10 November 2021

Hikayat Panjang Banjir di Bandung


Banjir di Bandung, terutama di sejumlah daerah di sekitar tepi sungai Citarum, adalah kisah berulang. Setiap tahun, pelbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi atau bahkan mencegahnya. Dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Namun, kabar belum juga berubah.

Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Rancaekek, Cileunyi, Majalaya, Cicalengka, Kutawaringin, dan Ibun, yang semuanya masuk wilayah Kabupaten Bandung, menjadi langganan banjir ketika musim hujan datang.

Salah satu daerah yang paling parah mengalami banjir adalah Dayeuhkolot. Sebagai contoh, sejak Selasa (9/4/2019), di sejumlah kanal media sosial beredar video tentang seorang 
suami menggendong istrinya yang tengah hamil menembus banjir setinggi leher.


Pemindahan Ibukota

Sejak wilayah Priangan dimekarkan oleh Sultan Agung setelah penangkapan Dipati Ukur pada 1632, ibukota Kabupaten Bandung mula-mula berada di daerah yang dulu bernama Karapyak, terletak persis di tepi sungai Citarum. Daerah ini kelak bernama Dayeuhkolot yang artinya kota tua.

Setelah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels merampungkan pembangunan Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) yang terbentang dari Anyer sampai Panarukan, ia memerintahkan kepada sejumlah bupati untuk memindahkan ibukota kabupaten.

Di Priangan, ibukota yang harus dipindahkan ke tepi Jalan Raya Pos adalah ibukota Kabupaten Bandung dan Kabupaten Parakanmuncang. Lewat surat keputusan bertitimangsa 25 Mei 1810, Daendels memerintahkan Bupati Bandung Wiranatakusumah II untuk memindahkan ibukota ke tepi Jalan Raya Pos.

Zorg, dat als ik terug kom hier een stad in gebouwd!” (Coba usahakan, bila aku datang kembali ke sini telah dibangun sebuah kota!)” ucap Daendels kepada Wiranatakusumah II seperti terdapat dalam Sejarah Kota Bandung 1945-1979 (1985) yang ditulis oleh Edi S. Ekadjati dan kawan-kawan.

Konon, Daendels berkata seperti itu sambil menancapkan tongkat di pinggir Jalan Raya Pos yang kini menjadi titik nol kilometer Kota Bandung di sisi Jalan Asia Afrika. Pemindahan sejumlah ibukota kabupaten tersebut dilakukan untuk memudahkan koordinasi.

Dalam laporan jurnalistik Kompas yang bertajuk Ekspedisi Anjer-Panaroekan (2008) disebutkan, Jalan Raya Pos mula-mula difungsikan untuk memperlancar komunikasi antara Batavia dengan daerah-daerah di Jawa. Setelah selesai dibangun, jalan ini mampu memangkas waktu tempuh pengiriman pesan dan surat.

“Semula dari Batavia ke Surabaya memerlukan waktu tempuh satu bulan. Dengan adanya jalan ini, waktu tempuh menjadi 3 sampai 4 hari saja,” tulis Kompas.

Selain itu, jalan ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan militer. Ketika Daendels tiba di Hindia Belanda, posisi angkatan perang Inggris telah mengancam Jawa. Jadi, jika suatu saat Inggris menyerang Jawa, maka jalan ini digunakan untuk mobilitas pasukan Belanda.

“Apa pun tugas yang dikatakan diembannya, yang terpenting adalah pertahanan militer terhadap serangan Inggris,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005) menerangkan tugas Gubernur Jenderal tersebut.

Kisah tentang pembangunan Jalan Raya Pos inilah yang menjadi narasi utama dalam pelbagai catatan sejarah tentang pemindahan ibukota Kabupaten Bandung dari Karapyak ke sekitar Alun-alun Bandung sekarang. Pemindahan ibukota ini pula yang sekarang dijadikan sebagai 
hari ulangtahun Kota Bandung.


Banjir dan Inisiatif Wiranatakusumah II

Narasi tersebut tidak sedikit pun menyinggung soal banjir yang kerap menerjang Karapyak yang letaknya di tepi sungai Citarum. Namun, menurut catatan Haryoto Kunto dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), satu tahun sebelum turun perintah Daendels, Wiranatakusumah II telah berinisiatif hendak memindahkan ibukota Kabupaten Bandung ke arah utara karena sering dilanda banjir.

Mula-mula Wiranatakusumah II mencari lokasi baru untuk ibukota Kabupaten Bandung di daerah Bojonagara, tepatnya di Kampung Cikalintu, dekat masjid besar Jalan Cipaganti sekarang.

“Di tempat itu, pertama kali Wiranatakusumah II membangun rumah tinggalnya” tulis Kunto.

Ia menambahkan, Kampung Cikalintu dipilih Wiranatakusumah II sebagai calon ibukota baru berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, mengacu pada catatan Andries de Wilde (tuan tanah di daerah Priangan), yang menyebut lahan sebelah selatan adalah daerah basah yang berawa-rawa. Sementara daerah Bandung utara lebih cocok untuk permukiman karena hawanya sejuk dan lingkungannya sehat.

Alasan kedua, sebelah utara Bandung terdapat sejumlah perkampungan penduduk seperti Kampung Balubur, Kampung Gadog, Dago, Gegerkalong Girang, dan Babakan Bogor.

Dan pertimbangan ketiga adalah karena daerah tersebut memenuhi syarat kepercayaan lokal, yakni bekas kubangan badak putih yang berarti lahan itu memiliki sumber air, baik berupa mata air ataupun aliran sungai.

Tidak jauh dari Kampung Cikalintu yang dipilih oleh Wiranatakusumah II, memang terdapat mata air Pancuran Tujuh di daerah Cikendi, Ledeng di daerah Jalan Setiabudi, dan Sungai Cikapundung. Dan tak jauh dari sana terdapat juga daerah yang bernama Rancabadak. Dulu orang Bandung menyebut Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan sebutan Rumah Sakit Rancabadak.

Namun, saat perintah pemindahan ibukota turun, ternyata Kampung Cikalintu jaraknya jauh dari Jalan Raya Pos. Oleh karena itu Wiranatakusumah II mencari lokasi lain. Pilihan selanjutnya adalah Babakan Bogor yang sekarang bernama Kebonkawung (daerah sekitar Stasiun Bandung).

Babakan Bogor juga memenuhi syarat lokal dengan terdapatnya mata air Ciguriang yang sampai sekarang masih ada, dan dulu dijadikan sebagai pusat mencuci oleh para penatu.

“Namun, rupanya Kebonkawung (Babakan Bogor) masih belum memenuhi syarat buat mendirikan kabupaten beserta alun-alunnya,” imbuh Kunto.

Akhirnya, Wiranatakusumah II menemukan lokasi yang cocok sebagai ibukota, yakni di sisi Jalan Raya Pos dan tak jauh dari aliran Sungai Cikapundung. Selain itu, di lokasi ini pun terdapat sejumlah mata air yang disebut Sumur Bandung.

Jika dibandingkan dengan perintah Daendels untuk memindahkan ibukota ke sisi Jalan Raya Pos, pemilihan lokasi yang dilakukan oleh Wiranatakusumah II ternyata sesuai. Narasi ini barangkali versi lokal untuk menafikan atau setidaknya tidak terlalu mengagungkan pengaruh kolonialisme dalam peristiwa pemindahan ibukota Kabupaten Bandung.

Dan dari keseluruhan kedua versi ini, banjir di Bandung tempo dulu tak terlampau banyak dikisahkan. (irf)

02 November 2021

Hikayat Jersi Sepakbola

Dulu di kampung, orang-orang menyebut seragam sepakbola sebagai “kaos tim”, atau biasa disingkat “kostim”. Belakangan, saat liga sepakbola Eropa begitu populer, sebutan itu berubah menjadi jersey atau jersi.

Jersey adalah nama pulau di Kepulauan Britania. Konon dari pulau inilah jersi bermula.

Memasuki usia kuliah, saya hampir sepenuhnya meninggalkan sepakbola. Maka itu, tak ada ketertarikan untuk membeli jersi. Namun ironisnya, di masa kuliah pula saya pertama kali memakai jersi untuk dipakai sehari-hari.

Jersi pertama saya sebetulnya milik si Zul, kawan kuliah, orang Bukittinggi. Tak inget betul bagaimana akhirnya jersi itu bisa beralih ke tangan saya. Jersi tersebut adalah Real Madrid away 2000/2001, warnanya hitam dengan trigaris Adidas berwarna oranye. Kainnya tipis tapi adem, maklum KW. Sering banget saya pakai sehari-hari sampai kemudian hilang entah ke mana.

Tahun 2009, saya mulai kerja di Pulogadung dan mulai menyukai lagi sepakbola, tapi sebatas menonton Liga Inggris. Karena bosan dengan klub-klub besar, maka saya memilih satu klub medioker: West Ham United (WHU). Bersama si Oki, kawan sekosan, saya membeli jersi WHU home 2012/2013 yang tentu saja KW, di Pasar Ular. Sayang agak kekecilan.

Jersi selanjutnya adalah Arsenal home 2012/2013, dikasih si Jun, juga kawan sekosan, yang berjualan baju Muslim di ITC Cempaka Mas. Maklum karena bukan suporter fanatik, maka dia mudah saja menghibahkan jersi klub favoritnya. Karena sering dicuci, tulisan “Fly Emirates”-nya pelan-pelan menghilang.

Warsa 2014 saya keluar dari pekerjaan di Pulogadung dan kembali ke Bandung. Masih mendukung WHU meski jarang nonton. Saya kemudian membeli jersi WHU home 2015/2016 dengan uang honor tulisan. Saat basecamp komunitas tempat saya tinggal pindah, jersi itu hilang.

Tahun-tahun berikutnya saya kembali kerja di Jakarta, dan baru membeli jersi WHU lagi yang musim 2020/2021 (home). Musim berikutnya, WHU home datang lagi, tapi kali kekecilan, akhirnya dipakai istri.

Di tengah penampilan WHU yang kian membaik, AC Milan—klub favorit masa kecil—hadir dengan jersi home 2020/2021 yang sangat ciamik. Demi nostalgia, saya menukarnya dengan sejumlah uang.

Setahun kemudian saya mulai mengikuti lagi pertandingan-pertandingan bulu tangkis para pemain Indonesia. Mulai dari Olimpiade Tokyo, Piala Sudirman, Piala Thomas, Piala  Uber, Denmark Terbuka, hingga Prancis Terbuka. Di tengah demam bulu tangkis, saya akhirnya membeli dua raket Lining super KW dengan bonus tempat raket dan grip handuk.

Mula-mula kami hanya bermain di depan rumah dan di Cieunteung, tapi kemudian sejumlah kawan mengajak bermain di GOR yang kesannya lebih serius dan bebas angin. Karena saya cepat berkeringat dengan jumlah banyak, maka jersi pun saya tambah untuk bermain bulu tangkis.

Jersi sepakbola yang dibeli dengan niat untuk dipakai bermain bulu tangkis mula-mula adalah Persib home 2021/2022. Inilah pertama kalinya saya membeli jersi original, meskipun hanya jersi edisi suporter yang harganya pun jauh di bawah jersi original player issue.      

Kini saya tengah menunggu kedatangan jersi Ajax away 2021/2022 yang dibeli dari market place.  

Saya kira, menjadi Ucup Bajaj Bajuri seru juga, meskipun jersi-jersi itu kebanyakan hanya saya pakai saat bermain bulu tangkis. [ ] 

21 September 2021

The Lowland: Ketika Ideologi dan Keluarga Tak Bisa Berdamai

 

Udayan dan Subhash adalah adik kakak yang lahir dan tinggal di Tollygunge, Kolkata Selatan, Benggala Barat, India. Usia keduanya terpaut 15 bulan. Sewaktu kecil, mereka selalu bersama-sama, termasuk saat “menembus” tembok Tolly Club, wilayah bekas orang-orang Inggris bermain golf. Hingga suatu saat mereka ketahuan polisi club yang sedang berpatroli dan menghukumnya.

Sejak kecil, Udayan lebih aktif dibanding kakaknya. Hal ini terbawa hingga besar. Ketika Subhash meneruskan kuliah ke Amerika Serikat, Udayan justru memilih menjadi guru dan bergabung dengan salah satu partai komunis di India. Ia bersama para kameradnya bergerak secara klandestin dan kerap menjadi buruan aparat.

Sementara Udayan akhirnya menikahi Gauri, adik kawannya, Subhash justru terlibat percintaan dengan Holly, perempuan setengah baya yang punya satu anak dan telah berpisah dengan suaminya.

Pernikahan Udayan dengan Gauri tak direstui keluarga kedua belah pihak. Gauri telah diusir, kecuali oleh kakaknya. Namun, meski orang tua Udayan tidak merestui, mereka masih mau menerima pasangan muda itu untuk tinggal di Tollygunge.

Jarak yang begitu jauh memisahkan Udayan dengan Subhash membuat mereka tidak mengetahui kondisi masing-masing yang sebenarnya. Udayan tidak tahu jika Subhash menjalin hubungan dengan Holly. Sementara Subhash tidak tahu jika Udayan kian aktif di partai komunis yang kian membahayakan dirinya. Hingga suatu hari sebuah telegram datang ke Rhode Island, AS, tempat tinggal Subhash:

“Udayan tewas. Pulanglah jika kamu bisa.”

***

Ketika Udayan tewas diberondong oleh polisi, dia tidak tahu jika Gauri, istrinya, tengah mengandung. Di Tollygunge, Subhash mendapati bahwa kedua orang tuanya terlihat tidak menyayangi Gauri: restu belum juga diberi sejak pernikahan. Mereka hanya menunggu Gauri melahirkan. Rencananya mereka akan merawat anak Udayan dan mengusir ibunya.

Subhash mengambil keputusan penting. Dia menikahi Gauri demi menyelamatkan mantan istri adiknya beserta anaknya dari kesewenang-wenangan orang tuanya. Setelah melewati pelbagai ketegangan, Gauri akhirnya berangkat ke AS untuk menyusul Subhash.

Selama mengandung, Subhash tak berani menyentuh Gauri, yang kini telah menjadi istrinya. Komunikasi mereka juga masih kaku. Bagaimana tidak, dari ipar menjadi istri sendiri.

Gauri akhirnya melahirkan anak perempuan yang diberi nama Bela. Sejak punya anak, Gauri yang masih dihantui tragedi pembunuhan Udayan merasa hampa, dia tak terlalu sayang kepada Bela dan Subhash. Hal ini kemudian mencapai puncaknya. Saat Subhash dan Bela baru pulang dari India karena ayahnya meninggal, Gauri telah meninggalkan mereka dengan meninggalkan sepucuk surat yang ditulis memakai bahasa Bengali:

“Aku tidak membuat keputusan ini dengan tergesa-gesa. Dari segala segi, aku telah memikirkannya selama bertahun-tahun. Kamu berusaha sebaik-baiknya. Demikian juga aku, tetapi tidak juga ketemu. Kita telah berusaha untuk meyakini bahwa kita akan menjadi teman satu sama lain.

…………………………………………………………..

Selamat, Subhash. Dan juga selamat tinggal. Sebagai balasan atas semua yang telah kamu lakukan untukku, aku tinggalkan Bela untukmu.”

Gauri pergi ke California untuk mengajar di sebuah kampus. Sementara Subhash memutar otak bagaimana menyampaikan perpisahan ini kepada Bela yang masih kecil. Tapi waktu akhirnya mampu mengatasi segalanya. Bela beranjak dewasa. Setelah lulus kuliah, dia bertualang ke pelosok AS, menyambangi para petani, orang-orang miskin, dan mengajar anak. Aktivitasnya menyerupai Udayan, ayahnya yang tak pernah ia lihat, yakni menolong masyarakat.

Ketika Subhash mulai menua, ibunya di India telah pikun. Subhash kembali hidup sendirian: tanpa Udayan, tanpa Gauri, tanpa Bela, tanpa kedua orang tuanya. Hingga suatu saat, seorang perempuan seusianya, sama-sama tua, yang sudah punya anak dan cucu datang dalam hidupnya. Selain itu, Bela akhirnya kembali ke Rhode Island, ia mengandung. Setelah lahir, anaknya diberi nama Meghna.

***

“Berani-beraninya kamu menapak di rumah ini!” kata Bela kepada Gauri saat ibunya datang ke rumah Subhash di Rhode Island.

“Keluar. Pergilah kembali pada apa pun yang lebih penting,” lanjut Bela.

Gauri akhirnya pergi, meninggalkan cucu dan anaknya yang tak akan pernah memaafkannya. Ia bahkan tak sempat bertemu dengan Subhash, suaminya.

***

The Lowland atau Tanah Cekung yang tebalnya 591 halaman, secara getir menggambarkan bagaimana ideologi dan keluarga yang tak terdamaikan. Tragedi kematian Udayan membawa persoalan yang rumit bagi orang-orang terdekatnya, dan berkelindan selama puluhan. Kasih sayang raib, yang ada hanya kosong.

Hubungan Subhash dan Gauri yang dingin dan gagal, juga bagaimana Bela selama puluhan tahun tidak tahu siapa ayah sebenarnnya, dan dengan kejam ditinggalkan begitu saja oleh ibunya. Sementara Gauri yang cintanya tercerabut bersamaan dengan tewasnya Udayan, tak mampu lagi membangun hubungan rumah tangga untuk selamanya. Hatinya telah tandus.

Begitu pula kedua orang tua Udayan. Mereka hanya bisa diam di tengah peristiwa yang membuat jiwa keduanya remuk redam. (irf)

12 September 2021

Interpreter of Maladies: Kisah Penuh "Luka" yang Dituturkan Secara Hangat dan Menggugah

Perjumpaan saya dengan karya-karya Jhumpa Lahiri adalah perjumpaan yang memutar. Mula-mula saya menyukai film. Dan salah satu sutradara favorit saya adalah Mira Nair. Film karya Mira Nair yang pertama kali saya tonton adalah sebuah omnibus berjudul New York, I love You (2009) saat diputar di Jakarta International Film Festival (JIFFes). Selanjutnya adalah film Amelia (2009), biopik penerbang Amelia Earhart yang hilang di perairan Pasifik.

Setelah itu saya mulai mencari film-film Mira Nair yang lain, dan ketemulah The Namesake (2006), film tentang pergulatan identitas yang diangkat dari novel Jhumpa Lahiri dengan judul sama. Seperti dua film sebelumnya, The Namesake juga begitu memukau hingga akhirnya saya mencari novelnya hingga dapat. Nah, mulai saat itulah saya berkenalan dengan karya Jhumpa Lahiri.

Setelah menamatkan novel The Namesake (2003), saya langsung menjadi penggemar baru Lahiri. Pengarang perempuan keturunan India ini benar-benar piawai dalam bertutur. Rangkaian kalimatnya begitu jernih, jauh dari rumit. Dia tak bergenit-genit dengan metafora dan majas lainnya. Ketekunan dan kesabarannya dalam menggambarkan latar cerita dan detail-detail lainnya begitu mengagumkan.

Sayang sekali, setelah novel The Namesake, saya kesulitan menemukan buku-buku Lahiri yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sempat suatu kali ada bukunya yang berjudul The Lowland (2015) atau Tanah Cekung beredar di toko besar, namun karena penerbit kurang terkenal maka saya menunda untuk membelinya (sekarang akhirnya dibeli juga buku itu).

Ada pula informasi yang menyebutkan bahwa Interpreter of Maladies telah diterjemahkan, tapi ketika saya cek, ternyata terbitnya sudah lama. Setelah sekian lama tertunda, akhirnya saya bisa mendapatkan buku tersebut.

Interpreter of Maladies telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh tiga penerbit. Pertama, Akubaca dengan judul Penafsir Kepedihan. Kedua oleh Jalasutra dengan judul Benua Ketiga dan Terakhir. Dan ketiga oleh Gramedia Pustaka Utama berjudul Penerjemah Luka. Saya membaca yang terakhir.

Buku ini merupakan kumpulan cerpen, total berjumlah sembilan. Dan sebagaimana The Namesake, dalam buku ini juga Lahiri bertutur dengan sangat baik.

Kisah pertama dibuka oleh “Masalah Sementara”, tentang bagaimana pasangan muda keturunan India yang hidup di AS saling menutup diri, tak acuh, dan dingin, padahal mereka belum lama menikah. Situasi ini bermula setelah sang istri melahirkan dan anaknya meninggal sesaat setelah persalinan. Setelah itu komunikasi beku, keduanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, sampai akhirnya tibalah pemadaman listrik karena gangguan. Kegelapan rumah membuat mereka menyalakan lilin, makan bersama, dan mulai bicara lagi, lalu situasi pun mulai mencair kembali.

Cerpen favorit saya yang kedua adalah “Seksi”. Berkisah tentang Laksmi dan Miranda. Mereka rekan kerja. Sekali waktu Lakmi bercerita bahwa sepupunya yang telah punya anak dikhianati suaminya yang memilih pacaran dengan seorang pramugari. Sementara setiap hari Laksmi bercerita hal tersebut, Miranda sebetulnya tengah menjalin hubungan dengan seorang pria beristri.

“Seksi,” ucap kekasih Miranda suatu hari. Hati Miranda melambung.

Suatu hari, Laksmi hendak mengantar sepupunya untuk beberapa urusan. Nah, anak sepupunya itu dititipkan ke Miranda. Si bocah dan Miranda lumayan akrab. Saat si bocah melihat gaun yang dipegang Miranda, ia meminta Miranda untuk memakai. Meski awalnya menolak, tapi akhirnya Miranda mengenakannya juga.

Melihat Miranda dengan gaun tersebut, si bocah berkata, “Seksi.”

Miranda kaget, sebab ia teringat dengan ucapan kekasihnya, pria beristri yang kerap bercinta dengannya. Ia pun bertanya kepada si bocah, apa maksud ucapan tersebut.    

“Mencintai seseorang yang tidak kau kenal,” jawab anak itu.

Si bocah sebetulnya tengah membicarakan bapaknya yang berselingkuh dengan pramugari. Namun bagi Miranda, jawaban tersebut begitu menohok dirinya.

Cerpen favorit selanjutnya adalah “Benua Ketiga dan Terakhir”. Ini merupakan cerpen pengujung di buku Penerjemah Luka. Menceritakan persahabatan pria imigran India dengan perempuan AS yang telah berusia lebih dari 100 tahun. Selain itu, juga hubungan kaku antara si imigran istrinya yang masih berada di India. Maklum, pasangan yang menikah karena dijodohkan.

Saat istrinya akhirnya menyusul dan tiba di AS, si pria tak menyambutnya dengan antusias, biasa saja. Namun seiring waktu, keduanya kemudian saling mengerti, saling memahami, hingga hubungan lebih hangat dan hidup. Dan sebagai perantau, si pria imigran merasa bersyukur atas pencapaian yang biasa-biasa saja.

“Aku sekarang tahu pencapaianku biasa saja. Aku bukan satu-satunya orang yang mencari keberuntungan jauh dari kampung halamannya, dan yang pasti aku bukan yang pertama. Namun tetap saja ada saat-saat ketika aku terheran-heran mengenang setiap kilometer yang kutempuh, setiap hidangan yang kusantap, setiap orang yang kukenal, setiap kamar tempat aku pernah tidur. Meski semuanya tampak biasa, ada saat-saat ketika itu semua melampaui bayanganku,” ucapnya.

Ya, cerpen ini begitu hangat. Tak heran jika Jalasutra menjadikannya sebagai judul buku, alih-alih menerjemahkan dari kalimat “Interpreter of Maladies”.

Sekarang saya tengah mulai membaca The Lowland, awalnya saja sudah menarik. Lain kali, mudah-mudahan sempat, akan saya tuangkan juga di sini. (irf)

17 August 2021

Prabu Wangisutah: Wastu Kancana dan Dua Calon Istri

Setelah berguru kepada Resi Susuk Lampung, Wastu Kancana dan Rakean Hujung akhirnya kembali ke Negeri Sunda. Mereka berpisah di sebuah pelabuhan. Rakean Hujung pulang ke kampungnya di Hujung Kulon, dan Wastu Kancana kembali ke Kawali, ibu kota Sunda.

Wastu Kancana berlabuh di Muara Jati (Cirebon). Sebelum sampai ke Kawali, dia singgah dulu ke Gunung Indrakila (Gunung Ciremai) dan bertemu dengan Ni Larang Sariti. Nenek ini adalah penunggu wilayah bekas negara (kerajaan) yang masih leluhur Kerajaan Sunda.

Setelah itu, Wastu Kancana melanjutkan perjalanan dan singgah lagi ke sebuah perguruan Budha Mahayana Sarwastiwada di daerah Gunung Bitung, Talaga Manggung. Kemudian dia laju lagi dan akhirnya sampai ke Kawali serta langsung menuju Lemah Kabuyutan Sanghiyang Linggahiyang, tempat kedua orang tua dan kakak perempuannya disemayamkan.

Kedatangan Wastu Kancana disambut gembira oleh pamannya dan seluruh warga yang hidup di lingkungan keraton. Prabu Bunisora Suradipati, pamannya, yang menjabat sebagai raja sementara, ingin segera melantik Wastu Kancana sebagai raja pelanjut ayahnya yang gugur di Bubat. Namun, Wastu Kancana belum bersedia.  

Karena seorang raja harus mempunyai permaisuri, maka Prabu Bunisora Suradipati mendorong keponakannya untuk segera berumah tangga. Ketika Wastu Kancana berkata bahwa selama berkelana dia tidak pernah sembarangan menggunakan penglihatannya termasuk kepada perempuan, pamannya percaya tapi terus mendesaknya:

“Paman percaya kana kapengkuhan dia, tapi ogé Paman percaya kana kajujuran dia! Naha Anom teu kungsi papanggihan basa guguru di Maharesi Susuk Lampun? Tong mungkir, Anom! Beubeur nu dipaké ku dia, kaambeuna ku Paman, asa seungit cawéné?”

Memang betul, ketika Wastu Kancana hendak meninggalkan Lampung, dia diberi kenang-kenangan ikat pinggang oleh Dewi Sarkati, putri Maharesi Susuk Lampung. Setelah Wastu kancana mengakuinya, maka Prabu Bunisora Suradipati segera mengirimkan utusan untuk melamar Dewi Sarkati untuk dikawinkan dengan keponakannya.  

Di sisi lain, ketika utusan dari Kerajaan Sunda berangkat ke Lampung, Dewi Sarkati bermimpi didatangi Batara Wisnu yang menunggangi Garuda. Namun dalam mimpi tersebut, wajah Batara Wisnu mirip dengan Wastu Kancana. Hal tersebut ia ceritakan kepada ayahnya dan meminta izin untuk menyusul Wastu Kancana ke Negeri Sunda.

“Lamun éta lalaki geus diguratkeun pijodoeun kami, poé isuk kami rék lunta ka Tatar Sunda! Muga Ramaresi nyaluyuan!” ujar Dewi Sarkari.

“Eulis! Anaking! Naha bet luluasan kitu?” tanya ayahnya penuh kekhawatiran.

“Tong disebut seuweuna Maharesi Susuk Lampung mun teu wani meuntasan sagara! Anggursi jurungkeun! Muga kami waluya dina enggoning lalampahan!” jawab Dewi Sarkati.

Maka Dewi Sarkati pun akhirnya berangkat ke Tatar Sunda hendak menemui pujaan hatinya yang datang lewat impian. Namun, bukankah Negeri Sunda itu luas? Harus ke mana dia menuju? Perjalanan Dewi Sarkati tidak mudah, dia harus melewati pelbagai tantangan dan rintangan yang mengadang, bahkan putri Maharesi Susuk Lampung itu hampir diperkosa oleh kawanan begal di sebuah hutan dekat Kawali.

 

Dewi Mayangsari

Di lingkungan keraton Sunda, salah seorang putri Prabu Bunisora Suradipati, yakni Dewi Mayangsari—sepupunya Wastu Kancana, yang dulu kawan bermainnya sewaktu bocah—kini telah tumbuh dewasa. Dia juga menyimpan hati kepada kakak sepupunya tersebut, pun sebaliknya Wastu Kancana—meski fokusnya tetap kepada Dewi Sarkati.

Singkat cerita, Dewi Sarkati akhirnya dapat mencapai Kawali setelah sebelumnya ditolong oleh Rakean Hujung saat hendak diperkosa oleh kawanan begal. Ya, Rakean Hujung kawan seperjalanan Wastu Kancana saat berkelana ke Pakuan dan Lampung.

Kegembiraan pun tumpah di keraton. Pelbagai persiapan dipercepat untuk acara pernikahan Wastu Kancana dan Dewi Sarkati. Di tengah kesibukan itu, Dewi Sarkati mulai dekat dengan Dewi Mayangsari, dan dia melihat bahwa putri Prabu Bunisora Suradipati itu seperti dirinya: mencintai Wastu Kancana.    

Maka sehari sebelum pernikahannya dengan Wastu Kancana, Dewi Sarkati mengajukan satu permintaan yang harus dipenuhi: Wastu Kancana boleh menikahinya asal sekaligus dengan Dewi Mayangsari. Tanpa diduga banyak orang, calon Raja Sunda itu akan menikahi dua perempuan sekaligus!

Selain itu, pada kesempatan yang hampir bersamaan, Wastu Kancana yang belum juga menyanggupi untuk menjadi raja, oleh para tetua diberi gelar Prabu Wangisutah.  (irf)  

08 August 2021

Wastu Kancana: Pertualangan Calon Raja Sunda

Ketika Perang Bubat meletus yang menewaskan kedua orang tua dan kakak perempuannya, Wastu Kancana masih bocah. Berita duka itu disampaikan kepada Mangkubumi Bunisora Suradipati oleh para darmajaksa utusan Prabu Hayam Wuruk. Para tetua Sunda yang telah lanjut usia marah besar. Mereka menghendaki perang, menyerbu Majapahit.

“Mahapatih jejerih! Gajah atah warah! Gusti Mangkubumi! Najan kami geus cetuk-dawuk! Goréng-goréng gé kami téh kungsi ngalaman jadi Senapatiyuda! Kami sanggup kénéh ngeprik wadyabalad Nagri Sunda pikeun males pulih ngagempur urang Majapait!” ucap Ki Olot, tetua yang paling dituakan, emosinya meluap-luap.  

Namun Mangkubumi Bunisora Suradipati dapat meredam emosi para tetua tersebut. Dia berpikir jika Sunda membalas dendam dengan menggempur Majapahit, maka kehancuran akan menimpa seluruh Jawa. Dengan kesedihan yang mendalam, Mangkubumi Bunisora Suradipati kemudian pamit kepada para tetua hendak menenangkan pikiran sejenak dengan pergi ke Jampang, tempat tinggalnya yang juga terdapat padepokan untuk menggembleng para balamati (pengawal kerajaan) Negeri Sunda.

Namun sehari sebelum dia berangkat, Wastu Kancana yang tinggal di keraton bersama sejumlah pengasuhnya diculik seseorang pada malam hari. Setelah dikejar oleh Mangkubumi Bunisora Suradipati, ternyata yang menculiknya adalah salah seorang pemimpin di padepokan Mandala Binayapanti Jampang. Akhirnya Wastu Kancana justru dititipkan di padepokan tersebut.


Pertualangan di Pakuan Pajajaran dan Lampung

Setelah belajar di padepokan Binayapanti Jampang selama lima tahun, akhirnya Wastu Kancana harus kembali ke Kawali, ibu kota Sunda. Namun, sehari sebelum dia pergi, Mangkubumi Bunisora Suradipati datang ke padepokan itu untuk menyampaikan tragedi yang menimpa orang tua, saudara, dan orang-orang Sunda lainnya yang gugur di palagan Bubat.

Ya, selama lima tahun mendalami ilmu, tragedi itu dirasiakan kepada Wastu Kancana. Setelah mendengarkan semua yang dikisahan pamannya, Wastu Kancana pingsan. Lalu siuman dan muntab.

“Paman! Naha Paman teu males pulih ka si Gajah Mada? Paman leutik burih!” bentak Wastu Kancana.

Namun setelah ditenangkan dan diberi pengertian, Wastu Kancana akhirnya mereda. Dia sebetulnya diminta untuk kembali ke Kawali karena hendak dijadikan raja, penerus ayahnya. Namun Wastu Kancana menolak, dia merasa belum pantas dan masih ingin menambah ilmu di tempat lain.

Ditemani Rakean Hujung, kawannya di padepokan, Wastu kancana akhirnya pergi. Rakean Hujung membawanya ke Pakuan, negeri bawahan Sunda yang dulu terpisah. Mereka menyemar sebagai rakyat biasa, bukan sebagai lulusan Binayapanti Jampang apalagi calon raja.

Di Pakuan ternyata hendak terjadi pemberontakan yang akan menggulingkan raja yang sah. Pelakunya adalah Rakean Mantri Kaladarma beserta gerombolannya. Namun, berkat strategi Rakean Hujung dan Wastu Kancana, pemberontakan itu berhasil digagalkan. Setelah itu, keduanya segera meninggalkan Pakuan.

Mereka kemudian menuju pesisir utara Jawa bagian Barat, hendak mencari pengalaman dengan berlayar. Karena perahu yang ada hanya akan berlayar ke Lampung, maka keduanya terpaksa ikut. Di Lampung, mereka berguru kepada Resi Susuk Lampung.

Di padepokan ini, Rakean Hujung dan Wastu Kancana lagi-lagi menolong tuan rumah dari serangan berdarah yang dipimpin Arai Mongga. Setelah peristiwa itu, keduanya pamitan kembali ke Negeri Sunda.

Bagi Wastu Kancana, selain menambah ilmu, di padepokan Lampung juga dia mulai merasakan jatuh cinta kepada seorang gadis bernama Dewi Sarkati, putri Resi Susuk Lampung. Sayang, keduanya harus berpisah. Namun sebelum berpisah, mereka bertukar cendera mata sebagai kenangan-kenangan akan cinta yang hendak dipisahkan raga.

“Geter rasa geter sukma, sambung sinambungan, tepung dina pasisi jangji nu teu kungsi kalisankeun. Antara Lampung jeung Sunda, jauh pilampaheunana, tapi deukeut geugeut na angenna,” tulis Yoseph Iskandar. (irf)

01 August 2021

Perang Bubat: Sikap Lancung Gajah Mada dan Tewasnya Citraresmi


Yoseph Iskandar menulis roman sejarah tentang Kerajaan Sunda dalam sembilan jilid buku, yaitu:

1. Perang Bubat

2. Wastu Kancana

3. Prabu Wangisutah

4. Tanjeur na Juritan Jaya di Buana

5. Pamanah Rasa

6. Putri Subang Larang

7. Prabo Anom Jayadewata

8. Tri Tangtu di Bumi

9. Ajar Kutamangu

Semuanya insyaAllah akan saya resensi satu persatu secara berurutan. Dan mari kita mulai dari buku yang pertama: Perang Bubat.

Kenapa kisah ini dibuka dengan pertumpahan darah? Saya kira, karena tragedi ini menjadi batu tapal untuk siapa saja yang tertarik dengan cerita tentang Kerajaan Sunda. Peristiwa ini hingga kiwari menjadi akar dari pelbagai pamali dalam hubungan Sunda-Jawa.

Warsa 1356 Masehi, Sunda dipimpin oleh Prabu Maharaja Linggabuana. Dia punya dua anak, yaitu Citraresmi dan Wastu Kancana. Adik Linggabuana bernama Mangkubumi Bunisora Suradipati. Sekali waktu, datang utusan dari Kerajaan Majapahit. Tujuannya untuk melukis Citraresmi sebagai salah satu calon istri yang kelak akan dipilih oleh Prabu Hayam Wuruk.

Singkat cerita, Citraresmi terpilih dan dilamar. Karena saat itu Majapahit adalah kerajaan besar yang banyak negeri bawahannya, maka calon mempelai wanita yang mendatangi calon mempelai laki-laki untuk melaksanakan perkawinan. Hal ini sebetulnya sempat ditolak oleh Mangkubumi Bunisora Suradipati yang menjunjung tinggi harga diri Sunda, namun kakaknya menyetujui permintaan Majapahit.  

Karena punya firasat buruk, maka dengan beberapa alasan akhirnya Mangkubumi Bunisora Suradipati dan Wastu Kancana tidak ikut ke Trowulan, ibu kota Majapahit.

Rombongan dari Sunda berlayar melalui Cirebon. Sesampainya di Trowulan—karena ambisi Sumpah Palapa Gajah Mada—mereka tak langsung disambut ke keraton, melainkan ditempatkan dulu di Lapangan Bubat. Gajah Mada bertekad menaklukkan rombongan Sunda karena hanya kerajaan inilah yang belum sempat ia taklukkan untuk menggenapi Sumpah Palapa.

Prabu Hayam Wuruk tidak setuju dengan rencana mahapatihnya. Namun, tekad Gajah Mada telah bulat, dia hendak menjadikan Citraresmi sebagai upeti sebagai tanda bahwa Kerajaan Sunda mengaku takluk.

Lalu apa yang selanjutnya terjadi? Alih-alih menuruti ambisi Gajah Mada, rombongan Sunda mengobarkan perlawanan. Tentu saja kecamuk saling bunuh yang sangat tidak seimbang, sebab mereka jauh-jauh datang ke Majapahit bukan untuk berperang, melainkan pernikahan. Maka demikianlah, firasat buruk Mangkubumi Bunisora Suradipati menjadi kenyataan.   

Seluruh rombongan Sunda tumpas, termasuk Citraresmi yang menghunjamkan patrem pemberian pamannya ke dadanya sendiri. Pesta perkawinan itu berubah menjadi ladang pembantaian.

Sikap lancung Gajah Mada dalam kisah klasik ini kemudian menjadi semacam api abadi dalam pamali-pamali kultural hubungan Sunda-Jawa.

Karena tidak ikut ke Majapahit, maka Mangkubumi Bunisora Suradipati dan Wastu Kancana selamat dan menjadi penerus Kerajaan Sunda, juga kisah-kisah selanjutnya.

Dalam cerita ini Yoseph Iskandar sempat melontarkan kritik terhadap Mohammad Yamin yang “menemukan” sosok Gajah Mada lewat pecahan celengan yang kemudian menjadi narasi seragam dalam buku-buku sejarah di sekolah. Menurut Yoseph, Yamin jelas salah besar, sebab Gajah Mada tidak mungkin seperti yang Yamin imajinasikan:    

“Béda jeung arca nu dipaké nyampaykeun leungeun kéncana dina sajeroning dirina ngajentul di lawang pendopo. Eta arca nu purah ngajaga panto téh, pangawakanana lintuh bayuhyuh. Pipi karebi, panon sipit. Biwir kandel kedeplik. Sarérétan mah bakal pahili jeung Semar. Teuing arca naon, nu pasti sakur tukang nyieunan karajinan keramik di dayeuh Trowulan, éta arca téh dijieun conto pikeun céngcéléngan.”

Ibarat pertandingan tinju, Perang Bubat adalah pukulan pertama yang telak menghunjam dalam kisah panjang perjalanan Kerajaan Sunda. (irf)

22 July 2021

Kisah Petrokimia Putra Mewarnai Sepakbola Gresik


Menit ke-76 menjadi yang paling ingin dilupakan oleh para pendukung Petrokimia Putra. Sementara menit ke-30 mungkin yang paling disesali selamanya.

Jacksen F. Tiago mencetak gol pada menit ke-30 tapi dianulir oleh wasit Zulkifli Chaniago. Sedangkan gol Sutiono Lamso (pemain Persib Bandung) pada menit ke-76 disahkan. Gelar juara Liga Indonesia yang sudah di depan mata, akhirnya menjauh. Mereka takluk oleh kesebelasan yang tidak diperkuat pemain asing. Itu terjadi pada 30 Juli 1995 di Stadion Utama Senayan Jakarta yang bergemuruh.

Liga Indonesia pertama tahun 1994/1995 yang meleburkan tim-tim eks Galatama dan eks Perserikatan barangkali menjadi musim yang paling ingin mereka lupakan.

Diikuti 34 peserta yang terbagi ke dalam dua wilayah, Liga Indonesia pertama memang tak mudah untuk ditempuh oleh kesebelasan mana pun. Namun, berkat bantuan dua pemain asing andalan, Jacksen F. Tiago dan Carlos De Mello, serta Widodo Cahyono Putro sebagai pemain top nasional, Petrokimia Putra akhirnya bisa masuk ke fase delapan besar.

Di babak ini, Petrokimia Putra tergabung dengan Persib Bandung, Assyabaab Salim Group, dan Medan Jaya. Finish di urutan kedua, mereka ditantang Pupuk Kaltim di semifinal. Pada 28 Juli 1995 mereka berhasil menekuk kesebelasan dari Kalimantan Timur tersebut. Sementara pertandingan semifinal yang mempertemukan Persib Bandung melawan Barito Putra dimenangkan anak-anak Maung Bandung.

Barangkali begitu salah satu tabiat kesedihan dalam sepakbola: gilang-gemilang dalam kompetisi dan fase delapan besar, tapi dipungkas oleh kekalahan yang menyakitkan di partai final.

Keputusan wasit yang dianggap merugikan Petrokimia Putra menimbulkan kemarahan dan melahirkan slogan: “Gembuk, lek wani rene!” (Lemah, sini kalau berani!)

Aqwam Fiazmi Hanifan & Novan Herfiyana dalam Persib Undercover: Kisah-kisah yang Terlupakan (2014) mencatat kisah-kisah yang beredar seputar partai final Persib Bandung vs Petrokimia Putra. Sebelum pertandingan digelar, pengurus klub asal Gresik itu berpesan kepada para pemain untuk menerima saja apa pun yang terjadi, dan mereka dilarang banyak protes ke wasit.

Jacksen F. Tiago bahkan berkata ia dan Widodo C. Putro dipanggil oleh pengurus dan dipaksa untuk mengalah. Itu terjadi pada malam sebelum pertandingan. Setelah itu sebagian pengurus klub langsung pulang ke Gresik.

Umpan pelan Yusuf Bachtiar kepada Sutiono Lamso dan diakhiri gol kemenangan Persib dalam laga keesokan hari menyempurnakan kenangan buruk publik Gresik.

Bagaimana Petrokimia Putra Bermula?

Ingatan sepakbola di Jawa Timur sejak awal telah dipenuhi oleh narasi tentang Persebaya. Klub yang berdiri pada 1927 itu lekat dengan Jawa Timur. Walaupun di kota-kota lain seperti Pasuruan, Blitar, Madiun, Bojonegoro, dll, terdapat kesebelasan sepakbola, akan tetapi gaungnya tak pernah terasa.

Di Gresik—meski telah ada Persegres yang didirikan pada 2 November 1963, tetapi situasi sepakbola kota tersebut kurang bergairah. Memasuki akhir 1970-an, kebangkitan sepakbola di salah satu kota di pesisir utara Jawa Timur itu mulai dihidupkan kembali.

Iksan Agung Nugroho dalam Persatuan Sepakbola Petrokimia Putra Gresik Tahun 1988-2005 (Jurnal Avatara Vol. 4 No. 3, Oktober 2016) mencatat yang menghidupkan iklim sepakbola Gresik adalah PT. Petrokimia Gresik, perusahaan pupuk pelat merah.

Akhir tahun 1970-an dibentuk tim bernama Petrogres yang diprakarsai oleh jajaran direksi seperti Ir. Sidharta dan J. Tehupeiorij, untuk mengikuti kompetisi antarperusahaan di Surabaya. Ternyata dalam kompetisi ini ada banyak pemain asal Gresik yang memperkuat tim-tim Surabaya. Dari sana muncul ide untuk membuat kompetisi sendiri guna menghidupkan sepakbola Gresik.

Dalam laporan Jawa Pos edisi 25 Mei 1985, seperti dikutip Iksan, Petrogres betul-betul serius dalam membangun tim. Selain merekrut para pemain asal tim Kertago (Kertas Gowa) Sulawesi Selatan seperti Daniel Uyo, Abdul Muis, Hasanudin Baso, Sanusi Rachman, dan Abdul Hamid, mereka juga mengirim dua orang pelatihnya untuk belajar di Jerman, yaitu Imam Muchsan dan Bambang Purwanto.

“Di Jerman, kedua pelatih tersebut melakukan studi banding untuk melihat fasilitas dan program pelatihan yang dilakukan klub Hamburg SV,” tulisnya.

Tak lama kemudian Petrogres bergabung dalam kompetisi yang dijalankan di bawah naungan Persegres yang diikuti antara lain oleh PS. Varia Usaha, PS. Morada, PS. Kebomas, PS. Gapura, PS. Samudra, PS. Pelangi, PS. Giri, PS. Indonesia Muda, dll. Pertandingan-pertandingan digelar di Alun-alun Gresik, lapangan Telogo Dendo, dan Stadion Semen Gresik.

“Dari kompetisi tersebut dijaring pemain-pemain yang akan memperkuat Persegres di kompetisi Perserikatan,” tambah Iksan.

Kompetisi internal itu berhasil mendongkrak prestasi Persegres yang berhasil masuk kompetisi Divisi Utama Perserikatan tahun 1988 (sebelumnya hanya menghuni Divisi II dan Divisi III). Sementara dalam Galatama (Liga Sepakbola Utama)—kompetisi semiprofesional, Gresik belum ada wakil. Maka, pada 20 Mei 1988, Persatuan Sepakbola Petrokimia Putra didirikan, yang akan diproyeksikan untuk bertarung di Galatama.

Sebelum dan Sesudah Malam Kelam 1995 di Senayan

Galatama yang berlangsung sampai tahun 1994 tak sekali pun dimenangi oleh Petrokimia Putra. Prestasi terbaik mereka hanya menduduki peringkat empat. Namun, ketika kompetisi Galatama dilebur dengan Perserikatan untuk pertama kalinya, mereka langsung tancap gas sebelum akhirnya dilibas di laga final.

Tujuh tahun usai laga tersebut, mereka akhirnya berhasil keluar sebagai kampiun setelah mengalahkan Persita Tangerang 2-1. Publik Gresik berpesta, dan pamor Petrokimia Putra meninggalkan Persegres yang prestasinya terseok-seok. Namun, euforia itu tak lama, sebab setahun kemudian klub kebanggaan warga Gresik itu menlucur ke jurang degradasi.

Tak betah berlama-lama di liga kasta dua, setahun kemudian Petrokimia Putra kembali ke Divisi Utama. Hal itu tak lepas berkat perubahan format liga yang kembali menggunakan sistem dua wilayah.

“Sayonara Kebo Giras”, tulis Jawa Pos edisi 20 Oktober 2005. Laporan ini berisi tentang Petrokimia Putra yang memutuskan untuk cuti dari kompetisi Liga Indonesia. Keputusan ini diambil karena tim tersebut lagi-lagi tersungkur ke jurang degradasi karena persiapan dan materi pemain yang minim.

Pada tahun yang sama, klub yang pernah melahirkan para pemain seperti Derryl Sinnerine, Eri Irianto, dan Suwandi H.S. ini—seperti dilansir dari 
bola.com, melakukan merger dengan Persegres alias Gresik United. Nama klub pun berganti menjadi Persegres Gresik United. (irf)

19 July 2021

10 Kasidah Nasida Ria untuk Kampret yang Durhaka


Nasida Ria berdiri di Semarang pada tahun 1975. Grup musik ini membawakan lagu-lagu kasidah, lantunan syair dalam syiar keagamaan. Meski sudah terbilang tua, namun Nasida Ria pernah tampil pada gelaran Synchronize Festival tahun 2018 dan 2019. Anak-anak muda kiwari menyambutnya penuh antusias.

Saya kira, mereka—para penonton itu—setidaknya terbagi ke dalam dua golongan. Pertama, mereka yang masa kecilnya pernah mendengar lagu-lagu Nasida Ria dari karet milik ibu atau bapaknya, atau lewat pengeras suara di majelis-majelis pengajian. Kedua, mereka yang sama sekali belum pernah mendengar, tetapi merasa harus tetap relevan.

Dua golongan ini adalah juga yang barangkali membelah Didi Kempot dan penyanyi-penyanyi “gaek” lainnya yang tampil di Synchronize Festival.

Meski saya tak pernah sekalipun hadir dalam festival “edgy” itu, tapi saya masuk ke dalam kelompok yang pertama. Saya mendengarnya, dulu, setiap kali perayaan Maulid Nabi dan Isra Mikraj di majelis pengajian kampung.

Kiwari, jika sesekali memutarnya di Youtube, teringat lagi saat-saat itu. Selain saya, seorang sepupu juga hafal beberapa lagu Nasida Ria. Dia malah amat menggandrungi, karena dulu orang tuanya rajin membeli kaset Nasida Ria dan memutarnya setiap pagi.

Nasida Ria telah mengeluarkan 35 album dan tak kurang dari 350 lagu. Sebuah pencapaian yang luar biasa. Tentu saya tak hafal sebanyak itu. Dalam redup remang ingatan, inilah 10 kasidah terbaik Nasida Ria untuk para kampret yang durhaka:


1. Anakku

Nasihat klasik orang tua kepada anaknya tentang zaman yang berubah dan tantangan yang menanti di depan. Si anak dituntut menjadi manusia sakti yang "cerdas, tabah, dan kreatif" serta "siap menghadapi tantangan zamannya walau berbahaya". Jika dilihat dari kacamata Orde Baru, manusia sakti ini meliputi imtaq (iman dan taqwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi): jargon lawas yang pernah jadi andalan kelas menengah Indonesia.   


2. Lingkungan Hidup

Ode terhadap alam desa yang permai, juga seruan agar tidak merusaknya. Ya, tema yang digarap Nasida Ria memang luas, termasuk isu lingkungan hidup. Meskipun selalu dikaitkan dengan sisi keagamaan, kiranya usaha mereka menggarap tema patut diapresisasi. Dan memang sepatutnya demikian, karena agama tak sekadar "lirik keluh kesah" atau "senandung hijrah", tapi sejatinya mencakup semua lini kehidupan.  


3. Dunia dalam Berita

Sejak tahun 1978, "Dunia dalam Berita" adalah salah satu program berita andalan TVRI yang tayang setiap hari mulai pukul 21.00. Sebagaimana namanya, program berita ini banyak menyiarkan kabar-kabar dari luar negeri seperti perang, kelaparan, pertemuan internasional para kepala negara, dan lain-lain. Nah, apakah Nasida Ria terinspirasi dari program berita itu atau sebaliknya? Yang jelas kasidah ini juga mengabarkan kejadian-kejadian di luar negeri. Simak salah satu penggalan liriknya: 

"Australia kebanjian, Afrika kekeringan

ASEAN perdamaian, Persia pertikaian

Sungguh asyik dunia dalam berita"  



4. Jilbab Putih

Saya membayangkan kasidah ini dibuat pada tahun-tahun saat jilbab dilarang oleh Orde Baru, atau setidaknya belum leluasa seperti sekarang. Juga teringat puisi Emha Ainun Nadjib berjudul "Lautan Jilbab". Ya, memang ada suatu masa saat para muslimah di Indonesia melewati masa-masa getir. Dan Nasida Ria "mengibarkan" budaya yang kian populer itu lewat kasidah yang santai dan ceria.    



5. Matahari Dunia

Ini adalah salah satu kasidah Nasida Ria yang paling populer. Beberapa tahun ke belakang, terutama pada Subuh di bulan puasa, salah satu stasiun televisi sering memutarnya. Ajakan bersalawat kepada nabi dan pujian kepadanya: 

"Nabi Muhammad bagai purnama

Cahaya di atas cahaya"



6. Perdamaian

Hingga kiwari, saya kira tak ada yang lebih populer daripada kasidah ini. Setelah dibawakan Gigi dalam album religinya, lagu "Perdamaian" terus melambung dan terngiang-ngiang di benak para pendengarnya. Liriknya cerdas, menunjukkan ironi, menghantam para maniak perang, atau para kepala negara yang buntu di meja-meja perundingan.

"Banyak yang cinta damai

Tapi perang makin ramai"     



7. Keadilan

Kali ini Nasida Ria merambah wilayah hukum. Mengisahkan tentang seseorang yang melanggar hukum dan keluarga terlibat dalam persidangannya. Adik, kakak, paman, ayah, dan ibu mempunyai perannya masing-masing yang berseberangan. Namun pada akhirnya, sebagaimana lirik kasidah tersebut, "yang salah diputus salah". Kemudian bait berikutnya:

"Itulah keadilan 

Tak kenal sistem famili

Itulah kebenaran

yang harus dijunjung tinggi"

Kiwari, kita bisa tersenyum atau tertawa karena lirik itu terasa terlalu "mimpi" dan "berkhayal", sebab hukum hanya mampu dibeli orang-orang berduit. Langit runtuh berderak-derak, keadilan hanya omong kosong di negeri para bedebah ini. 


8. Kota Santri

Pasangan Anang dan Krisdayanti yang kini telah ambyar pernah membawakan kasidah ini. Kota santri banyak tersebar hampir di seluruh pelosok Jawa, baik dalam lingkungan salaf (tradisional) maupun modern. Lembaga pendidikan ini kerap menjadi benteng, baik moral maupun pergolakan fisik, dari ekonomi sampai politik.   



9. Siapa Bilang

Jangan pukul rata. Demikian Nasida Ria menyampaikan. Apalagi saat berkomunikasi dengan para remaja yang berdarah panas. Mereka tak menyangkal jika terdapat remaja yang durhaka, merosot akhlaknya, penuh noda, dan malas, namun mereka juga menegaskan bahwa tidak semuanya demikian. Ibu-ibu ini bahkan memakai kata "budak manja" dan "ganja" dalam liriknya. Sungguh pendekatan yang luar biasa.  



10. Wajah Ayu untuk Siapa

Inilah asal-usul istilah "kampret yang durhaka". Saat kasidah ini dibawakan dalam gelaran Synchronize Festival, banyak penonton yang tertarik akan liriknya. Dalam konstelasi politik kiwari, kata "kampret" juga "cebong" mucul sebagai anak kandung polarisasi politik yang kian tajam. Padahal dulu, saat Nasida Ria membuat lagu ini, lema "kampret" digunakan secara harfiah sekaligus metafora sebagai perusak buah-buahan dan perusak kesucian perempuan. Dan Nasida Ria menegaskan bahwa "wajah ayu, tubuh seksi" yang "bagai buah mangga ranum" itu " tidak akan kuserahkan pada kampret yang durhaka".  


18 July 2021

Perang Saudara Berakhir, Darah Abraham Lincoln Mengalir


Letus kepala.

Sang presiden di ujung

nasib celaka.

Perseteruan antara kubu Selatan (Konfederasi) dan kubu Utara (Union) dalam Perang Saudara Amerika Serikat baru saja berakhir. Pasukan Konfederasi yang dipimpin Robert E. Lee menyerah di Gedung Pengadilan Appomatox, Virginia, pada 9 April 1865.

Perang Saudara yang berlangsung selama empat tahun tersebut memakan banyak korban di kedua pihak. Lima hari setelah Konfederasi menyerah, kebengisan perang yang melahirkan dendam rupanya masih meminta tumbal.

Malam itu, beserta istri dan beberapa kolega, 
Abraham Lincoln tengah menyaksikan pertunjukan teater di Ford’s Theatre, Washington. Jenderal Ulysses Grant, mantan pemimpin pasukan Union dalam Perang Saudara dikabarkan akan hadir juga di acara tersebut. Namun ia terlambat datang.

Ruangan disesaki penonton yang antusias. Dalam jeda pertunjukan, terdengar letusan senapan. Itu hanya mengundang perhatian sesaat, tapi tak benar-benar menimbulkan tanggapan serius dari para penonton.

Tiba-tiba seorang pria melompat ke depan tempat Lincoln berada sembari mengacungkan sebilah belati panjang dan berseru, ”Sic semper tyrannis!" (begitulah nasib tiran!). Ia lalu melompat ke panggung dan melarikan diri menggunakan kuda.

Hadirin terkesima. Sementara Lincoln telah terkulai. Darah mengucur dari kepalanya yang retak dihajar peluru. Istri Lincoln berteriak histeris melihat suaminya terkapar. Setelah sadar bahwa telah terjadi pembunuhan, hadirin bergegas menuju panggung dan berusaha mengejar pelaku. Sebagian berteriak, “Gantung dia! Gantung dia!”


Aktor Teater Pendukung Konfederasi

John Wilkes Booth, pria yang menembak Lincoln, dilahirkan di Maryland pada 1838. Selama Perang Saudara berkobar, ia tinggal di utara, tapi mendukung kubu Konfederasi yang berada di selatan.

Ia adalah seorang aktor. Pada 1860, lima tahun sebelum ia menembak Lincoln, John Wilkes Booth penah menulis sebuah naskah 21 halaman yang menunjukkan kefanatikan dan simpatinya terhadap kubu Selatan.

Naskah itu ia tulis di Philadelphia dan dimaksudkan sebagai pidato. Namun sampai Lincoln ditembak, naskah tersebut tidak pernah sampai ke publik, baik dalam bentuk pidato maupun terbitan. Baru tahun 1990-an naskah itu ditemukan di salah satu arsip pemain teater di 16 Gramercy Park South, Manhattan.

Rumah tersebut adalah bekas kediaman Edwin Booth, kakak John Wilkes Booth, seotang aktor terkenal di masanya.

“Seandainya sentimen-sentimen ini diketahui oleh para pejabat yang bertanggung jawab menjaga Presiden, mungkin Booth tidak akan memiliki akses yang mudah untuk hadir di teater Washington pada 14 April 1865,” tulis 
Herbert Mitgang.

Menanggapi naskah tersebut, David Herbert Donald—sejarawan Harvard yang menulis biografi Lincoln—menyebut naskah itu adalah dokumen menarik yang mengungkap pandangan-pandangan John Wilkes Booth tentang krisis pemisahan diri dan keadaan pikirannya yang kacau balau. Juga menggambarkan jalan pikirannya yang tidak koheren dalam masa gejolak emosional yang hebat.

Robert Giroux, editor penerbit 
Farrar Straus Giroux, menemukan naskah itu saat ia menyisir dokumen pemain teater. Ia duduk di belakang meja Edwin Booth dalam sebuah penelitian di sekitar Gramercy Park.

“Saya sedikit terkejut ketika menyadari bahwa inisial JWB adalah singkatan dari John Wilkes Booth,” ungkapnya.

Naskah tersebut ditulis dengan tinta hitam tebal, dengan tulisan tangan yang sedikit kacau, kata-kata yang rentan disalahartikan, salah ejaan, dan tata bahasa yang rancu. John Wilkes Booth menulisnya di rumah saudara perempuannya, Asia Booth Clarke, di Philadelphia, saat ia dan ibunya menghabiskan liburan Natal.

Herbert Mitgang menambahkan, dalam naskah yang bertele-tele, penembak Lincoln tersebut menyebut dirinya sebagai “seorang pria Utara” yang hendak “bertarung dengan segenap hati dan jiwa—bahkan jika tidak ada seorang pun yang mendukungnya”—untuk persamaan hak dan keadilan bagi Selatan dan Utara.

Naskah yang mengungkap pikiran-pikiran John Wilkes Booth itu tersimpan dan tak terungkap selama seabad lebih. Ia masuk ke Ford’s Theatre di malam jahanam itu, dan penembakan pun terjadi.


Dua Kali Percobaan Pembunuhan

Usaha untuk mencelakan Lincoln sebetulnya sempat direncanakan lebih awal sebelum kejadian di Ford’s Theatre. Pada 20 Maret 1865, John Wilkes Booth serta beberapa rekannya berencana untuk menculik Lincoln dan membawanya ke Richmond, ibukota Konfederasi. Namun rencana tersebut gagal.

Percobaan kedua akhirnya berhasil. Pada 14 April 1865, setelah menyelinap, ia mengarahkan moncong senapan ke arah kepala Lincoln dan Presiden AS ke-16 itu terkapar.

Dalam situasi panik, Lincoln dibawa ke sebuah 
rumah pribadi milik William A. Petersen, seorang penjahit keturunan Jerman, yang berada di seberang Ford’s Theatre. Para ahli bedah dikerahkan untuk memeriksa kondisinya. Pasukan militer berjaga di sekitar rumah yang dipakai untuk mengevakuasi Lincoln.

Sementara massa berkerumun di sekitar rumah tersebut. Meski telah disampaikan bahwa luka yang diderita Lincoln sangat serius dan mematikan, tapi mereka tetap ingin mengetahui kondisi terkini dan berharap sang presiden dapat diselamatkan.

Setelah situasi di Ford’s Theatre cukup kondusif, petugas melakukan pemeriksaan di tempat Lincoln ditembak. Petugas menemukan ceceran darah di kursi, partisi, dan lantai. Sebuah pistol saku berlaras tunggal tergeletak di lantai.

Lincoln meninggal keesokan harinya pada 15 April dalam usia 56. Rumah tempat ia meninggal dijadikan museum sejak 1930-an.
(irf)