Angkong Hantu (Rudyard Kipling)
Hanya terdiri dari dua cerpen: Angkong Hantu dan Sebuah Penipuan Bank. Sesuai dengan latar belakang penulisnya yg lahir dan banyak menghabiskan waktunya di India, dua cerpen ini berlatar kehidupan di India.
Cerita pertama tentang seseorang yg terus
menerus dihantui kesalahan lewat kehadiran angkong (gerobak/kereta bertenaga
manusia) dari dunia gaib. Sementara kisah kedua tentang menunda kematian dengan
berbohong: menyenangkan orang yg sekarat agar mampu bertahan, menunda
kematiannya hari demi hari.
Bagi saya, Rudyard Kipling amat asing, tak
pernah sekalipun mendengar namanya, juga karya-karyanya. Dalam keterangan
tentang pengarang di buku tipis ini disebutkan bahwa saat berusia enam tahun ia
dibawa pulang ke Inggris dan pada umur 17 tahun kembali ke India.
Konon ia menderita kurang penglihatan.
Celakanya, ia kerap tertawa hingga hampir nangis dan dipastikan kacamata
tebalnya akan berembun. Barangkali kondisi inilah--menurut informasi di buku
ini--yg mendorong ia menulis novel pertamanya yg bercerita tentang kebutaan yg
semakin parah.
Ibunda (James Joyce)
Terdiri dari empat cerpen James Joyce: Pasar Malam, Adik Perempuan, Eveline, dan Ibunda. Sebagai cerpen yg dijagokan penerbit, buat saya, Ibunda tak begitu menarik, ceritanya mirip sinetron.
Pasar Malam lebih baik, memotret tragedi yg
begitu dekat dengan keseharian: tentang keterlambatan, ketololan orang dewasa,
dan kekecewaan yg bisa melahirkan dendam.
Alkisah, seorang bocah laki-laki jatuh cinta
pada perempuan yg lebih tua dari dirinya. Mulanya, perbedaan usia membuat si
bocah malu dan segan untuk mengutarakan ketertarikannya.
"Saat kami hampir bersisian, aku
mempercepat langkah dan melewatinya. Terus begitu dari pagi ke pagi. Aku tak
pernah bicara padanya. Namun, namanya selalu membuat darahku tersirap,"
ungkap di bocah.
Namun akhirnya timbul juga keberanian si bocah
untuk sekadar bercakap-cakap dengan gadis idamannya. Si perempuan berkata bahwa
dirinya suka akan pasar malam, tapi tak bisa pergi karena ada misa. "Jika
aku ke sana (pasar malam), akan kubawakan sesuatu untukmu," ujar si bocah.
Dan terjadilah tragedi itu. Pamannya si bocah yg
akan memberinya uang pulang terlambat sehingga semuanya menjadi ambyar: sudah
larut malam, kereta hampir penghabisan, pasar malam telah berkemas, si bocah
hanya menelan kesia-siaan.
"Mataku terbakar oleh air mata kemarahan
dan kesakitan," ujarnya.
Madiun 1948: PKI Bergerak (Harry A. Poeze)
Merupakan jilid ke-6 dari seri "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia". Pada jilid ini Tan Malaka sangat minim disebut, dan kisah memang terpusat pada peristiwa di Solo dan Madiun.
Kedatangan Moeso setelah lama mukim di Moskow, ReRa Hatta, keadaan di Solo yg membuat Siliwangi frustasi, penculikan dan pembunuhan para perwira Panembahan Senopati, perseteruan FDR dengan GRR, dll: membuat Solo menjadi wild west.
Komunis terdesak dan memusatkan kekuatan di
Madiun. Akibat "provokasi Hatta"--begitu mereka menyebut--perebutan kekuasaan
terjadi di Madiun.
Sukarno-Hatta mengirim Siliwangi, juga pasukan
Soengkono di Jawa Timur memilih pemerintah. Madiun terjepit. PKI membentuk satu
kolone panjang dan melakukan longmars. Basis-basis gerilya di Jawa Timur
keteteran karena kehadiran pasukan Soengkono. Kolone itu bertahan kurang lebih
dua bulan sebelum akhirnya banyak yg menyerah atau tertangkap dan dieksekusi.
Moeso tewas. Amir Sjarifoeddin, Maroeto
Daroesman, Oei Gee Hwat, dll yg berjumlah sebelas orang dibawa ke Ngalihan,
sebelah timur Solo. Atas keputusan Gatot Subroto selaku Gubernur Militer,
mereka semua dieksekusi.
Dramatis dan brutal!
Poeze melengkapinya dengan pelbagai pandangan
politik dan sejarah dari pihak-pihak yg terlibat, historiografi
"resmi", historiografi lain, dan pandangan Barat.
Locéng Garéja Bérécoli (Adang S)
Adang S. wafat pada Februari 2020. Ia mantan prajurit baret hijau Batalion 330/Kujang I Siliwangi yg sekarang menjadi bagian dari Kostrad. Salah satu karyanya yg cukup terkenal adalah "Ngepung Kahar Muzakar": semacam jurnal dari garis depan penumpasan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Buku ini terdiri dari 14 cerpen berbahasa Sunda
yg tujuh di antaranya menceritakan kehidupan tentara yg beberapa mungkin
diangkat dari pengalamannya sendiri: penugasan di Kongo, pertempuran di Timor
Timur, terjun di hutan Papua, terkurung di rawa Kalimantan, dan perang di zaman
Jepang.
Dua di antara tujuh cerita tentang kehidupan
tentara adalah kisah kasih prajurit yg beda pangkat dan kisah klise tentang
percintaan yg putus karena penugasan.
"Sedeng ari atasan téa, wajib dihormat--tur
sagala paréntahna wajib dilakonan. Teu meunang henteu. Bongan kuring jadi
tentara," batin Mayor Sutrisno dalam cerpen "Tentara Reuneuh" yg
jatuh cinta pada Letnan Mulyani, atasannya.
"Teu kungsi lila, si perwira ngora datang
deui. Saperti kadatangan ti heula, anyeuna gé panon teu ngiceup. Lantis melong
manéhna ti mimiti pipina, biwirna, panonna, bulu panonna, buukna jeung...eusi
pésakna! Ari kitu, ari awéwé maké pakéan seragam téh, jiga mésakan buah!"
tutur Mayor Sutrisno yg kian tergila-gila pada atasannya.
Tujuh cerita lain yg tak ada kaitannya dengan
ketentaraan, beberapa terasa terburu-buru dalam memungkasi kisah, seperti
cerpen "Dewi Sinta ti Sunyaruri" dan "Lahar Amarah".
Sisanya lumayan ditulis secara sabar.
Adang S. seorang kombatan, petempur, bukan
perwira yg sibuk ngurus taktik dan strategi. Karena itu kisah-kisah yg
ditulisnya terasa amat nyata menggambarkan situasi di garis depan: ledakan,
darah, meregang nyawa, lebaran di rawa, tersangkut di pohon besar hutan Papua,
desing peluru, dll.
Sanggeus Umur Tunggang Gunung (Usep Romli H.M.)
Usép Romli H.M wafat pada Rabu, 8 Juli 2020 di Limbangan, Garut. Judul buku ini, juga beberapa cerpen di dalamnya terasa pas dengan berita duka ini.
Di lingkaran pertemanan saya yg kecil, mantan
wartawan Pikiran Rakyat ini sempat menjadi bahan "guyonan", sebab ia
amat produktif menulis di beberapa koran, majalah, dan tabloid berbahasa Sunda
dan Indonesia. Kalau di antara kawan ada yg rajin menulis, maka dia akan
dipanggil "Pa Usép".
Buat saya, buku kumpulan cerpen ini seperti
siniar Simamaung yg oleh salah seorang pendengarnya didengarkan sedikit demi
sedikit karena isinya menarik. Khawatir cepat sampai di pengujung.
"Sanggeus Umur Tunggang Gunung" merupakan
salah satu dari sembilan cerpen di buku ini. Secara keseluruhan, Usép Romli
tampak maras dengan kondisi kiwari: kerusakan alam dalam "Lauk
Cimanuk", pergeseran yg sakral menjadi profan dalam "Néangan
Pajaratan", laku transaksional antara pengusaha dengan pemerintah yg hanya
menyengsarakan rakyat kecil dalam "Tower", kesia-siaan demokrasi
karena banyak melahirkan para koruptor pada "Aki Jumli Milu Pemilu",
dll.
Sebagai tokoh NU Jabar, ia juga tak jarang
menghadirkan sosok ajengan dan santri dalam karyanya, disertai satu dua dalil
sebagai penguat. Tak ketinggalan ia juga menyebut gerombolan DI/TII dalam
beberapa fragmen sebagai tengara bahwa periode itu amat lekat dengan ingatan
warga Jabar.
"Pemilu harita, éstuning keur prihatin.
Jaman kacow ku gorombolan. Dua poé saméméh poéan nyolok, lembur Cipalung
diduruk. Sapoé sabada nyolok, bagéan Pasanggrahan géhéng. Ngan taya korban jiwa
wungkul," tulisnya.
Di pengujung "Néangan Pajaratan", dua
alineanya mengingatkan saya pada puisi "Pastoral" Acep Zamzam Noor:
"Maut bukanlah kabut yg
mengendap-ngendap/tapi salju/yg berloncatan bagai waktu/dan menyumbat
pernapasanmu.
Maut bukanlah kata-kata/tapi doa/yg memancar
bagai cahaya surga/dan membakarmu tiba-tiba."
Siti Rayati (Moh. Sanoesi)
Perlawanan Haji Hasan dalam Peristiwa Cimareme, Garut, pada 1919 mendorong Moh. Sanoesi menulis dangding berjudul "Garut Génjlong" di surat kabar Pajajaran. Karya itu mengkritik keserakahan Bupati Garut. Warsa 1923, "Siti Rayati" yg menceritakan kelaliman pegawai kontrak (perkebunan) asal Belanda, diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Dachlan Bekti, Bandung.
Steenhart nama orang Belanda itu. Dia baru
kehilangan nyai karena meninggal dunia. Sedih belaka, tetapi hanya sebentar,
sebab berahinya mendorong dia untuk segera mencari perempuan lain. Steenhart
sosok yg kasar dan hampang leungeun, mudah memukul para pekerja pribumi. Yg
tertimpa sial adalah Patimah. Buruh pemetik teh itu menjadi sasaran berahi
Steenhart selanjutnya.
Penderitaan panjang Patimah seperti paduan antara
nasib Nyai Ontosoroh dalam "Bumi Manusia" dengan Laura dalam
"Orang-orang Oetimu". Patimah melahirkan dalam perjalanan di sebuah
kebun di Desa Cirayati. Anaknya ia tinggalkan dalam kesedihan yg memuncak.
Kelahiran anaknya membuka babak baru penceritaan.
Sanoesi membawa pembaca pada masa-masa awal pergerakan nasional saat pendidikan
mulai membuka kesadaran pribumi. Pers mulai ditakuti para priyayi karena
membongkar borok-boroknya, seperti percakapan ini:
"Pikir baé Ti, ulah gancang-gancang, kolot
mah sok tara salah," saur Pangawulaan, "moal enya Titi teu nyaho naon
gawéna tukang surat kabar..."
"Kantenan terang mah, éta margina nu mawi
abdi teu risi deui."
"Enya tukang ngorék-ngorék jeung ngabongkar
kasalahan priyayi."
"Tah éta nu mawi abdi satuju téh, margi di
dieu perlu pisan diayaan tukang kitu..."
"Siti Rayati" dianggap sebagai salah
satu karya penting dalam literatur Sunda klasik abad ke-20. Keberanian sang
pengarang banyak menginspirasi pengarang Sunda lain setelahnya.
Tahun 1926 Moh. Sanoesi dibuang ke Boven Digul,
Papua, dan baru dibebaskan pada 1931. Setelah kembali ke Bandung ia kembali
aktif di dunia pergerakan dan jurnalistik.
Rasiah nu Goréng Patut (Soekria/Joehana)
Gelombang aksi mogok melanda Jawa. Para buruh kereta api tak sudi diupah rendah. 8 Mei 1923, Semaoen ditangkap di Semarang. Oleh pemerintah kolonial, ia dianggap telah menyalakan api protes. Di titimangsa yg sama dengan penangkapan Semaoen, buruh kereta api di Bandung melakukan aksi serupa.
Jika para pentolan ditangkap, mereka yg turut
serta dalam pemogokan dipecat. Salah seorang peserta aksi mogok di Bandung
adalah Akhmad Basah alias Joehana, pengarang buku ini.
Ia aktif di Sarekat Rakjat dan tercatat sebagai
salah seorang pimpinan pengurus cabang Bandung. Istrinya bekerja sebagai guru
sekolah dasar yg didirikan organisasi tersebut. Setelah diberhentikan dari
jawatan kereta api, ia menulis sejumlah karangan berbentuk roman, cerita
pendek, dangding, kumpulan anekdot, dan makalah.
Sebagai seorang yg anti kolonialisme, Joehana
tak sudi karangan-karangannya diterbitkan Balai Pustaka, dan memang tak mungkin
lolos seleksi. Hal ini membuat karangan-karangannya tidak pernah diperkenalkan
dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah.
Dalam "Rasiah nu Goréng Patut"--terbit
pertama kali tahun 1928--Joehana menggugat norma-norma kehidupan yg diciptakan
oleh manusia-manusia lain dalam lingkungannya.
Meski kisah ini menceritakan kebrengsekan
Karnadi (tokoh utamanya), Joehana pada dasarnya hendak membongkar jurang
kesetaraan antara orang kaya dan orang miskin. Ia mengkritik lewat tokoh
Karnadi yg cukup licin menipu, yg tidak ingin didahului oleh norma-norma baku
buatan segelintir pihak.
Meski menulis sejumlah karangan, Joehana tak
pernah mengaku diri sebagai pengarang, apalagi sastrawan. Ia lebih senang
mengaku sebagai seorang wartawan.
Béntang Pasantrén (Usep Romli H.M)
Tak seperti kakak-kakaknya yg meneruskan belajar di sekolah umum, selepas SMP Aép belajar di sebuah pesantren tradisional. Ibu, bapak, dan pamannya mendorong ia agar menjadi kiai sebagai pengganti kakeknya yg dulu pernah mempunyai pesantren.
Aép belajar di pesantren yg dipimpin oleh
sahabat kakeknya, yg juga ayah Imas, perempuan yg ia sukai.
"Alhamdulillah! Geuning aya pibakaleun
étah. Sugan baé tapak lacak éyangna kapapay. Ka Jombang, ka Buntet, ka
Bangkalan. InsyaAlloh, ku Mama dilalanyah. Ditampi ku asta kalih kapercantenan
kulawargi Kang Haji ka Mama. Bet asa ararisin...," ucap gurunya saat Aép
diantarkan ke pesantren untuk pertama kali.
Perjalanan Aép menuntut ilmu diwarnai pelbagai
kejadian di lingkungan belajarnya yg menjadi ciri khas kehidupan pesantren
tradisional.
Bagi Aép, Imas sang bintang pesantren ibarat
jarak pendek menuju impian dalam "5 Cm" Donny Dhirgantoro. Ia amat
dekat, nyata, dan menjadi pelecut bagi dirinya.
Surat-surat ti Jepang 1 (Ajip Rosidi)
Juni 1980, atas undangan dari The Japan Foundation, Ajip Rosidi mukim di Jepang selama 6 bulan ditemani istrinya. Mereka tinggal di Iwakura, Kyoto. Rumah mereka terletak di sebuah daerah yg dikelilingi sawah dan pergunungan.
Di sana, Ajip menulis ribuan surat dalam bahasa
Indonesia dan Sunda yg ditujukan kepada para koleganya. Surat-surat dalam
bahasa Indonesia yg ditulis dari tahun 1980 sampai 2002 dikurasi oleh JJ Rizal
dan diterbitkan KPG dengan judul "Yang Datang Telanjang". Sementara
surat-surat dalam bahasa Sunda dikurasi oleh Usép Romli H.M. dan diterbitkan
oleh Kiblat Buku Utama sebanyak 6 jilid. Buku ini bagian pertamanya yg terdiri
dari 30 surat.
Karena ditulis dalam bahasa Sunda dan ditujukan
kepada orang yg berbeda-beda, baik secara status sosial maupun kedekatan
pergaulan, maka bahasa yg digunakan pun dibalut undak usuk basa yg beragam.
Misal, kepada kawan dekatnya seperti Ramadhan K.H., Ajip menyebut dirinya
"déwék" (saya) yg terbilang kasar, dan di pengujung cukup hanya
menulis "nu tansah sono". Sementara kepada Ilén Surianegara, Ajip
menyebut dirinya "abdi", juga di pengujung surat menulis
"wasalamna, pun".
Salah satu alasan surat-surat ini dibukukan
adalah mendokumentasikan gagasan-gagasan Ajip dalam menegakkan kesusastraan
Sunda. "...katangén paéh posona Ajip nanjeurkeun basa jeung sastra Sunda.
Éstuning pok-pék-prak. Gagasan. Rarancang, diwujudkeun dina kanyataan. Lain
ukur 'mandahong'--mamandapan bari ngabohong--nu mindeng kasaksian dina
pakumbuhan sapopoé...," tulis Usep Romli.
Dalam otobiografinya yg bertajuk "Hidup
Tanpa Ijazah", salah satu kisah yg kerap muncul dalam buku setebal 1000
halaman lebih itu adalah tentang kawan-kawan dan saudara-saudaranya yg tinggal
bersama dalam rentang waktu yg berlainan. Singkatnya Ajip banyak menolong.
Hal itu kemudian dijelaskan Ajip dalam suratnya
kepada Sadeli Winantadireja bertanggal 7 Juli 1980: "Ngan sidik boh déwék
boh pamajikan ana barangbéré téh lain hayang meuli-meuli atawa aya pangarahan.
Istuning clik putih clak hérang tina haté baé."
Lembur Singkur (Abdullah Mustappa)
Tidak sulit mendapatkan narasumber yg mengalami peristiwa perlawanan DI/TII di Jawa Barat. Di daerah Bandung selatan misalnya, saya hanya perlu pergi ke warung, pilih warung mana saja semaunya secara acak, memesan kopi, dan menunggu orang tua datang. Atau kalau si pemilik warungnya sudah tua, bisa langsung bertanya kepadanya: apakah dia mengalami zaman gerombolan atau tidak. Jika mengalami, maka mereka biasanya akan mudah menceritakan pengalamannya. Peristiwa ini kiranya telah menjadi pengalaman banyak orang.
Sejumlah pengarang yg menulis karyanya dalam
bahasa Sunda banyak yg mengangkat tragedi ini dalam beberapa kisah, di
antaranya Ahmad Bakri dalam cerpen "Dokumén" dan Usép Romli H.M.
dalam cerpen "Tangkal Buah Pipireun Imah". Juga Abdullah Mustappa
dalam roman pendek ini.
"Lembur Singkur" menceritakan tokoh
"kuring", bocah yg tak mengenal rupa bapaknya karena bergabung dengan
gerombolan. Dia tinggal di kampung bersama ibu dan dua orang kakaknya yg enggan
ikut ke hutan bersama kombatan DI/TII. Si bapak kadang pulang ke rumah pada
tengah malam dan selalu terburu-buru. Celakanya, setelah kedatangan bapaknya
itu, kampung dan markas tentara kerap diserang gerombolan. Akibatnya sang ibu
dan kakak-kakaknya disiksa tentara karena dianggap menyembunyikan musuh negara,
bapaknya.
Konflik antara pemerintah dengan DI/TII membuat
rakyat terjebak dalam penderitaan tak berkesudahan. "Karto vs Karno, yg
korban Karta jeung Karna." [irf]
No comments:
Post a Comment