Tapi dia bukan seorang kawan yang haus untuk dibilang keren. Kenyataannya memang tidak. Hanya perawakan dan mukanya saja seperti tidak ikut
menua layaknya usia. Tidak ikut boros seperti keranjingannya pada rokok produk
Philip Morris. Waktu saya panggil “Man” pun seolah-olah tidak sedang merasa
menjadi Man Jasad. Dia masih memerangkap dirinya yang utuh seperti dulu waktu
saya mula-mula mengenalnya di SMA.
Ada sekira sembilan tahun kami tidak bertemu. Maka pertemuan
kali ini saya rayakan dengan membeli roti kering bertabur macam-macam yang
orang banyak menyebutnya pizza. Bukan saya yang doyan makanan seperti ini, tapi
dia. Jam satu siang waktu itu, dan anaknya sedang main bola di tanah lapang
yang lumayan becek sisa hujan tadi pagi. Istrinya sudah masuk lagi ke dalam
rumah, keluar tadi sebentar untuk menyuguhkan dua gelas kopi susu dan
berkenalan secukupnya. Dan ini masih di Bandung, untuk membuat kami duduk santai
di kursi teras rumah yang bersih tanpa kotoran ayam. Langit juga sedang bagus,
tadi bahkan ada pesawat terbang lewat hendak pulang ke Husen Sastranegara.
Dia tersenyum terus dari tadi demi mengomentari perawakan
saya yang katanya mirip karet gelang keluar dari rendaman minyak tanah;
mengembang. “Bung ini makannya apa bisa hebat begini perawakannya?,” itu dia
ucapkan sambil terkekeh. “Alhamdulillah masih sama seperti dulu, masih makan
sereal dan biskuit, sesekali makan nasi juga sih.” Dan dia tertawa. Apanya yang
lucu woi!. Tak usah saya jelaskan, karena memang iya, kami ngobrol sambil
merokok.
“Bung sudah makan?.” Tapi saya tidak mau merepotkan tuan
rumah. Saya jawab sudah demi menyembunyikan bahwa sesungguhnya padahal belum.
“Jangan khawatir, tigapuluh meter dari sini ada rumah makan Padang kalau Bung
lapar, silahkan, Bung bisa beli di sana.” Si anying, kirain mau ngasih, tahunya
suruh beli sendiri. Dan dia tertawa lagi. Apa yang diperlukan untuk pertemuan
yang sudah tertunda selama sembilan tahun?. Jangan khawatir, masalalu selalu
melimpah untuk dibicarakan lagi meskipun sudah hangus dibakar waktu. Peristiwa
derap ke depan seringkali tidak romantik, terlampau serius, dan itu tidak asyik
untuk dilarutkan ke dalam gelas kopi susu.
Jejalin cerita yang
berarak di tempurung ingatan dengan segala distorsinya, adalah bahan bakar
utama untuk membuat sadar bahwa dia sekarang sudah bisa melihat anak kandungnya
sendiri bermain bola dalam lumpur yang kemudian dicuri oleh pembuat iklan deterjen.
Kepalanya masih plontos tanggung, tinggi rambutnya sekira 1 cm melindungi kulit
kepala. Dan masih kurus. Juga berkacamata minus. “Alhamdulillah anak aing mirip
bapaknya, kasep dan bageur.” What?!. Tapi jangan diprotes, biar dia senang dan
bangga. Kemudian sebuah pertanyaan terlontar, “Bung pernah ga kepikiran untuk
mencobanya nanti, mencoba sesuatu yang keren?.” Saya bingung, “mencoba apa?.”
Mukanya tiba-tiba serius, tapi saya curiga, jangan-jangan
ini jebakan. Dia melanjutkan. “Nanti kalau Bung sudah nikah, sehari setelah sah
merebut anak perempuan orang dari bapaknya, coba Bung temui kawan-kawan yang
masih membujang, dan tanya mereka satu-satu : ‘ai maneh iraha nikah, euy?’, dan
rasakan sensasinya!.” Edan!. Jenius juga dia. Tapi saya langsung tersadar
secepat gerakan motor tukang ojeg yang melintas di jalan yang baru dihotmix. Oh,
tidak. Saya tidak akan mencobanya. Memang keren sih idenya, tapi saya juga
mungkin nanti sudah malas untuk berkata demikian. Lebih baik apa?, ya lebih
baik sekarang membakar rokok lagi sambil merenung dan bertanya kenapa suara
Luna Maya terdengar sangat jelek dan begitu suram untuk hari yang penat oleh
sibuk bekerja.
“A, makan dulu atuh, udah siap.” Betul, itu adalah suara
istrinya Rahman yang merambat dari pintu rumah dan sampai ke pendengaran saya. Apa
boleh bikin. Satu kosong buat dia. Rupanya tadi dia hanya bercanda, sebab
nyatanya dia pun belum makan demi sengaja bisa bersantap bareng dengan saya. Tapi
ini kan sudah hampir jam dua siang, masa dia begitu toleran menunda makan demi
menunggu saya?. Tadi sudah diganjal dulu dengan mie rebus, katanya. Oh iya
dengan pizza juga tadi. Maka oke, kami pun makan bersama ditemani pula
istrinya. Anaknya mungkin sudah kenyang oleh jajan sehingga lupa makan dan
ingat sepakbola saja. Ini betul-betul makan siang yang enak sehingga tanpa
terasa saya menghabiskan banyak nasi dan juga lauknya.
Salahsatu kelakuan absurd yang tidak saya kerjakan adalah
mengganggu makan siang seenak ini sambil dengan sengaja membaca narasi sampul
belakang buku Damhuri Muhammad. Bayangkan saja, apa gunanya makan pepes ikan tapi
sambil baca paragraph ini :
“Ketidakselarasan antara sosok Kritikus Sastra semestinya
dengan Kritikus Sastra ‘apa adanya’ , pada gilirannya menciptakan resiko ‘pisau
bermata dua’. Kemalasan menyelami teks sampai pada ceruk terdalamnya, seperti
dicemaskan Mudji Sutrisno (Kompas, 24/04/05), dapat menggelincirkan pengamat
sastra pada penyembelihan teks dengan pisau arogansi dan kesemena-menaan
subjektif di satu sisi, atau pada permisivisme yang membolehkan apa saja yang
gila, abnormal, aneh sebagai estetika di sisi lain. Menyikapi sentimentalisme
dan penghujatan sebagaimana diperlihatkan oleh sejumlah oknum esais dan
pengamat sastra belakangan ini, alih-alih meniscayakan mereka sebagai Kritikus
Sastra, malah patut dicurigai sebagai ‘tikus-tikus’ sastra, hama perusak aneka
‘tanaman’ yang bersitumbuh di ladang sastra. Ladang sastra masih akan ditanami
aneka ragam tanaman, tentu dengan harapan kelak bakal berbuah karya-karya
berselera tinggi. Sebab itu, ‘tikus-tikus’ itu harus segera dibasmi!.”
Tak ada faedahnya sama sekali!. Lebih baik khusyu saja makan
dan setelah itu bakarlah sebatang kretek sebagai pencuci mulut. Sepakat. Lihatlah
Rahman pun makan dengan lahap, sementara istrinya mungkin sedang menjaga
proporsional body, makannya dilihat sekilas pun tidak membikin kenyang. Alhamdulillah.
Ini adalah salah sangka yang patut disyukuri. Menyangka bahwa pizza bisa menggantikan
keutamaaan nasi adalah salah belaka.
Waktu kami duduk kembali di kursi teras depan, anaknya sudah
selesai menjalankan ibadah main sepakbola, dia bergegas mandi, dan Bandung masih
menyembunyikan siapa saja yang dia kehendaki. Mungkin kawan lama yang lain, mungkin
juga misteri tentang kapan Persib juara lagi. Setelah selesai mandi, anaknya
muncul dari balik pintu. “Salam sama Om,” iya perut saya memang sudah seperti
om-om. Sekali ini benar apa yang dikatakannya; anak dia kasep. Budi?, Iwan?.
Syukurlah dia tidak se-konservatif itu dalam memberi nama anaknya. “Rekti, om”,
begitu jawabnya waktu saya tanya ihwal nama. “Klub favorit kamu apa?,” itu pertanyaan
salah. Kawan, inilah Bandung, tempat di mana Persib lebih populer dibandingkan
West Ham United. Saya kasih bocah itu uang, tak banyak hanya riga ratus ribu
rupiah, “nih buat beli permen.” “Makasih, Om.” Dan dia pergi entah ke mana.
Mungkin ke warung.
“Man, kau ini nikah kapan?, tak kasih kabar, tiba-tiba saja anakmu
sudah doyan sepakbola.” Yang ditanya tak menjawab. Sedang sibuk mencuci mulut
dengan asap. Saya lanjutkan, “bagaimana rasanya punya anak?.” Masih tak
bergeming. “Ketemu di mana dengan istri kau sampai mau-maunya dia dinikahi sama
Bung?,” diam. Ya sudah, saya pun ikut diam. Tapi ternyata tidak, masih ada
jeruk dan anggur yang tadi dikeluarkan istrinya dari kulkas. Lengkeng juga. Dan
semangka juga. Maka mulut saya tidak tinggal diam. Teori hidup seperti apa yang
bisa didefinisikan dari buah-buahan segar seperti ini?. Saya kira tidak ada,
selain nikmati saja sampai perut kembung karena kebanyakan air.
“Kau tanya mengenai hal-hal itu….”, nah dia mulai berbicara.
“Bukan hal itu yang patut saya jelaskan kepada bujangan macam kau ini
seharusnya. Tapi pengalaman hidup yang dalam dari saripati perjalanan panjang
hidup Kakakmu ini.” Sok bijak. “Naon anying ‘Kakak’ kaya panggilan di ITC
saja!”. Dan dia tertawa kekuda-kudaan.
Akhirnya dia bercerita juga, sangat panjang riwayatnya,
berkelok-kelok, sampai tak terasa anaknya sudah sebesar sekarang, sudah cocok
untuk mulai berlatih di akademi sepakbola West Ham United, tapi ga boleh sama
bapaknya, si Rahman itu, karena jarak Bandung dan London terlalu jauh katanya. Sebagai
gantinya, bocah itu sekolah sepakbola di
Saint Prima yang bermarkas di Batu Nunggal, Buah Batu.
Sementara matahari semakin tergelincir ke barat, sebentar
lagi ashar. Rahman pamit mau ke mesjid, mau berubah menjadi Bilal bin Rabah
yang mengudara di langit Bandung Selatan, untuk kemudian shalat, untuk mi’raj,
menembus angkasa hati, menghadap Tuhan semesta alam. Dan saya tidak tinggal
diam, sebab kalau iya tentu dia akan bilang, “kamu pindah agama?.”
Selesai shalat giliran saya yang pamit. Walaupun dia kawan
yang karib dan baik, tapi tentu tak baik merampok seluruh waktu siangnya, sebab
dia sudah berkeluarga, ada istri dan anaknya yang harus kebagian waktu demi
berkumpul bersama dan merasa senang. Tak ada nasihat khusus yang satir atau
bingkisan untuk saya bawa pulang, hanya dia sempat berucap, “kalau ke sini lagi
giliran Bung yang adzan ya, saya curiga Bung sudah lupa.”
Waktu saya selesai pamit sama istri dan anaknya, Bandung terlihat
sudah tua yang terpancar dari wajah ibu-ibu berusia senjakala yang akan pergi
ke majlis taklim. Lalu motor melaju, memperlihatkan manfaatnya untuk membawa
saya meluncur ke Bandung utara yang berkabut.
Tapi semua itu, pertemuan itu, mungkin baru akan terjadi
satu tahun kemudian. Nyatanya sekarang saya masih lost contact dengan Rahman,
dengan kawan karib yang baik hati itu. [ ]
uwa, mei ‘13