah Akhmad Basah alias Joehana, pengarang buku ini.

Ia aktif di Sarekat Rakjat dan tercatat sebagai salah seorang pimpinan pengurus cabang Bandung. Istrinya bekerja sebagai guru sekolah dasar yg didirikan organisasi tersebut. Setelah diberhentikan dari jawatan kereta api, ia menulis sejumlah karangan berbentuk roman, cerita pendek, dangding, kumpulan anekdot, dan makalah.

Sebagai seorang yg anti kolonialisme, Joehana tak sudi karangan-karangannya diterbitkan Balai Pustaka, dan memang tak mungkin lolos seleksi. Hal ini membuat karangan-karangannya tidak pernah diperkenalkan dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah.

Dalam "Rasiah nu Goréng Patut"--terbit pertama kali tahun 1928--Joehana menggugat norma-norma kehidupan yg diciptakan oleh manusia-manusia lain dalam lingkungannya.

Meski kisah ini menceritakan kebrengsekan Karnadi (tokoh utamanya), Joehana pada dasarnya hendak membongkar jurang kesetaraan antara orang kaya dan orang miskin. Ia mengkritik lewat tokoh Karnadi yg cukup licin menipu, yg tidak ingin didahului oleh norma-norma baku buatan segelintir pihak.

Meski menulis sejumlah karangan, Joehana tak pernah mengaku diri sebagai pengarang, apalagi sastrawan. Ia lebih senang mengaku sebagai seorang wartawan.

 

Béntang Pasantrén (Usep Romli H.M)

Tak seperti kakak-kakaknya yg meneruskan belajar di sekolah umum, selepas SMP Aép belajar di sebuah pesantren tradisional. Ibu, bapak, dan pamannya mendorong ia agar menjadi kiai sebagai pengganti kakeknya yg dulu pernah mempunyai pesantren.

Aép belajar di pesantren yg dipimpin oleh sahabat kakeknya, yg juga ayah Imas, perempuan yg ia sukai.

"Alhamdulillah! Geuning aya pibakaleun étah. Sugan baé tapak lacak éyangna kapapay. Ka Jombang, ka Buntet, ka Bangkalan. InsyaAlloh, ku Mama dilalanyah. Ditampi ku asta kalih kapercantenan kulawargi Kang Haji ka Mama. Bet asa ararisin...," ucap gurunya saat Aép diantarkan ke pesantren untuk pertama kali.

Perjalanan Aép menuntut ilmu diwarnai pelbagai kejadian di lingkungan belajarnya yg menjadi ciri khas kehidupan pesantren tradisional.

Bagi Aép, Imas sang bintang pesantren ibarat jarak pendek menuju impian dalam "5 Cm" Donny Dhirgantoro. Ia amat dekat, nyata, dan menjadi pelecut bagi dirinya.

 

Surat-surat ti Jepang 1 (Ajip Rosidi)

Juni 1980, atas undangan dari The Japan Foundation, Ajip Rosidi mukim di Jepang selama 6 bulan ditemani istrinya. Mereka tinggal di Iwakura, Kyoto. Rumah mereka terletak di sebuah daerah yg dikelilingi sawah dan pergunungan.

Di sana, Ajip menulis ribuan surat dalam bahasa Indonesia dan Sunda yg ditujukan kepada para koleganya. Surat-surat dalam bahasa Indonesia yg ditulis dari tahun 1980 sampai 2002 dikurasi oleh JJ Rizal dan diterbitkan KPG dengan judul "Yang Datang Telanjang". Sementara surat-surat dalam bahasa Sunda dikurasi oleh Usép Romli H.M. dan diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama sebanyak 6 jilid. Buku ini bagian pertamanya yg terdiri dari 30 surat.

Karena ditulis dalam bahasa Sunda dan ditujukan kepada orang yg berbeda-beda, baik secara status sosial maupun kedekatan pergaulan, maka bahasa yg digunakan pun dibalut undak usuk basa yg beragam. Misal, kepada kawan dekatnya seperti Ramadhan K.H., Ajip menyebut dirinya "déwék" (saya) yg terbilang kasar, dan di pengujung cukup hanya menulis "nu tansah sono". Sementara kepada Ilén Surianegara, Ajip menyebut dirinya "abdi", juga di pengujung surat menulis "wasalamna, pun".

Salah satu alasan surat-surat ini dibukukan adalah mendokumentasikan gagasan-gagasan Ajip dalam menegakkan kesusastraan Sunda. "...katangén paéh posona Ajip nanjeurkeun basa jeung sastra Sunda. Éstuning pok-pék-prak. Gagasan. Rarancang, diwujudkeun dina kanyataan. Lain ukur 'mandahong'--mamandapan bari ngabohong--nu mindeng kasaksian dina pakumbuhan sapopoé...," tulis Usep Romli.

Dalam otobiografinya yg bertajuk "Hidup Tanpa Ijazah", salah satu kisah yg kerap muncul dalam buku setebal 1000 halaman lebih itu adalah tentang kawan-kawan dan saudara-saudaranya yg tinggal bersama dalam rentang waktu yg berlainan. Singkatnya Ajip banyak menolong.

Hal itu kemudian dijelaskan Ajip dalam suratnya kepada Sadeli Winantadireja bertanggal 7 Juli 1980: "Ngan sidik boh déwék boh pamajikan ana barangbéré téh lain hayang meuli-meuli atawa aya pangarahan. Istuning clik putih clak hérang tina haté baé."

 

Lembur Singkur (Abdullah Mustappa)

Tidak sulit mendapatkan narasumber yg mengalami peristiwa perlawanan DI/TII di Jawa Barat. Di daerah Bandung selatan misalnya, saya hanya perlu pergi ke warung, pilih warung mana saja semaunya secara acak, memesan kopi, dan menunggu orang tua datang. Atau kalau si pemilik warungnya sudah tua, bisa langsung bertanya kepadanya: apakah dia mengalami zaman gerombolan atau tidak. Jika mengalami, maka mereka biasanya akan mudah menceritakan pengalamannya. Peristiwa ini kiranya telah menjadi pengalaman banyak orang.

Sejumlah pengarang yg menulis karyanya dalam bahasa Sunda banyak yg mengangkat tragedi ini dalam beberapa kisah, di antaranya Ahmad Bakri dalam cerpen "Dokumén" dan Usép Romli H.M. dalam cerpen "Tangkal Buah Pipireun Imah". Juga Abdullah Mustappa dalam roman pendek ini.

"Lembur Singkur" menceritakan tokoh "kuring", bocah yg tak mengenal rupa bapaknya karena bergabung dengan gerombolan. Dia tinggal di kampung bersama ibu dan dua orang kakaknya yg enggan ikut ke hutan bersama kombatan DI/TII. Si bapak kadang pulang ke rumah pada tengah malam dan selalu terburu-buru. Celakanya, setelah kedatangan bapaknya itu, kampung dan markas tentara kerap diserang gerombolan. Akibatnya sang ibu dan kakak-kakaknya disiksa tentara karena dianggap menyembunyikan musuh negara, bapaknya.

Konflik antara pemerintah dengan DI/TII membuat rakyat terjebak dalam penderitaan tak berkesudahan. "Karto vs Karno, yg korban Karta jeung Karna." [irf]

01 December 2020

Buku-buku yang Saya Baca Selama Pandemi 2020 - bagian 1


Harimau! Harimau! (Mochtar Lubis)

Wak Katok, Pak Haji, Pak Balam, Talib, Sutan, Sanip, dan Buyung adalah para pencari damar dan rotan. Mereka kerap bermalam di pondok Wak Hitam di tengah hutan.

Wak Hitam terkenal sebagai orang sakti menyeramkan dan beristri banyak. Istrinya yg paling muda bernama Siti Rubiyah: berparas cantik nan elok. Istri termuda ini sering menemani Wak Hitam di hutan dan menjadi perhatian para pencari damar yg memberahikannya. Dua di antara mereka akhirnya bisa bercinta dengan Siti Rubiyah.

Maut mengintai para pencari damar ketika mereka hendak pulang ke kampung. Seekor harimau kelaparan marah karena rusa buruannya ditembak oleh Buyung. Ia kemudian melukai dan membunuh para pencari damar satu-persatu.

Tiga orang tumpas. Sementara satu orang tewas akibat perkelahian di antara mereka: Pak Haji ditembak Wak Katok! Sanip dan Buyung meringkus Wak Katok untuk dijadikan umpan dan akhirnya berhasil membunuh harimau.

Sebelum meninggal dunia, Pak Haji berkata pada Sanip dan Buyung, "Sebelum kalian membunuh harimau yg buas itu, bunuhlah lebih dahulu harimau dalam hatimu sendiri."


Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis)

Roman ini dibuka oleh kutipan dari Jules Romains, "Apakah yg harus kita punyai, agar kita bebas dari ketakutan?"

Berlatar masa revolusi, kisah ini dipenuhi teror: patroli serdadu, pembunuhan, kekurangan pangan, dan burung yg tak bisa bangun.

Guru Isa selamanya takut, kalut, dan cemas. Ia tak bisa melayani istrinya, Fatimah, yg masih muda, segar, dan dipenuhi api hidup. Persahabatannya dengan Hazil, meski kadang menyenangkan, namun semakin menyeretnya pada labirin ketakutan yg lain, pada jalan tak ada ujung.

Hazil adalah anak seorang pensiunan amtenar. Ia aktif di gerakan bawah tanah yg membantu laskar. Hidupnya dipenuhi nyala revolusi, juga amuk berahi: memenuhi api hidup Fatimah, istri kawannya.

Saat Hazil dan Guru Isa ditangkap polisi militer, perlahan kondisi mulai berubah: Hazil tumbang diteror ketakutan, dan Guru Isa justru sebaliknya.

"Dia (Guru Isa) tahu teror mereka (polisi militer) tidak akan bisa menyentuhnya lagi. Dia telah bebas," pungkas Mochtar Lubis.

 

Prajurit Schweik (Jaroslav Hasek)

Josef Schweik dikeluarkan dari dinas ketenteraan karena lemah akal. Hari-harinya, selain dihabiskan oleh penyakit encok, juga disibukkan dengan berjualan anjing yg asal-usulnya dipalsukan.

Terbunuhnya putra mahkota di Sarajevo menyeret ia dari satu penjara ke penjara lainnya. Saat wajib militer didengungkan, Schweik yg penyakit encoknya tengah kambuh, segera melapor ke tangsi sembari memakai kursi roda. "Mohon melapor, Tuan, aku menderita encok. Tetapi aku bersedia berjuang sampai titik darah terakhir untuk sang Kaisar," ucapnya.

Malang, dan itulah nama tengahnya, kejujurannya itu dianggap sebagai usaha mangkir dari wajib militer. Ia pun kembali dijebloskan ke bui. Setelah itu, setelah pelbagai kemalangan karena kebodohannya, ia pun akhirnya kembali menjadi tentara.

Sepanjang kariernya sebagai prajurit, Schweik telah kenyang disembur rupa-rupa serapah: tolol, bajingan, goblok, sinting, tak berotak, dll. Namun baginya, dengan ketenangan tingkat dewa dan keluguan tiada tara, semua itu tak berarti apapun. "Begitulah, badai berlalu di atas kepala Schweik, tanpa menyentuhnya," tulis Hasek.

Sekali waktu, ia dimintai pendapat oleh seorang letnan tentang gambar propaganda yg menampilkan tentara Austria yg tengah menombak prajurit Kosak. "Tak ada perlunya ia membunuh prajurit musuh. Orang Rusia ini telah angkat tangan. Mestinya ia ditawan saja sebab sudah menyerah. Harus adil, tak peduli siapa yg berbuat," jawabnya.

Jaroslav Hasek, sang pengarang, amat bersimpati pada Schweik. Dalam pengantarnya ia menulis, "Orang pendiam, sederhana, serta berpakaian buruk itu memanglah si prajurit teladan Schweik [...] Aku yakin kalian semua akan menaruh hati pada pahlawan yg rendah hati ini."

 

The Reader (Bernhard Schlink)

Sekali waktu, Hanna Schmitz menolong seorang siswa laki-laki berusia 15 tahun yg muntah di jalan karena menderita penyakit kuning.

Setelah agak sembuh, remaja itu mendatangi rumah Hanna untuk berterima kasih. Tak banyak yg mereka bicarakan, sampai akhirnya remaja itu melihat bagian tubuh Hanna yg terbuka saat perempuan tersebut memakai stoking.

Saat itu usia Hanna telah 36, ketika si remaja datang lagi ke rumahnya, mengerjakan sesuatu di gudang yg mengotori bajunya. "Lihat tampangmu, kau tidak bisa pulang dengan wajah seperti itu. Mandilah dan bersihkan debu dari bajumu," kata Hanna.

Setelah mandi, Hanna membawakan handuk, mengeringkan tubuhnya, dan membiarkan handuk jatuh ke lantai. Kemudian perempuan itu memeluk dada si remaja dan menyentuh kejantanannya. "Itulah alasannya kau di sini!" ujar Hanna.

Berkali-kali mereka bercinta. Hampir tiap hari. Berganti pekan, berganti bulan. Hanna hampir selalu mengajukan syarat: sebelum bercinta, si remaja harus membacakan dulu buku untuknya.

Suatu hari, Hanna pergi. Pindah kota, meninggalkan si remaja, sampai akhirnya mereka bertemu lagi di pengadilan. Siapa yg diadili? Siapa yg bersalah?

Hampir di pengujung kisah, si remaja yg telah jadi dewasa berkata pada Hanna, "Coba pikirkan apa yg harus kita lakukan besok." Hanna menimpalinya, "Nanti kupikirkan lagi. Kau masih tetap seorang yg penuh perencanaan, ya?"

 

Menuju Kamar Durhaka (Utuy Tatang Sontani)

Pesimis, sinis, dan Onih: itulah kesan yg timbul dalam 17 cerpen karangan Utuy. Beberapa menggambarkan kekecewaan pada zaman baru, era setelah kemerdekaan.

Sebagian lagi menguatkan bahwa Utuy mempunyai kesan yg amat dalam kepada Onih: perempuan indo, PSK, dan pernah ia cintai. Kenangan kepada perempuan itu disebutnya sebagai "haru yg tak kunjung kering".

Dua cerpen malah sengaja memakai nama Onih untuk tokoh perempuan: tak disembunyikan seperti dalam karya-karyanya yg lain.

Dari sejumlah cerpennya, saya terkesan pada cerpen "Mengarang": Si pengarang sakit, tapi tergiur oleh honor yg cukup besar. Agar fokus mengarang, ia menyuruh istri dan anaknya yg baru 13 bulan dan sering menangis untuk menunggu di luar rumah, sementara waktu telah pukul 1 pagi.

Namun, mengarang pun gagal, anak dan istri kedinginan. Si pengarang insyaf, ia telah menemukan pokok karangannya dan tersenyum, "Di saat tidak sehat seperti sekarang, akan kukarang saja yg enteng, yg mengajak aku tersenyum segar di dalam mengarangnya, biar badan terasa segar. Dan karangan ini sudah ada pula dalam kepalaku."

 

Le Petit Prince (Antoine De Saint-Exupery)

"Orang dewasa tidak mengerti apa-apa sendiri, maka sungguh menjemukan bagi anak-anak, perlu memberi penjelasan terus-menerus [...] Begitulah mereka! Kalian tidak usah menyesali mereka. Anak-anak mesti berbesar hati terhadap orang dewasa."

Karya Antoine de Saint-Exupéry ini amat kesohor. Konon telah diterjemahkan ke dalam 230 bahasa. Baru-baru ini telah terbit pula dalam edisi bahasa Sunda dengan judul "Prabu Anom" yg diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama.

Di Indonesia, buku ini mula-mula diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada 1979 dengan judul "Pangeran Kecil". Penerjemahnya adalah empat mahasiswi UI: Hennywati, Ratti Affandi, Tresnati, dan Lolita Dewi. Terjemahan tersebut kemudian disunting oleh Wing Kardjo.

Sementara edisi ini diterjemahkan oleh Henri Chambert-Loir. Dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ia menutup buku hasil suntingan Wing Kardjo. Setelah selesai menerjemahkan, barulah ia membandingkannya.

"Waktu dalam terjemahan Wing Kardjo saya menemukan kata atau ungkapan yg saya anggap lebih tepat atau lebih bagus daripada yg telah saya tulis, maka terjemahan saya sendirilah yg saya koreksi menurut versi pertama itu," ungkapnya.

Meski demikian, ada pula catatan bagi Wing Kardjo, yg menurutnya cenderung mengganti ungkapan yg diulang-ulang dengan ungkapan-ungkapan yg bervariasi. Bagi Henri, ungkapan yg diulang-ulang itu semuanya disengaja, semuanya dipertimbangkan, jadi tidak perlu menggantinya dengan ungkapan yg bervariasi.

Di luar hal tersebut, Henri menilai karya Exupéry ini sebagai "...hasil dari suatu kerajinan yg amat tinggi dan halus."

 

Sirkus Pohon (Andrea Hirata)

Andrea Hirata mestinya bisa bikin karya lebih dari ini. Dia seperti terjebak dalam pola pengisahan, karakter, latar, yg itu-itu saja.

Sekali dua, seperti dalam karyanya yg lain: "Padang Bulan" dan "Cinta di Dalam Gelas"--setidaknya bagi saya--dia cukup berhasil membuat cerita yg menarik. Namun, bahkan sejak "Laskar Pelangi", tokoh-tokoh komikal, sindiran-sindiran, tragedi dan komedi itu lama-lama membosankan.

Juga ihwal drama cinta pertama, aduh, kisah Aling si pemilik kuku indah saja saja sudah terlalu lebay, jangan pula ditambah yg lain-lain.

Meski demikian, setidaknya sejak novel "Ayah", Andrea Hirata rasa-rasanya cukup disiplin dalam membangun sulur cerita, juga saling keterkaitan antarfragmen yg nyaris tanpa bolong.

Sobri (Hobri), Taripol, Tara, Tegar, dan tokoh-tokoh lain dalam "Sirkus Pohon": bangunannya utuh, tapi lagi-lagi terjebak dalam gaya penulisan yg itu-itu saja.

 

Tiga Pertapa (Leo Tolstoy)

Terdiri dari tiga cerpen Tolstoy, termasuk cerpen "Berapa Banyak Tanah yang Diperlukan Orang?" yg kesohor.

Ihwal cerpen "Tiga Pertapa", sempat terjadi keributan kecil di media sosial setelah Akmal Nasery Basral menulis di laman Facebook-nya dengan judul "Dodolit Dodoltolstoy".

Alkisah, cerpen Seno Gumira Ajidarma yg berjudul "Dodolit Dodolibret", yg dimuat di Kompas menjadi salah satu Cerpen Terbaik Kompas 2011. Akmal yg hadir dalam malam penghargaan tersebut yg digelar di Bentara Budaya Jakarta, seketika ingat cerpen "Tiga Pertapa" karya Tolstoy saat sinopsis cerpen Seno ditampilkan.

Terdapat delapan poin kesamaan antara dua cerpen tersebut. Kecurigaan Akmal memang meyakinkan. Namun di Facebook, di bawah catatan Akmal, banyak komentar yg justru sibuk--mengutip Muhidin M. Dahlan--"menggapai-gapai pengertian plagiasi, adaptasi, keterpengaruhan, afinitas, Dan serombongan peristilahan lainnya."

Dalam bab "Plagiat, Keributan Omong Kosong, Dan Kehormatan" yg terdapat pada buku "Aku Mendakwa Hamka Plagiat", Muhidin menulis: "Kasus Seno Gumira Ajidarma dan Tolstoy itu pun kita tahu kemudian mereda dengan cepat, lalu melenyap. Tak ada kelanjutan [...] Jangan-jangan soal plagiat, hanya penulis karya dan Tuhan yg tahu. Dan para pencurinya tetap pada kehormatannya."

 

Kenang-kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub (Claudio Orrego Vicuna)

Baltazar ditangkap di dekat Kutub Utara oleh ekspedisi Kanada yg dipimpin oleh Christian Warrington. Lima belas tahun kemudian, ia ditembak mati oleh Lisandro Espinoza, petugas penjaga kandangnya di sebuah kebun binatang.

"Saya tidak tahan lagi. Beruang itu merendahkan saya," ujar si pembunuh. Sementara anak-anak yg biasa mengunjungi Baltazar berkumpul di sekitar kandangnya: menyatakan belasungkawa. Seorang gadis kecil bahkan menangis sesenggukan sambil menggenggam jeruji besi kandang.

Lima belas tahun dalam kurungan adalah pengalaman panjang yg menyakitkan, penuh penderitaan, namun bermuara pada permenungan yg dalam ihwal makna kebebasan. Baltazar yg ditangkap ketika masih muda, hanyalah beruang Kutub biasa yg merindukan hamparan es, laut dalam, dan dimabuk asmara.

Amatannya terhadap manusia yg kerap ia sebut sebagai "makhluk-makhluk berwajah kelabu", juga persahabatannya dengan anak-anak, memperkaya batinnya. "Dan manusia sepertinya memendam paduan aneh antara kebahagiaan dan kesedihan," ungkapnya sekali waktu.

Pengalaman Baltazar adalah solilokui untuk menguasai keadaan, seperti juga yg sempat ia sampaikan, "Selama mereka tidak menemukan apa yg kumiliki, mereka tidak akan pernah mendominasiku."

 

Gairah di Gurun (Honere de Balzac)

Seperti "Tiga Pertapa"-nya Tolstoy, buku ini juga terdiri dari tiga cerpen: Rumah Misterius, Peristiwa di Ghent, dan Gairah di Gurun. Saya mempunyai lima buku seri fiksi klasik dari Penerbit Nuansa ini.

Gairah di Gurun mengisahkan seorang tentara Prancis yg ditawan oleh pasukan Arab. Dalam sebuah rehat, si tawanan berhasil meloloskan diri dengan menunggangi kuda. Karena terlampau terburu-buru, kuda yg ia tunggangi kelelahan dan roboh. Tentara Prancis itu akhirnya terdampar di gurun pasir maha luas dan memulai lembaran cerita baru.

Ia mulanya menyesal telah melarikan diri, sebab kesunyian segera menyergapnya, terlebih saat ia teringat pada kampung halaman. Sunyi, hanya pasir, pohon kurma, dan sebongkah batu. Panas yg menyengat kemudian mendorongnya untuk mencari tempat berteduh yg lebih layak, dan ia pun menemukan sebuah gua.

Saat ia mulai mengagumi keindahan dan kesunyian gurun pasir, dalam gelap malam seekor macan mendekatinya dan tidur di dekatnya. Mulut macan itu menyisakan darah: jejak makan siang. Ketakutan segera menyergap si tentara. Pelbagai cara ia rencanakan untuk menghabisi hewan itu. Namun, esok harinya, mereka tidak saling menyerang dan mulai berkawan.

"Di gurun pasir itu, kau tahu, di sana ada segalanya dan sekaligus tak ada apa-apa [...] itu adalah Tuhan tanpa kemanusiaan," ujar si tentara kepada kawannya saat ia menceritakan pengalamannya. [irf]