01 December 2020

Buku-buku yang Saya Baca Selama Pandemi 2020 - bagian 1


Harimau! Harimau! (Mochtar Lubis)

Wak Katok, Pak Haji, Pak Balam, Talib, Sutan, Sanip, dan Buyung adalah para pencari damar dan rotan. Mereka kerap bermalam di pondok Wak Hitam di tengah hutan.

Wak Hitam terkenal sebagai orang sakti menyeramkan dan beristri banyak. Istrinya yg paling muda bernama Siti Rubiyah: berparas cantik nan elok. Istri termuda ini sering menemani Wak Hitam di hutan dan menjadi perhatian para pencari damar yg memberahikannya. Dua di antara mereka akhirnya bisa bercinta dengan Siti Rubiyah.

Maut mengintai para pencari damar ketika mereka hendak pulang ke kampung. Seekor harimau kelaparan marah karena rusa buruannya ditembak oleh Buyung. Ia kemudian melukai dan membunuh para pencari damar satu-persatu.

Tiga orang tumpas. Sementara satu orang tewas akibat perkelahian di antara mereka: Pak Haji ditembak Wak Katok! Sanip dan Buyung meringkus Wak Katok untuk dijadikan umpan dan akhirnya berhasil membunuh harimau.

Sebelum meninggal dunia, Pak Haji berkata pada Sanip dan Buyung, "Sebelum kalian membunuh harimau yg buas itu, bunuhlah lebih dahulu harimau dalam hatimu sendiri."


Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis)

Roman ini dibuka oleh kutipan dari Jules Romains, "Apakah yg harus kita punyai, agar kita bebas dari ketakutan?"

Berlatar masa revolusi, kisah ini dipenuhi teror: patroli serdadu, pembunuhan, kekurangan pangan, dan burung yg tak bisa bangun.

Guru Isa selamanya takut, kalut, dan cemas. Ia tak bisa melayani istrinya, Fatimah, yg masih muda, segar, dan dipenuhi api hidup. Persahabatannya dengan Hazil, meski kadang menyenangkan, namun semakin menyeretnya pada labirin ketakutan yg lain, pada jalan tak ada ujung.

Hazil adalah anak seorang pensiunan amtenar. Ia aktif di gerakan bawah tanah yg membantu laskar. Hidupnya dipenuhi nyala revolusi, juga amuk berahi: memenuhi api hidup Fatimah, istri kawannya.

Saat Hazil dan Guru Isa ditangkap polisi militer, perlahan kondisi mulai berubah: Hazil tumbang diteror ketakutan, dan Guru Isa justru sebaliknya.

"Dia (Guru Isa) tahu teror mereka (polisi militer) tidak akan bisa menyentuhnya lagi. Dia telah bebas," pungkas Mochtar Lubis.

 

Prajurit Schweik (Jaroslav Hasek)

Josef Schweik dikeluarkan dari dinas ketenteraan karena lemah akal. Hari-harinya, selain dihabiskan oleh penyakit encok, juga disibukkan dengan berjualan anjing yg asal-usulnya dipalsukan.

Terbunuhnya putra mahkota di Sarajevo menyeret ia dari satu penjara ke penjara lainnya. Saat wajib militer didengungkan, Schweik yg penyakit encoknya tengah kambuh, segera melapor ke tangsi sembari memakai kursi roda. "Mohon melapor, Tuan, aku menderita encok. Tetapi aku bersedia berjuang sampai titik darah terakhir untuk sang Kaisar," ucapnya.

Malang, dan itulah nama tengahnya, kejujurannya itu dianggap sebagai usaha mangkir dari wajib militer. Ia pun kembali dijebloskan ke bui. Setelah itu, setelah pelbagai kemalangan karena kebodohannya, ia pun akhirnya kembali menjadi tentara.

Sepanjang kariernya sebagai prajurit, Schweik telah kenyang disembur rupa-rupa serapah: tolol, bajingan, goblok, sinting, tak berotak, dll. Namun baginya, dengan ketenangan tingkat dewa dan keluguan tiada tara, semua itu tak berarti apapun. "Begitulah, badai berlalu di atas kepala Schweik, tanpa menyentuhnya," tulis Hasek.

Sekali waktu, ia dimintai pendapat oleh seorang letnan tentang gambar propaganda yg menampilkan tentara Austria yg tengah menombak prajurit Kosak. "Tak ada perlunya ia membunuh prajurit musuh. Orang Rusia ini telah angkat tangan. Mestinya ia ditawan saja sebab sudah menyerah. Harus adil, tak peduli siapa yg berbuat," jawabnya.

Jaroslav Hasek, sang pengarang, amat bersimpati pada Schweik. Dalam pengantarnya ia menulis, "Orang pendiam, sederhana, serta berpakaian buruk itu memanglah si prajurit teladan Schweik [...] Aku yakin kalian semua akan menaruh hati pada pahlawan yg rendah hati ini."

 

The Reader (Bernhard Schlink)

Sekali waktu, Hanna Schmitz menolong seorang siswa laki-laki berusia 15 tahun yg muntah di jalan karena menderita penyakit kuning.

Setelah agak sembuh, remaja itu mendatangi rumah Hanna untuk berterima kasih. Tak banyak yg mereka bicarakan, sampai akhirnya remaja itu melihat bagian tubuh Hanna yg terbuka saat perempuan tersebut memakai stoking.

Saat itu usia Hanna telah 36, ketika si remaja datang lagi ke rumahnya, mengerjakan sesuatu di gudang yg mengotori bajunya. "Lihat tampangmu, kau tidak bisa pulang dengan wajah seperti itu. Mandilah dan bersihkan debu dari bajumu," kata Hanna.

Setelah mandi, Hanna membawakan handuk, mengeringkan tubuhnya, dan membiarkan handuk jatuh ke lantai. Kemudian perempuan itu memeluk dada si remaja dan menyentuh kejantanannya. "Itulah alasannya kau di sini!" ujar Hanna.

Berkali-kali mereka bercinta. Hampir tiap hari. Berganti pekan, berganti bulan. Hanna hampir selalu mengajukan syarat: sebelum bercinta, si remaja harus membacakan dulu buku untuknya.

Suatu hari, Hanna pergi. Pindah kota, meninggalkan si remaja, sampai akhirnya mereka bertemu lagi di pengadilan. Siapa yg diadili? Siapa yg bersalah?

Hampir di pengujung kisah, si remaja yg telah jadi dewasa berkata pada Hanna, "Coba pikirkan apa yg harus kita lakukan besok." Hanna menimpalinya, "Nanti kupikirkan lagi. Kau masih tetap seorang yg penuh perencanaan, ya?"

 

Menuju Kamar Durhaka (Utuy Tatang Sontani)

Pesimis, sinis, dan Onih: itulah kesan yg timbul dalam 17 cerpen karangan Utuy. Beberapa menggambarkan kekecewaan pada zaman baru, era setelah kemerdekaan.

Sebagian lagi menguatkan bahwa Utuy mempunyai kesan yg amat dalam kepada Onih: perempuan indo, PSK, dan pernah ia cintai. Kenangan kepada perempuan itu disebutnya sebagai "haru yg tak kunjung kering".

Dua cerpen malah sengaja memakai nama Onih untuk tokoh perempuan: tak disembunyikan seperti dalam karya-karyanya yg lain.

Dari sejumlah cerpennya, saya terkesan pada cerpen "Mengarang": Si pengarang sakit, tapi tergiur oleh honor yg cukup besar. Agar fokus mengarang, ia menyuruh istri dan anaknya yg baru 13 bulan dan sering menangis untuk menunggu di luar rumah, sementara waktu telah pukul 1 pagi.

Namun, mengarang pun gagal, anak dan istri kedinginan. Si pengarang insyaf, ia telah menemukan pokok karangannya dan tersenyum, "Di saat tidak sehat seperti sekarang, akan kukarang saja yg enteng, yg mengajak aku tersenyum segar di dalam mengarangnya, biar badan terasa segar. Dan karangan ini sudah ada pula dalam kepalaku."

 

Le Petit Prince (Antoine De Saint-Exupery)

"Orang dewasa tidak mengerti apa-apa sendiri, maka sungguh menjemukan bagi anak-anak, perlu memberi penjelasan terus-menerus [...] Begitulah mereka! Kalian tidak usah menyesali mereka. Anak-anak mesti berbesar hati terhadap orang dewasa."

Karya Antoine de Saint-Exupéry ini amat kesohor. Konon telah diterjemahkan ke dalam 230 bahasa. Baru-baru ini telah terbit pula dalam edisi bahasa Sunda dengan judul "Prabu Anom" yg diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama.

Di Indonesia, buku ini mula-mula diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada 1979 dengan judul "Pangeran Kecil". Penerjemahnya adalah empat mahasiswi UI: Hennywati, Ratti Affandi, Tresnati, dan Lolita Dewi. Terjemahan tersebut kemudian disunting oleh Wing Kardjo.

Sementara edisi ini diterjemahkan oleh Henri Chambert-Loir. Dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ia menutup buku hasil suntingan Wing Kardjo. Setelah selesai menerjemahkan, barulah ia membandingkannya.

"Waktu dalam terjemahan Wing Kardjo saya menemukan kata atau ungkapan yg saya anggap lebih tepat atau lebih bagus daripada yg telah saya tulis, maka terjemahan saya sendirilah yg saya koreksi menurut versi pertama itu," ungkapnya.

Meski demikian, ada pula catatan bagi Wing Kardjo, yg menurutnya cenderung mengganti ungkapan yg diulang-ulang dengan ungkapan-ungkapan yg bervariasi. Bagi Henri, ungkapan yg diulang-ulang itu semuanya disengaja, semuanya dipertimbangkan, jadi tidak perlu menggantinya dengan ungkapan yg bervariasi.

Di luar hal tersebut, Henri menilai karya Exupéry ini sebagai "...hasil dari suatu kerajinan yg amat tinggi dan halus."

 

Sirkus Pohon (Andrea Hirata)

Andrea Hirata mestinya bisa bikin karya lebih dari ini. Dia seperti terjebak dalam pola pengisahan, karakter, latar, yg itu-itu saja.

Sekali dua, seperti dalam karyanya yg lain: "Padang Bulan" dan "Cinta di Dalam Gelas"--setidaknya bagi saya--dia cukup berhasil membuat cerita yg menarik. Namun, bahkan sejak "Laskar Pelangi", tokoh-tokoh komikal, sindiran-sindiran, tragedi dan komedi itu lama-lama membosankan.

Juga ihwal drama cinta pertama, aduh, kisah Aling si pemilik kuku indah saja saja sudah terlalu lebay, jangan pula ditambah yg lain-lain.

Meski demikian, setidaknya sejak novel "Ayah", Andrea Hirata rasa-rasanya cukup disiplin dalam membangun sulur cerita, juga saling keterkaitan antarfragmen yg nyaris tanpa bolong.

Sobri (Hobri), Taripol, Tara, Tegar, dan tokoh-tokoh lain dalam "Sirkus Pohon": bangunannya utuh, tapi lagi-lagi terjebak dalam gaya penulisan yg itu-itu saja.

 

Tiga Pertapa (Leo Tolstoy)

Terdiri dari tiga cerpen Tolstoy, termasuk cerpen "Berapa Banyak Tanah yang Diperlukan Orang?" yg kesohor.

Ihwal cerpen "Tiga Pertapa", sempat terjadi keributan kecil di media sosial setelah Akmal Nasery Basral menulis di laman Facebook-nya dengan judul "Dodolit Dodoltolstoy".

Alkisah, cerpen Seno Gumira Ajidarma yg berjudul "Dodolit Dodolibret", yg dimuat di Kompas menjadi salah satu Cerpen Terbaik Kompas 2011. Akmal yg hadir dalam malam penghargaan tersebut yg digelar di Bentara Budaya Jakarta, seketika ingat cerpen "Tiga Pertapa" karya Tolstoy saat sinopsis cerpen Seno ditampilkan.

Terdapat delapan poin kesamaan antara dua cerpen tersebut. Kecurigaan Akmal memang meyakinkan. Namun di Facebook, di bawah catatan Akmal, banyak komentar yg justru sibuk--mengutip Muhidin M. Dahlan--"menggapai-gapai pengertian plagiasi, adaptasi, keterpengaruhan, afinitas, Dan serombongan peristilahan lainnya."

Dalam bab "Plagiat, Keributan Omong Kosong, Dan Kehormatan" yg terdapat pada buku "Aku Mendakwa Hamka Plagiat", Muhidin menulis: "Kasus Seno Gumira Ajidarma dan Tolstoy itu pun kita tahu kemudian mereda dengan cepat, lalu melenyap. Tak ada kelanjutan [...] Jangan-jangan soal plagiat, hanya penulis karya dan Tuhan yg tahu. Dan para pencurinya tetap pada kehormatannya."

 

Kenang-kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub (Claudio Orrego Vicuna)

Baltazar ditangkap di dekat Kutub Utara oleh ekspedisi Kanada yg dipimpin oleh Christian Warrington. Lima belas tahun kemudian, ia ditembak mati oleh Lisandro Espinoza, petugas penjaga kandangnya di sebuah kebun binatang.

"Saya tidak tahan lagi. Beruang itu merendahkan saya," ujar si pembunuh. Sementara anak-anak yg biasa mengunjungi Baltazar berkumpul di sekitar kandangnya: menyatakan belasungkawa. Seorang gadis kecil bahkan menangis sesenggukan sambil menggenggam jeruji besi kandang.

Lima belas tahun dalam kurungan adalah pengalaman panjang yg menyakitkan, penuh penderitaan, namun bermuara pada permenungan yg dalam ihwal makna kebebasan. Baltazar yg ditangkap ketika masih muda, hanyalah beruang Kutub biasa yg merindukan hamparan es, laut dalam, dan dimabuk asmara.

Amatannya terhadap manusia yg kerap ia sebut sebagai "makhluk-makhluk berwajah kelabu", juga persahabatannya dengan anak-anak, memperkaya batinnya. "Dan manusia sepertinya memendam paduan aneh antara kebahagiaan dan kesedihan," ungkapnya sekali waktu.

Pengalaman Baltazar adalah solilokui untuk menguasai keadaan, seperti juga yg sempat ia sampaikan, "Selama mereka tidak menemukan apa yg kumiliki, mereka tidak akan pernah mendominasiku."

 

Gairah di Gurun (Honere de Balzac)

Seperti "Tiga Pertapa"-nya Tolstoy, buku ini juga terdiri dari tiga cerpen: Rumah Misterius, Peristiwa di Ghent, dan Gairah di Gurun. Saya mempunyai lima buku seri fiksi klasik dari Penerbit Nuansa ini.

Gairah di Gurun mengisahkan seorang tentara Prancis yg ditawan oleh pasukan Arab. Dalam sebuah rehat, si tawanan berhasil meloloskan diri dengan menunggangi kuda. Karena terlampau terburu-buru, kuda yg ia tunggangi kelelahan dan roboh. Tentara Prancis itu akhirnya terdampar di gurun pasir maha luas dan memulai lembaran cerita baru.

Ia mulanya menyesal telah melarikan diri, sebab kesunyian segera menyergapnya, terlebih saat ia teringat pada kampung halaman. Sunyi, hanya pasir, pohon kurma, dan sebongkah batu. Panas yg menyengat kemudian mendorongnya untuk mencari tempat berteduh yg lebih layak, dan ia pun menemukan sebuah gua.

Saat ia mulai mengagumi keindahan dan kesunyian gurun pasir, dalam gelap malam seekor macan mendekatinya dan tidur di dekatnya. Mulut macan itu menyisakan darah: jejak makan siang. Ketakutan segera menyergap si tentara. Pelbagai cara ia rencanakan untuk menghabisi hewan itu. Namun, esok harinya, mereka tidak saling menyerang dan mulai berkawan.

"Di gurun pasir itu, kau tahu, di sana ada segalanya dan sekaligus tak ada apa-apa [...] itu adalah Tuhan tanpa kemanusiaan," ujar si tentara kepada kawannya saat ia menceritakan pengalamannya. [irf]
 

No comments: