“Tak pernah kami perkatakan bagaimana nanti kami menjempul
ajal. Kami sadar, pertanyaan itu di luar jangkauan kodrat kami untuk
menjawabnya. Tetapi, niat kami sudah teguh. Kalau kami mati, kami ingin
dikuburkan di daratan Nantalu, di hulu sungai ini, di mana hutan tak mengenal
tepi […]”Nurlan alias Martin Aleida (selanjutnya ditulis
Martin) membuka cerpennya yang bertajuk Melarung Bro di Nantalu dengan
kata-kata “ajal”, “mati”, dan “kubur”. Ia menceritakan seorang tokoh yang
terkatung-katung di negeri orang, dan tak bisa kembali ke tanah air Indonesia
karena terhalang situasi politik pasca 1965.
Jika membaca buku Melawan dengan
Restoran (2007) karya Sobron Aidit & Budi Kurniawan, Surat
Kepada Tuhan (2002) yang merupakan memoar Sobron Aidit, dan buku-buku
lain—baik karya Sobron sendiri maupun karya orang lain yang menceritakan
dirinya, tokoh dalam cerpen Martin ini merupakan kisah kawannya tersebut.
Sebagai contoh, Rosihan Anwar dalam Sejarah
Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Jilid 3 (2009) menulis tentang
Sobron Aidit yang diundang ke Beijing dan menetap di Prancis.
“Saat meletus G30S 1965, Sobron berada di
Beijing bersama sejumlah seniman dan wartawan Indonesia yang diundang ke RRT
merayakan HUT RRT. Sejak itu Sobron menetap di luar negeri. Dari RRT bersama
wartawan Umar Said ia boyong ke Perancis. Bersama Umar Said yang kini sudah
jadi warga negara Perancis, Sobron mendirikan restoran ‘Indonesia’ di Paris,”
(hlm. 184)
Apalagi Martin menulis dalam sebuah paragraf tentang
tokohnya ini yang mendirikan restoran Indonesia di Paris, maka teranglah siapa
tokoh yang dimaksud olehnya.
“Bolak-balik beberapa kali bertemu dengan
pengurus perkumpulan yang berkantor di sebelah gereja itu, akhirnya mereka
memperoleh pinjaman untuk mendirikan restoran masakan Indonesia […] Buat
pejabat dari Jakarta, kecuali seniman, yang mampir di Paris, restoran tersebut
adalah tujuan yang harus dihindari,” tulis Martin.
Melarung Bro di Nantalu tayang di Jawa Pos edisi 12
Desember 2010. Martin menulis cerpennya dengan liris. Ada emosi tertahan,
kesedihan, dan kenangan-kenangan yang membubung dalam relasi perkawanan yang
jujur: tentang pertemanan masa kecil, kematian ayah sahabat yang giris, melarat
di negeri orang, pertarungan batin yang merubah keyakinan, serta kesulitan
pulang ke puak akibat badai politik di tanah air.
Cerpen ini kemudian dihimpun beserta cerita
Martin lainnya dalam buku berjudul Mati Baik-baik, Kawan (2009).
Di sampul belakang buku terdapat komentar Agung Ayu Ratih—direktur Institut
Sejarah Sosial Indonesia, ia menulis perasan dan kesannya
terhadap salah satu cerpen Martin.
“Melarung Bro di Nantalu membuatku
menangis […],” tulis Ratih.
Kritik Tatiana Lukman
Tujuh tahun sejak terbit di Jawa Pos, cerpen
ini “baik-baik saja” karena respons pembaca cukup positif. Sampai akhirnya pada
Juli 2017, Tatiana Lukman (anak mantan Wakil Ketua I CC PKI, MH.
Lukman)—penulis buku Panta Rhei: Tidak Ada Pengorbanan yang Sia-sia
Air Sungai Digul Mengalir Terus!: 2014, menulis di Suluh
Indonesia mengkritik cerpen ini karena salah
satu fragmennya dianggap “kebohongan, memutarbalikkan fakta, fitnah, dan ejekan
terhadap rakyat Tiongkok dan Ketua Mao”.
Fragmen yang diserang oleh Tatiana adalah ketika
si tokoh (Bro/Sobron Aidit) yang tengah berada di Tiongkok bersama istrinya
untuk memenuhi undangan menjadi guru bahasa Indonesia di sana, disapu Revolusi
Kebudayaan (Tatiana menyebutnya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar atau RBKP)
yang membuat mereka disingkirkan dari kota, digiring ke perdesaan dan dipaksa
melakukan kerja badan, bertani, serta memungut kotoran manusia untuk pupuk
tanaman.
“Ajakan penyair Boejoeng Saleh melalui puisi
pendeknya, ‘Datanglah ke Tiongkok/tengok hari esok,’ hanya
menemukan kenyataan seperti tuba di dasar gelas,” tulis Martin menggambarkan
prahara yang menempa Bro.
Karena tak tahan dalam pusaran Revolusi Kebudayaan, Bro
akhirnya menyingkir dari Tiongkok lewat perjalanan darat yang panjang sampai
akhirnya tiba di Paris.
Martin Aleida, Penulis “Ulung”, begitu
judul tulisan Tatiana pada Juli 2017 di Suluh Indonesia. Ia
mengawali tulisannya dengan membandingkan kualitas penulis zaman Sukarno dan
Orde Baru. Martin Aleida meraih penghargaan cerpen terbaik Kompas yang
berjudul Tanah Air. Dalam tulisannya Tatiana bertanya, apakah
hanya Martin satu-satunya penulis, di antara 20 kandidat lain, yang mempunyai
latar belakang hubungan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
“Kalau jawabannya positif, maka tidak terlalu
mengherankan kemenangannya dalam kompetisinya dengan penulis-penulis yang lahir
dan besar di zaman Orde Baru,” tulisnya.
Ada nada meremehkan para penulis pasca Orde Lama
dari anak MH. Lukman tersebut. Ia yang hidup di Indonesia waktu Sukarno
gilang-gemilang di tampuk kekuasaannya, dan saat Lekra berkibar sebagai motor
kebudayaan, menganggap masa itu lebih baik daripada zaman Orde Baru: rezim yang
menumpas dan menyingkirkan ia, keluarga, beserta penumpang gerbong “komunis”
lainnya.
Meski demikian, dalam artikelnya Tatiana justru
bukan hendak menyanjung Martin, melainkan mengkritiknya. Jika Agung Ayu Ratih
dibuat menangis oleh Melarung Bro di Nantalu, ia sebaliknya.
Tatiana kecewa dan marah karena Martin yang dianggapnya telah berbohong tentang
kehidupan Sobron Aidit dan orang-orang Indonesia lainnya di Tiongkok, serta
terhadap RBKP.
“Bro dan kawan-kawannya disingkirkan dari kota.
Sama dengan kaum komunis lokal, yang dituduh terjangkit penyakit borjuis dan
harus dicuci otaknya, Bro juga menemukan nasib yang tak kalah buruk,” tulis
Martin.
Hal ini dibantah Tatiana yang menyebutkan bahwa selama
Revolusi Kebudayaan, Sobron dan orang-orang Indonesia lainnya mendapatkan
makan, minum, tempat tinggal gratis, dan untuk menghadapi suhu panas lebih dari
40 derajat celcius, orang bisa beli balok es untuk ditaruh di bawah tempat
tidurnya. Pendingin tersebut adalah barang mewah di waktu itu.
“Siapa yang mencap dan menjadikan orang-orang
Indonesia sasaran Revolusi Kebudayaan? Siapa yang menyingkirkan dan menuduh
orang-orang Indonesia terjangkit penyakit borjuis dan harus dicuci otaknya?
Dari 120 orang Indonesia yang tinggal satu kompleks dengan saya, tak satupun
yang pernah jadi sasaran RBKP!” tambah Tatiana.
Tak cukup itu, Tatiana juga menyebutkan bahwa
untuk menghindari panas yang sangat menyengat, orang-orang Indonesia malah
pernah diundang tuan rumah untuk berlibur ke Tsingdao, kota pesisir di timur Tiongkok.
Dan mereka dijamu dengan tinggal di hotel, pemandangan tepi laut, serta makan
enak. Hanya karena pertentangan internal saja sebagian dari mereka akhirnya
tidak ikut ke Tsingdao.
Revolusi Kebudayaan yang dikobarkan Mao
mendorong mahasiswa dan kaum intelektual lainnya untuk pergi ke perdesaan,
tinggal dan bekerja bersama kaum tani. Hal ini, menurut Tatiana, juga pernah
dilakukan Lekra dengan program “turba” (turun ke bawah) yang mengedepankan
doktrin “tiga sama”: sama bekerja, sama makan, sama tidur. Martin sebagai bekas
sastrawan Lekra dan wartawan Harian Rakjat, tambah Tatiana,
mestinya paham dengan kebijakan tersebut.
“Apa Martin sudah lupa [dengan kebijakan Lekra]?
Mao juga mengajarkan rakyatnya untuk belajar kepada kaum tani,” ujarnya.
Fragmen lain yang tidak berkenan bagi Tatiana
adalah ketika Martin menceritakan nasib Sobron saat mula-mula tiba di Paris.
Martin menggambarkan Sobron tak ubahnya gelandangan yang tak habis dirundung
malang.
“Bro dan kawan-kawannya yang bertubuh kecil itu,
menyeret-nyeret kaki, luntang-lantung mencari jalan untuk bertahan hidup.
Didorong angin musim panas, terkadang Bro yang gembor kelihatan sempoyongan
seperti layang-layang putus tali teraju,” tulis Martin.
Ia menegaskan bahwa Sobron sudah ditunggu banyak
kawan yang lebih duluan menetap di Paris. Adik D.N. Aidit tersebut tidak
terdampar sendiri, juga tidak kelaparan di Paris.
“Lukisan patetis ini hanyalah fantasi!”
bantahnya.
Kegeraman Tatiana bertalu-talu. Saat Martin
melukiskan perjalanan hidup Sobron sebagai hidup yang tidak biasa dan tiada
tara, ia menyangkalnya dengan sinis, “Aduh, begitu dramatis dan penuh
heroisme!"
Ia menjelaskan bahwa kehidupan Sobron sama seperi orang
kebanyakan: makan, minum, dan tidur gratis. Ia menambahkan, istrinya meninggal
pun bukan karena “hukuman” atau “siksaan” atau tidak bisa bayar ongkos
pengobatan.
Setelah menjelaskan hakikat Revolusi Kebudayaan
dan situasi politik Tiongkok pasca Mao Tse-Tung, serta menuduh orang-orang
Indonesia yang keluar dari Tiongkok dan hidup makmur di negeri-negeri maju
sebagai revisionis dan pendukung restorasi kapitalis Deng Xiao-ping, Tatiana
mengusulkan agar Martin mempelajari Revolusi Besar Kebudayaan Proletar.
“Usul saya kepada Martin, pelajari sendiri apa
sebenarnya hakikat dari RBKP. Jangan hanya menelan bulat-bulat propaganda
imperialis anti-Mao dan anti-komunis seperti mereka yang masing
‘mengunyah-ngunyah’ propaganda Orde Baru tentang peristiwa 1965,” ujarnya.
Tanggapan Martin Aleida dan Ihwal Sumber Sekunder
20 Juli 2017, Martin menanggapi kritik Tatiana yang cukup
panjang tersebut di status facebook-nya. Pendek dan santai
saja ia menanggapinya. Ia bahkan membuka facebook dalam perjalanan pulang
sehabis belanja dari Pasar Minggu. Sebuah foto menyertai: foto dirinya yang
tengah duduk di pagar tembok sebuah rumah. Ia bercelana pendek, mengenakan
sepatu, dan memegang dua buah jinjingan.
Dalam tanggapannya yang pendek tersebut, ia
menekankan pada tuduhan Tatiana tentang kaum imperialis dan orang-orang
Trotskyis yang menganggap Revolusi Kebudayaan sebagai hukuman dan siksaan,
serta sikap mereka yang meremehkan dan menghina kaum tani.
“[…] Saya senang dia cap saya sebagai Trotskyis,
budayawan yang saya kagumi. Ketika berkunjung ke Turki beberapa tahun lalu,
saya mampir ke pulau Buyucuda di mana Trotsky sempat bersembunyi dari persekusi
rezim Stalin sebelum dia terdampar di Meksiko tempat kepalanya dipenggal dengan
kampak oleh pemuja setan. Saya anjurkan Tatiana membaca Trotsky dalam Literature
and Marxism-nya Terry Eagleton dan meneliti Trotsky bukan dari tulisan
mereka yang berbulu dan berhati musang […],” tulisnya.
Kritik Tatiana terhadap karya Martin khususnya
cerpen Melarung Bro di Nantalu, awalnya dipicu saat Martin
berkomentar di acara diskusi buku karya Tatiana
berjudul Trotskyisme? Sosialisme di Satu Negeri atau Revolusi
Permanen? (2016) yang diadakan pada Mei 2017.
Kata Tatiana, Martin berkomentar dan menyatakan
pendapatnya terhadap buku tersebut bahwa ia tidak percaya pada tulisan yang
berasal dari sumber sekunder. Menanggapi hal tersebut, Tatiana menyebut bahwa
kalau begitu semua buku sejarah tidak ada yang patut dipercayai jika kita
mengikuti logika Martin.
“Lantas bagaimana mereka yang ingin menulis dan
menganalisa kejadian-kejadian sejarah yang para pelakunya sudah meninggal? […]
Tidak mungkin kita mewawancarai langsung, misalnya, Pangeran Diponegoro, atau
Lenin, atau Trotsky, atau Napoleon!” tambahnya.
Dua bulan setelah acara diskusi tersebut,
terbitlah tulisan Tatiana di Suluh
Indonesia daring, yang selain menyerang soal
Revolusi Kebudayaan, juga menyerang sumber yang digunakan Martin dalam menulis
cerpen Melarung Bro di Nantalu.
Karena beberapa fragmen kisah dalam cerpen
tersebut bertentangan dengan realita, maka Tatiana meragukan sumber
penulisannya. Ia tahu bahwa kisah yang diceritakan Martin adalah perjalanan
hidup Sobron Aidit, tapi ia meragukan apakah benar Sobron menceritakannya
langsung kepada Martin pengalamannya hidupnya selama di luar negeri? Karena hal
ini akan menentukan sumber tersebut, apakah primer atau sekunder.
Sampai di sana sebetulnya serangan
Tatiana sudah cukup untuk membalas ketidakpercayaan Martin terhadap sumber
sekunder dalam diskusi buku Trotskyisme? Sosialisme di Satu Negeri atau
Revolusi Permanen? (2016). Namun rupanya Tatiana meneruskannya dengan
sergapan lain.
“Anggaplah Martin bertolak dari sumber primer, karena ia tidak percaya pada
sumber primer sekunder. Bagaimana kalau sumber primernya itu berisi kebohongan
dan memutarbalikkan fakta, seperti yang terjadi pada Melarung Bro di
Nantalu?” ujarnya.
Dari sini kemudian Tatiana menjelentrehkan kehidupan Sobron Aidit saat di
Tiongkok dan Paris, kehidupan orang-orang Indonesia di Tiongkok saat terjadi
Kebudayaan Revolusi, dan pandangannya terhadap orang-orang yang ia anggap
sebagai pengkhianat.
Karena buku Trotskyisme? Sosialisme di Satu Negeri atau Revolusi
Permanen? (2016) dan cerpen Melarung Bro di Nantalu adalah
dua teks yang berbeda, yang satu fiksi dan satu lagi nonfiksi, maka Martin
dalam status facebooknya menjawab:
“Sayang eksil yang pernah menetap lama di Kubanya Castro ini tak bisa
membedakan cara membaca fiksi dan nonfiksi. Dia jadikan kenyataan literer dalam
cerita pendek saya sebagai fakta historis,” tulisnya.
Tanggapan Martin di Facebook kemudian ditanggapi lagi
oleh Tatiana di media yang sama dengan tulisan pertamanya, yang membuat
persoalan menjadi berlarat-larat. Karena disebut tak bisa membedakan teks fiksi
dan nonfiksi, pada tulisannya yang kedua ini Tatiana berusaha memblejeti apa
yang dimaksud dengan cerita fiksi.
Ia memperkuat argumennya dengan mengutip Hilmar Farid yang ikut mengomentari
cerpen Melarung Bro di Nantalu. Menurut Hilmar Farid, cerpen
tersebut menghidupkan pertanyaan lama tentang batas prosa dan puisi, fiksi dan
fakta, dalam hal ini obituari dan cerita.
“Bahkan, menurut Hilmar, obituari! Obituarinya Sobron Aidit!” tulis Tatiana yang
tengah berargumen bahwa Melarung Bro di Nantalu menceritakan
kehidupan nyata, bukan rekaan.
Setelah itu Tatiana kembali tancap gas dengan menyerang Martin soal sumber
sekunder lagi. Lalu soal Trotsky dan Lenin.
Tulisan keduanya ini tak ditanggapi oleh Martin. Perdebatan terhenti. Dan hanya
menyisakan serak jejak digital.
Saat dihubungi Tirto.id, Selasa (13/3/2018), apakah dia ada
tanggapan lain yang lebih komprehensif terhadap kritikan Tatiana, Martin Aleida
hanya menjawab singkat, “Tidak! Saya tidak tertarik pada Tatiana. Ibarruri
(anak sulung D.N. Aidit) bilang, 'cuma Tuhan yang tidak (dia) debat.' Salam.”
(irf)