17 March 2015

Cikadut - Panyandaan; Terasing dalam Hidup dan Mati



Waktu Mang Asep (pegiat Aleut) menjelaskan sejarah pemakaman seorang Letnan Cina dengan menggunakan gambar lawas, saya tiba-tiba membayangkan betapa jauh dan lelahnya mengantarkan seseorang yang telah meninggal menuju tempat istirahatnya yang terakhir. Bagaimana tidak, gambar tersebut adalah iring-iringan pengantar jenazah yang sedang berada di depan gedung de Vries (simpang Asia-Afrika dan Braga), menuju ke Cikadut. Menyusuri panjangnya Jalan Raya Pos dengan kereta jenazah yang didorong tentu bukan hal yang mudah, apalagi perjalanannya dimulai dari Citepus!

Adalah Tan Djoen Liong, seorang Letnan Cina yang pernah memimpin orang-orang Cina di Bandung selama 29 tahun, jenazah yang sedang diantarkan itu. Beliau meninggal pada usia 58 tahun (1859-1917), kini makamnya (bong) terletak di tanah yang membukit, seperti hendak mengawasi kehidupan orang-orang yang berada di bawah.

Deretan bong pay (nisan) yang meluas-panjang sampai ke Cimenyan, buat saya menyisakan beberapa pertanyaan; kenapa pemakaman dipisah-pisah berdasarkan agama, kepercayaan, dan bahkan etnis? Tidak cukupkah sewaktu hidup garis batas-garis batas itu menjadi pemicu konflik dan stereotip?

Dari semenjak pemakaman Banceuy dipindahkan, pengelompokkan itu sudah ada. Makam orang-orang Eropa pindah ke Kebon Jahe yang sekarang menjadi GOR Pajajaran, makam orang-orang Cina ke Babakan Ciamis (Us Tiarsa dalam buku Basa Bandung Halimunan menyebutnya Bong), dan orang-orang pribumi yang mayoritas muslim ke Astana Anyar. Entah apa yang dikehendaki Belanda dari pemisahan komplek pemakaman ini. Dan sampai sekarang pemisahan ini masih berlaku.

Jika alasannya menyangkut teknis pemakaman, karena misalnya orang muslim harus menghadap kiblat, dan orang Cina (yang non muslim tentu saja) harus menghadap tempat yang disenangi mendiang sewaktu hidupnya, saya pikir hal ini masih bisa disiasati dengan menata letak. Sejarah yang memanjang ke belakang telah mencatat tentang konflik dan kerusuhan antar etnis dan agama, maka pemisahan komplek pemakaman ini seperti hendak mengabadikan luka; bahwa ya, kita memang berbeda, dan tak dapat disatukan.

Pecinan sebagai simbol pembeda (keterasingan) antara keturunan Cina dengan etnis lain ternyata berlanjut sampai pasca kematian. Di bukit-bukit, jenazah-jenazah yang rabuk persemaian atau abu dingin dalam tempat-tempat yang kerap dido’akan, lagi-lagi terasing dari leburnya pergaulan agama dan etnis.

Tapi saya pun bisa bersangka baik; mungkin pemisahan ini untuk mempermudah kerja-kerja statistik, atau mungkin juga untuk kenyamanan ritual pemakaman tiap-tiap agama.


Sebagaimana sejarah yang tak melulu hitam-putih, tak semuanya bisa dikategorikan pada dua kutub antara kawan dan lawan, demikian juga dengan komplek pemakaman. Pukul rata tidak berlaku di Cikadut, sebab di antara makam-makam bernisan tulisan Cina dan dilengkapi dengan simbol Dewa Langit dan Dewa Bumi tersebut, ternyata ada juga makam orang-orang Kristen yang ditandai dengan salib, juga ada makam orang Cina keturunan yang beragama Islam.

Ibu Djuhriah salahsatunya. Di nisan mantan guru kepala di SD Priangan tersebut bertuliskan aksara Arab yang berbunyi; Inna lillahi wainnailaihi rojiun (Sesungguhnya kami berasal dari Alloh, dan kepada Allohlah kami kembali). Konon guru muslim itu masih keturunan Cina. Murid-murid sekolah dasar di sekolah bekas Ibu Djuhriah mengabdi semasa hidupnya, kerap berziarah ke makam ini ketika hendak menjalani ujian. Entah mendo’akan orang yang telah meninggal, atau malah sebaliknya. Sebab kedua hal ini kadang-kadang dipisahkan oleh selaput tipis.

Selain itu, ada juga satu makam yang dinisannya bernama Ibu Ipoh. Di nisan ini pun bertuliskan aksara Arab, dan bahkan di simbol Dewa Bumi pun tulisannya memakai huruf Arab yang bunyinya : Dewa Tanah. Dua nisan tersebut hanyalah contoh kecil, karena mungkin di dalam komplek pemakaman Cikadut yang luas masih terdapat nisan-nisan orang Islam yang lain.  

***


“Islam datang dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali asing sebagaimana kedatangannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.” (HR. Muslim)

Selepas Cikadut, jika diteruskan ke atas, maka akan sampai ke Panyandaan. Di sana ada bukit yang cukup terjal, jalan untuk kendaraan yang kemiringannya membuat kesal para pejalan kaki adalah bukti. Di puncak bukit, selain ada dua situs pra Islam, juga terdapat sebuah pesantren yang bernama Baitul Hidayah.

Pesantren yang lokasinya jauh dari perkampungan ini dihuni oleh sekira (baru) 100 santri. Hal ini selain dipengaruhi oleh letaknya yang susah dijangkau, juga karena masih terbilang baru, berdirinya di tahun 2010. Dari dua orang santri yang kebetulan sedang duduk di dekat situs tersebut, diketahui bahwa setiap santri hanya diperbolehkan pulang ke rumah sebanyak dua kali dalam setahun, atau satu semester sekali. Kedua santri yang ajak bicara itu berasal dari Sukajadi dan Ciburial-Dago.

Selain pondok pesantren yang menekankan mempelajari kitab kuning (di antaranya Fathul Barri dan Riyadus Solihin--yang kini terjemah bahasa Indonesianya sudah beredar luas), di sana juga terdapat jenjang pendidikan setingkat SMA dan SMP. Namun sebagaimana umumnya pondok pesantren, setelah lulus SMA santri tidak boleh langsung keluar, harus mengabdi dulu di pondok selama setahun. Di lingkungan pesantren semua santri diwajibkan berkomunikasi memakai bahasa Arab dan bahasa Inggris, tapi rupanya kurang ketat—buktinya saya bisa berkomunikasi memakai basa Sunda dengan mereka. Sementara ini Ponpes Baitul Hidayah di Panyandaan belum menerima santri putri, mungkin karena keterbatasan tenaga pengajar.   

Hal-hal demikian, yaitu; cara berkomunikasi, bahan bacaan, pengabdian setahun, dan jarang pulang tentu tidak terlalu aneh, sebab di pondok pesantren di seantero Pulau Jawa hal tersebut hampir sama. Yang menarik buat saya justru pemilihan tempat. Berlokasi di puncak bukit dan jauh dari keramaian, membuat pesantren ini seolah-olah ingin mengasingkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan masyarakat luas.

Mungkinkah tujuannya ingin seperti bunyi hadits yang saya tulis di atas? Entah, sebab setahu saya kata “asing” di hadits tersebut bukan merujuk pada letak geografis, namun lebih kepada penerimaan umat terhadap ajaran Islam. Istilah “Islam KTP” dan semua turunannya mungkin lebih tepat untuk menggambarkan kata “asing” tersebut. Artinya, antara Islam sebagai ajaran dan pemeluknya ada jarak yang jauh, yang mungkin bisa dijembatani oleh sesuatu yang bernama taqwa.

Namun lagi-lagi, karena secara normatif mengedepankan prasangka itu kurang elok, mungkin lebih baik pertanyaan-pertanyaan tersebut diendapkan dulu.

***

Dari dua tempat yang dikunjungi itu, saya mendapuk kata “asing” menjadi man of the match di perjalanan kali ini. Pada pengelompokan kuburan dan pesantren yang menjauh dari khalayak ramai, menguar aroma keterasingan yang tajam—yang kemudian memicu sederetan pertanyaan.

Tak apa, sebab seperti kata Socrates; hidup yang tak pernah dipertanyakan, tidak layak untuk dilanjutkan. [ ]



Foto : Arsip Irfan TP

1 comment:

Jny said...

Kenapa ga interview langsung ke pemiliknya? Hehehe... Alhamdulillah pesantren ini milik (perorangan) seorang mualaf (mantan aktivis gereja)yang mendapat hidayah melalui sang anak...dan diutamakan utk anak2 duafa/yatim/yatim piatu yang ingin mendapat pendidikan (tdk mampu bersekolah)