02 December 2020

Buku-buku yang Saya Baca Selama Pandemi 2020 - bagian 2

Angkong Hantu (Rudyard Kipling)

Hanya terdiri dari dua cerpen: Angkong Hantu dan Sebuah Penipuan Bank. Sesuai dengan latar belakang penulisnya yg lahir dan banyak menghabiskan waktunya di India, dua cerpen ini berlatar kehidupan di India.

Cerita pertama tentang seseorang yg terus menerus dihantui kesalahan lewat kehadiran angkong (gerobak/kereta bertenaga manusia) dari dunia gaib. Sementara kisah kedua tentang menunda kematian dengan berbohong: menyenangkan orang yg sekarat agar mampu bertahan, menunda kematiannya hari demi hari.

Bagi saya, Rudyard Kipling amat asing, tak pernah sekalipun mendengar namanya, juga karya-karyanya. Dalam keterangan tentang pengarang di buku tipis ini disebutkan bahwa saat berusia enam tahun ia dibawa pulang ke Inggris dan pada umur 17 tahun kembali ke India.

Konon ia menderita kurang penglihatan. Celakanya, ia kerap tertawa hingga hampir nangis dan dipastikan kacamata tebalnya akan berembun. Barangkali kondisi inilah--menurut informasi di buku ini--yg mendorong ia menulis novel pertamanya yg bercerita tentang kebutaan yg semakin parah.

 

Ibunda (James Joyce)

Terdiri dari empat cerpen James Joyce: Pasar Malam, Adik Perempuan, Eveline, dan Ibunda. Sebagai cerpen yg dijagokan penerbit, buat saya, Ibunda tak begitu menarik, ceritanya mirip sinetron.

Pasar Malam lebih baik, memotret tragedi yg begitu dekat dengan keseharian: tentang keterlambatan, ketololan orang dewasa, dan kekecewaan yg bisa melahirkan dendam.

Alkisah, seorang bocah laki-laki jatuh cinta pada perempuan yg lebih tua dari dirinya. Mulanya, perbedaan usia membuat si bocah malu dan segan untuk mengutarakan ketertarikannya.

"Saat kami hampir bersisian, aku mempercepat langkah dan melewatinya. Terus begitu dari pagi ke pagi. Aku tak pernah bicara padanya. Namun, namanya selalu membuat darahku tersirap," ungkap di bocah.

Namun akhirnya timbul juga keberanian si bocah untuk sekadar bercakap-cakap dengan gadis idamannya. Si perempuan berkata bahwa dirinya suka akan pasar malam, tapi tak bisa pergi karena ada misa. "Jika aku ke sana (pasar malam), akan kubawakan sesuatu untukmu," ujar si bocah.

Dan terjadilah tragedi itu. Pamannya si bocah yg akan memberinya uang pulang terlambat sehingga semuanya menjadi ambyar: sudah larut malam, kereta hampir penghabisan, pasar malam telah berkemas, si bocah hanya menelan kesia-siaan.

"Mataku terbakar oleh air mata kemarahan dan kesakitan," ujarnya.

 

Madiun 1948: PKI Bergerak (Harry A. Poeze)

Merupakan jilid ke-6 dari seri "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia". Pada jilid ini Tan Malaka sangat minim disebut, dan kisah memang terpusat pada peristiwa di Solo dan Madiun.

Kedatangan Moeso setelah lama mukim di Moskow, ReRa Hatta, keadaan di Solo yg membuat Siliwangi frustasi, penculikan dan pembunuhan para perwira Panembahan Senopati, perseteruan FDR dengan GRR, dll: membuat Solo menjadi wild west.

Komunis terdesak dan memusatkan kekuatan di Madiun. Akibat "provokasi Hatta"--begitu mereka menyebut--perebutan kekuasaan terjadi di Madiun.

Sukarno-Hatta mengirim Siliwangi, juga pasukan Soengkono di Jawa Timur memilih pemerintah. Madiun terjepit. PKI membentuk satu kolone panjang dan melakukan longmars. Basis-basis gerilya di Jawa Timur keteteran karena kehadiran pasukan Soengkono. Kolone itu bertahan kurang lebih dua bulan sebelum akhirnya banyak yg menyerah atau tertangkap dan dieksekusi.

Moeso tewas. Amir Sjarifoeddin, Maroeto Daroesman, Oei Gee Hwat, dll yg berjumlah sebelas orang dibawa ke Ngalihan, sebelah timur Solo. Atas keputusan Gatot Subroto selaku Gubernur Militer, mereka semua dieksekusi.

Dramatis dan brutal!

Poeze melengkapinya dengan pelbagai pandangan politik dan sejarah dari pihak-pihak yg terlibat, historiografi "resmi", historiografi lain, dan pandangan Barat.

 

Locéng Garéja Bérécoli (Adang S)

Adang S. wafat pada Februari 2020. Ia mantan prajurit baret hijau Batalion 330/Kujang I Siliwangi yg sekarang menjadi bagian dari Kostrad. Salah satu karyanya yg cukup terkenal adalah "Ngepung Kahar Muzakar": semacam jurnal dari garis depan penumpasan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Buku ini terdiri dari 14 cerpen berbahasa Sunda yg tujuh di antaranya menceritakan kehidupan tentara yg beberapa mungkin diangkat dari pengalamannya sendiri: penugasan di Kongo, pertempuran di Timor Timur, terjun di hutan Papua, terkurung di rawa Kalimantan, dan perang di zaman Jepang.

Dua di antara tujuh cerita tentang kehidupan tentara adalah kisah kasih prajurit yg beda pangkat dan kisah klise tentang percintaan yg putus karena penugasan.

"Sedeng ari atasan téa, wajib dihormat--tur sagala paréntahna wajib dilakonan. Teu meunang henteu. Bongan kuring jadi tentara," batin Mayor Sutrisno dalam cerpen "Tentara Reuneuh" yg jatuh cinta pada Letnan Mulyani, atasannya.

"Teu kungsi lila, si perwira ngora datang deui. Saperti kadatangan ti heula, anyeuna gé panon teu ngiceup. Lantis melong manéhna ti mimiti pipina, biwirna, panonna, bulu panonna, buukna jeung...eusi pésakna! Ari kitu, ari awéwé maké pakéan seragam téh, jiga mésakan buah!" tutur Mayor Sutrisno yg kian tergila-gila pada atasannya.

Tujuh cerita lain yg tak ada kaitannya dengan ketentaraan, beberapa terasa terburu-buru dalam memungkasi kisah, seperti cerpen "Dewi Sinta ti Sunyaruri" dan "Lahar Amarah". Sisanya lumayan ditulis secara sabar.

Adang S. seorang kombatan, petempur, bukan perwira yg sibuk ngurus taktik dan strategi. Karena itu kisah-kisah yg ditulisnya terasa amat nyata menggambarkan situasi di garis depan: ledakan, darah, meregang nyawa, lebaran di rawa, tersangkut di pohon besar hutan Papua, desing peluru, dll.

 

Sanggeus Umur Tunggang Gunung (Usep Romli H.M.)

Usép Romli H.M wafat pada Rabu, 8 Juli 2020 di Limbangan, Garut. Judul buku ini, juga beberapa cerpen di dalamnya terasa pas dengan berita duka ini.

Di lingkaran pertemanan saya yg kecil, mantan wartawan Pikiran Rakyat ini sempat menjadi bahan "guyonan", sebab ia amat produktif menulis di beberapa koran, majalah, dan tabloid berbahasa Sunda dan Indonesia. Kalau di antara kawan ada yg rajin menulis, maka dia akan dipanggil "Pa Usép".

Buat saya, buku kumpulan cerpen ini seperti siniar Simamaung yg oleh salah seorang pendengarnya didengarkan sedikit demi sedikit karena isinya menarik. Khawatir cepat sampai di pengujung.

"Sanggeus Umur Tunggang Gunung" merupakan salah satu dari sembilan cerpen di buku ini. Secara keseluruhan, Usép Romli tampak maras dengan kondisi kiwari: kerusakan alam dalam "Lauk Cimanuk", pergeseran yg sakral menjadi profan dalam "Néangan Pajaratan", laku transaksional antara pengusaha dengan pemerintah yg hanya menyengsarakan rakyat kecil dalam "Tower", kesia-siaan demokrasi karena banyak melahirkan para koruptor pada "Aki Jumli Milu Pemilu", dll.

Sebagai tokoh NU Jabar, ia juga tak jarang menghadirkan sosok ajengan dan santri dalam karyanya, disertai satu dua dalil sebagai penguat. Tak ketinggalan ia juga menyebut gerombolan DI/TII dalam beberapa fragmen sebagai tengara bahwa periode itu amat lekat dengan ingatan warga Jabar.

"Pemilu harita, éstuning keur prihatin. Jaman kacow ku gorombolan. Dua poé saméméh poéan nyolok, lembur Cipalung diduruk. Sapoé sabada nyolok, bagéan Pasanggrahan géhéng. Ngan taya korban jiwa wungkul," tulisnya.

Di pengujung "Néangan Pajaratan", dua alineanya mengingatkan saya pada puisi "Pastoral" Acep Zamzam Noor:

"Maut bukanlah kabut yg mengendap-ngendap/tapi salju/yg berloncatan bagai waktu/dan menyumbat pernapasanmu.

Maut bukanlah kata-kata/tapi doa/yg memancar bagai cahaya surga/dan membakarmu tiba-tiba."

 

Siti Rayati (Moh. Sanoesi)

Perlawanan Haji Hasan dalam Peristiwa Cimareme, Garut, pada 1919 mendorong Moh. Sanoesi menulis dangding berjudul "Garut Génjlong" di surat kabar Pajajaran. Karya itu mengkritik keserakahan Bupati Garut. Warsa 1923, "Siti Rayati" yg menceritakan kelaliman pegawai kontrak (perkebunan) asal Belanda, diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Dachlan Bekti, Bandung.

Steenhart nama orang Belanda itu. Dia baru kehilangan nyai karena meninggal dunia. Sedih belaka, tetapi hanya sebentar, sebab berahinya mendorong dia untuk segera mencari perempuan lain. Steenhart sosok yg kasar dan hampang leungeun, mudah memukul para pekerja pribumi. Yg tertimpa sial adalah Patimah. Buruh pemetik teh itu menjadi sasaran berahi Steenhart selanjutnya.

Penderitaan panjang Patimah seperti paduan antara nasib Nyai Ontosoroh dalam "Bumi Manusia" dengan Laura dalam "Orang-orang Oetimu". Patimah melahirkan dalam perjalanan di sebuah kebun di Desa Cirayati. Anaknya ia tinggalkan dalam kesedihan yg memuncak.

Kelahiran anaknya membuka babak baru penceritaan. Sanoesi membawa pembaca pada masa-masa awal pergerakan nasional saat pendidikan mulai membuka kesadaran pribumi. Pers mulai ditakuti para priyayi karena membongkar borok-boroknya, seperti percakapan ini:

"Pikir baé Ti, ulah gancang-gancang, kolot mah sok tara salah," saur Pangawulaan, "moal enya Titi teu nyaho naon gawéna tukang surat kabar..."

"Kantenan terang mah, éta margina nu mawi abdi teu risi deui."

"Enya tukang ngorék-ngorék jeung ngabongkar kasalahan priyayi."

"Tah éta nu mawi abdi satuju téh, margi di dieu perlu pisan diayaan tukang kitu..."

"Siti Rayati" dianggap sebagai salah satu karya penting dalam literatur Sunda klasik abad ke-20. Keberanian sang pengarang banyak menginspirasi pengarang Sunda lain setelahnya.

Tahun 1926 Moh. Sanoesi dibuang ke Boven Digul, Papua, dan baru dibebaskan pada 1931. Setelah kembali ke Bandung ia kembali aktif di dunia pergerakan dan jurnalistik.

 

Rasiah nu Goréng Patut (Soekria/Joehana)

Gelombang aksi mogok melanda Jawa. Para buruh kereta api tak sudi diupah rendah. 8 Mei 1923, Semaoen ditangkap di Semarang. Oleh pemerintah kolonial, ia dianggap telah menyalakan api protes. Di titimangsa yg sama dengan penangkapan Semaoen, buruh kereta api di Bandung melakukan aksi serupa.

Jika para pentolan ditangkap, mereka yg turut serta dalam pemogokan dipecat. Salah seorang peserta aksi mogok di Bandung adalah Akhmad Basah alias Joehana, pengarang buku ini.

Ia aktif di Sarekat Rakjat dan tercatat sebagai salah seorang pimpinan pengurus cabang Bandung. Istrinya bekerja sebagai guru sekolah dasar yg didirikan organisasi tersebut. Setelah diberhentikan dari jawatan kereta api, ia menulis sejumlah karangan berbentuk roman, cerita pendek, dangding, kumpulan anekdot, dan makalah.

Sebagai seorang yg anti kolonialisme, Joehana tak sudi karangan-karangannya diterbitkan Balai Pustaka, dan memang tak mungkin lolos seleksi. Hal ini membuat karangan-karangannya tidak pernah diperkenalkan dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah.

Dalam "Rasiah nu Goréng Patut"--terbit pertama kali tahun 1928--Joehana menggugat norma-norma kehidupan yg diciptakan oleh manusia-manusia lain dalam lingkungannya.

Meski kisah ini menceritakan kebrengsekan Karnadi (tokoh utamanya), Joehana pada dasarnya hendak membongkar jurang kesetaraan antara orang kaya dan orang miskin. Ia mengkritik lewat tokoh Karnadi yg cukup licin menipu, yg tidak ingin didahului oleh norma-norma baku buatan segelintir pihak.

Meski menulis sejumlah karangan, Joehana tak pernah mengaku diri sebagai pengarang, apalagi sastrawan. Ia lebih senang mengaku sebagai seorang wartawan.

 

Béntang Pasantrén (Usep Romli H.M)

Tak seperti kakak-kakaknya yg meneruskan belajar di sekolah umum, selepas SMP Aép belajar di sebuah pesantren tradisional. Ibu, bapak, dan pamannya mendorong ia agar menjadi kiai sebagai pengganti kakeknya yg dulu pernah mempunyai pesantren.

Aép belajar di pesantren yg dipimpin oleh sahabat kakeknya, yg juga ayah Imas, perempuan yg ia sukai.

"Alhamdulillah! Geuning aya pibakaleun étah. Sugan baé tapak lacak éyangna kapapay. Ka Jombang, ka Buntet, ka Bangkalan. InsyaAlloh, ku Mama dilalanyah. Ditampi ku asta kalih kapercantenan kulawargi Kang Haji ka Mama. Bet asa ararisin...," ucap gurunya saat Aép diantarkan ke pesantren untuk pertama kali.

Perjalanan Aép menuntut ilmu diwarnai pelbagai kejadian di lingkungan belajarnya yg menjadi ciri khas kehidupan pesantren tradisional.

Bagi Aép, Imas sang bintang pesantren ibarat jarak pendek menuju impian dalam "5 Cm" Donny Dhirgantoro. Ia amat dekat, nyata, dan menjadi pelecut bagi dirinya.

 

Surat-surat ti Jepang 1 (Ajip Rosidi)

Juni 1980, atas undangan dari The Japan Foundation, Ajip Rosidi mukim di Jepang selama 6 bulan ditemani istrinya. Mereka tinggal di Iwakura, Kyoto. Rumah mereka terletak di sebuah daerah yg dikelilingi sawah dan pergunungan.

Di sana, Ajip menulis ribuan surat dalam bahasa Indonesia dan Sunda yg ditujukan kepada para koleganya. Surat-surat dalam bahasa Indonesia yg ditulis dari tahun 1980 sampai 2002 dikurasi oleh JJ Rizal dan diterbitkan KPG dengan judul "Yang Datang Telanjang". Sementara surat-surat dalam bahasa Sunda dikurasi oleh Usép Romli H.M. dan diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama sebanyak 6 jilid. Buku ini bagian pertamanya yg terdiri dari 30 surat.

Karena ditulis dalam bahasa Sunda dan ditujukan kepada orang yg berbeda-beda, baik secara status sosial maupun kedekatan pergaulan, maka bahasa yg digunakan pun dibalut undak usuk basa yg beragam. Misal, kepada kawan dekatnya seperti Ramadhan K.H., Ajip menyebut dirinya "déwék" (saya) yg terbilang kasar, dan di pengujung cukup hanya menulis "nu tansah sono". Sementara kepada Ilén Surianegara, Ajip menyebut dirinya "abdi", juga di pengujung surat menulis "wasalamna, pun".

Salah satu alasan surat-surat ini dibukukan adalah mendokumentasikan gagasan-gagasan Ajip dalam menegakkan kesusastraan Sunda. "...katangén paéh posona Ajip nanjeurkeun basa jeung sastra Sunda. Éstuning pok-pék-prak. Gagasan. Rarancang, diwujudkeun dina kanyataan. Lain ukur 'mandahong'--mamandapan bari ngabohong--nu mindeng kasaksian dina pakumbuhan sapopoé...," tulis Usep Romli.

Dalam otobiografinya yg bertajuk "Hidup Tanpa Ijazah", salah satu kisah yg kerap muncul dalam buku setebal 1000 halaman lebih itu adalah tentang kawan-kawan dan saudara-saudaranya yg tinggal bersama dalam rentang waktu yg berlainan. Singkatnya Ajip banyak menolong.

Hal itu kemudian dijelaskan Ajip dalam suratnya kepada Sadeli Winantadireja bertanggal 7 Juli 1980: "Ngan sidik boh déwék boh pamajikan ana barangbéré téh lain hayang meuli-meuli atawa aya pangarahan. Istuning clik putih clak hérang tina haté baé."

 

Lembur Singkur (Abdullah Mustappa)

Tidak sulit mendapatkan narasumber yg mengalami peristiwa perlawanan DI/TII di Jawa Barat. Di daerah Bandung selatan misalnya, saya hanya perlu pergi ke warung, pilih warung mana saja semaunya secara acak, memesan kopi, dan menunggu orang tua datang. Atau kalau si pemilik warungnya sudah tua, bisa langsung bertanya kepadanya: apakah dia mengalami zaman gerombolan atau tidak. Jika mengalami, maka mereka biasanya akan mudah menceritakan pengalamannya. Peristiwa ini kiranya telah menjadi pengalaman banyak orang.

Sejumlah pengarang yg menulis karyanya dalam bahasa Sunda banyak yg mengangkat tragedi ini dalam beberapa kisah, di antaranya Ahmad Bakri dalam cerpen "Dokumén" dan Usép Romli H.M. dalam cerpen "Tangkal Buah Pipireun Imah". Juga Abdullah Mustappa dalam roman pendek ini.

"Lembur Singkur" menceritakan tokoh "kuring", bocah yg tak mengenal rupa bapaknya karena bergabung dengan gerombolan. Dia tinggal di kampung bersama ibu dan dua orang kakaknya yg enggan ikut ke hutan bersama kombatan DI/TII. Si bapak kadang pulang ke rumah pada tengah malam dan selalu terburu-buru. Celakanya, setelah kedatangan bapaknya itu, kampung dan markas tentara kerap diserang gerombolan. Akibatnya sang ibu dan kakak-kakaknya disiksa tentara karena dianggap menyembunyikan musuh negara, bapaknya.

Konflik antara pemerintah dengan DI/TII membuat rakyat terjebak dalam penderitaan tak berkesudahan. "Karto vs Karno, yg korban Karta jeung Karna." [irf]

No comments: