19 July 2021

10 Kasidah Nasida Ria untuk Kampret yang Durhaka


Nasida Ria berdiri di Semarang pada tahun 1975. Grup musik ini membawakan lagu-lagu kasidah, lantunan syair dalam syiar keagamaan. Meski sudah terbilang tua, namun Nasida Ria pernah tampil pada gelaran Synchronize Festival tahun 2018 dan 2019. Anak-anak muda kiwari menyambutnya penuh antusias.

Saya kira, mereka—para penonton itu—setidaknya terbagi ke dalam dua golongan. Pertama, mereka yang masa kecilnya pernah mendengar lagu-lagu Nasida Ria dari karet milik ibu atau bapaknya, atau lewat pengeras suara di majelis-majelis pengajian. Kedua, mereka yang sama sekali belum pernah mendengar, tetapi merasa harus tetap relevan.

Dua golongan ini adalah juga yang barangkali membelah Didi Kempot dan penyanyi-penyanyi “gaek” lainnya yang tampil di Synchronize Festival.

Meski saya tak pernah sekalipun hadir dalam festival “edgy” itu, tapi saya masuk ke dalam kelompok yang pertama. Saya mendengarnya, dulu, setiap kali perayaan Maulid Nabi dan Isra Mikraj di majelis pengajian kampung.

Kiwari, jika sesekali memutarnya di Youtube, teringat lagi saat-saat itu. Selain saya, seorang sepupu juga hafal beberapa lagu Nasida Ria. Dia malah amat menggandrungi, karena dulu orang tuanya rajin membeli kaset Nasida Ria dan memutarnya setiap pagi.

Nasida Ria telah mengeluarkan 35 album dan tak kurang dari 350 lagu. Sebuah pencapaian yang luar biasa. Tentu saya tak hafal sebanyak itu. Dalam redup remang ingatan, inilah 10 kasidah terbaik Nasida Ria untuk para kampret yang durhaka:


1. Anakku

Nasihat klasik orang tua kepada anaknya tentang zaman yang berubah dan tantangan yang menanti di depan. Si anak dituntut menjadi manusia sakti yang "cerdas, tabah, dan kreatif" serta "siap menghadapi tantangan zamannya walau berbahaya". Jika dilihat dari kacamata Orde Baru, manusia sakti ini meliputi imtaq (iman dan taqwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi): jargon lawas yang pernah jadi andalan kelas menengah Indonesia.   


2. Lingkungan Hidup

Ode terhadap alam desa yang permai, juga seruan agar tidak merusaknya. Ya, tema yang digarap Nasida Ria memang luas, termasuk isu lingkungan hidup. Meskipun selalu dikaitkan dengan sisi keagamaan, kiranya usaha mereka menggarap tema patut diapresisasi. Dan memang sepatutnya demikian, karena agama tak sekadar "lirik keluh kesah" atau "senandung hijrah", tapi sejatinya mencakup semua lini kehidupan.  


3. Dunia dalam Berita

Sejak tahun 1978, "Dunia dalam Berita" adalah salah satu program berita andalan TVRI yang tayang setiap hari mulai pukul 21.00. Sebagaimana namanya, program berita ini banyak menyiarkan kabar-kabar dari luar negeri seperti perang, kelaparan, pertemuan internasional para kepala negara, dan lain-lain. Nah, apakah Nasida Ria terinspirasi dari program berita itu atau sebaliknya? Yang jelas kasidah ini juga mengabarkan kejadian-kejadian di luar negeri. Simak salah satu penggalan liriknya: 

"Australia kebanjian, Afrika kekeringan

ASEAN perdamaian, Persia pertikaian

Sungguh asyik dunia dalam berita"  



4. Jilbab Putih

Saya membayangkan kasidah ini dibuat pada tahun-tahun saat jilbab dilarang oleh Orde Baru, atau setidaknya belum leluasa seperti sekarang. Juga teringat puisi Emha Ainun Nadjib berjudul "Lautan Jilbab". Ya, memang ada suatu masa saat para muslimah di Indonesia melewati masa-masa getir. Dan Nasida Ria "mengibarkan" budaya yang kian populer itu lewat kasidah yang santai dan ceria.    



5. Matahari Dunia

Ini adalah salah satu kasidah Nasida Ria yang paling populer. Beberapa tahun ke belakang, terutama pada Subuh di bulan puasa, salah satu stasiun televisi sering memutarnya. Ajakan bersalawat kepada nabi dan pujian kepadanya: 

"Nabi Muhammad bagai purnama

Cahaya di atas cahaya"



6. Perdamaian

Hingga kiwari, saya kira tak ada yang lebih populer daripada kasidah ini. Setelah dibawakan Gigi dalam album religinya, lagu "Perdamaian" terus melambung dan terngiang-ngiang di benak para pendengarnya. Liriknya cerdas, menunjukkan ironi, menghantam para maniak perang, atau para kepala negara yang buntu di meja-meja perundingan.

"Banyak yang cinta damai

Tapi perang makin ramai"     



7. Keadilan

Kali ini Nasida Ria merambah wilayah hukum. Mengisahkan tentang seseorang yang melanggar hukum dan keluarga terlibat dalam persidangannya. Adik, kakak, paman, ayah, dan ibu mempunyai perannya masing-masing yang berseberangan. Namun pada akhirnya, sebagaimana lirik kasidah tersebut, "yang salah diputus salah". Kemudian bait berikutnya:

"Itulah keadilan 

Tak kenal sistem famili

Itulah kebenaran

yang harus dijunjung tinggi"

Kiwari, kita bisa tersenyum atau tertawa karena lirik itu terasa terlalu "mimpi" dan "berkhayal", sebab hukum hanya mampu dibeli orang-orang berduit. Langit runtuh berderak-derak, keadilan hanya omong kosong di negeri para bedebah ini. 


8. Kota Santri

Pasangan Anang dan Krisdayanti yang kini telah ambyar pernah membawakan kasidah ini. Kota santri banyak tersebar hampir di seluruh pelosok Jawa, baik dalam lingkungan salaf (tradisional) maupun modern. Lembaga pendidikan ini kerap menjadi benteng, baik moral maupun pergolakan fisik, dari ekonomi sampai politik.   



9. Siapa Bilang

Jangan pukul rata. Demikian Nasida Ria menyampaikan. Apalagi saat berkomunikasi dengan para remaja yang berdarah panas. Mereka tak menyangkal jika terdapat remaja yang durhaka, merosot akhlaknya, penuh noda, dan malas, namun mereka juga menegaskan bahwa tidak semuanya demikian. Ibu-ibu ini bahkan memakai kata "budak manja" dan "ganja" dalam liriknya. Sungguh pendekatan yang luar biasa.  



10. Wajah Ayu untuk Siapa

Inilah asal-usul istilah "kampret yang durhaka". Saat kasidah ini dibawakan dalam gelaran Synchronize Festival, banyak penonton yang tertarik akan liriknya. Dalam konstelasi politik kiwari, kata "kampret" juga "cebong" mucul sebagai anak kandung polarisasi politik yang kian tajam. Padahal dulu, saat Nasida Ria membuat lagu ini, lema "kampret" digunakan secara harfiah sekaligus metafora sebagai perusak buah-buahan dan perusak kesucian perempuan. Dan Nasida Ria menegaskan bahwa "wajah ayu, tubuh seksi" yang "bagai buah mangga ranum" itu " tidak akan kuserahkan pada kampret yang durhaka".  


2 comments:

budak kang entang said...

duuh yaa allah,
...jadi ras ingeut baheula mun muludan / rajaban di pak asep, di tonggoh, tukangeun imah batur!


Irfan Teguh said...

Hahah... aslina matak waas