08 December 2019

Sejarah Panjang Pembakuan Bahasa Indonesia



Standar ejaan bahasa Indonesia terus berubah. Ia menyesuaikan diri dengan situasi dan tantangan zamannya.

Pada abad ke-16, “perempuan” masih “poran poan”, “saudara sepupu” masih “saudala sopopu”, dan “kening” masih “cenin”. Itulah contoh sejumlah lema dalam daftar kata bahasa Melayu yang ditulis dalam akrasa Latin yang disusun oleh Pigafetta, bertajuk Vocabuli de Questi populi mori (1522).

Karya tersebut sebetulnya kurang tepat disebut sebagai ejaan Latin untuk bahasa Melayu, sebab Pigafetta menulisnya berdasarkan pendengarannya terhadap ucapan orang Melayu, dan menuliskannya dalam ejaan huruf Latin menurut ejaan Italia.

Sebelum daftar kata susunan Pigafetta lahir, bahasa Melayu kuno telah dikenal dalam sejumlah prasasti dengan memakai huruf Pallawa pada zaman Kerajaan Sriwijaya. Bahasa tersebut banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta, dan huruf Latin belum digunakan.

Aktivitas niaga membuat bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa pergaulan atau lingua franca di antara para pedagang yang berlainan bahasa. Lama-kelamaan bahasa ini secara merata berkembang di kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat lalu lintas perniagaan.

Dalam Ikhtisar Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia (1998) Lukman Ali menerangkan, para pedagang Cina berusaha mengetahui sebanyak-banyaknya bahasa Melayu untuk melancarkan aktivitas perdagangannya. Mereka berhasil menyusun sebuah daftar kata Cina-Melayu yang berisi sekitar 500 lema. Daftar kata ini dianggap sebagai leksikografi bahasa Cina-Melayu tertua.

Kehadiran orang-orang Arab dalam aktivitas perdagangan juga memengaruhi penulisan bahasa Melayu sehingga berkembang huruf Arab-Melayu.

“Penulisan ini dipakai dalam naskah-naskah Melayu lama, seperti dalam karya-karya sastra dan buku-buku pelajaran agama Islam,” tulis Ali.

Pertengahan abad ke-17, sejumlah orang Belanda seperti Frederick de Houtman, Casper Wiltens, Sebastianus Dancakerst, Joanes Roman, menuliskan kata-kata Melayu dalam ejaan bahasa Belanda, seperti misalnya “kardja’an” untuk “kerajaan”, “elmou” untuk “ilmu”, dan “kolouar” untuk “keluar”.

Sampai akhir abad ke-19, bahasa Melayu belum distandarkan oleh pihak kolonial. Lukman Ali mencurigainya sebagai kesengajaan Belanda agar bahasa tersebut tidak menyatukan Indonesia.

Barulah pada awal abad ke-20—mungkin didorong untuk kepentingan penelitian—Belanda membuat pembakuan lewat Kitab Logat Melajoe yang disusun oleh Charles Adriaan van Ophuijsen (sarjana bahasa Melayu yang juga pernah menulis mengenai bahasa Batak dan Minangkabau), dan dibantu oleh Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer serta Moehammad Taib Soetan Ibrahim pada 1901. Dari sinilah sejarah pembakuan bahasa Melayu yang selanjutnya menjadi bahasa Indonesia bermula.


Dari Ejaan Soewandi sampai Konfrontasi

Setelah Sumpah Pemuda 1928, ada desakan dari masyarakat terutama para ahli bahasa untuk menyempurnakan Ejaan Ophuijsen. Maka pada 1938, digelar Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, dan baru pada 1947 ejaan baru hadir dengan nama Ejaan Soewandi, diambil dari nama Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Sebagian masyarakat menyebutnya sebagai Ejaan Republik.

Setelah pengakuan kedaulatan, ada dorongan lagi untuk membuat ejaan bahasa Indonesia menjadi lebih praktis. Maka pada Kongres Bahasa Indonesia II di Medan tahun 1954 yang diprakarsai Muhammad Yamin, diputuskan adanya suatu badan yang menyusun peraturan ejaan yang praktis bagi bahasa Indonesia.

Keputusan tersebut lengkapnya sebagai berikut: (1) Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu huruf, (2) Penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh suatu badan yang kompeten, dan (3) Ejaan itu hendaknya praktis tetapi ilmiah.

Untuk menindaklanjuti keputusan tersebut, pemerintah kemudian mengangkat panitia ejaan yang menghasilkan sistem ejaan baru pada 1957 dengan nama Ejaan Pembaharuan.

Namun ternyata ejaan baru hampir tak berumur panjang, sebab sejumlah negara tetangga seperti yang hadir pada Kongres Bahasa Indonesia II lewat utusan yang bernama Persekutuan Tanah Melayu, menyampaikan gagasan untuk menyatukan Ejaan Bahasa Melayu di Semenanjung Melayu dengan Ejaan Bahasa Indonesia.

Perjanjian persahabatan kemudian dibuat dan melahirkan konsep Ejaan Melayu-Indonesia atau Ejaan Melindo meski belum diresmikan. Namun, situasi politik buru-buru menjegal konsep ejaan ini. Konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia yang dikenal dengan propaganda “Ganyang Malaysia” membatalkan konsep ejaan ini.

“Orang ramai hanya tahu ada Ejaan Melindo, tetapi tidak tahu rupa bentuknya,” tulis Asmah Haji Omar dalam Muafakat Bahasa (2004).


Legenda EYD dan Kelahiran PUEBI

Seperti sejumlah nama menteri dalam pemerintahan Orde Baru yang rata-rata banyak diketahui dan dihafal masyarakat karena jarang diganti, ejaan bahasa Indonesia pun mengalami hal serupa. Tahun 1972, pemerintah lewat Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972 meresmikan lagi ejaan baru yang bernama Ejaan yang Disempurnakan (EYD).

Ejaan ini bertahan selama empat puluh tahun lebih dan seolah telah menjadi legenda. Sering dijumpai dalam percakapan sehari-hari di masyarakat tentang ejaan ini, seperti misalnya, “Sesuai dengan EYD gak tuh?” saat seseorang menuliskan kata atau frasa atau kalimat.

Usia penggunaannya yang panjang, membuat ejaan ini mampu menemani seseorang dalam menghabiskan masa pendidikan formalnya, sejak usia dini sampai perguruan tinggi. Bahkan saat seorang anak baru belajar mengucapkan kata, ejaan ini telah menantinya, dan terus mengiringinya sampai anak itu berbaju toga. Dan barangkali pada beberapa kasus, usia ejaan ini lebih panjang daripada umur seseorang.

Belakangan, tanpa diketahui banyak orang, sebuah ejaan baru telah hadir sejak 2016, yakni Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).

“Pedoman ini disusun untuk menyempurnakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Pedoman ini diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan bahasa Indonesia yang makin pesat,” demikian tulis Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa saat itu dalam pengantar pedoman tersebut.

“Menyempurnakan yang telah disempurnakan”, demikian tujuan PUEBI lahir. Rupanya apa yang sebelumnya disebut sempurna, ternyata belum tentu dianggap sempurna pada waktu-waktu kemudian.

Kita barangkali mesti merevisi arti kata “sempurna”, agar ia tak cacat makna. Contoh itu menunjukkan bahwa pembakuan bahasa seyogianya cair, luwes, tidak kaku, sebab berpotensi melahirkan para polisi bahasa. (irf)



Ket:

- Tayang pertama kali di tirto.id pada 15 Juli 2019
- Foto: republika.co.id

2 comments:

KATILAYU Durian said...

Thanks for share, artikelnya menarik,.

Irfan Teguh said...

Sama-sama, terima kasih.