24 November 2023

Leila Khaled dalam Linimasa Gerakan Perlawanan Palestina

Perhatian dunia tersedot ke Palestina, khususnya Jalur Gaza, sejak Hamas dan gerakan perlawanan lainnya melakukan serbuan ke permukiman Israel pada 7 Oktober 2023. 

Serangan ini adalah respons terhadap sejumlah penangkapan dan penganiayaan yang dialami warga Palestina di Tepi Barat. Namun secara umum ini adalah akumulasi perlawanan terhadap penjajahan Israel yang telah berjalan 75 tahun sejak Nakba 1948.

Beberapa faksi pergerakan terlibat dalam serbuan bertajuk Taufan Al-Aqsa. Ini bisa diidentifikasi dari sejumlah video dan foto yang beredar di linimasa. Selain Brigade Al Qassam yang merupakan sayap militer Hamas, turut pula Brigade Saraya Al Quds (Jihad Islam Palestina) dan Brigade Abu Ali Mustafa (PFLP).

Keberadaan mereka bisa diidentifikasi dari warna ikat kepala. Hijau milik Hamas, hitam milik Jihad Islam, dan merah PFLP. Sementara Brigade Syuhada Al Aqsa yang merupakan sayap militer Fatah biasanya memakai ikat kepala berwarna kuning. Namun dalam beberapa footage ikat kepala warna ini tak pernah terlihat. Barangkali mereka hanya bergerak di Tepi Barat dan sekitarnya.  

Leila Khaled, tokoh yang ditulis Sarah Irving dalam buku ini berasal dari PFLP (Popular Front for the Liberation of Palestine) yang berhaluan Marxis-Leninis. Ia pernah terlibat dalam pembajakan pesawat secara beruntun pada 1969 dan 1970. Aksi yang ia lakukan pada usia pertengahan 20 tahunan ini berhasil menarik perhatian dunia.

Dalam linikala perlawanan Palestina terhadap Israel yang anggap saja dimulai sejak 1948, gerakan berideologi nasionalis, sekuler, dan komunis lebih dulu muncul daripada kelompok islamis. 

Bersama Fatah, PFLP pernah bergabung dengan PLO (Palestine Liberation Organisation). Namun saat Yasser Arafat (pemimpin PLO) memutuskan untuk menempuh jalan diplomasi (selain militer), PFLP yang kala itu dipimpin George Habash akhirnya keluar. 

Baru pada tahun 1980-an kelompok islamis dibentuk. Jihad Islam berdiri pada 1981. Sedangkan Hamas didirikan pada 1987 berbarengan dengan Intifada I. Kedua kelompok inilah yang kiwari paling kuat dan paling banyak terlibat dalam pertempuran di front Gaza.

Kisah Leila Khaled jadi menonjol pada zamannya, selain karena memang berani dan nekat, juga ternyata pola pemberitaan terhadap perempuan tak ubahnya apa yang terjadi hari-hari ini di sejumlah media daring.

Leila Khaled disebut sebagai kembaran Audrey Hepburn--model terkenal kala itu. Ia disebut sebagai pemberontak muda, menawan, dan lantang. Apalagi saat ia tampil di Reuters dengan memeluk senapan Kalashnikov di depan sebuah pesawat yang segera menjadi foto ikonik. 

Penyebutan dia sebagai kembaran Audrey Hepburn, singkatnya pembajak pesawat nan cantik, tak ubahnya dengan penyebutan tukang jamu cantik, tukang gorengan seksi, dan sejenisnya, yang muncul setelah gambar dan videonya berseliweran alias viral.

Dan selayaknya Che Guevara, sosok perlawanan Leila Khaled juga akhirnya terjebak dalam dua garis yang saling tarik-menarik: teladan dan selebritis. Ini sangat disadari oleh Sarah Irving yang menuliskannya di pengujung lembar Pendahuluan:

“Bagaimanapun, untuk banyak orang, Leila Khaled tetaplah figur yang menawan, memukau, dan mengundang inspirasi. Dalam dunia yang dijejali reality show televisi, X-Factor, dan American Idol, hal ini mendatangkan tantangan tersendiri. Bagaimana merayakan seseorang yang karismatik dan istimewa seraya menghindar dari kultus selebritis?" 

Jika ditarik pada konteks Gaza ini, sosok Leila Khaled bisa menawarkan sejumlah pertanyaan kritis tentang keterlibatan perempuan dalam gerakan perlawanan Palestina yang kiwari terkesan amat maskulin--meskipun pada pertukaran tawanan tanggal 24 November 2023 tampak seorang pejuang perempuan dari Brigade Al Qassam.

Di luar hal itu, pada akhirnya buku ini, sebagaimana ditulis Irving, "Mencoba untuk menapaki garis batas yang tipis itu (antara dewa/malaikat dan manusia/orang yang terikat pada ruang dan waktu),” pungkasnya. [irf]

30 October 2023

1970, Kekerasan di Tengah Riuh Piala Dunia

Seorang ibu berusia 60 tahun mendatangi kantor polisi. Ia melaporkan bahwa anaknya hilang. 

Raul dos Santos Figuera namanya. Anak itu berusia 25 tahun. Pegawai bank yang hidupnya monoton. Kantor-rumah, rumah-kantor. Sesekali pergi ke bioskop, restoran, dan rumah pacarnya, Sonia, yang akhirnya meninggalkannya.

"Saya bahkan menelepon kamar mayat. Bapak bisa bayangkan keputusasaan seorang ibu mencapai titik ini..", ucapnya.

Polisi tak berbuat banyak. Si ibu lalu mendatangi ruang redaksi sebuah kantor media. Dia tiba pukul tujuh pagi, namun awak redaksi baru pada datang pukul sembilan lebih. Dia harus menunggu. Mau beli makan, tak berminat. 

Esoknya, sepotong berita kecil muncul di koran, di sudut halaman polisi, dengan foto yang sangat kecil. Potret Raul sedikit buram dan kecil.

"Bagaimana orang bisa tahu ini Raul? Saya berharap begitu besar untuk berita ini, Anda tidak bisa bayangkan! Dan sekarang harapan itu kandas jadi seukuran foto ini," keluhnya.

Tak patah arang, sang ibu lalu menemui pemuka agama. Berharap anaknya yang hilang diumumkan pada khotbah-khotbah gereja. 

"Kalau sekadar mendoakan saya dan anak saya, saya berterima kasih. Tapi jika bisa lebih, maka saya bahkan tidak sanggup berterima kasih," ungkapnya. 

***

Setelah kepergian pacarnya, Raul hanya ingin menghabiskan waktu di luar, nonton di bioskop, dan pulangnya minum bir sampai pagi di sebuah bar. Petaka datang, saat berjalan menuju bioskop, dia diculik aparat dan digelandang ke sebuah tempat penyiksaan.

Tuduhannya serius: terlibat dalam upaya penculikan Konsul AS. Lebih jauh, dia dituding anggota Vanguarda Popular Revolucionaria. Garda Depan Revolusi Rakyat--organisasi komunis yang diburu pemerintah diktator Brazil. 

Raul diculik pada 12 Juni 1970, dan dibebaskan sembilan hari kemudian bertepatan dengan final Piala Dunia yang mempertemukan Brazil vs Italia.

Penyiksaan begitu gamblang. Meremukkan mentalnya. Ngilu di sekujur badan. Palang Burung (pau de arara) menjadi metode penyiksaan yang mengerikan. 

Dalam jeda penyiksaan, Raul kerap bergumam:

"Berapa banyak lagi yang seperti aku, tanpa tujuan, tanpa harapan, sementara orang-orang biasa di jalanan menutup mata dan tak peduli. Mereka belanja, pergi kerja, baca koran, tertawa, dan bersorak untuk tim mereka, berdoa, dan anjing-anjing yang lewat di jalan penuh tipu-tipu ini, tak sadar akan teriakan-teriakan yang terlontar di ruang bawah tanah terdekat? Sebuah hidup yang tenang, tapi siapa sangka?"

Setelah melewati sembilan hari yang meneror jiwa raganya, Raul dibebaskan. Aparat sadar mereka salah tangkap.

Sebelum pulang ke rumah, Raul mampir ke sebuah kedai untuk makan dan minum bir. Saat itu final Piala Dunia 1970 tengah digelar. Lewat televisi hitam putih, orang-orang bersorak dan berteriak, merayakan piala ketiga baagi Brazil. Sementara Raul telah kehilangan minat pada sepak bola.

***

1970 (2023) yang ditulis Henrique Schneider dan diterjemahkan oleh Gladhys Elliona, memotret satu masa kelam dalam sejarah Brazil kala pemerintahan dijalankan oleh diktator militer yang bertahan hingga 21 tahun--berakhir tahun 1985.

Hajatan akbar sepak bola menyamarkan, bahkan menutupi kegilaan junta militer. Luka menganga dan darah mengalir di balik riuh dan gemuruh.

Kisah ini mengingatkan pada peristiwa serupa yang terjadi di Argentina menjelang dan selama Piala Dunia 1978. Diktator militer (Jorge Rafael Videla) yang mengudeta Isabel Peron melakukan serangkaian kekerasan kepada para aktivis, mahasiswa, dan orang-orang yang dianggap lawan politiknya.

Film Buenos Aires 1977 (2006) mengisahkan dengan jelas bagaimana kekerasan demi kekerasan yang dilakukan negara terjadi di sekitar perhelatan akbar olahraga. Ada tragedi di balik gegap gempita. 

Dalam lanskap yang lebih luas, Asian Games 1962 juga berdampak pada masyarakat. Ribuan warga Betawi tergusur dari kampung halamannya demi pembangunan Gelora Bung Karno.

Dalam serial Si Doel Anak Sekolahan, saat Doel lulus sebagai insinyur, bapaknya membawanya ke lokasi bekas leluhurnya di Senayan.  

"Gue cuman mau ngajak elu biar elu tahu bahwa di sini bekas tanah leluhur elu," ujarnya.   

***

Novel 1970 (2023) pada akhirnya berusaha membantah omongan Alfredo Buzaid (Menteri Kehakiman Brasil 1969-1974) yang berkata, "Tidak ada penyiksaan di Brasil." [irf]

03 June 2023

Ia yang Selalu Menuju Ibu

Setelah mendapat imunisasi Hepatitis B dan Polio, Daria mesti diberi PIN Polio--imunisasi tambahan polio kepada balita tanpa memandang status imunisasi polio sebelumnya. Tempatnya di sebuah puskesmas yang tidak terlalu jauh dari rumah, tapi harus ditempuh dengan motor.

Saya tentu saja khawatir, pasalnya puskesmas tersebut tak jauh dari pasar yang panas dan berdebu, beberapa ruas jalan berlubang, dan mesti melewati jembatan Ci Tarum yang sebagian telah rusak. Apalagi jadwal imunisasinya sekitar pukul 10 pagi, saat matahari mulai terik.

Mula-mula saya berpikir untuk memakai gocar, tapi istri menolak. Katanya terlalu dekat. Maka kami pun berangkat dengan motor. Daria dilindungi sedemikian rupa. Saat berangkat dia tertidur, dan memang kebiasaannya tak pernah terganggu oleh rupa-rupa suara yang cukup keras, kecuali suara batuk bapaknya.

Tiba di puskesmas, dia masih tertidur, termasuk saat PIN Polio diteteskan bidan ke mulutnya. Tak lama, kami pun pulang. 

Beberapa hari kemudian, ibunya hendak kontrol bekas SC ke sebuah klinik dekat kampus swasta. Karena cukup jauh dan kami hendak naik motor, maka Daria tak akan kami bawa, dititipkan ke neneknya yang kebetulan ada di rumah. 

Beberapa saat sebelum berangkat, Daria tak mau tidur, dia seperti tahu kami akan meninggalkannya. Matanya segar, padahal semalam kurang tidur. Barulah pada detik-detik akhir, dia akhirnya tertidur. Kami pun akhirnya berangkat.

Karena antrean cukup panjang, maka perkiraan kami meleset. Kami kira di klinik akan sebentar, nyatanya cukup lama. Bahkan sebelum antrean giliran kami, neneknya menelpon: Daria terbangaun dan tak mau berhenti menangis. Kami pun cepat pulang dan melupakan antrean.

Tapi saat motor sampai di pekarangan, tangis Daria berhenti. Neneknya bingung, karena tadi sebelum kami datang dia nangis terus-menerus.

"Waktu terdengar suara motor masuk pekarangan, dia tiba-tiba berhenti (nangis), heran aku," ucapnya.

Siang ba'da Zuhur, kami akhirnya memutuskan membawa serta Daria ke klinik. Selama mengantre kembali dan ibunya masuk ke ruangan dokter, Daria sama sekali tak rewel, dia lelap tertidur, bahkan setelah sampai kembali ke rumah.

Hari ini, pada jam-jam yang sama seperti saat kami hendak pergi ke klinik, dia malah tertidur lelap. Lagi-lagi seperti yang tahu bahwa orang tuanya, terutama ibunya, tak akan pergi ke mana-mana.

Apakah ini disebut naluri? 

Saya teringat sebuah keterangan dari Quraish Shihab saat bulan Ramadan yang diputar Metro TV di waktu sahur. Menurutnya, kata "ummi" (ibu) berakar dari kata "umm" yang salah satu artinya adalah "bermaksud", "menuju", "bergerak". Maka seorang anak akan selalu menuju atau terikat kepada ibunya.

Barangkali itulah yang terjadi. [ ]

02 June 2023

Daria Terbangun, Saya Memanggil A.T. Mahmud


Jika malam telah larut, Daria biasanya terbangun: minta ganti popok atau minum ASI. Setelah itu ia kerap susah tertidur lagi. Matanya melek seperti tak ada sedikit pun rasa kantuk. Berbeda dengan siang hari yang justru agak sulit untuk dibangunkan minum ASI. Ibunya telah lelah, tak jarang jatuh tertidur saat Daria masih terjaga. Di saat inilah saya biasanya memanggil Abdullah Totong Mahmud.  

Sudah lama Pak Mahmud memukau saya. Lagu-lagu ciptaannya sering mengantarkan ingatan pada masa-masa kecil. Ia tak ragu mengambil bulan sabit dan bintang kejora. Benda-benda langit menjadi terjangkau bagi anak kecil. Selain itu, ia juga menulis tentang sungai, gunung, dan bukit. Juga tentang seorang anak kecil yang lincah dan riang.   

Saya sebetulnya tak langsung memanggil Pak Mahmud. Mula-mula biasanya melantunkan puji-pujian dalam bahasa Sunda yang dulu sering terdengar dari masjid di kampung, yang kiwari sudah tak pernah terdengar lagi. Dalam remang ingatan, kira-kira begini liriknya:

"Hei Alloh mugi

Alloh maparinan rohmat

Rohmat sinareng salam ka Kanjeng Nabi Muhammad

Kanjeng Nabi Muhammad ramana Sayyid Abdulloh

Ibu Siti Aminah dibabarkeunna di Mekah

Babar di Mekah teras ngalih ka Madinah

Wafat di Madinah di bumi Siti Aisyah."

Jika itu tak mempan, artinya Daria tak langsung tidur, dilanjut dengan Salawat Badar (kayak mau perang ya hehe..). Nah, setelah itu barulah Pak Mahmud datang. Siapa sangka "Bintang Kejora" yang liriknya indah kini agak ngeri-ngeri sedap, sebab bisa disangka separatis. 

"...Tampak sebuah

lebih terang cahayanya

Itulah bintangku

Bintang Kejora yang indah selalu."

Coba, apa tak bahaya itu? Venus alias Bintang Timur si cemerlang tiba-tiba menjadi hantu di republik ini.

Salah satu favorit Daria, maksudnya jika dinyanyikan lagu ini matanya akan mulai redup dan tertidur adalah "Bulan Sabit". Omong-omong, Nadafiksi juga pernah membawakan lagu ini saat tampil di Selasar Sunaryo. Bigini liriknya:

"Bulan sabit di awan

Laksana perahu emas

Berlampu bintang

Berlaut langit

Jauh di angkasa luas

Betapa senang, hatiku rasanya

Menjadi nakhoda di sana."

Setelah itu, kalau dia tak kunjung tidur, saya kasih bonus lagu "Pemandangan", masih ciptaan A.T. Mahmud. Saya sudah hafal lagu ini sejak duduk di bangku SD. Dulu setiap kali ke Pasir Pogor, naik bukit yang berada di belakang rumah, saya selalu teringat lirik lagu ini yang memang saat itu cukup relevan:

"Memandang alam dari atas bukit

Sejauh pandang kulepaskan

Sungai tampak berliku

Sawah hijau terbentang

Bagai permadani di kaki langit

Gunung menjulang

Berpayung awan

Oh, indah pemandangan."

Putaran terakhir, saat saya juga mulai mengantuk, sementara Daria masih belum tidur, biasanya baru memanggil Sambas Mangundikarta. Ya betul, apa lagi kalau bukan "Manuk Dadali". Jika ini pun tak ampuh, barulah saya membangunkan istri yang masih payah dihajar kantuk. 

Apa boleh bikin, bapak hanya berusaha, ibu jualah yang menaklukkan. Dan Daria pun tertidur. [ ]   

30 May 2023

Hikayat Ari-ari


Sore di hari istri melahirkan, saya harus segera menguburkan ari-ari, orang Sunda menyebutnya bali. Konon dia saudara kembar si bayi. Sejumlah informasi telah saya kantongi bahwa sebagian orang mencampur ari-ari itu dengan pelbagai bumbu dapur. Kakak saya menyebutnya "disamaraan" atau "digulaasem".

Memang dulu di kampung juga orang-orang memperlakukan istimewa ari-ari ini. Setelah dikubur, biasanya dikasih penerangan berupa lampu. Konon agar saudara si bayi itu tetap merasa hangat seperti saat berada di dalam rahim.

Dari teks keagamaan, saya mendapati keterangan bahwa memperlakukan ari-ari sama saja seperti kita memperlakukan potongan rambut dan kuku, yakni dengan hanya menguburnya.  

Setelah dicuci untuk menghilangkan darah yang masih tersisa, gumpalan daging sebesar dua kepal tangan manusia dewasa itu saya masukan ke dalam kendi, lalu dibawa pulang menggunakan kantong plastik.

Di rumah, sambil merenung-renung mempertanyakan kenapa orang-orang dulu banyak yang membubuhi bumbu dapur pada ari-ari, akhirnya terbukalah ilham: kiranya alasannya sederhana, yakni agar tidak cepat berbau busuk.

Maka saya beranjak menuju kulkas, mengambil lemon, dan membelahnya. Ari-ari itu, selain dibubuhi garam, juga saya kucuri air lemon, lalu diaduk. Setelah itu dimasukkan kembali ke dalam kendi.

Jejentik jam terus berdetak. Saya segara menggali tanah dengan alat seadanya. Cangkul tak punya, linggis tak ada, golok pun tiada. Saya menggali menggunakan sendok semen yang sudah tidak ada gagangnya. Dapat dibayangkan betapa repotnya. Apalagi tanah yang saya gali ternyata dipenuhi bebatuan sehingga penggalian harus dibantu menggunakan obeng.

Setelah salah satu obeng saya rontok, akhirnya mencoba menghubungi seorang kawan yang tinggal di Simpang Dago. Berkali-kali ditelpon, berkali-kali juga tidak diangkat. Barangkali dia sedang di jalan.

Hari kian petang, saya mencoba mencari toko alat-alat pertanian terdekat via Google. Yang terdekat rupanya di daerah Ranca Oray, sekitar 9,6 kilometer, ah terlalu jauh. Saya kemudian teringat seorang kawan yang tinggal di daerah Parung Halang, Andir.

"Anyeuna pisan?" 

"Enya," jawab saya singkat.

Sepuluh menit kemudian dia datang membawa cangkul dan golok yang sangat tajam. Karena tanahnya berbatu, cangkul dia pun akhirnya rontok. Sementara goloknya tak saya gunakan karena sayang terlalu bagus. 

Setengah frustasi, kami akhirnya rehat. Dia menyulut api dan merokok, masih setia dengan Dji Sam Soe. Sementara saya sudah dua tahun berhenti. Kami ngobrol sampai tak terasa azan Magrib telah berkumandang. 

"Geus weh dikuburkeun di deukeut imah urang."

"Moal nanaon?"

"Moal, da nu penting mah dikuburkeun meh teu bau. Komo batur mah sok aya nu dipiceun ka Citarum. Tapi ari kitu-kitu teuing mah ulah, asa teu boga adab pisan," imbuhnya.

Dia pun akhirnya pamit, membawa kembali cangkul, golok, dan kembaran si bayi. 

Kira-kira pukul 19.30, dia mengirim foto ari-ari yang tengah ditanam di bawah rumpun bambu. Ya, rumah dia memang berdekatan dengan beberapa rumpun bambu dan permakaman yang tanahnya merah serta gembur.

Kelak, jika anak saya menanyakan di mana ari-arinya ditanam, saya dapat menceritakannya dengan mudah. [ ]   

23 May 2023

Putri Sang Surya

Tak pernah saya duga sebelumnya, istri melahirkan di RS Muhammadiyah, Bandung. Mula-mula adalah kabar sumir. Rumah sakit ini kerap dikabarkan agak jorok: puntung rokok konon kerap ditemui di lorong dan kusen. Kedua, RSMB sering dituding kurang sigap dalam menolong pasien sehingga berujung pada kematian. 

Dua kabar burung itu cukup membuat saya tak pernah mendekatinya. Terlebih asuransi kantor yang saya kantongi memberi banyak pilihan rumah sakit lain. 

Pada minggu awal kahamilan, istri diperiksa di Klinik Brawijaya. Setelah itu, sampai usia kehamilan 38 minggu, istri rutin kontrol di RS Limijati dan Puskesmas Cijagra. Memasuki hari-hari menjelang kelahiran, saya terhenyak: persalinan ternyata tak ditanggung asuransi kantor!

Di tengah keringat dingin yang tiba-tiba menyerang, karena terbayang biaya puluhan juta yang mesti dikeluarkan untuk persalinan SC, saya segera mengurus KK dan KTP agar BPJS yang digunakan istri saya dari kantornya dapat digunakan.

Setelah urusan dokumen kependudukan selesai, kami segera menuju faskes 1: Klinik Bona Mitra Keluarga. Tak banyak cingcong, faskes 1 langsung mengeluarkan surat rujukan. Rumah sakit rujukannya hanya empat: (1) RSUD Otista, Soreang, (2) RS Bina Sehat, Dayeuhkolot, (3) RS Muhammadiyah, dan (4) RS Pindad.

Sejumlah pertimbangan akhirnya menggiring kami ke RS Muhammadiyah. Kami tiba di IGD malam hari tanggal 18 Mei 2023. Esoknya, setelah menunggu sepenuh cemas, anak kami akhirnya dibawa keluar dari ruang operasi oleh bidan menuju ruang bayi. Dua jam kemudian, baru ibunya menyusul.

Selama proses pendaftaran di IGD, observasi di ruang isolasi, lalu pra dan pasca persalinan di ruang perawatan: pelayanannya baik, jauh dari bayangan buruk yang sebelumnya selalu menghantui. Para dokter, bidan, perawat, bagian farmasi, administrasi dan keamanan: semuanya bekerja dengan baik.

Sebagai Muslim, saya juga merasa tenang karena di ruang perawatan selalu terdengar lantunan murotal Al-Qur'an, diselingi ceramah, dan azan dalam lima waktu. Masjid di dalam rumah sakit pun sangat lapang dan bersih. 

Sebagai bonus, di sekitar RS Muhammadiyah juga banyak sekali kuliner yang enak. Ada RM Roda Baru (masakan Padang), Siomay Sinchan, Bubur Ayam Mang Andi, Mie Kocok Mang Dadeng, Nasi Kuning Teh Ida, dll. Dari pagi sampai malam, keluarga pasien tidak akan kesulitan mencari makanan.

Dua hari setelah dioperasi, istri dan bayi diperbolehkan pulang sambil dibekali surat kontrol. Tanggal 21 Mei 2023, siang sebelum Zuhur, kami pulang. Saya pakai motor. Sementara istri dan saudara memakai mobil. Mereka membawa pulang putri Sang Surya. [ ]  

07 May 2023

Pesan Nabi Telah Tiba di Ciledug



"Hidup bagaikan garis lurus

Tak pernah kembali ke masa yang lalu

Hidup bukan bulatan bola

Yang tiada ujung dan tiada pangkal"


Saya mengenal KLA Project, dan terutama Bimbo, sejak awal tahun 1990-an. Kakak yang nomor dua, yang di kamarnya ada tape recorder merek Sony, kerap memutarnya lewat kaset-kaset pita.  Artinya, jauh sebelum saya menginjakkan kaki di Yogyakarta, lagu berjudul lagu itu telah lebih dulu hinggap di pendengaran. 

Meski demikian, sebetulnya kaset KLA Project itu cuma ada satu, yakni album The Best. Di album itu, favorit saya bukan "Yogyakarta", melainkan "Tentang Kita", "Anak Dara", dan "Lagu Baru".  Sementara Bimbo, seingat saya ada dua kaset. Pertama, album nostalgia berisi lagu-lagu cinta. Kedua, album qasidah (religi).

Tiga album itulah yang mula-mula menemani saya di usia SD dan SMP. Itu pun bukan didengarkan di kamar sendiri karena saya tidak punya kamar, seringnya tidur di sofa. Lagu-lagu itu terdengar saat saya duduk di sofa, di sebelah kamarnya.

Dia lulus SMA tahun 1994. Lalu kuliah di PGTKA Tarbiyatun Nisaa di Bogor. Setelah itu kerja berpindah-pindah, dari satu TK ke TK yang lain. Setelah melewati berliku jalan, akhirnya sampai juga di batas antara sendiri dan berpasangan. Dia diboyong ke Ciledug.

Tahun-tahun panjang setelah pernikahan tak hendak saya ulas. Tiap manusia punya nasib sendiri-sendiri dan kesunyian masing-masing. 

Pertemuan terakhir saat dia masih sehat terjadi di Wonogiri, 3,5 tahun yang lalu, pada pesta pernikahan yang sederhana. Masih terngiang di telinga lagu "Sepanjang Jalan Kenangan", seolah baru kemarin lagu itu dibawakannya di samping pelaminan.

Lalu badai datang. Sakit keras. Keberuntungan dan pengelolaan finansial yang kurang memadai perlahan membuatnya kian tak berdaya. Doa-doa membubung. Sekali dua ikhtiar pengobatan. 

Tahun berlalu, bulan berganti, hari dijemput hari baru. Maka datanglah saat itu: napas yang penghabisan. Malam itu juga ia dikebumikan.

Pada siapa pun yang meninggal, saya selalu ingin mengingatnya dengan memori yang baik. Saat-saat dia berjaya dalam kehidupan, saat senyum ceria, saat tertawa riang, saat semangat hidup masih menggelegak. 

Saya tak ingin mengingatnya saat dia sakit, tak perdaya, murung, bersedih, menangis. 

Maka setiap kali ada fotonya ketika sakit dibagikan di grup WA keluarga, saya hampir tak pernah membukanya. Ya, sakit dan kematian memang nasihat bagi yang hidup, tapi foto-foto saat dia tidak dalam kondisi terbaiknya hanya menyisakan pilu.

Kini, saat saya tengah menanti kelahiran, menunggu kehidupan baru, ia kembali kepada Yang Maha Hidup.  


"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. Al-Fajr: 27-30)