08 August 2022

Semakin Kekeringan Persinggahan, Semakin Landai Pantai



Ketika saya kelelahan seusai olahraga jalan kaki, letih karena bekerja menghadapi komputer dan buka internet, adakalanya saya ingin santai, duduk-duduk beristirahat. Lalu apakah yang terpikir oleh saya ketika istirahat itu?

Sejak tanggal 30 April 2006 ketika meninggalnya Mas Pram---sedikit banyak bagaimanapun hal ini sangat memengaruhi saya. Rasanya satu lagi tempat persinggahan, satu lagi pelabuhan-tambat, pelabuhan istirahat saya lepas ke laut bebas. Dan saya tak bisa menggapainya. Orang-orang itu sudah pergi dan tidak akan kembali.

Ketika saya datang pertama kali ke Jakarta, setiap pagi dari jam 06.00 sampai 09.00 saya olahraga jalan kaki dari kediaman saya dekat Kelapa Gading menuju Jalan Pemuda. Biasanya itu memakan waktu satu jam. Saya menuju rumah Joebaar Ajoeb. Dan kami ngobrol. Adakalanya diskusi sengit. Adakalanya sedikit kasar dan sedikit maki, tapi tetap pegang kendali. Kami tetap saling ramah, saling terbuka, dan jujur.

Adakalanya Ajoeb mengajak saya ke rumah Pram yang letaknya tak jauh dari Jalan Pemuda. Di rumah Pram lebih ramai lagi dan makanan bertambah banyak ragamnya. Apabila kami makan pergi ke rumah Ajoeb, itu artinya kami harus beli sendiri. Ngewarung! Habis dia sama dengan saya. Sama-sama duda! Pembicaraan jadi ramai terkadang saling ejek-mengejek, tetapi penuh humor dan sehat.

Kata Pram, “Si Sobron ini makin progresif orangnya. Mau tahu apa tandanya? Coba lihat itu perutnya! Maju ke depan, ke arah buncit. Itu kan progressif, toh?” kami semua tertawa lepas.

Kalau sudah hampir jam 10.00 di rumah Ajoeb mulai banyak tamu yang datang. Ketika itulah saya sudah boleh minta diri dan pulang ke Kayu Putih Utara, ke rumah ponakan saya. Joebaar Ajoeb selalu banyak tamunya, baik dari dalam maupun luar negeri. Anak-anak muda berdarah segar, lincah, cerdas, cekatan, ada aktivis LSM, pada datang ke Ajoeb. Mereka selalu membawa berbagai problem.

Juga tidak jarang para wartawan, ilmuwan, sejarawan dari Amerika, Jepang, dan Australia selalu datang ke rumah Ajoeb yang sangat sederhana itu. Mereka membawa pertanyaan dan segala apa saja yang mereka ingin tahu. Pada umumnya mereka puas akan jawaban yang bersifat diskusi. Artinya keterangan yang diberikan bukan semata-mata dari Ajoeb sendiri.

Saya pernah bilang, Ajoeb adalah gunung tinggi sekaligus teluk yang dalam. Gunung tinggi adalah tempat timbunan awan. Sedangkan teluk yang dalam adalah tempat berlabuhnya berjenis perahu dan kapal. Itulah dia, Ajoeb. Tempat orang banyak bertanya, mau tahu, mau cari informasi, ada yang mau diperoleh.

Dari tahun 1993 sampai meninggalnya Joebaar Ajoeb pada 1997, setiap tahun ketika saya datang di Jakarta, saya akan selalu ke rumah Ajoeb. Kami tertawa, bergurau, berdiskusi. Kami bisa bertengkar, selalu saling memerhatikan, dan menyayangi. Tidak hanya sekali-sekali memaki!

Namu, setelah Ajoeb meninggal, daerah persinggahan saya berubah. Bukan lagi di Jalan Pemuda, tetapi di rumah Mas Pram. Tak terasa waktu berjalan terus. Mas Pram lebih banyak sakitnya dan usianya pun sama sekali tidak muda lagi. Tapi semangatnya tak pernah uzur. Yang uzur adalah badan raganya. Banyak yang saya dapatkan dari Mas Pram. Sesudah Mas Pram meninggal, saya bingung mau ke mana lagi.

Oya, saya masih ingat, dulu saya juga tidak hanya ke rumah mereka saja. Saya juga ke rumah Mas handoyo. Tapi dia kini sudah menggunakan kursi roda. Sakit. Dulu saya ke rumah Rivai Apin di Jalan Malabar. Tidak lama lalu Rivai yang kami panggil Pai itu meninggal. Tadinya kami juga ke rumah Pak HR Bandaharo dan Pak Bakri Siregar. Keduanya kini sudah meninggal. Akh… Saya tersentak kaget sendiri. Saya sedang di atas bukit dekat rumah saya.

Dulu masih begitu banyak daerah persinggahan, masih begitu banyak gunung tinggi dan teluk yang dalam dan luas. Tetapi kini rasanya sudah semakin mengecil. Sudah semakin mengering dan pantainya sudah semakin landai. Dan saya dalam hati terisak-isak sendiri. Mau ke mana saya sesudah ini? Sudah begitu kekeringan tempat persinggahan. Sudah begitu landai pantai yang dulu sangat bagus, sangat menarik dan asyik. Kini tak tahulah saya. Barangkali memang begitulah adat dunia dalam kehidupan ini.


Sobron Aidit

Paris, 4 Mei 2006

22 July 2022

10 Lagu Semakbelukar: Tak kan Melayu Hilang di Bumi

Ketika mereka tampil terakhir kali dan menghancurkan alat-alat musiknya di Kineruku, saya masih di depan monitor tabung di bilangan Pulogadung. 

Berkat Jakartabeat, saya berkenalan dengan Elevation Records dan tahu ada grup asal Palembang ini. Nahas, saat mulai mendengarkan lagu-lagunya, Semakbelukar mengumumkan bahwa mereka bubar dan tak akan pernah reuni. 

"Musik hanya membuat ramai, tak membuat kami damai," kira-kira begitu alasannya.

Padahal, bagi pendengar seperti saya, lagu-lagu Semakbelukar justru membuat sebaliknya. Apalagi suara David Hersya terdengar meliuk-liuk bak seorang muazin. Syairnya apalagi, seperti petitih. Sekilas akan langsung teringat Gurindam 12 Raja Ali haji.   

Seperti juga Taufiqurrahman, pemilik Elevation Records, saya menyukai suara akordeon yang mereka mainkan dalam sejumlah lagunya. Sayang, bagaimanapun, kiwari, Semakbelukar telah bubar. David Hersya, mantan vokalis, di chanel Youtube-nya sesekali masih membuat syair yang seolah digumamkan, juga menekuni soal-soal mesin motor matic.

Suatu malam, saya memutar sebuah album Semakbelukar di Jl. Solontongan. Pengunjung kedai tampak mengernyitkan dahi. Barangkali ia pikir ini album nasyid yang tak pantas diperdengarkan di warung kopi. Lalu album itu saya ganti dengan Float. Tengah malam, saya baru bisa mendengarkan "lagu-lagu nasyid" ini:

1. Be (re)ncana


"Terlahir dan terasingkan tak lantas menjadi duka
hanya karena berbeda tak berarti hilang muka
karena sempurna itu hanya sebuah rencana 
karena sempurna itu hanya sebuah bencana

Terbuang dan terlupakan tak lantas menjadi luka
hanya karena terbatas tak berarti tanpa belas
karena sempurna itu hanya sebuah rencana 
karena sempurna itu hanya sebuah bencana

Untuk yang memuja
bukan yang dipuja

Terlahir dan terasingkan tak lantas menjadikan luka, hilang, murka." 

2. Gita Cempala


"Cempala mulut dengan penggering
dalam gita gersang yang digubah
menyulut pawaka di jiwa yang kering
hembus pawana tebarkan wabah

Dursila yang tumbuh dan berkembang
dalam genggam yang bermata satu
atas bintang terang yang selalu bersambang
percikan air sekeras batu

Tinggikan akan ternyata dangkal
jelas tak kekal tetap menyangkal."

  3. Hina Dina


"Kurasakan yang kau rasa
disaat kau tersingkirkan
padahal engkau bukanlah sembarang

Insan yang selalu berkarya
bermimpi tak untuk kaya
berdirimu dengan daya upaya

Bertahan ku dalam karya
yang selalu teraniaya
atas nama seni yang berbudaya

Bayangkan sepi tak lagi
menusuk seperti duri
karena diri tak kan bisa sembunyi

Kita ini bukan yang mulia
bukan pula yang kuasa
kita hanya manusia biasa
hina dina dari tanah

Kudapatkan sebuah arti
dari bentuk kerelaan
tatkala aku dicaci dimaki

Coba berhenti meratap
dan mulai untuk percaya
kematian itu akan terjadi
kematian itu sedang terjadi
kematian itu pasti terjadi." 
 

4. Dendang Lalai


5. Mekar Mewangi


"Kau mekar seperti bunga
melati di tanganku putih dan menyejukkan
kau terang dan berkilauan
seperti pagi ini penuh warna dan cerah

Aku ada dalam harapan 
di masa yang kan datang
di masa yang kan datang
kau kan selalu mewangi."

6. Berlayar di Daratan



7. Sejuk Matahari & Lebah



8. Antologi bagian 1


 

9. Antologi bagian 2 


10. Antologi bagian 3 




08 July 2022

Rumah-Rumah yang Hilang dan Hancur


 "Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu

Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat

Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah

Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!"

(kutipan dari "Catetan Th. 1946" karya Chairil Anwar)


Kisah Helikopter 

Sekali sore, saat hendak berziarah ke makam orang tua, seperti biasa melewati perkampungan di belakang Masjid Agung Jampang Kulon. Di sebelah kiri jalan, sebuah rumah tampak mengenaskan: atapnya rusak parah dan hampir ambrol. Itu adalah rumah Pak Memed Sudarman, salah satu tokoh masyarakat di kampung saya yang telah lama meninggal dunia. 

Dulu, salah seorang anaknya merupakan perwira Polri. Jika mengunjungi orang tuanya, sang anak datang menggunakan helikopter yang diparkir di alun-alun. Warga heboh, entah mimpi apa semalam ujug-ujug helikopter yang begitu nyata singgah di kampung. 

Pada kedatangan pertama, saya sedang mandi di Cikaum--pemandian umum di seberang alun-alun. Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh seperti hendak membelah langit. Rumput dan sampah beterbangan, orang-orang berlarian menuju alun-alun. Saya segera melilit diri dengan handuk dan bertelanjang dada, lalu berlari ke pusat kegaduhan. MasyaAlloh.. seekor helikopter yang begitu gagah telah hinggap di tanah lapang. Sang perwira bersama ajudannya terlihat tengah berjalan ke arah barat menuju rumah Pak Memed.

Setiap kali datang, helikopter itu tidak pernah mau berlama-lama. Barangkali paling lama hanya setengah jam sejak kemunculannya, sang perwira kembali ke medan tugasnya di wilayah hukum entah. Setelah kedatangannya yang ketiga entah keempat, waktu bergerak bergulung-gulung, ia tak menunggu siapa pun, melesat meninggalkan siapa saja yang tercecer di belakang. Hingga akhirnya sore itu, rumah tua yang mengenaskan itu mengembalikan semua ingatan.

   

Lima Hasta

Ini tetangga saya sendiri. Mak Engkom namanya. Pemilik warung nasi di pasar lama. Anaknya empat, perempuan dua, laki-laki dua. Dalam ingatan masa kecil, beliaulah penyandang raja kuliner yang tak terbantahkan. Ayam-ayam kampungnya yang setiap pagi menemui ajal, diolah sedemikian rupa: digoreng, disup, dan jeroannya dipepes. Semuanya gak ada obat!  

Jika petang datang atau tidak sedang berjualan, ia kerap duduk di sebuah bangku panjang di sisi utara rumahnya, menghadap ke kali kecil: melamun, atau entah apa namanya yang jelasnya tatapannya kosong. Suaminya telah lama pergi. Bahkan sejak saya mulai bisa mengingat, suaminya memang telah tiada.

Salah seorang anaknya yang paling akrab bernama Mang Engkos, sementara orang-orang tua memanggilnya Aja. Jika bermain sepak bola ia berdiri di bawah mistar gawang alias jadi kiper. Ketika PSSI Primavera terkenal, panggilannya berubah menjadi Kurnia Okon, merujuk kepada kiper Timnas: Kunia Sandy.  

Kira-kira lima tahun terakhir, setiap kali pulang kampung, rumah Mak Engkom yang jaraknya hanya lima hasta dari rumah saya itu selalu sangat sunyi dan gelap. Kiwari bahkan hampir rata dengan tanah. Entah di mana anak-anaknya, yang jelas sebuah kisah telah berakhir. 


Jambu Air dan Stiker PDI

Letaknya persis di pinggir jalan raya Jampang Kulon-Sukabumi. Halamannya dirimbuni pohon jambu air, tempat favorit bermain kelereng. Itulah dia rumah si Iki alias Pepeng (pemuda pengkolan) karena memang pas di depan rumahnya jalan raya agak berbelok. Ia anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara. 

Yang paling saya ingat dari rumah itu adalah sebuah stiker PDI lama (bukan perjuangan) yang menempel di kaca jendela paviliun. Tak istimewa, tapi sungguh tak menyangka, di tengah hegemoni Golkar dan PPP di era Orde Baru, di kampung saya ternyata sampai juga suara kaum Marhaen. Memang minoritas, tapi minimal ada.

Di belakang rumah si Iki ada pemandian umum yang dipenuhi ikan gurame dan ikan mas yang ukurannya besar-besar. Kami biasa menyebutnya Cimangtajudin karena letaknya menempel dengan rumah Mang Tajudin. Airnya bersih meski kalah jernih dangan pemandian Cikaum. Sekarang pemandian itu hanya jadi kolam ikan biasa setelah rumah Mang Tajudin dijual, dan oleh pemilik baru dirombak habis-habisan.

Sebelum si Iki dan keluarganya pindah ke Bekasi, orang tuanya sempat berjualan bubur ayam dan sate kambing. Namun tak lama, karena segera gulung tikar. Rumahnya kemudian dijual, sekarang menjelma jadi dealer motor Yamaha. Bekas rumahnya benar-benar tak bersisa. 


Kelerang dan Alat Memancing

Saat George Orwell menceritakan George Bowling--sales asuransi yang keranjingan memancing dalam buku Coming Up for Air (2021)--saya langsung teringat toko ini. Letaknya di pojok tenggara alun-alun, dipisahkan sebuah jalan yang cukup lebar. Pemiliknya suami istri yang sudah sepuh: Wa Heni dan Wa Empip. Cucu mereka banyak, beberapa di antaranya kawan saya.

Selain menjual perlengkapan memancing seperti joran (jeujeur), kail, kukumbul, dan babanem, mereka juga menjual kelereng. Dan jika bulan puasa tiba, mereka tak ketinggalan menjual layangan, gelasan, nilon, dan golong. Singkatnya surga bagi hobi dan permainan anak laki-laki. Selain dimakan usia, bisnis mereka juga digerogoti kerusakan lingkungan. Kali mengering, sungai kotor, dan kolam satu-satu mulai menghilang. Para pemancing haurs pergi ke sungai-sungai yang jauh atau ke laut selatan untuk menyalurkan hobinya.

Di sebelah toko itu ada warung kelontong milik Ceu Miming yang sudah tua dan berdebu. Ini warung legendaris karena menyediakan perlengkapan nyeupah alias menyirih, di antaranya gambir dan apu. Entah kapan masa jayanya, yang jelas ketika saya mulai bisa mengingat, warung kelontong ini sudah sepi dan barang-barangnya telah kuno.

Kini toko dan warung itu telah tiada. Digantikan toko hp merek Oppo dan kantor ekspedisi JNE. Perekonomian Jampang Kulon memang beranjak maju meski tak secepat habisnya generasi tua yang layaknya pasar malam: satu persatu dijemput ajal. 

Dan daftar ini akan terus bertambah. Demikianlah sejarah bergerak bersama gelinding roda zaman. Dari tempat dan waktu yang telah berjarak, saya hanya bisa menggapai-gapai lewat ingatan. [irf]  

02 June 2022

Kineruku dari Masa yang Telah Lalu

Sebenarnya belum terlalu lama lewat, tapi waktu sering membuat saya lupa. Entah tahun berapa saya mulai mengunjungi Rumah Buku di Hegarmanah 52. Tempat baca yang hening, bersih, dan kiwari berganti nama menjadi Kineruku. 

Jika Semakbelukar membubarkan diri dan menghancurkan alat-alat musiknya pada 2013, maka saya menjadi anggota Kineruku beberapa tahun sebelumnya. Kini kartu anggotanya telah hilang.

Ihwal perubahan nama, jika tak silap, dimulai dari hadirnya gerai Gramedia di Supratman yang diberi nama Rumah Buku. Mereka barangkali hendak caper karena kawan-kawan tahu sendiri, di Supratman telah lebih dulu hadir Togamas yang selalu kasih potongan harga. Nah, Rumah Buku-nya Gramedia ini juga memberikan diskon meski tak sebesar Togamas. Mungkin untuk menghindari kebingungan calon pengunjung, maka Rumah Buku di Hegarmanah mengalah, mengganti namanya menjadi Kineruku.

Sekarang dua toko buku di Supratman itu tak bisa lagi diandalkan. Rumah Buku sudah tidak ada, gerai itu hanya jadi gerai Gramedia biasa yang tentu saja langka potongan harga. Sementara Togamas semakin memperkecil diskon. Kini rata-rata potongan harganya hanya 5 sampai 10 persen.

Oke, lupakan mereka. Kita kembali ke Hegarmanah.

Dari bundaran menuju Hegarmanah di sisi Setiabudi, dulu ada angkot berwarna biru yang semenjana dan jarang berpenumpang. Saya sempat naik sekali dan harus menunggu lama sebelum meluncur ke atas, ke arah Kineruku. Angkot ini tak melewati Kineruku, tapi menuju arah berbeda saat melintasi sebuah taman di seberang kantor Telkom. Nah, di taman inilah saya turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Pernah sekali waktu, karena angkot tak jua muncul, saya jalan kaki dari pangkalannya menuju Kineruku. Lumayan capek karena belum sarapan dan jalan menanjak. Di sisi taman dekat kantor Telkom, saya berhenti: jajan mie ayam.

Dekat penjual mie ayam terdapat warung nasi kecil yang sangat sederhana. Tiba-tiba datang penjual gulali, camilan untuk anak-anak sejenis permen yang biasa dibentuk menyeruapi ayam. Penjualnya makan di warung nasi, lauknya hanya sepotong tahu dan kuah sayur. Ketika selesai dia hanya membayar 3.000 rupiah. Hati saya mencelos.

Apakah dulu Kineruku menjual makanan? Sampai sekarang saya masih berusaha mengingat-ngingat. Yang pasti dari dulu di Kineruku tak ada wifi. Para pengunjung benar-benar hanya membaca buku dan mengerjakan tugas kuliah tanpa jaringan internet, kecuali memakai kuotanya masing-masing.

Di ruang tengah, yang kini hanya buku jualan dan sejumlah barang lainnya, dulu tersedia kursi untuk membaca. Di ruangan ini tak boleh merokok. Sigaret hanya boleh dibakar di luar ruangan. Kiwari, di teras belakang pun dilarang. Selain membaca, orang-orang hanya berbisik-bisik, takut mengganggu pengunjung lain. Musik yang diputar kerap musikalisasi puisi-puisi Sapardi yang dibawakan Ari dan Reda.    

Dan waktu kencang berlalu…

Pandemi datang gelombang demi gelombang. Kineruku lumpuh. Tutup lebih dari dua tahun, dan baru buka belakangan setelah yang lain buka terlebih dahulu.

Rabu, 1 Juni 2022, saya kembali ke Hegarmanah 52. Kini jam bukanya lebih pendek: 11.30-17.30, tapi pengunjungnya lebih ramai. Semua kursi terisi. Bahkan seorang kawan yang datang pukul satu siang harus balik kanan karena tak kebagian tempat duduk. Luar biasa!

Sayang, karena kiwari Kineruku menjual sejumlah makanan berat, camilan, dan minuman, sebagian pengunjung—terutama yang rombongan—menjadikannya hanya sebagai tempat nongkrong: makan-makan, ngobrol, dan tertawa, sonder membaca! Aduhai, cukup mengganggu konsentrasi membaca.

Namun begitulah. Zaman terus berubah. Saya mesti menari bersamanya.

Biar begitu, biar agak berisik, tapi saya masih akan mengunjungi Kineruku. Melewati ruas Jalan Hegarmanah yang rindang dan sepi. Menikmati satu dua buku tipis berisi cerita-cerita. Atau minum kopi di kios di pojok taman yang asri.

Saya kira, setidaknya sampai hari ini, tak ada ruang publik untuk membaca di Bandung yang lebih nyaman daripada Kineruku. Di utara Bandung, ruang ini masih menjadi juara. Dan orang-orang selatan seperti saya masih ikhlas menempuh perjalanan jauh demi mengunjunginya. [ ]

08 April 2022

Cerpen yang Memicu Perdebatan Lama tentang Trotskyisme


 “Tak pernah kami perkatakan bagaimana nanti kami menjempul ajal. Kami sadar, pertanyaan itu di luar jangkauan kodrat kami untuk menjawabnya. Tetapi, niat kami sudah teguh. Kalau kami mati, kami ingin dikuburkan di daratan Nantalu, di hulu sungai ini, di mana hutan tak mengenal tepi […]”

Nurlan alias Martin Aleida (selanjutnya ditulis Martin) membuka cerpennya yang bertajuk Melarung Bro di Nantalu dengan kata-kata “ajal”, “mati”, dan “kubur”. Ia menceritakan seorang tokoh yang terkatung-katung di negeri orang, dan tak bisa kembali ke tanah air Indonesia karena terhalang situasi politik pasca 1965.

Jika membaca buku Melawan dengan Restoran (2007) karya Sobron Aidit & Budi Kurniawan, Surat Kepada Tuhan (2002) yang merupakan memoar Sobron Aidit, dan buku-buku lain—baik karya Sobron sendiri maupun karya orang lain yang menceritakan dirinya, tokoh dalam cerpen Martin ini merupakan kisah kawannya tersebut.

Sebagai contoh, Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Jilid 3 (2009) menulis tentang Sobron Aidit yang diundang ke Beijing dan menetap di Prancis.

“Saat meletus G30S 1965, Sobron berada di Beijing bersama sejumlah seniman dan wartawan Indonesia yang diundang ke RRT merayakan HUT RRT. Sejak itu Sobron menetap di luar negeri. Dari RRT bersama wartawan Umar Said ia boyong ke Perancis. Bersama Umar Said yang kini sudah jadi warga negara Perancis, Sobron mendirikan restoran ‘Indonesia’ di Paris,” (hlm. 184)

Apalagi Martin menulis dalam sebuah paragraf tentang tokohnya ini yang mendirikan restoran Indonesia di Paris, maka teranglah siapa tokoh yang dimaksud olehnya.

“Bolak-balik beberapa kali bertemu dengan pengurus perkumpulan yang berkantor di sebelah gereja itu, akhirnya mereka memperoleh pinjaman untuk mendirikan restoran masakan Indonesia […] Buat pejabat dari Jakarta, kecuali seniman, yang mampir di Paris, restoran tersebut adalah tujuan yang harus dihindari,” tulis Martin.

Melarung Bro di Nantalu tayang di Jawa Pos edisi 12 Desember 2010. Martin menulis cerpennya dengan liris. Ada emosi tertahan, kesedihan, dan kenangan-kenangan yang membubung dalam relasi perkawanan yang jujur: tentang pertemanan masa kecil, kematian ayah sahabat yang giris, melarat di negeri orang, pertarungan batin yang merubah keyakinan, serta kesulitan pulang ke puak akibat badai politik di tanah air.

Cerpen ini kemudian dihimpun beserta cerita Martin lainnya dalam buku berjudul Mati Baik-baik, Kawan (2009). Di sampul belakang buku terdapat komentar Agung Ayu Ratih—direktur 
Institut Sejarah Sosial Indonesia, ia menulis perasan dan kesannya terhadap salah satu cerpen Martin.

Melarung Bro di Nantalu membuatku menangis […],” tulis Ratih.


 Kritik Tatiana Lukman

 Tujuh tahun sejak terbit di Jawa Pos, cerpen ini “baik-baik saja” karena respons pembaca cukup positif. Sampai akhirnya pada Juli 2017, Tatiana Lukman (anak mantan Wakil Ketua I CC PKI, MH. Lukman)—penulis buku Panta Rhei: Tidak Ada Pengorbanan yang Sia-sia Air Sungai Digul Mengalir Terus!: 2014, menulis di Suluh Indonesia mengkritik cerpen ini karena salah satu fragmennya dianggap “kebohongan, memutarbalikkan fakta, fitnah, dan ejekan terhadap rakyat Tiongkok dan Ketua Mao”.

Fragmen yang diserang oleh Tatiana adalah ketika si tokoh (Bro/Sobron Aidit) yang tengah berada di Tiongkok bersama istrinya untuk memenuhi undangan menjadi guru bahasa Indonesia di sana, disapu Revolusi Kebudayaan (Tatiana menyebutnya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar atau RBKP) yang membuat mereka disingkirkan dari kota, digiring ke perdesaan dan dipaksa melakukan kerja badan, bertani, serta memungut kotoran manusia untuk pupuk tanaman.

“Ajakan penyair Boejoeng Saleh melalui puisi pendeknya, ‘Datanglah ke Tiongkok/tengok hari esok,’ hanya menemukan kenyataan seperti tuba di dasar gelas,” tulis Martin menggambarkan prahara yang menempa Bro.

Karena tak tahan dalam pusaran Revolusi Kebudayaan, Bro akhirnya menyingkir dari Tiongkok lewat perjalanan darat yang panjang sampai akhirnya tiba di Paris.

Martin Aleida, Penulis “Ulung”, begitu judul tulisan Tatiana pada Juli 2017 di Suluh Indonesia. Ia mengawali tulisannya dengan membandingkan kualitas penulis zaman Sukarno dan Orde Baru. Martin Aleida meraih penghargaan cerpen terbaik Kompas yang berjudul Tanah Air. Dalam tulisannya Tatiana bertanya, apakah hanya Martin satu-satunya penulis, di antara 20 kandidat lain, yang mempunyai latar belakang hubungan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

“Kalau jawabannya positif, maka tidak terlalu mengherankan kemenangannya dalam kompetisinya dengan penulis-penulis yang lahir dan besar di zaman Orde Baru,” tulisnya.

Ada nada meremehkan para penulis pasca Orde Lama dari anak MH. Lukman tersebut. Ia yang hidup di Indonesia waktu Sukarno gilang-gemilang di tampuk kekuasaannya, dan saat Lekra berkibar sebagai motor kebudayaan, menganggap masa itu lebih baik daripada zaman Orde Baru: rezim yang menumpas dan menyingkirkan ia, keluarga, beserta penumpang gerbong “komunis” lainnya.

Meski demikian, dalam artikelnya Tatiana justru bukan hendak menyanjung Martin, melainkan mengkritiknya. Jika Agung Ayu Ratih dibuat menangis oleh Melarung Bro di Nantalu, ia sebaliknya. Tatiana kecewa dan marah karena Martin yang dianggapnya telah berbohong tentang kehidupan Sobron Aidit dan orang-orang Indonesia lainnya di Tiongkok, serta terhadap RBKP.

“Bro dan kawan-kawannya disingkirkan dari kota. Sama dengan kaum komunis lokal, yang dituduh terjangkit penyakit borjuis dan harus dicuci otaknya, Bro juga menemukan nasib yang tak kalah buruk,” tulis Martin.

Hal ini dibantah Tatiana yang menyebutkan bahwa selama Revolusi Kebudayaan, Sobron dan orang-orang Indonesia lainnya mendapatkan makan, minum, tempat tinggal gratis, dan untuk menghadapi suhu panas lebih dari 40 derajat celcius, orang bisa beli balok es untuk ditaruh di bawah tempat tidurnya. Pendingin tersebut adalah barang mewah di waktu itu.

“Siapa yang mencap dan menjadikan orang-orang Indonesia sasaran Revolusi Kebudayaan? Siapa yang menyingkirkan dan menuduh orang-orang Indonesia terjangkit penyakit borjuis dan harus dicuci otaknya? Dari 120 orang Indonesia yang tinggal satu kompleks dengan saya, tak satupun yang pernah jadi sasaran RBKP!” tambah Tatiana.

Tak cukup itu, Tatiana juga menyebutkan bahwa untuk menghindari panas yang sangat menyengat, orang-orang Indonesia malah pernah diundang tuan rumah untuk berlibur ke 
Tsingdao, kota pesisir di timur Tiongkok. Dan mereka dijamu dengan tinggal di hotel, pemandangan tepi laut, serta makan enak. Hanya karena pertentangan internal saja sebagian dari mereka akhirnya tidak ikut ke Tsingdao.

Revolusi Kebudayaan yang dikobarkan Mao mendorong mahasiswa dan kaum intelektual lainnya untuk pergi ke perdesaan, tinggal dan bekerja bersama kaum tani. Hal ini, menurut Tatiana, juga pernah dilakukan Lekra dengan program “turba” (turun ke bawah) yang mengedepankan doktrin “tiga sama”: sama bekerja, sama makan, sama tidur. Martin sebagai bekas sastrawan Lekra dan wartawan Harian Rakjat, tambah Tatiana, mestinya paham dengan kebijakan tersebut.

“Apa Martin sudah lupa [dengan kebijakan Lekra]? Mao juga mengajarkan rakyatnya untuk belajar kepada kaum tani,” ujarnya.

Fragmen lain yang tidak berkenan bagi Tatiana adalah ketika Martin menceritakan nasib Sobron saat mula-mula tiba di Paris. Martin menggambarkan Sobron tak ubahnya gelandangan yang tak habis dirundung malang.

“Bro dan kawan-kawannya yang bertubuh kecil itu, menyeret-nyeret kaki, luntang-lantung mencari jalan untuk bertahan hidup. Didorong angin musim panas, terkadang Bro yang gembor kelihatan sempoyongan seperti layang-layang putus tali teraju,” tulis Martin.

Ia menegaskan bahwa Sobron sudah ditunggu banyak kawan yang lebih duluan menetap di Paris. Adik D.N. Aidit tersebut tidak terdampar sendiri, juga tidak kelaparan di Paris.

“Lukisan patetis ini hanyalah fantasi!” bantahnya.

Kegeraman Tatiana bertalu-talu. Saat Martin melukiskan perjalanan hidup Sobron sebagai hidup yang tidak biasa dan tiada tara, ia menyangkalnya dengan sinis, “Aduh, begitu dramatis dan penuh heroisme!"

Ia menjelaskan bahwa kehidupan Sobron sama seperi orang kebanyakan: makan, minum, dan tidur gratis. Ia menambahkan, istrinya meninggal pun bukan karena “hukuman” atau “siksaan” atau tidak bisa bayar ongkos pengobatan.

Setelah menjelaskan hakikat Revolusi Kebudayaan dan situasi politik Tiongkok pasca Mao Tse-Tung, serta menuduh orang-orang Indonesia yang keluar dari Tiongkok dan hidup makmur di negeri-negeri maju sebagai revisionis dan pendukung restorasi kapitalis Deng Xiao-ping, Tatiana mengusulkan agar Martin mempelajari Revolusi Besar Kebudayaan Proletar.

“Usul saya kepada Martin, pelajari sendiri apa sebenarnya hakikat dari RBKP. Jangan hanya menelan bulat-bulat propaganda imperialis anti-Mao dan anti-komunis seperti mereka yang masing ‘mengunyah-ngunyah’ propaganda Orde Baru tentang peristiwa 1965,” ujarnya.


Tanggapan Martin Aleida dan Ihwal Sumber Sekunder

20 Juli 2017, Martin menanggapi kritik Tatiana yang cukup panjang tersebut di status facebook-nya. Pendek dan santai saja ia menanggapinya. Ia bahkan membuka facebook dalam perjalanan pulang sehabis belanja dari Pasar Minggu. Sebuah foto menyertai: foto dirinya yang tengah duduk di pagar tembok sebuah rumah. Ia bercelana pendek, mengenakan sepatu, dan memegang dua buah jinjingan.

Dalam tanggapannya yang pendek tersebut, ia menekankan pada tuduhan Tatiana tentang kaum imperialis dan orang-orang Trotskyis yang menganggap Revolusi Kebudayaan sebagai hukuman dan siksaan, serta sikap mereka yang meremehkan dan menghina kaum tani.

“[…] Saya senang dia cap saya sebagai Trotskyis, budayawan yang saya kagumi. Ketika berkunjung ke Turki beberapa tahun lalu, saya mampir ke pulau Buyucuda di mana Trotsky sempat bersembunyi dari persekusi rezim Stalin sebelum dia terdampar di Meksiko tempat kepalanya dipenggal dengan kampak oleh pemuja setan. Saya anjurkan Tatiana membaca Trotsky dalam Literature and Marxism-nya Terry Eagleton dan meneliti Trotsky bukan dari tulisan mereka yang berbulu dan berhati musang […],” tulisnya.

Kritik Tatiana terhadap karya Martin khususnya cerpen Melarung Bro di Nantalu, awalnya dipicu saat Martin berkomentar di acara diskusi buku karya Tatiana berjudul Trotskyisme? Sosialisme di Satu Negeri atau Revolusi Permanen? (2016) yang diadakan pada Mei 2017.

Kata Tatiana, Martin berkomentar dan menyatakan pendapatnya terhadap buku tersebut bahwa ia tidak percaya pada tulisan yang berasal dari sumber sekunder. Menanggapi hal tersebut, Tatiana menyebut bahwa kalau begitu semua buku sejarah tidak ada yang patut dipercayai jika kita mengikuti logika Martin.

“Lantas bagaimana mereka yang ingin menulis dan menganalisa kejadian-kejadian sejarah yang para pelakunya sudah meninggal? […] Tidak mungkin kita mewawancarai langsung, misalnya, Pangeran Diponegoro, atau Lenin, atau Trotsky, atau Napoleon!” tambahnya.

Dua bulan setelah acara diskusi tersebut, terbitlah tulisan Tatiana di 
Suluh Indonesia daring, yang selain menyerang soal Revolusi Kebudayaan, juga menyerang sumber yang digunakan Martin dalam menulis cerpen Melarung Bro di Nantalu.

Karena beberapa fragmen kisah dalam cerpen tersebut bertentangan dengan realita, maka Tatiana meragukan sumber penulisannya. Ia tahu bahwa kisah yang diceritakan Martin adalah perjalanan hidup Sobron Aidit, tapi ia meragukan apakah benar Sobron menceritakannya langsung kepada Martin pengalamannya hidupnya selama di luar negeri? Karena hal ini akan menentukan sumber tersebut, apakah primer atau sekunder.

Sampai di sana sebetulnya serangan Tatiana sudah cukup untuk membalas ketidakpercayaan Martin terhadap sumber sekunder dalam diskusi buku Trotskyisme? Sosialisme di Satu Negeri atau Revolusi Permanen? (2016). Namun rupanya Tatiana meneruskannya dengan sergapan lain.

“Anggaplah Martin bertolak dari sumber primer, karena ia tidak percaya pada sumber primer sekunder. Bagaimana kalau sumber primernya itu berisi kebohongan dan memutarbalikkan fakta, seperti yang terjadi pada Melarung Bro di Nantalu?” ujarnya.

Dari sini kemudian Tatiana menjelentrehkan kehidupan Sobron Aidit saat di Tiongkok dan Paris, kehidupan orang-orang Indonesia di Tiongkok saat terjadi Kebudayaan Revolusi, dan pandangannya terhadap orang-orang yang ia anggap sebagai pengkhianat.

Karena buku Trotskyisme? Sosialisme di Satu Negeri atau Revolusi Permanen? (2016) dan cerpen Melarung Bro di Nantalu adalah dua teks yang berbeda, yang satu fiksi dan satu lagi nonfiksi, maka Martin dalam status facebooknya menjawab:

“Sayang eksil yang pernah menetap lama di Kubanya Castro ini tak bisa membedakan cara membaca fiksi dan nonfiksi. Dia jadikan kenyataan literer dalam cerita pendek saya sebagai fakta historis,” tulisnya.

Tanggapan Martin di Facebook kemudian 
ditanggapi lagi oleh Tatiana di media yang sama dengan tulisan pertamanya, yang membuat persoalan menjadi berlarat-larat. Karena disebut tak bisa membedakan teks fiksi dan nonfiksi, pada tulisannya yang kedua ini Tatiana berusaha memblejeti apa yang dimaksud dengan cerita fiksi.

Ia memperkuat argumennya dengan mengutip Hilmar Farid yang ikut mengomentari cerpen Melarung Bro di Nantalu. Menurut Hilmar Farid, cerpen tersebut menghidupkan pertanyaan lama tentang batas prosa dan puisi, fiksi dan fakta, dalam hal ini obituari dan cerita.

“Bahkan, menurut Hilmar, obituari! Obituarinya Sobron Aidit!” tulis Tatiana yang tengah berargumen bahwa Melarung Bro di Nantalu menceritakan kehidupan nyata, bukan rekaan.

Setelah itu Tatiana kembali tancap gas dengan menyerang Martin soal sumber sekunder lagi. Lalu soal Trotsky dan Lenin.

Tulisan keduanya ini tak ditanggapi oleh Martin. Perdebatan terhenti. Dan hanya menyisakan serak jejak digital.

Saat dihubungi Tirto.id, Selasa (13/3/2018), apakah dia ada tanggapan lain yang lebih komprehensif terhadap kritikan Tatiana, Martin Aleida hanya menjawab singkat, “Tidak! Saya tidak tertarik pada Tatiana. Ibarruri (anak sulung D.N. Aidit) bilang, 'cuma Tuhan yang tidak (dia) debat.' Salam.” (irf)

17 February 2022

10 Lagu Queen untuk Gelombang Ketiga


Covid-19 belum berakhir.  Kiwari datang varian baru: Omicron. Konon gejalanya ringan, artinya tidak seganas varian Delta yang sebelumnya menyapu begitu banyak kolega. Namun, daya sebar Omicron begitu tinggi. 

Sekira seminggu yang lalu, saya tiba-tiba sakit kepala parah dan demam tinggi. Setelah itu diikuti batuk dan pilek yang seolah tak habis-habis. Enam hari kemudian saya ke dokter, sekarang kondisi agak mendingan. 

Di tengah mengurung diri di rumah, Queen banyak menemani. Sebetulnya belakangan saya banyak sekali mendengarkan band-band lain, namun entah kenapa kuping saya paling cocok dengan Queen. Farrokh Bulsara memang tiada dua. Suaranya pilih tanding. 

Maka demikianlah, di tengah cuaca yang tak menentu, linimasa twitter yang kerap membara, dan batuk yang sesekali masih menghampiri, 10 lagu berikut kiranya dapat menemani berselancar menaklukkan gelombang ketiga ini...


1. Good Old Fashioned Lover Boy



2. Life is Real (Song for Lennon)



3. My Melancholy Blues


4. Dreamer’s Ball



5. Jealousy


6. You Take My Breath Away



 7. Somebody to Love

1.     


8. 8.

1.       8.  All Dead, All Dead



9.  Killer Queen



10  10.   The Millionaire Waltz



1.