Harimau! Harimau! (Mochtar Lubis)
Wak Katok, Pak Haji, Pak Balam, Talib, Sutan, Sanip, dan Buyung adalah para pencari damar dan rotan. Mereka kerap bermalam di pondok Wak Hitam di tengah hutan.
Wak Hitam terkenal sebagai orang sakti
menyeramkan dan beristri banyak. Istrinya yg paling muda bernama Siti Rubiyah:
berparas cantik nan elok. Istri termuda ini sering menemani Wak Hitam di hutan
dan menjadi perhatian para pencari damar yg memberahikannya. Dua di antara
mereka akhirnya bisa bercinta dengan Siti Rubiyah.
Maut mengintai para pencari damar ketika mereka
hendak pulang ke kampung. Seekor harimau kelaparan marah karena rusa buruannya
ditembak oleh Buyung. Ia kemudian melukai dan membunuh para pencari damar
satu-persatu.
Tiga orang tumpas. Sementara satu orang tewas
akibat perkelahian di antara mereka: Pak Haji ditembak Wak Katok! Sanip dan
Buyung meringkus Wak Katok untuk dijadikan umpan dan akhirnya berhasil membunuh
harimau.
Sebelum meninggal dunia, Pak Haji berkata pada
Sanip dan Buyung, "Sebelum kalian membunuh harimau yg buas itu, bunuhlah
lebih dahulu harimau dalam hatimu sendiri."
Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis)
Roman ini dibuka oleh kutipan dari Jules Romains, "Apakah yg harus kita punyai, agar kita bebas dari ketakutan?"
Berlatar masa revolusi, kisah ini dipenuhi teror: patroli serdadu, pembunuhan, kekurangan pangan, dan burung yg tak bisa bangun.
Guru Isa selamanya takut, kalut, dan cemas. Ia
tak bisa melayani istrinya, Fatimah, yg masih muda, segar, dan dipenuhi api
hidup. Persahabatannya dengan Hazil, meski kadang menyenangkan, namun semakin
menyeretnya pada labirin ketakutan yg lain, pada jalan tak ada ujung.
Hazil adalah anak seorang pensiunan amtenar. Ia
aktif di gerakan bawah tanah yg membantu laskar. Hidupnya dipenuhi nyala
revolusi, juga amuk berahi: memenuhi api hidup Fatimah, istri kawannya.
Saat Hazil dan Guru Isa ditangkap polisi
militer, perlahan kondisi mulai berubah: Hazil tumbang diteror ketakutan, dan
Guru Isa justru sebaliknya.
"Dia (Guru Isa) tahu teror mereka (polisi
militer) tidak akan bisa menyentuhnya lagi. Dia telah bebas," pungkas
Mochtar Lubis.
Prajurit Schweik (Jaroslav Hasek)
Josef Schweik dikeluarkan dari dinas ketenteraan karena lemah akal. Hari-harinya, selain dihabiskan oleh penyakit encok, juga disibukkan dengan berjualan anjing yg asal-usulnya dipalsukan.
Terbunuhnya putra mahkota di Sarajevo menyeret ia dari satu penjara ke penjara lainnya. Saat wajib militer didengungkan, Schweik yg penyakit encoknya tengah kambuh, segera melapor ke tangsi sembari memakai kursi roda. "Mohon melapor, Tuan, aku menderita encok. Tetapi aku bersedia berjuang sampai titik darah terakhir untuk sang Kaisar," ucapnya.
Malang, dan itulah nama tengahnya, kejujurannya
itu dianggap sebagai usaha mangkir dari wajib militer. Ia pun kembali
dijebloskan ke bui. Setelah itu, setelah pelbagai kemalangan karena
kebodohannya, ia pun akhirnya kembali menjadi tentara.
Sepanjang kariernya sebagai prajurit, Schweik
telah kenyang disembur rupa-rupa serapah: tolol, bajingan, goblok, sinting, tak
berotak, dll. Namun baginya, dengan ketenangan tingkat dewa dan keluguan tiada
tara, semua itu tak berarti apapun. "Begitulah, badai berlalu di atas
kepala Schweik, tanpa menyentuhnya," tulis Hasek.
Sekali waktu, ia dimintai pendapat oleh seorang
letnan tentang gambar propaganda yg menampilkan tentara Austria yg tengah
menombak prajurit Kosak. "Tak ada perlunya ia membunuh prajurit musuh.
Orang Rusia ini telah angkat tangan. Mestinya ia ditawan saja sebab sudah
menyerah. Harus adil, tak peduli siapa yg berbuat," jawabnya.
Jaroslav Hasek, sang pengarang, amat bersimpati
pada Schweik. Dalam pengantarnya ia menulis, "Orang pendiam, sederhana,
serta berpakaian buruk itu memanglah si prajurit teladan Schweik [...] Aku
yakin kalian semua akan menaruh hati pada pahlawan yg rendah hati ini."
The Reader (Bernhard Schlink)
Sekali waktu, Hanna Schmitz menolong seorang siswa laki-laki berusia 15 tahun yg muntah di jalan karena menderita penyakit kuning.
Setelah agak sembuh, remaja itu mendatangi rumah
Hanna untuk berterima kasih. Tak banyak yg mereka bicarakan, sampai akhirnya
remaja itu melihat bagian tubuh Hanna yg terbuka saat perempuan tersebut
memakai stoking.
Saat itu usia Hanna telah 36, ketika si remaja
datang lagi ke rumahnya, mengerjakan sesuatu di gudang yg mengotori bajunya.
"Lihat tampangmu, kau tidak bisa pulang dengan wajah seperti itu. Mandilah
dan bersihkan debu dari bajumu," kata Hanna.
Setelah mandi, Hanna membawakan handuk,
mengeringkan tubuhnya, dan membiarkan handuk jatuh ke lantai. Kemudian
perempuan itu memeluk dada si remaja dan menyentuh kejantanannya. "Itulah
alasannya kau di sini!" ujar Hanna.
Berkali-kali mereka bercinta. Hampir tiap hari.
Berganti pekan, berganti bulan. Hanna hampir selalu mengajukan syarat: sebelum
bercinta, si remaja harus membacakan dulu buku untuknya.
Suatu hari, Hanna pergi. Pindah kota,
meninggalkan si remaja, sampai akhirnya mereka bertemu lagi di pengadilan.
Siapa yg diadili? Siapa yg bersalah?
Hampir di pengujung kisah, si remaja yg telah
jadi dewasa berkata pada Hanna, "Coba pikirkan apa yg harus kita lakukan
besok." Hanna menimpalinya, "Nanti kupikirkan lagi. Kau masih tetap
seorang yg penuh perencanaan, ya?"
Menuju Kamar Durhaka (Utuy Tatang Sontani)
Pesimis, sinis, dan Onih: itulah kesan yg timbul dalam 17 cerpen karangan Utuy. Beberapa menggambarkan kekecewaan pada zaman baru, era setelah kemerdekaan.
Sebagian lagi menguatkan bahwa Utuy mempunyai
kesan yg amat dalam kepada Onih: perempuan indo, PSK, dan pernah ia cintai.
Kenangan kepada perempuan itu disebutnya sebagai "haru yg tak kunjung
kering".
Dua cerpen malah sengaja memakai nama Onih untuk
tokoh perempuan: tak disembunyikan seperti dalam karya-karyanya yg lain.
Dari sejumlah cerpennya, saya terkesan pada
cerpen "Mengarang": Si pengarang sakit, tapi tergiur oleh honor yg
cukup besar. Agar fokus mengarang, ia menyuruh istri dan anaknya yg baru 13
bulan dan sering menangis untuk menunggu di luar rumah, sementara waktu telah
pukul 1 pagi.
Namun, mengarang pun gagal, anak dan istri
kedinginan. Si pengarang insyaf, ia telah menemukan pokok karangannya dan
tersenyum, "Di saat tidak sehat seperti sekarang, akan kukarang saja yg
enteng, yg mengajak aku tersenyum segar di dalam mengarangnya, biar badan
terasa segar. Dan karangan ini sudah ada pula dalam kepalaku."
Le Petit Prince (Antoine De Saint-Exupery)
"Orang dewasa tidak mengerti apa-apa sendiri, maka sungguh menjemukan bagi anak-anak, perlu memberi penjelasan terus-menerus [...] Begitulah mereka! Kalian tidak usah menyesali mereka. Anak-anak mesti berbesar hati terhadap orang dewasa."
Karya Antoine de Saint-Exupéry ini amat kesohor.
Konon telah diterjemahkan ke dalam 230 bahasa. Baru-baru ini telah terbit pula
dalam edisi bahasa Sunda dengan judul "Prabu Anom" yg diterbitkan
oleh Kiblat Buku Utama.
Di Indonesia, buku ini mula-mula diterbitkan
oleh Pustaka Jaya pada 1979 dengan judul "Pangeran Kecil".
Penerjemahnya adalah empat mahasiswi UI: Hennywati, Ratti Affandi, Tresnati,
dan Lolita Dewi. Terjemahan tersebut kemudian disunting oleh Wing Kardjo.
Sementara edisi ini diterjemahkan oleh Henri
Chambert-Loir. Dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ia menutup buku
hasil suntingan Wing Kardjo. Setelah selesai menerjemahkan, barulah ia
membandingkannya.
"Waktu dalam terjemahan Wing Kardjo saya
menemukan kata atau ungkapan yg saya anggap lebih tepat atau lebih bagus
daripada yg telah saya tulis, maka terjemahan saya sendirilah yg saya koreksi
menurut versi pertama itu," ungkapnya.
Meski demikian, ada pula catatan bagi Wing
Kardjo, yg menurutnya cenderung mengganti ungkapan yg diulang-ulang dengan
ungkapan-ungkapan yg bervariasi. Bagi Henri, ungkapan yg diulang-ulang itu
semuanya disengaja, semuanya dipertimbangkan, jadi tidak perlu menggantinya
dengan ungkapan yg bervariasi.
Di luar hal tersebut, Henri menilai karya
Exupéry ini sebagai "...hasil dari suatu kerajinan yg amat tinggi dan
halus."
Sirkus Pohon (Andrea Hirata)
Andrea Hirata mestinya bisa bikin karya lebih dari ini. Dia seperti terjebak dalam pola pengisahan, karakter, latar, yg itu-itu saja.
Sekali dua, seperti dalam karyanya yg lain:
"Padang Bulan" dan "Cinta di Dalam Gelas"--setidaknya bagi
saya--dia cukup berhasil membuat cerita yg menarik. Namun, bahkan sejak "Laskar
Pelangi", tokoh-tokoh komikal, sindiran-sindiran, tragedi dan komedi itu
lama-lama membosankan.
Juga ihwal drama cinta pertama, aduh, kisah
Aling si pemilik kuku indah saja saja sudah terlalu lebay, jangan pula ditambah
yg lain-lain.
Meski demikian, setidaknya sejak novel
"Ayah", Andrea Hirata rasa-rasanya cukup disiplin dalam membangun
sulur cerita, juga saling keterkaitan antarfragmen yg nyaris tanpa bolong.
Sobri (Hobri), Taripol, Tara, Tegar, dan
tokoh-tokoh lain dalam "Sirkus Pohon": bangunannya utuh, tapi
lagi-lagi terjebak dalam gaya penulisan yg itu-itu saja.
Tiga Pertapa (Leo Tolstoy)
Terdiri dari tiga cerpen Tolstoy, termasuk cerpen "Berapa Banyak Tanah yang Diperlukan Orang?" yg kesohor.
Ihwal cerpen "Tiga Pertapa", sempat
terjadi keributan kecil di media sosial setelah Akmal Nasery Basral menulis di
laman Facebook-nya dengan judul "Dodolit Dodoltolstoy".
Alkisah, cerpen Seno Gumira Ajidarma yg berjudul
"Dodolit Dodolibret", yg dimuat di Kompas menjadi salah satu Cerpen
Terbaik Kompas 2011. Akmal yg hadir dalam malam penghargaan tersebut yg digelar
di Bentara Budaya Jakarta, seketika ingat cerpen "Tiga Pertapa" karya
Tolstoy saat sinopsis cerpen Seno ditampilkan.
Terdapat delapan poin kesamaan antara dua cerpen
tersebut. Kecurigaan Akmal memang meyakinkan. Namun di Facebook, di bawah
catatan Akmal, banyak komentar yg justru sibuk--mengutip Muhidin M.
Dahlan--"menggapai-gapai pengertian plagiasi, adaptasi, keterpengaruhan,
afinitas, Dan serombongan peristilahan lainnya."
Dalam bab "Plagiat, Keributan Omong Kosong,
Dan Kehormatan" yg terdapat pada buku "Aku Mendakwa Hamka
Plagiat", Muhidin menulis: "Kasus Seno Gumira Ajidarma dan Tolstoy
itu pun kita tahu kemudian mereda dengan cepat, lalu melenyap. Tak ada kelanjutan
[...] Jangan-jangan soal plagiat, hanya penulis karya dan Tuhan yg tahu. Dan
para pencurinya tetap pada kehormatannya."
Kenang-kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub (Claudio Orrego Vicuna)
Baltazar ditangkap di dekat Kutub Utara oleh ekspedisi Kanada yg dipimpin oleh Christian Warrington. Lima belas tahun kemudian, ia ditembak mati oleh Lisandro Espinoza, petugas penjaga kandangnya di sebuah kebun binatang.
"Saya tidak tahan lagi. Beruang itu
merendahkan saya," ujar si pembunuh. Sementara anak-anak yg biasa
mengunjungi Baltazar berkumpul di sekitar kandangnya: menyatakan belasungkawa.
Seorang gadis kecil bahkan menangis sesenggukan sambil menggenggam jeruji besi
kandang.
Lima belas tahun dalam kurungan adalah
pengalaman panjang yg menyakitkan, penuh penderitaan, namun bermuara pada
permenungan yg dalam ihwal makna kebebasan. Baltazar yg ditangkap ketika masih
muda, hanyalah beruang Kutub biasa yg merindukan hamparan es, laut dalam, dan
dimabuk asmara.
Amatannya terhadap manusia yg kerap ia sebut
sebagai "makhluk-makhluk berwajah kelabu", juga persahabatannya
dengan anak-anak, memperkaya batinnya. "Dan manusia sepertinya memendam
paduan aneh antara kebahagiaan dan kesedihan," ungkapnya sekali waktu.
Pengalaman Baltazar adalah solilokui untuk
menguasai keadaan, seperti juga yg sempat ia sampaikan, "Selama mereka
tidak menemukan apa yg kumiliki, mereka tidak akan pernah mendominasiku."
Gairah di Gurun (Honere de Balzac)
Seperti "Tiga Pertapa"-nya Tolstoy, buku ini juga terdiri dari tiga cerpen: Rumah Misterius, Peristiwa di Ghent, dan Gairah di Gurun. Saya mempunyai lima buku seri fiksi klasik dari Penerbit Nuansa ini.
Gairah di Gurun mengisahkan seorang tentara
Prancis yg ditawan oleh pasukan Arab. Dalam sebuah rehat, si tawanan berhasil
meloloskan diri dengan menunggangi kuda. Karena terlampau terburu-buru, kuda yg
ia tunggangi kelelahan dan roboh. Tentara Prancis itu akhirnya terdampar di
gurun pasir maha luas dan memulai lembaran cerita baru.
Ia mulanya menyesal telah melarikan diri, sebab
kesunyian segera menyergapnya, terlebih saat ia teringat pada kampung halaman.
Sunyi, hanya pasir, pohon kurma, dan sebongkah batu. Panas yg menyengat
kemudian mendorongnya untuk mencari tempat berteduh yg lebih layak, dan ia pun
menemukan sebuah gua.
Saat ia mulai mengagumi keindahan dan kesunyian
gurun pasir, dalam gelap malam seekor macan mendekatinya dan tidur di dekatnya.
Mulut macan itu menyisakan darah: jejak makan siang. Ketakutan segera menyergap
si tentara. Pelbagai cara ia rencanakan untuk menghabisi hewan itu. Namun, esok
harinya, mereka tidak saling menyerang dan mulai berkawan.
"Di gurun pasir itu, kau tahu, di sana ada
segalanya dan sekaligus tak ada apa-apa [...] itu adalah Tuhan tanpa
kemanusiaan," ujar si tentara kepada kawannya saat ia menceritakan pengalamannya. [irf]
No comments:
Post a Comment