27 October 2020

Monopoli, Ditemukan Aktivis Dipopulerkan Pengangguran


"Melempar dadu

Petak-petak menunggu

wangi uangmu" 


Untuk menunjukan pada anak-anak kondisi negara mereka di era kekuasan Uni Soviet, pada 2011 Institute of National Remembrance (IPN) Polandia merilis permainan Monopoli versi komunis. Mereka menyebutnya “Kolejka” atau “antre”. Pembuatnya adalah Karol Madaj, seorang perancang permainan papan kelahiran 9 Februari 1980.

Permainan Monopoli versi komunis tentu saja tak berlomba mengumpulkan uang, tanah, dan properti lainnya, serta membikin bangkrut lawan agar bisa memenangkan pertandingan. Para pemain justru diberi daftar 10 barang penting, dari makanan sampai perabotan—seperti roti dan kertas toilet—yang harus mereka dapatkan secara mengantre. Mereka antre di toko-toko milik pemerintah, yang paling pertama bisa mendapatkan 10 barang adalah pemenangnya.

Bila dalam permainan Monopoli asli para pemain mendapatkan uang, maka dalam Monopoli versi komunis ini para pemain akan mendapatkan kartu yang berfungsi untuk memotong antrean sehingga lebih cepat mendapatkan barang.

“Permainan ini tidak hanya membuat para pemain memahami cara berbelanja di era komunis, namun juga mengajari apa dan bagaimana mengantre itu, sesuatu yang saat ini mulai dilupakan orang-orang,” ujar Madaj seperti dilansir 
The Sun (21/1/2011).

Permainan Monopoli rancangan Madaj cukup populer dan sempat dijadikan bahan pengajaran di kelas sejarah di Polandia. Permainan ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Prancis. Pada 2016, pemerintah Rusia melarang Monopoli ini karena dianggap kontroversial.

Pihak IPN melaporkan bahwa sebelum dilarang beredar di Rusia, pengawas konsumen Rusia telah memperingatkan: permainan ini dianggap anti-Rusia dan terlalu kritis terhadap sistem Soviet. Trefl, perusahan yang membeli lisensi permainan ini dari IPN, diminta pihak berwenang Rusia untuk menghapus referensi sejarah atau mengambil risiko produk tersebut dilarang.

"IPN tidak menyetujui pelaksanaan perubahan ini dan karena itulah ‘Kolejka’ tidak lagi berada di toko-toko Rusia," ujar Andrzej Zawistowski, direktur pendidikan di IPN seperti dikutip 
Newsweek (21/3/2016).

Zawistowski menambahkan bahwa permintaan Rusia untuk menghilangkan unsur sejarah dari permainan tersebut ia anggap tidak masuk akal dan salah memahami keseluruhan masalah.

"Klaim Rusia terhadap sejarah Soviet, membuat beberapa orang Rusia berpikir bahwa kritik terhadap Uni Soviet sebagai negara totaliter juga merupakan penghinaan terhadap Rusia modern," tambahnya.

Sebelum permainan Monopoli berkembang dan menyebar ke berbagai negara, serta dalam beberapa kasus mengalami modifikasi, bagaimana riwayatnya bermula?

Pengangguran Mujur yang Mencuri Ide

Warsa 1935, Parker Brothers—perusahan mainan di Amerika Serikat—mulai memproduksi permainan Monopoli secara massal dan dengan cepat meraup untung yang tak sedikit, serta membuat “penciptanya”, Charles Darrow, menjadi kaya raya.

Tiga tahun sebelumnya, di pengujung 1932, seperti dipublikasikan Guardian, Charles Darrow mula-mula mengenal permainan papan ini dari pengusaha Philadelphia, Charles Todd dan Olive, istrinya. Mereka menjalankan permainan melempar dadu, membeli properti, dan lain-lain.

Beberapa bulan kemudian, pada 7 Maret 1933, tepat hari ini 85 tahun lalu, Charles Darrow berhasil menciptakan permainan Monopoli. Permainan ini tidak memiliki nama resmi, tidak dijual dalam kemasan, dan hanya disebarkan lewat jaringan pertemanan. Namun semua orang menyebutnya “Monopoli”.

Suatu hari, Darrow, yang menganggur dan membutuhkan uang untuk membantu keluarganya, meminta salinan tertulis permainan tersebut pada Charles Todd. Namun Todd tidak bisa memenuhinya, karena ia tak pernah menuliskannya. Darrow tak patah arang, ia mencoba memodifikasi permainan tersebut.

Hari-hari Darrow di masa menganggur digambarkan Mary Bellis yang ia kutip dari The Monopoly Book: Strategy and Tactics of the World’s Most Popular Game (1974) karya Maxine Brady:

“Pengangguran yang tinggal di Germantown, Pennsylvania. Dia sedang berjuang dengan pekerjaan serampangan untuk mendukung keluarganya di tahun-tahun setelah jatuhnya pasar saham pada 1929. Darrow teringat akan musim panasnya di Atlantic City, New Jersey yang menghabiskan waktu luangnya dengan luntang-lantung di jalan-jalan.”

Darrow kemudian menjual hasil modifikasinya kepada Parker Brothers dan ia segera dipayungi dewi fortuna. “Temuannya” disukai banyak orang. Monopoli dimainkan anak-anak dan orang-orang dewasa.

Kesuksesan Darrow yang berhasil meraup keuntungan dari penjualan dan royalti memancing seorang wartawan untuk bertanya ihwal bagaimana ia berhasil menemukan Monopoli.

“Ini aneh,” ungkap Darrow kepada Germantown Bulletin seperti dikutip Guardian.

“Sepenuhnya tak terduga dan tidak masuk akal,” ia menambahkan.
 


Bermula dari Aktivis Kiri

Dalam berbagai buku dan pemberitaan, Darrow kemudian menjadi mitos sebagai si penemu Monopoli. Tapi kemudian terungkap bahwa Monopoli adalah modifikasi dari sebuah permainan yang diciptakan Elisabeth Magie atau Lizzie pada 1903 di Washington DC.

Lizzie, yang lahir pada 1866, adalah seorang perempuan progresif yang banyak menentang norma-norma dan kebijakan politik pada masanya. Ia sempat mengiklankan diri di koran sebagai seorang “budak perempuan muda Amerika” untuk dijual kepada penawar tertinggi. Sikapnya ini dimaksudkan untuk menggugat pandangan masyarakat terhadap perempuan yang kerap dipandang berada di bawah laki-laki.

“Kami bukan mesin. Anak perempuan memiliki pikiran, keinginan, dan ambisi,” ujarnya seperti dilansir 
BBC.

Lizzie terinspirasi buku klasik Henry George berjudul Progress and Poverty (1879) yang diberikan ayahnya, James Magie, seorang politisi anti-monopoli. Ada sebuah ungkapan di buku tersebut yang menghunjamnya: “Semua orang memiliki hak yang sama untuk menggunakan lahan sebagaimana hak mereka untuk menghirup udara. Ini merupakan hak yang mengiringi fakta keberadaan diri mereka.”

Setelah mempelajari buku tersebut, ia kemudian memutuskan untuk menentang kepemilikan properti dalam sistem kapitalisme. Agar pikiran-pikiran progresifnya yang dipengaruhi Henry George dapat dipahami oleh masyarakat luas, Lizzie kemudian mencoba menuangkannya dalam bentuk permainan.

“Malam demi malam, setelah pekerjaan di kantornya selesai, Lizzie duduk di rumahnya, menggambar dan menggambar ulang, berpikir dan kembali berpikir. Itu awal 1900-an, dan ia menginginkan permainan papan yang mencerminkan pandangan politik progresifnya,” tulis Mary Pilon dalam The Monopolists: Obsession, Fury, and the Scandal Behind the World’s Favorite Board Game (2015).

Mary Pilon menambahkan bahwa di tempat tinggalnya di daerah Prince George, Washington DC, Lizzie berada di lingkungan yang ditinggali pesuruh, pedagang, pelaut, tukang kayu, dan pemusik. Ia berbagi rumahnya dengan aktor pria yang membayar sewa, serta seorang pelayan wanita kulit hitam.

Keyakinan politiknya ia sampaikan kepada masyarakat lewat kelas yang ia isi malam hari selepas kerja di kantor. Kekurangan waktu dan tenaga membuatnya bersiasat untuk membuat media baru yang kreatif dan interaktif. Dari sinilah kemudian—setelah proses yang panjang—Lizzie melahirkan Landlord’s Game, sebuah permainan yang mendidik masyarakat untuk mengetahui praktik para tuan tanah dalam menguasai lahan.

“Ini adalah demonstrasi praktis dari sistem perampasan tanah saat ini dengan semua hasil dan konsekuensinya yang biasa. Mungkin ini disebut ‘Game of Life’, karena mengandung semua elemen kesuksesan dan kegagalan di dunia nyata, dan objeknya sama seperti yang diperlihatkan pada ras manusia pada umumnya: akumulasi kekayaan,” ujar Lizzie.

Pada 23 Maret 1903, Lizzie mematenkan Landlord’s Game. Dua tahun kemudian ia menerbitkan sebuah versi permainan melalui Economic Game Company, sebuah perusahaan di New York. Perusahaan inilah yang membantu memopulerkan permainan ciptaan Lizzie. Landlord’s Game populer di kalangan intelektual kiri dan kampus.

Tiga dekade berikutnya, permainan papan ini sampai ke sebuah komunitas Quaker di Atlantic City. Mereka menyesuaikan permainan itu dengan nama-nama di lingkungannya. Dari sinilah kemudian permainan ini sampai ke Charles Darrow—pengangguran yang memodifikasi Landlord’s Game dan melejitkan Monopoli.

Di seluruh dunia, Monopoli telah terjual ratusan juta kopi dan Darrow menerima royalti sepanjang hidupnya. Sementara Lizzie hanya menerima $500 dan tanpa royalti ketika Parker Brothers membeli hak paten Landlord’s Game pada pertengahan 1930-an.

Mulanya Lizzie tidak menaruh curiga ketika permainannya dibeli Parker Brothers. Namun ketika ia sadar bahwa perusahaan mainan itu memproduksi permainan lain yang mirip dengan Landlord’s Game dan laris manis di pasaran, ia murka dan hendak membalas dendam terhadap perusahaan yang menurutnya telah mencuri idenya.

Pada 1948, saat Lizzie meninggal, Monopoli tetap diidentikan dengan Darrow. Di obituari dan nisan janda tanpa anak itu, tak ada yang menyebut tentang temuannya.

Sejawat Lizzie di tempat kerja terakhirnya sebelum ia wafat hanya mengenalnya sebagai seorang juru ketik tua yang sering berbicara tentang penemuan permainan papan. (irf)


Tayang pertama kali di Tirto.id pada 7 Maret 2018

13 October 2020

Hamsad Rangkuti Telah Pergi, Meninggalkan Cerpen Hasil Lamunannya


“Saya pengelamun yang parah,” ujar Hamsad Rangkuti.

Pengarang kelahiran Titikuning, Sumatera Utara, 7 Mei 1943 itu kerap membiarkan pikirannya pergi ke mana ia suka. Dalam pengantar di salah satu buku kumpulan cerpennya, ia mengatakan cerpen-cerpennya seringkali hanya dipicu oleh hal-hal kecil seperti mendengarkan perkataan seseorang atau sekilas melihat sesuatu, lalu ia kembangkan dengan daya imajinasinya.

Cerpen pertamanya yang berjudul Sebuah Nyanyian di Rambung Tua (1959) ia tulis ketika menyendiri di hutan rambung dekat kampungnya. Saat itu ia menyaksikan seorang buruh penyadap getah yang bekerja dari satu pohon ke pohon yang lain.

“Pada detik itulah terbayang olehnya latar keluarga di buruh berikut hidup yang mereka lalui. Tragedi dan peliknya hidup orang miskin itulah yang kemudian menjiwai karya-karya Hamsad, yang pada sisi lain menunjukkan keberpihakannya atas nasib orang-orang kecil,” tulis Ni Made Purnamasari dalam sebuah tulisan yang ia sampaikan pada diskusi di Biennale Sastra Salihara 2017.

Dalam sebuah resensi buku karya Hamsad Rangkuti yang berjudul Bibir dalam Pispot (2003), Yanusa Nugroho menulis dalam Tempo bahwa karya pengarang ini nikmat dibaca karena diangkat dari persoalan keseharian dan konon diilhami dari berita-berita di koran.

“Sebagaimana ciri khas cerpen sastra, selalu saja kisah yang disajikan Hamsad membuka horizon baru. Ada tema tentang kerinduan, keteduhan, kepolosan, kejujuran, dan berbagai percikan nafsu manusiawi yang tak bisa disingkirkan begitu saja. Cerpen Hamsad adalah sebuah cermin besar yang menangkap nadi kehidupan manusia yang bernama Indonesia,” tulisnya.

Dalam kondisi lain, melamun atau berpikir ketika menciptakan sebuah karya sempat membuatnya celaka. Kepada Harian Pos Kota ia sempat berkisah tentang kepalanya yang melepuh karena tersiram air panas. Malam hari saat ia pulang, istrinya memanaskan air untuk ia mandi. Karena pikirannya tidak fokus, air panas itu lupa ia campur dengan air dingin.

“Saat itu abang lagi mikirin bagian akhir dari cerpen yang lagi abang tulis. Eh, lupa mencampur air panas di ember dengan di kulah. Langsung siram saja ke kepala. Bayangkan rasanya!” katanya.

Pada Minggu, 26 Agustus 2018, Hamsad Rangkuti meninggal dunia setelah bertahun-tahun berjuang melawan berbagai penyakit yang menyerang dirinya. Pada laman Facebook-nya, Martin Aleida, salah seorang kawan Hamsad menulis:

“Kuantar kau dengan Al-Fatihah yang kau sebut sebagai ayat pamungkas untuk memulai cerita yang bohong tapi enak dan menggetarkan. Doa dan airmataku untuk perpisahan yang tak bisa dilerai ini. Banyaklah berkelakar di sana karena dia membahagiakan,” tulisnya.

Apa yang dimaksud oleh Martin Aleida dengan “cerita yang bohong tapi enak dan menggetarkan”?

Masih dalam artikel yang sama, Ni Made Purnamasari menyebutkan bahwa kerja kepengarangan agaknya menggelisahkan batin Hamsad Rangkuti. Ia mencontohkan kondisi itu dengan sebuah cuplikan dari cerpen Antena yang Hamsad tulis pada tahun 2000.

“Orang itu mengaku seorang pengarang yang selama hidupnya telah menciptakan kebohongan-kebohongan. Imajinasi adalah kebohongan untuk diri sendiri, katanya mengucapkan makna yang tak kumengerti. Begitu imajinasi dituturkan ataupun didengar atau dibaca orang lain, kita telah menciptakan kebohongan-kebohongan kepada orang lain,” tulisnya.

Lebih lanjut Hamsad menulis cerita pendek, novel, puisi, dan karangan fiksi lainnya adalah kebohongan yang nikmat yang dengan cerdik berlindung di balik kata imajinasi. Kebohongan itu dengan jelas ditujukan kepada dirinya karena pada kalimat berikutnya ia menulis:

“Padahal sesungguhnya tidak ada Sukri membawa pisau belati. Tidak ada wanita muda yang menanggalkan satu per satu pakaiannya dan berkata, ‘maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?’ Bohong semua itu,” tambahnya.

Sukri Membawa Pisau Belati dan Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? adalah sejumlah cerpen yang ditulisnya. Di titik ini, pernyataan Martin Aleida di laman media sosialnya kiranya bisa kita takar bahwa ia tengah melepas seorang kawannya yang pandai "berbohong" lewat cerita-cerita yang memikat dan menggetarkan.

Meski cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti bergaya realis, tapi menurut Ni Made Purnamasari, pengarang ini tetap meyakini bahwa hasil sastrawi adalah buah murni imajinasi yang membedakannya dengan karya jurnalisme dan potret deskripsi permukaan lainnya.

“Pandangan ini sempat disikapi kritis oleh Taufik Ismail, bahwa salah satu tugas mengarang ialah justru meluruskan kebohongan-kebohongan, entah dengan laku maupun karyanya,” tulisnya.

Berbeda dengan pandangan Taufik Ismail, Hamsad Rangkuti malah mempertanyakan ulang realita. Kenyataan dalam pandangan si pengelamun akut itu menurut Ni Made Purnamasari, barangkali tidak selalu berupa sesuatu yang kita temukan dan saksikan, lebih jauh kenyataan dapat disilangkan, dipadu-baurkan, atau bahkan ditiadakan dengan bentuk realitas baru yang dia bayangkan.

“Dia menggoda kita agar jadi penonton yang terpesona oleh peristiwa yang direkanya,” kata
 Sapardi Djoko Damono.

Bangkit dan Tumbang di Rumah

"Kemiskinan adalah bencana. Ia bukan sekadar persoalan memenuhi kebutuhan pangan, tetapi meniadakan harapan dan cita-cita manusia. Maka, amarah dan dendam kerap muncul ketika orang berjalan terbongkok-bongkok dan ringsek memikul beban kemiskinan," tulis Maruli Tobing membuka artikelnya yang bertajuk “Hamsad, dari Lorong Pasar di Kisaran” (Kompas, Minggu, 21 Oktober 2007).

Dalam artikel tersebut Hamsad Rangkuti dikisahkan putus sekolah pada kelas I SMA di Tangjungbalai karena ketiadaan biaya. Ia akhirnya terpaksa menemani ayahnya yang bekerja sebagai penjaga malam dan pemikul air di Kisaran. Sementara ibunya berjualan buah-buahan pada malam hari.

Maruli Tobing menjelaskan bahwa ketika Hamsad Rangkuti lahir di zaman yang memang tengah bergolak karena perang kemerdekaan, tapi hal itu bukan faktor utama. Menurutnya, terkait atau tidak dengan perang, keluarga Hamsad rangkuti adalah rakyat kecil dalam arti sesungguhnya.

“[Mereka] tidak mempunyai rumah tempat berteduh, kecuali menumpang di rumah saudara secara berpindah-pindah,” tulisnya.

Kondisi “rumah” seperti ini kemudian secara tidak langsung mendorong Hamsad Rangkuti untuk memutuskan merantau ke Jakarta. Ia hendak bangkit dari keadaan yang rudin di “rumah”-nya. Perkenalannya dengan Jakarta mula-mula dialaminya saat ia bekerja sebagai pegawai negeri di Inspektorat Kehakiman Kodam II/Bukit Barisan dan dilibatkan dalam Kongres Karyawan Pengarang Indonesia pada 1964.

Saat pindah ke Jakarta, ia mula-mula ditampung oleh Zulharman, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dipekerjakan di Persatuan Film Nasional Indonesia (PERFINI). Namun, karena di rumah Zulharman ia merasa tidak mengerjakan apa-apa, akhirnya Hamsad pindah ke Balai Budaya dan tiap malam tidur di atas ubin dengan hanya beralaskan selembar koran.

Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh pelukis Nashar yang bertahun-tahun tinggal di Balai Budaya.

“Pada waktu itu kreatif kepengarangannya mulai menyimpang. Di Balai Budaya ia merasa menjadi manusia liar bagaikan kuda lepas. Teman-temannya mengajak Hamsad mengenal kehidupan di gubuk-gubuk kere di sepanjang Kali Malang dan menyusuri rel di gubuk-gubuk pelacuran Planet Senen,” tulis Pamusuk Eneste dalam Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II (1984).

Warsa 1969 ia bergabung dengan majalah sastra Horison. Awalnya ia bekerja sebagai pencatat naskah, lalu menjadi korektor, dan mulai 1986 ia menjadi Pemimpin Redaksi dan baru 16 tahun kemudian posisinya digantikan orang lain.

“Tidak terbayangkan dahulu bahwa saya akan diterima bekerja di majalah sastra Horison,” ujarnya seperti dikutip Maruli Tobing.

Keputusannya untuk pindah ke Jakarta, meski pada mulanya morat-marit, tapi perlahan membuat kehidupannya menjadi lebih baik. Ia beberapa kali mendapat penghargaan sastra atas karya-karyanya, salah satunya memenangkan Khatulistiwa Literary Award untuk kumpulan cerpen Bibir dalam Pispot. Ia juga sempat melakukan perjalanan ke Inggris selama satu bulan yang disponsori oleh British Council dan mendapatkan uang sebanyak Rp70 juta.

Kehidupan Hamsad Rangkuti mulai berderak-derak saat Pemerintah Kota Depok membangun tempat pembuangan sampah sementara di dekat rumahnya pada 2009. Gunungan sampah tersebut menyebabkan rumah tempatnya memanen imajinasi menjadi kacau. Di rumahnya ia tumbang.

“Rumah yang menjadi sumber inspirasi dan tempat ia menulis tak lagi terasa hangat. Sampah yang menumpuk, belatung, kecoa, tikus, dan bau busuk menerbangkan bau hingga ke rumahnya. Lingkungan yang tidak sehat menyebabkan keluarga tersebut dijangkiti penyakit,” tulis 
Liputan 6
.

Hamsad Rangkuti pun kemudian terserang penyakit dan kondisinya dari tahun ke tahun semakin parah. Sementara biaya pengobatan kian mencekik. Di beberapa laman media sosial, kondisi kesehatan dan ekonomi Hamsad kerap dikabarkan oleh kawan-kawannya; mereka berinisiatif mengumpulkan dana untuk membantu biaya pengobatan sastrawan tersebut.

Setelah bertahun-tahun berjuang, ajal akhirnya tak dapat ditangguhkan lagi. Hari ini Minggu, 26 Agustus 2018, tepat satu tahun silam, Hamsad Rangkuti pergi untuk selama-lamanya.

Dalam cerpen Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?, ia menulis adegan tentang seorang perempuan yang hendak melompat ke laut dan berkata:

"Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang ke laut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikitpun darinya. Inilah saat yang tepat membuang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami”. (irf)


Ket: Tayang pertama kali di Tirto.id pada 26 Agustus 2019

04 October 2020

Langgar Tinggi Pekojan: Berawal dari Pendatang Moor dan Arab

Langgar Tinggi terletak di daerah Pekojan, Jakarta Barat. Arti kata “langgar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring yang dikelola oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, adalah “masjid kecil tempat mengaji atau bersalat, tetapi tidak digunakan untuk salat Jumat”.

Belakangan, orang-orang menyebutnya Masjid Langgar Tinggi. Artinya ada penumpukan makna sekaligus kontradiktif, sebab kata “masjid” menurut KBBI berarti “rumah atau bangunan tempat ibadah orang Islam: setiap Jumat dilakukan salat bersama”.

Di luar hal tersebut, Langgar Tinggi merupakan salah satu bangunan ibadah yang usianya tua di wilayah Jakarta, dan sampai saat ini masih berfungsi dengan baik.

Pekojan, kampung tempat langgar ini berada, berasal dari kata “Koja” atau menurut catatan Jacques Dumarcay dan Henri Chambert-Loir dalam “Langgar Tinggi di Kampung Pekojan, Jakarta” yang terbuhul dalam Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan (2018) berasal dari kata “Khoja”, yaitu Muslimin asal India, terutama orang Bangli atau Bengali.

Sementara menurut Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2012), Koja adalah orang-orang Moor, yakni orang Muslim India Barat yang kebanyakan berasal dari pelabuhan Surat yang ramai di Gujarat, tempat Belanda memiliki sebuah pos di sana.

Pada awalnya, orang-orang inilah yang menetap di Pekojan untuk berdagang. Namun, saat India ditaklukkan oleh Inggris, perdagangan mereka berkurang dan komunitasnya semakin mengecil. Mereka yang masih tersisa memutuskan berjualan sutra di Pasar baru, salah satu pusat komersial di dekat Weltevreden atau sekarang dikenal sebagai daerah Gambir dan sekitarnya.

Pekojan kemudian dihuni oleh orang Arab dari Hadramaut atau Yaman yang datang sekitar awal abad ke-19. Blackburn menambahkan, meskipun pada mulanya orang Arab yang tinggal di Batavia hanya sekitar beberapa ratus orang, tapi kehadiran mereka sangat terasa.

“[…] terdapat sejumlah syekh dan sayid di kalangan mereka, karena itulah orang Indonesia sangat menghargai mereka sebagai pemuka agama di Batavia,” tulisnya.


Wakaf Saudagar Arab asal Palembang

Langgar Tinggi terletak di terletak di sebelah selatan Jalan Pekojan, yaitu antara Jalan Pekojan dan Kali Angke, membujur barat-timur, sejajar dengan jalan dan kali. Menurut Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi (2004), pendirinya adalah seorang kapiten Arab bernama Syaikh Said Naum.

Said Naum, imbuh Shahab, juga mempunyai armada kapal dan mewakafkan sebidang tanah yang luas untuk dijadikan pekuburan umum di Tanah Abang. Lahan pekuburan tersebut kemudian dijadikan rumah susun oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin.

Keterangan berbeda disampaikan oleh Jacques Dumarcay dan Henri Chambert-Loir. Berdasarkan wawancaranya dengan Abdurrahman al-Jufri—pengurus masjid An-Nawir, yakni masjid besar Jalan Pekojan--Said Naum hanya mengelola harta seorang ahli waris dari sebuah keluarga Arab kaya dari Pelembang, yaitu Syarifah Mas’ad Babrik Ba’alwi.

Syarifah ini yang mewakafkan dua bidang tanahnya di Batavia. Pertama di Tanah Abang yang dijadikan pekuburan Muslim, dan yang kedua di Pekojan yang kemudian di atasnya dibangun Langgar Tinggi.

“Makam nyonya yang murah hati tersebut kini kiranya terletak di luar masjid An-Nawir, berupa makam bercungkup yang baru-baru ini dipugar dan yang nisannya berupa batu asli yang tidak tertulis,” terang mereka.

Keberadaan orang-orang Arab asal Hadramaut yang menggantikan orang-orang Moor di Pekojan, sering menggunakan Langgar Tinggi untuk sekadar berkumpul dan melaksanakan salat. Langgar ini sebagaimana namanya, lantai atasnya dijadikan tempat salat, sementara lantai bawah ditempati sejumlah keluarga untuk tinggal dan berdagang.

“Terdapat di situ sebuah masjid Arab yang cukup luas, yang diurus oleh seorang ulama bangsa mereka yang juga berlaku sebagai guru agama. Sebuah ruang di tingkat bawah khusus digunakan untuk itu. Bangunan itu dinamakan langgar dan berupa wakaf dengan modal yang cukup besar,” tulis L.W.C. van den Berg berjudul Le Hadramout et les colonies arabes de l’Archipel Indien seperti dikutip Jacques Dumarcay dan Henri Chambert-Loir.

Ia juga menambahkan, langgar tersebut tidak dipakai untuk salat Jumat, sehingga orang-orang Arab melaksanakan salat Jumat di masjid besar pribumi yang letaknya tidak jauh dari Langgar Tinggi yang dinamakan Zawiah.

Pada papan yang terpasang di atas sebuah pintu langgar, tertulis titimangsa pendiriannya, yakni pada tahun 1249 H/1829 M. Namun, padanan tahun masehi itu keliru, mestinya tahun 1833.

Titimangsa lain terdapat pada prasasti yang terukir di bagian atas mimbar yang terbuat dari kayu yang indah yang terukir dengan halus dan tertutup cat lak Palembang.

Prasasti berbahasa Arab pada minbar tersebut berisi permohonan rahmat kepada Allah atas Syeikh Sa’id bin Salim Na’um, yang pernah menghadiahkan mimbarnya pada bulan Rajab 1275 H/Februari 1859 M.


Gaya Arsitektur dan Keriaan di Langgar Tinggi

Langgar Tinggi di Pekojan dibangun dengan gaya arsitektur campuran, di antaranya unsur gaya Eropa, Tiongkok, Jawa, dan India. Menurut catatan Jacques Dumarcay dan Henri Chambert-Loir, gaya Eropa meliputi pilar batu, anjung masuk, dan kasau tengah pada kuda-kuda kerangka atap.

Sementara penyangga luar untuk menyandarkan rangka balok-balok luar menyerap unsur Tiongkok. Dan balok-nalok rangka payung di sudut-sudut, juga usuk penerus di sisi barat menggunakan unsur Jawa.

“Pendampingan beberapa unsur Eropa dan Tionghoa di atas dasar Jawa asli yang telah menyerapkan sebuah unsur India merupakan tanda khas arsitektur Jawa pada abad ke-19. Campuran gaya serupa, meskipun lain peran masing-masing unsurnya, ditemukan baik di Jakarta maupun di Cirebon dan Pasuruan,” tulis mereka.

Kali Angke tempo dulu seperti ditulis Windoro Adi dalam Kompas edisi 31 Mei 2007, merupakan jalur pengangkutan barang niaga dan hasil bumi dari Tangerang dengan menyusuri Sungai Cisadane menuju pusat kota lama. Barang-barang tersebut di antaranya bahan bangunan, kain, rempah-rempah, duren, nangka, dan kelapa.

“Sebelum masuk kota, perahu dan rakit-rakit itu biasanya sandar di belakang langgar,” tulis Adi.

Berdasarkan wawancaranya dengan Ahmad Assegaff, warga Pekojan keturunan Arab, dulu Langgar Tinggi semarak dengan pelbagai keriaan. Setidaknya ada empat pesta tahunan yang diselenggarakan di sana, yakni khitanan bagi anak yatim piatu, mauludan (kelahiran nabi Muhaammad), mikrajan (isra mi’raj), dan khatam Alquran.

Saat pesta khitanan tiba, warga sekitar Pekojan, yakni dari etnik Jawa, Bali, dan Tionghoa, baik Muslim maupun non-Muslim, urunan mengumpulkan bantuan untuk ikut membiayai acara tersebut.

Sementara ketika mauludan dan mikrajan digelar, pelbagai hiasan dan makanan disajikan untuk memeriahkannya. Panggung yang didirikan di depan langgar dihias dengan janur, bunga kertas, dan lampion.

“Lampu lampionnya minyak kelapa bercampur minyak tanah. Kaum lelakinya memakai sarung madraz—sarung kotak-kotak warna coklat cerah—berkopiah, dan baju koko putih. Alas kakinya terompah,” kenang Assegaff sebagaimana dikutip Windoro Adi.

Sejumlah makanan yang dihidangkan antara lain nasi ulam, tempe goreng, emping, sayur semur dengan ikan bandeng pesmol, dan bandeng acar kuning.

Dan pada keriaan khatam Alquran, hidangan yang disajikan berupa bubur gandum surba bumbu gulai dengan tebaran daging kambing, kurma, rambutan, nangka, duren, dan mangga.

Pesta khatam Alquran di Langgar Tinggi merupakan pembacaan Alquran oleh anak-anak yang biasanya berlangsung selama dua jam. Setelah itu dilaksanakan salat Isya, lalu salawatan, kasidahan, dan pelbagai rangkaian acara lainnya. (irf)


Ket: Tayang pertama kali di Tirto.id pada 13 Mei 2019

01 October 2020

Zaman Kacau Balau: Kala Kaum Kiri Menunggangi Gerakan DI/TII


Setelah perang kemerdekaan berakhir, sejumlah laskar dilebur ke dalam tentara Republik. Sebagai anggota laskar Hizbullah, pagi itu Amid, Kiram, dan Jun bergerak menuju Kebumen, bergabung dengan pasukan Hizbullah dari beberapa daerah lain. Kabar beredar, mereka akan diangkut ke Purworejo untuk dilantik sebagai tentara Republik.

Mereka menunggu di tepi rel kereta api. Pukul sembilan pagi sebuah lokomotif beserta rangkaiannya bergerak mendekati Stasiun Kebumen. Pasukan bersiap. Dalam benak mereka, selangkah lagi akan sah sebagai tentara Republik muda usia yang berhak mendapat pangkat dan gaji.

Saat kereta api benar-benar telah begitu dekat, berondongan peluru merajalela dari dalam gerbong. Amid, Kiram, dan Jun sigap menjatuhkan diri ke dalam parit. Sebagian laskar Hizbullah berhasil menyelamatkan diri, tapi tak sedikit yang bertumbangan dihajar timah panas.

Tiga sekawan dan pasukan yang selamat kemudian melakukan serangan balik. Tembak-menembak bersahutan, sebelum sebuah granat meluncur deras masuk ke dalam gerbong lewat celah jendela dan menghancurkannya. Setelah berlangsung selama dua jam, pertempuran berakhir. Para penyerang tumpas.

Sebagian pasukan Hizbullah yang selamat menuduh pasukan Republik telah berkhianat. Kereta yang rencananya akan mengangkut mereka ke Purworejo justru menjadi ular besi pencabut nyawa. Sebagian lagi tak menganggap tentara Republik sekotor itu, mereka justru menuding orang-orang komunis sisa-sisa peristiwa Madiun 1948 di balik penyerangan tersebut. Kekecewaan ini membuat sebagian laskar Hizbullah akhirnya bergabung dengan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo.

Pertempuran ini terdapat dalam karya sastra karangan Ahmad Tohari bertajuk Lingkar Tanah Lingkar Air (2015). Kisah di Kebumen ini hanya salah satu dari beberapa fragmen tentang narasi permusuhan antara Hizbullah dan golongan komunis setelah pengakuan kedaulatan.

Ahmad Tohari juga menceritakan permusuhan ini ketika pemberontakan DI/TI—yang pasukan intinya berasal dari Hizbullah—telah eksis sampai menjelang keruntuhannya lewat operasi Pagar Betis.

Lewat karya fiksi, ia seolah-olah hendak membuat terang wilayah yang kerap dianggap abu-abu tentang infiltrasi dan penghancuran nama DI/TII oleh kelompok kiri. Saat aksi-aksi garong, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap rakyat sipil yang dilakukan kelompok bersenjata menghebat, Ahmad Tohari menyebut kelompok kiri kerap memakai nama DI/TII untuk melakukan aksinya.

“Yang lebih menyulitkan kami, orang-orang Gerakan Siluman (komunis) ibarat tombak bermata dua. Ke arah kami, mereka membuka garis permusuhan, sementara ke arah lain mereka menggunakan nama kami untuk melakukan perampokan-perampokan terhadap orang-orang dusun,” ujar Amid.

Selain itu ia juga menceritakan milisi yang dilatih tentara Republik yang mula-mula bernama Pemuda Desa (PD), kemudian berganti nama menjadi Organisasi Keamanan Desa (OKD), lalu menjadi Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR), yang dikerahkan untuk membantu TNI memburu anggota DI/TII, juga mayoritas berasal dari kelompok kiri.

Situasi ini—saat kekuatan DI/TII kian melemah—membuat Amid, Kiram, dan Jun enggan menyerahkan diri kepada TNI karena mereka yakin sebelum sampai ke pos militer, mereka akan dihabisi para milisi yang telah disusupi orang-orang komunis.

“Sebelum orang seperti kita sampai ke kampung, kita sudah habis di tangan OPR. Organisasi Perlawanan Rakyat itu banyak disusupi orang-orang Gerakan Siluman yang komunis. Jadi percuma bila kita berniat turun gunung. Bagiku, daripada mati justru karena menyerahkan diri, lebih baik mati bertempur,” ungkap Kiram yang karakternya paling keras di antara ketiganya.

Kisah tentang milisi desa yang memburu anggota DI/TII yang dihuni orang-orang komunis terdapat juga dalam cerpen berbahasa Sunda karya Ahamd Bakri yang berjudul Dokumén yang dihimpun dalam kumpulan Dukun Lepus (2002).

Jika Ahmad Tohari yang kelahiran Banyumas dan kisahnya berlatar di Jawa Tengah, maka Ahmad Bakri kelahiran Ciamis dan latar ceritanya terjadi di Jawa Barat. Kedua provinsi ini adalah pusat gerakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo dan Amir Fatah.

Dalam Dokumén dikisahkan, sekali waktu seluruh warga Kampung Karangsari dikumpulkan oleh OKD—yang ditulis Ahmad Bakri “rata-rata bareureum (rata-rata merah/komunis)—di balai desa.

Seluruh warga kampung itu dikumpulkan, selain karena OKD menemukan sebuah dokumen tertulis yang dicurigai berisi daftar warga yang memberikan sumbangan untuk DI/TII, juga karena kampung tersebut dianggap sebagai daerah santri yang banyak bergabung dengan gerakan Kartosoewirjo.

Dokumén diakhiri dengan pemukulan anggota OKD oleh seorang perangkat desa yang kesal karena sikapnya jemawa dalam memperlakukan warga kampung.

Peta Kekuatan Politik

Dalam beberapa penelusuran para penyintas pemberontakan DI/TII di Kabupaten Bandung, kepada Tirto mereka semua mengatakan bahwa gerombolan yang sering menyatroni kampung adalah orang-orang DI/TII, bukan komunis.

Barangkali memang benar orang-orang Kartosoewirjo yang melakukannya, atau orang-orang komunis yang mengatasnamakan DI/TII seperti dalam cerita Ahmad Tohari. Namun yang jelas setelah Kartosoewirjo tertangkap pada 1962 dan aksi gerombolan berangsur berkurang dan hilang, mereka tak menyimpan ingatan tentang gangguan keamanan yang dilakukan orang-orang komunis.

Paling banter, seperti dikatakan salah satu narasumber, menyebutnya dengan kalimat, “Sangat jarang, tidak terlalu menyeramkan seperti zaman DI/TII.”

Namun, saya percaya para penulis cerita seperti Ahmad Tohari (kelahiran 1948) dan Ahmad Bakri (kelahiran 1917), tidak menulis ceritanya dari ruang hampa atau tanpa rujukan. Mereka pasti terlebih dahulu melakukan riset pustaka atau mungkin menuliskan pengalamannya sendiri saat masa-masa konflik itu berlangsung.

Jika melihat hasil Pemilu 1955, tahun saat pemberontakan DI/TII di Jawa Barat berada dalam kekuatan puncaknya, raihan suara yang merepresentasikan kedua pihak yakni Masyumi dan PKI cukup berimbang di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Di Jawa Barat, Masyumi meraih 13 kursi dan PKI 5 kursi. Sementara di Jawa Tengah, PKI meraih 15 kursi, dan Masyumi hanya 6 kursi. Jika raihan suara di kedua provinsi itu dijumlahkan, maka Masyumi meraih 19 kursi dan PKI 20 kursi.

Hasil Pemilu 1955 di kedua provinsi itu setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana dua ideologi tersebut mewarnai pilihan masyarakat, dan memetakan kekuatan dua kubu dalam konteks pemberontakan DI/TII.


Konflik Sejak Zaman Revolusi

Jika ditarik lebih jauh ke belakang, sejumlah catatan sejarah juga menerakan jejak tentang konflik golongan Islam dan kiri, terutama yang melibatkan Kartosoewirjo dan para kombatan yang kelak menjadi pasukan DI/TII.

Sebuah insiden di sekitar Perjanjian Linggarjadi dicatat Holk H. Dengel dalam Darul Islam dan Kartosuwirjo: “Angan-angan yang Gagal” (1995). Menurutnya, pada Maret 1947 saat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) melakukan sidang untuk membahas Perjanjian Linggarjati di Malang, Kartosoewijo beserta laskarnya bergerak dari Jawa Barat menuju Malang. Mereka dengan tegas dan tanpa kompromi menolak perjanjian tersebut.

Langkah ini ia lakukan untuk mencegah laskar sayap kiri yang setuju terhadap perjanjian itu melakukan teror terhadap para politikus yang menolak Perjanjian Linggarjati.

“Ketika anggota-anggota Pesindo dalam sidang KNIP mencoba untuk menakuti wakil-wakil rakyat yang menolak persetujuan Linggardjati, dan ketika pertentangan tersebut semakin meruncing, Kartosuwirjo menyuruh menempatkan sebuah senapan mesin di atas sebuah rumah yang terletak di seberang gedung tempat KNIP bersidang,” tulis Dengel.

Sutomo (Bung Tomo) yang namanya populer dalam pertempuran Surabaya meminta Kartosoewirjo menahan diri. Namun, Kartosoewirjo yang kelak menjadi imam NII itu hanya menatapnya tanpa berbicara sepatah kata pun.

Kartosoewirjo baru melunak setelah Bung Tomo mengatakan tentang kemungkinan Belanda melakukan serangan terhadap sidang tersebut.

Dengel menambahkan, dalam dokumentasi yang disusun Majelis Penerangan Negara Islam, terdapat catatan bahwa perjuangan politik umat Islam pada 1947 benar-benar ditekan kekuatan militer yang hampir seluruhnya berada di tangan kelompok sayap kiri, yaitu PKI dan kaum sosialisme.

Pertentangan semakin meruncing ketika Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk Inspektorat Perdjuangan sebagai badan yang mewadahi laskar-laskar perjuangan rakyat.

R. Oni—yang kelak menjadi Ketua Majelis Pertahanan NII—sebagai ketua laskar Sabilillah daerah Priangan menolak badan tersebut. Menurutnya, badan itu mempunyai tujuan untuk membuat umat Islam menjadi sosialis. Dalam dokumen tersebut, imbuh Dengel, tampak pula ketakutan laskar-laskar Islam terhadap integrasi ke dalam tubuh TNI.

“Menurut tulisan DI itu, sejak Amir Sjarifuddin menjadi Menteri Pertahanan, semua perwira tentara Republik adalah anggota sayap kiri, dan dengan demikian, kemungkinan Sabilillah dan Hizbullah diterima untuk masuk TNI sangat tipis karena kurangnya pendidikan para laskar tersebut,” tulisnya.

Laskar-laskar Islam juga khawatirkan TNI hanya akan mengambil senjatanya, dan kemudian mereka segera dipulangkan ke tempatnya masing-masing.

Kekhawatiran laskar-laskar Islam terhadap keberadaan kelompok kiri dalam tubuh TNI secara tersirat juga dicatat Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan (1995). Menurutnya, meski tidak mungkin merinci semua konflik bersenjata antarlaskar maupun merinci semua satuan gerilya dalam pusaran tersebut, yang jelas pada waktu itu banyak satuan gerilya liar terutama yang jumlahnya kecil dan perlengkapan senjatanya terbatas yang diserap oleh tentara Republik.

Artinya, tidak menutup kemungkinan banyak satuan-satuan gerilya kelompok kiri yang bergabung dengan TNI dan hal tersebut yang dihindari oleh laskar Islam seperti Hizabullah dan Sabilillah.

Kemarahan laskar-laskar Islam di Jawa Barat kepada Amir Sjarifuddin memuncak setelah Perjanjian Renville yang mengharuskan TNI untuk mengosongkan wilayah Jawa Barat berdasarkan garis van Mook.

Menurut Dengel berdasarkan dokumen Majelis Penerangan Negara Islam, mereka mengungkapkan kemarahannya dengan kalimat “Amir Sjarifuddin la’natoellah” karena dianggap telah berkhianat dengan menjual Jawa Barat kepada Belanda.

Saat Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, Kartosoewirjo beserta laskar-laskar Islam terutama Hizbullah dan Sabilillah justru memilih bertahan di Jawa Barat. Kartosoewijo merasakan simpati yang besar dari para ulama dan rakyat Priangan terhadap kekuatannya ketika terjadi pertempuran antara pasukannya melawan Belanda di Gunung Cupu.

Selain meminta perlindungan, para ulama dan rakyat Priangan pun tahu bahwa dirinya adalah satu-satunya politikus yang tidak hijrah ke Jawa Tengah dan selalu menolak setiap perundingan yang dilakukan antara Republik dengan Belanda.

“Banyak pemimpin-pemimpin umat Islam [di Priangan] kini berbondong-bondong ke tempat-tempat yang dipertahankan Kartosuwirjo dan TII di lereng Gunung Cupu untuk mencari perlindungan dan pertolongan, karena mereka bukan saja dikejar oleh tentara Belanda melainkan juga oleh ‘komunis serta sosialis’,” tulis Dengel.

Catatan Dengel yang menyebutkan "komunis serta sosialis" yang mengejar para ulama dan rakyat Priangan kembali menguatkan situasi permusuhan antara kelompok Islam dan kiri.


Terlibat Aksi-Aksi Penggarongan

Dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, Ahmad Tohari tidak sepenuhnya menolak anggapan bahwa aksi-aksi penggarongan terhadap warga sipil dilakukan pasukan DI/TII. Lewat percakapan tokoh-tokoh yang ia bangun, Ahmad Tohari mengakuinya.


Namun, ia juga tak sepenuhnya menerima dengan menyertakan narasi tentang kelompok kiri yang ikut melakukan penggarongan dengan mengatasnamakan DI/TII.

Sementara pada catatan sejarah yang ditulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan (1995), ia juga menulis bahwa memang aksi-aksi itu tak sepenuhnya dilakukan DI/TII meski tak menyebutnya sebagai kelakuan kelompok kiri. Van Dijk hanya menyebutnya “gerombolan garong”.

“Sebenarnya, beberapa di antaranya tidak lebih dari gerombolan garong yang melanjutkan operasinya dalam situasi revolusioner yang baru. Dalam pengertian kebiasaan Jawa lama adanya kelompok pemuda gelandangan yang bertualang di daerah pedalaman,” tulisnya.

Catatan lain disampaikan Holk H. Dengel. Kartosoewirjo menyebut permusuhan pertama antara DI/TII dengan tentara Republik terjadi pada Pertempuran Antralina di Ciawi, Tasikmalaya pada 25 Januari 1949.

DI/TII yang dengan cepat menghimpun kekuatan di Jawa Barat ketika Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, menganggap semua pasukan yang masuk ke Jawa Barat adalah pasukan liar yang harus taat kepada gerakannya.

“Waktu mereka (ja’ni R.I. dlorurot dan komunis gadungan) itu masuk ke daerah de facto Madjlis Islam, maka dengan sombong dan tjongkaknja mereka mengindjak-ngindjak hak dan memperkosa keadilan ‘tuan-rumah’, sehingga terjadilah insiden pertama dengan menggunakan sendjata, jang terkenal dengan nama ‘Pertempuran Antralina’ dan terjadi pada tanggal 25.1.1949,” tulis Kartosoewirjo seperti dikutip Dengel.

Ia secara jelas menulis “komunis gadungan” terlibat dalam pertempuran tersebut. Artinya bisa jadi kelompok komunis memang banyak berkeliaran di Jawa Barat ketika pemberontakan DI/TII mulai menguat di Jawa Barat.

Di pengujung 1949 setelah Negara Islam Indonesia (NII) diproklamasikan, digelar Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 20-25 Desember. Pada kongres tersebut dibahas pula soal gerakan DI/TII yang dipimpin Kartosoewirjo.

Seorang anggota kongres mengungkapkan, sengketa antara laskar Islam dengan TNI berakar pada peristiwa perlucutan senjata laskar Jawa Barat di awal perjuangan kemerdekaan.

“Pada saat itu perasaan umat Islam sangat terluka. Karena itu kerjasama dengan TNI tidak dapat dipertahankan lagi,” ucapnya.

Selain itu ia juga mengungkapkan bahwa Front Demokrasi Rakjat (FDR) yang ia sebut sebagai “kaum merah”, mencoba mematahkan tenaga umat Islam dengan mempergunakan TNI.

Uraian-uraian dalam sejumlah buku sejarah tentang Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, juga lewat beberapa teks sastra tentang gerakan tersebut, tak menutup kemungkinan bahwa memang kelompok kiri terlibat dalam memperkeruh suasana keamanan warga sipil.

Situasi ini dengan tepat diungkapkan Suhana—salah seorang penyintas pemberontakan DI/TII di Kabupaten Bandung yang saya wawancarai—dengan kata "pabaliut” yang berarti kacau balau.

Permusuhan tersebut berlanjut ketika situasi berbalik. Menurut Dengel, para mantan kombatan DI/TII ikut dilibatkan dalam penumpasan G30S tahun 1965.

"Sebagian besar anggota gerakan DI pada tahun 1963 oleh pemerintah diberikan amnesti dan setelah terjadi peristiwa G 30 S, banyak dari antara mereka ditarik sebagai penasihat oleh Kodam Siliwangi pada waktu menumpas Gerakan 30 September/PKI," tulisnya. (irf)


Ket: Tayang pertama kali di Tirto.id pada 19 Maret 2019