07 August 2025

Surat Perpisahan Acil The SIGIT

 



An ocean I can no longer fathom

Waves I can no longer ride

I find myself away from the bottom

With this feeling I can’t abide

 

A language I can no longer speak

Shivering words that left me weak

A presence I can not attend

Fate that I can not amend

 

This day has left me trembling

Coldness of that morning

The sadness of the mourning

 

The ship’s now sailing the high sea without a word

And I left my heart for you to decide my lord…

 

As I lay rest shield and my armour…

I turn myself ashore… to where I was before…



06 August 2025

Mayit Dina Dahan Jengkol: Janda sebagai Objek

Ini kisah tentang Sari, biasa dipanggil Nok Sari: janda muda dan cantik yang dianggap sebagai penyakit oleh ibu-ibu warga kampung. Sebabnya, para suami mereka, apalagi kaum bujangan, berebut mencari dan mencuri perhatiannya. Mereka, para lelaki itu, biasa berkumpul di warung Bi Isoh yang letaknya tiga rumah dengan kediaman sang janda.

Karena dagangannya jadi laku keras, baik kopi maupun goreng ulen, Bi Isoh jadi salah satu perempuan yang "tak membenci Sari", malah berharap janda itu tak segera menikah agar warungnya terus ramai dikunjungi.

Percakapan-percakapan di warung Bi Isoh selalu tentang Sari, dipadu dengan canda dan tawa yang riuh. Pendeknya, para lelaki itu menjadikan Sari sebagai objek. Saat menggambarkan dialog-dialog tersebut, Ahmad Bakri si pengarang begitu tapis.

Perceraian Sari dengan suaminya mula-mula tak banyak yang menduga. Rumah tangga mereka dianggap biasa. Hanya saja suaminya memang di luar kota untuk mencari nafkah. Dan sebelum mendapatkan rumah yang layak, Sari dititipkan sementara di rumah orang tuanya.

“Muhun [salaki Nyi Sari téh] ti Bandung ngalih ka Batawi. Méméh kénging bumi sina di dieu heula, ongkoh dibaeukeun ku sepuhna, bilih dibabawa métak (tinggal di rumah petak) cenah. Pa Mandor téa atuh, uninga ieuh, teu paya pisan ningali kirang sautik ge,” jawab Bi Isok kepada seorang pemuda.   

Suatu hari, Sari hilang saat mencuci baju di tampian. Darah segar berceceran di sekitar tempat dia mencuci. Warga kampung heboh bukan kepalang. Mereka segera menyusuri sungai untuk mencarinya. Beberapa orang yang melihatnya pada saat-saat sebelum dia menghilang, dipanggil. Dari jawaban-jawaban para “tersangka”, seseorang disuruh untuk menjemput orang yang para “tersangka” sebutkan.

Namun, saat orang yang disuruh itu belum sampai ke tujuan, hal menggemparkan lainnya kembali terjadi.

Berbulan-bulan kemudian, warga menemukan sesosok mayat yang tergantung di dahan pohon jengkol. Kampung yang semula telah reda, kembali geger. Peristiwa ini awalnya tak terbongkar, tersimpan rapi selama berbulan-bulan: antara bunuh diri atau rajapati. 

Novel ini kembali membuktikan kepiawaian Ahmad Bakri dalam membangun rasa penasaran pembaca. Namun, setali tiga uang dengan novela “Dina Kalangkang Panjara” dan “Kacaangan ku Panékér”, semuanya tak menggoreskan konflik kejiwaan yang kompleks. Atau tak secanggih cerita Laleur Bodas karya Samsu yang menghadirkan sosok misterius.

Namun demikian, Mayit Dina Dahan Jengkol berhasil memotret keadaan sosial masyarakat Sunda di perkampungan tempo dulu—atau mungkin masih terjadi sampai hari ini—yang memperlakukan janda sebagai anggota masyarakat yang tak diinginkan dan sumber penyakit.     

Sari dalam novel ini menjadi korban berlapis. Dia tak sanggup menggapai cita-citanya meraih hidup bahagia. Kecantikan dan statusnya sebagai janda menjadi kambing hitam. Di tengah sistem sosial yang rapuh bagi perempuan, dia tak berkutik. [irf]

28 July 2025

Nu Harayang Dihargaan: Darpan dan Cerita-Cerita dari Utara

Dalam pengantar buku kumpulan cerpen ini, Duduh Durahman menyinggung soal komposisi nama pengarang, yakni Darpan Ariawinangun. Menurutnya, gabungan kedua nama itu secara kebiasaan bertolak belakang, karena menggabungkan nama yang lumrah dipakai rakyat jelata dengan nama menak.

Nama Darpan, tambahnya, sederajat dengan nama Salhiam, Mang Uham, atau Kang Nurhayi. Sementara Ariawinangun betul-betul nama ningrat. Lain itu, kata Duduh, pengarang kiwari jarang yang memakai nama yang berbau priyayi.

Namun di sejumlah bukunya, pengarang hanya menyantumkan Darpan—nama merakyat itu—tanpa menambahkan nama belakang. Saat menamatkan 15 cerpen dalam buku ini, kiranya tepat jika dia hanya memakai nama Darpan, karena seluruh cerita yang ia reka menggambarkan kehidupan rakyat jelata dengan segala kemalangan dan kepahitannya dalam melakoni hidup.

Darpan lahir pada 4 Mei 1970 di Sungai Ula, Cibuaya, pesisir Karawang. Berbeda dengan sejumlah pengarang Sunda yang lebih senior darinya, yang kebanyakan berasal dari wilayah Priangan, Darpan orang utara. Bahasa Sunda yang ia pakai pun terdapat beberapa perbedaan dengan dialek Priangan. Meski demikian, di bagian akhir buku ini terdapat keterangan “Bahasa Wewengkon”, yakni kosakata yang dipakai Darpan dan mungkin tidak biasa atau jarang didengar orang orang Sunda dari wewengkon/wilayah lain di Jawa Barat.

Sebagai orang pesisir, tak heran jika beberapa cerpennya mempunyai latar kehidupan nelayan dan petambak. Laut, pantai, dan muara menjadi tempat sehari-hari sejumlah tokohnya, bukan sekadar tempat rekreasi seperti misalnya dalam novel Rajapati di Pananjung (1985) karangan Ahmad Bakri.       

Rajapati, Isu Lingkungan, dan Politik

Pada 2010, seorang kawan menulis cerpen yang dimuat di majalah Manglé. Ia menyudahi kisahnya dengan rajapati atau pembunuhan. Menurutnya, pilihan itu diambil karena ia ingin akhir yang fantastis.

Sejauh pembacaan saya terhadap cerpen-cerpen Sunda, rajapati memang beberapa kali muncul di penghujung kisah. Polanya sama, pengarang mula-mula membangun konflik yang eskalasinya kian menanjak, lalu menempatkan tragedi pembunuhan di bagian akhir yang dimaksudkan sebagai klimaks. Awalnya mungkin pembaca tak akan mengira demikian, tapi jika lama-kelamaan akan terbiasa dan mampu memprediksinya.

Cerpen-cerpen Darpan pun tak lepas dari rajapati. Motifnya rupa-rupa. Berseteru dengan anak sendiri gara-gara berbeda pendapat dalam merespons permasalahan sosial yang timbul akibat korupsi perangkat desa dalam cerpen “Taleus Ateul”. Protes dan frustasi akibat proyek pembangunan menggusur kampung dalam cerpen “Peuting nu Hareudang”. Dan cemburu karena istri ditiduri tetangga dalam “Si Ato Miara Jago”.

Selain dalam “Peuting nu Hareudang” yang menceritakan hilangnya sebuah kampung karena pembangunan pabrik, isu lingkungan dan ekonomi juga muncul dalam cerpen “Layung Geus Ririakan”—orang tua yang pendengarannya sudah buruk yang kehilangan sawah karena dijual oleh anaknya kepada orang-orang kaya, dan “Helikopter”—para petambak penghasilannya mulai berkang akibat pencemaran air.

Sedangkan isu politik selain muncul dalam cerpen “Teleus Ateul”, juga hadir dalam “Cikopi Sagelas”—rakyat jelata yang terhindar dari tekanan/sandra politik aparat desa karena anaknya berbeda pilihan dalam pemilihan lurah. Di pengujung kisah, Mang Karma, rakyat kecil itu akhirnya bisa kembali merasakan kehidupan yang tenang tanpa paksaan dan kesenangan semu yang sempat diberikan pemerintah desa.

“Nya ieu dunya aing. Dunya sagelas cikopi isuk-isuk, bari bébas mikir pigawéeun poé ieu. Henteu dipapaksa ku batur, henteu kudu sieun ku batur. Ah, naha aing salila ieu kaparabunan ku nu teu puguh? Ninggalkeun dunya aing nu sakieu bébas merdékana? Kétang aya hikmahna, aing jadi nyaho talajak hiji-hijina jelema. Mangsabodo, saha nu rék jadi lurah minggu hareup,” kata Mang Karma.

Cerpen lain yang juga memakai tema politik adalah “Nu Luas Ninggalkeun” dan “Patung jeung Hayam”. Meski cerpen “Nu Harayang Dihargaan” memang cukup menonjol sehingga dipilih jadi judul buku ini, yang menurut Duduh Durahman dalam pengantarnya mempunyai kesan “ngagalura, keras jeung kasar, unsur dramatikna kuat... carpon anu pangneundeutna, tapi pepel,” tapi menurut saya pribadi “Patung jeung Hayam” adalah cerpen yang gaya penceritaannya paling unik.

Dalam “Patung jeung Hayam” Darpan begitu tapis menggugat arti kepahlawanan yang pada umumnya hanya berhenti pada simbol. Diceritakan bagaimana pembangunan sebuah patung pahlawan memakan banyak biaya sehingga melebihi dari anggaran semestinya. Akibatnya, warga sekitar patung “katempunan”. Harta benda mereka yang tak seberapa dipakai untuk mendukung pembangunan patung tersebut. Bahkan seekor ayam warga pun akhirnya dirampas.

Lain itu, para pejabat dari kota yang melakukan perjalanan dinas ke desa untuk mengontrol dan memeriksa pembangunan patung kerap minta dilayani dengan berlebihan, salah satunya minta “ayam”.

Kumpulan 15 cerpen ini seluruhnya memotret nasib rakyat kecil yang hidupnya tak putus dirundung malang. Suara Darpan adalah suara wong cilik pesisir utara Jawa Barat dengan segala persoalannya. [irf]

05 July 2025

Pager Ayu

Karya: Dede Mudopar

Tadina mah mugen. Horéam milu. Ngan si Uton mani maksa ngajak ngabaturan. Ngabaturan ka ondangan kawinan babaturanana di Maja.

Kuring jeung si Uton datangna rada pandeuri. Teu bareng jeung rombongan pangantén lalaki. Anjog ka tempat nu boga hajat téh balandongan geus pinuh ku tatamu ti pihak lalaki nu nganteurkeun jeung ti pihak awéwé nu nyampakkeun. Lah rék diuk di tukang wé, ceuk pikir. Tapi si Uton ngabebedol leungeun, séséléké ngajak diuk rada di hareup, tukangeun para sesepuh. Méh atra ningali akadna, cenah.

Katingali pangantén lalaki diuk dina korsi panjang diapit ku lebé jeung ajengan. Nyanghareupan méja nu jangkungna méh satuur. Na méja katangén aya surat kawin jeung kado dibungkus ku kertas nu rupana konéng emas. Jigana jerona mas kawin. Hareupeun éta méja aya deui korsi panjang nu kosong kénéh. Keur diuk pangantén awéwé meureun.

MC muka acara. Terus ngamanggakeun ka pangantén awéwé supaya diuk dina tempat nu geus disadiakeun. Korsi panjang téa. Kurunyung pangantén awéwé diaping ku pager ayu di kénca-katuhueunana.

Kuring merhatikeun panganten lalaki nu ngan katempo tonggongna. Katangén naék turun. Rénghap-ranjug. Geumpeur tayohna. Bisi salah ngomong dina waktu ijab kobul.

Pangangguran kuring ngarérét ka pager ayu katuhueun pangantén awéwé. Ké asa wawuh, ceuk pikir. Ngan saha éta? Di mana? Sugan pédah kahalangan nu make up nu kandél, jadi mani hésé nginget nu diteuteup téh. Uleng mikir. Nginget-nginget bari angger teu leupas neuteup si pager ayu. Inget! Gebeg. Ngagebeg. Yati. Geuning Yati. Enya Yati. Moal salah. Yati.

Geus teu kadéngé sora MC nu ngatur acara. Geus teu maliré deui runtuyan acara nu keur dilakonan. Kuring ngadon ngahuleng bari teuteup teu leupas ti si pager ayu. Tapi nu diteuteupna mah bangun teu sadareun, anteng wé tungkul bari ngiplik-ngiplik kipas. Ngipasan pangantén.

Enya Yati, gerentes haté. Yati nu éta. Nu baheula kungsi tapa salila-lila di jero haté. Yati nu tujuh taun katukang ngeusi sanubari tur teu bisa ditukeuran nu inten. Yati nu tungtungna ngajejewet haté kuring. Yati nu tujuh taun katukang ngudar jangjina. Jangji duaan. Jangji hirup babarengan. Yati nu ingkar tina jangji alatan kagoda ku banda. Kagoda ku harta. Kawin jeung harta.

Harita. Tujuh taun katukang. Yati kawin. Sanggeus kawin, tuluy manéhna pindah ti lembur. Ka Jatitujuh cenah pindahna téh. Dibawa ku salakina. Haté peurih. Peurih pisan. Pikeun ngabangbrangkeun haté nu tatu, kuring ngumbara ka Ciamis. Nya di Ciamis pisan kuring panggih jeung Nani. Nani nu anyeuna jadi pamajikan kuring. Nani nu bisa ngagantikeun Yati. Nani nu asih jeung geugeutna bisa matak poho ka Yati. Yati nu jadi indung budak kuring.

Tapi naha anyeuna nu kapikiran téh ngan Yati? Yati nu aya di hareupeun kuring. Lain Nani nu kapikiran téh. Lain. Tapi Yati. Teu inget ka haté nu kungsi raheut ku manéhna. Nu aya na haté téh ngan asih nu baheula leungit, kahilian ku asih nu anyeuna eunteup deui. Jadi deui. Hejo deui. Nyaliara deui.

“Alfatihah...”

Kuring ngarénjag. Sadar tina lamunan. Bakat husu ngalamun teu sadar geus réngsé akad nikah téh. Du’a panutup gé geus bérés. Tuluy dua pangantén diiringkeun asup ka imah... Angger diaping ku para pager ayu. Yati salah sahijina.

MC ngamanggakeun ka para tatamu supaya parasmanan heula. Si Uton, di gigireun cengkat.

“Hayu dahar heula, No!” ceuk si Uton.

“Nam we ti heula,” tembal kuring. Si Uton ngaléos, muru parasmanan. Kuring ngajentul kénéh dina korsi. Ngalamun kénéh. Ngalamunkeun si pager ayu téa. Yati téa. Aya nu noél kana cangkéng, kuring kagebah tina lamunan, barang dilieuk, geuning... Yati. Yati geus diuk di  gigireun.

“Kang Nono?” nanyana bari neuteup. Teuteupna. Teuteup nu baheula.

“Muhun, Yati?” tembal kuring.

“Muhun, Akang geuning aya di dieu? Damang Kang?” Yati imut. Imut nu baheula.

“Ieu nganteur réréncangan. Alhamdulillah damang. Yati bet aya di dieu? Sanés kapungkur basa ngalih téh ka Jatitujuh?” omong kuring.

“Pan dua taun kapengker abdi sareng pun lanceuk téh ngalih ka dieu, ka Maja. Nembé sataun di dieu, pun lanceuk ngantunkeun,” tembal Yati. Tungkul. Paromanna robah. Jadi alum.

“Ngantunkeun? Innalillahi,” ceuk kuring bari neuteup. Yati tungkul kénéh. Geuning Yati téh geus jadi randa, ceuk kuring na haté.

“Eu... Yat, tos kagungan sabaraha putra?” tanya téh, mengpajarkeun jejer omongan.

“Numawi, Kang, abdi mah teu gaduh putra. Ditakdirkeun moal gaduh turunan ku Pangeran. Ari Akang tos kagungan sabaraha?” tanya Yati bari beungeutna cengkat deui. Neuteup deui. Kuring teu langsung némbal. Ngahuleng heula. “Gabug” geuning Yati téh.

“Eu... Akang mah tos gaduh dua. Lalaki sadayana,” témbal kuring.

“Euleuh pameget sadayana? Karasép panginten nya? Jiga ramana,” ceuk Yati. Imut. Imut nu asa béda. Asa ngagoda. Haté jadi teu pararuguh rarasaan.

“Heuheu... muhun atuh,” témbal kuring bari nyéréngéh. Yati ngan imut.

“Euh Kang, sindang atuh ka rorompok, da caket ti dieu téh, tah lebet ka gang nu éta,” Yati nunjuk ka gang peuntaseun imah nu boga hajat.

“Mangga Yat, sanés waktos wé, isin ongkoh,” cekeng.

“Ih, iraha sanés waktos téh? Yu anyeuna wé sindang heula. Jih isin ku saha da teu aya sasaha. Yu Kang ngobrolna cuang di rorompok wé, méh rinéh ongkoh ngobrolna,” Yati néréwéco.

Kuring ngahuleng. Anéh. Haté nu baheula kungsi ngedalkeun “cadu” kudu ngomong deui jeung Yati anyeuna bet léah. Haté nu baheula gorowong ku Yati anyeuna bet jadi cageur ku kabungah. Bungah pédah panggih deui jeung Yati. Yati nu baheula...

“Mangga atuh,” kuring cengkat. Yati cengkat.

“Antosan heula sakedap, Yat!” ceuk kuring bari ngaléos rék néangan si Uton. Kapanggih si Uton keur nyerebung udud na korsi, bérés dahar tayohna.

“Ton, bisi rék balik mah jung wé ti heula. Heug pangbéjakeun ka Nani, kuring balikna peuting, da rék ka Talaga heula, rék nyimpang heula ka Wa Haji, kituh. Peupeujeuh nya Ton béjakeun,” ceuk kuring.

Katingali beungeut si Uton rada kerung. Pinuh kahéran. Kuring langsung ngaléos. Teu ngadagoan jawaban Uton. Muru Yati. Kabetot ku imut Yati. Yati nu baheula... [ ]

 

Jatinangor, 24 Pebruari 2010

 

Eunteung (Bagian 2 - Tamat)


Karya: Dede Mudopar (*) 



Tuluy kuring ngojéngkang ka pipir imah Mang Suma. Gigireun imah Mang Hadi. Dodongkoan. Si Emus nuturkeun. Datang ka pipir. Cingogo deukeut tatapakan. Kaayaan rada caang. Kasorot ku lampu ti gigireun imah Mang Suma. Hulu dielolkeun. Si Emus pindah ka gigireun. Ngelolkeun sirahna. Atra ka dapurna imah si Emus.

Kaayaan pipirna remeng-remeng. Ngan kacaangan ku lampu ti pipir imah Mang Hadi. Katingali aya jalma nangtung hareupeun panto dapur si Emus. Si Ohim. Teu salah. Dedeganna ogé. Tuluy manéhna keketrok. Keketrok sababara kali. Can aya nu muka. Kuring ngarérét heula ka si Emus. Beungeutna geuneuk. Huntuna kekerot. Kulutrak panto dapur si Emus aya nu muka. Nyi Wiwi jigana. Sup si Ohim asup. Kuring teu lemék. Hate bet milu heneg. Milu kekerot.

“Mus, kumaha ieu? Naha cuang buburak waé ku urang?”

Nu ditanya teu némbal. Kabayang kumaha rarasaan si Emus harita.

“Buburak wé lah,” ceuk kuring bari nguniang. Nangtung. Can gé ngaléngkah, si Emus kaburu metot leungeun.

“Ulah Kang! Keun waé,” si Emus ngomong bari milu nguniang nangtung. Tuluy ngaléos. Kuring kerung. Anéh. Héran. Asa hayang ambek. Keuheul ku si Emus! Euweuh peujitan kitu si Emus téh? Gerentes kuring. Kapaksa kuring nuturkeun. Keun hayang nyaho, rék kumaha cenah. Dituturkeun téh ngadon ka garduh. Nangkeup tuur deui. Kuring milu diuk gigireunana. Ibun mimiti nyaab. Hawa peuting nu biasana tiis teu karasa. Ngahéab nu aya. Kalah hareudang. Kakara rék pok ngomong, si Emus miheulaan.

“Kang, ulah waka lapor ka RT nya! Keun waé. Éta mah urusan kuring jeung Nyi Wiwi jeung si Ohim,” pokna.

Kuring teu némbal. Heneg. Da tadi téh rék ngomong rék lapor ka RT. Ari anyeuna si Emus ngomong kitu. Lain lalaki sia mah Mus! Mun ku aing mah geus dicacag tah si Ohim! Dipeuncit ku aing mah! Cekeng na jero haté.

Sora bueuk dina tangkal nangka teu eureun-eureun. Katambahan ku sora daun awi nu katebak angin peuting. Tangkalna milu kaoyagkeun. Ngaréot paadu jeung papadana. Sorana lir jalma nu patingcorowok. Kuring ngadon ngajaranteng. Asup kana lamunan séwang-séwangan.

Geus kadéngé aya nu tahrim di masjid. Si Emus ujug-ujug ngaléos. Teu ngomong heula. Kuring ngan nyérangkeun di tempat diuk. Kuring gé balik. Dibaturan ku nyecepna ibun janari. Nu angger teu karasa tiis. Teu matak niiskeun.

Datang ka imah langsung gogoléran. Teu bisa saré. Kabayang waé kajadian tadi. Kabayang waé beungeut si Emus. Nu geuneuk. Napsu. Tapi euweuh kawani. Si Emus nu euweuh peujitan. Lain lalaki! Danten sia mah Mus! Haté néréwéco waé. Tungtungna mah reup teu inget bumi alam.

Kuring kahudangkeun ku nu garandéng di jalan hareupeun imah. Ngarérét heula kana jam dinding. Geus tabuh sapuluh geuning. Kuring buru kaluar. Aya pamajikan keur guntreng waé jeung tatangga. Di jalan loba jalma lalumpatan ka kulonkeun. Aya ogé nu leumpang rurusuhan. Ka kulonkeun.

“Nyai, aya naon mani asa riweuh kieu?” cekeng nangtung dina golodog.

“Si Ohim aya nu meuncit, Kang!” témbalna rada ngagorowok. Kuring reuwas. Buru turun kana golodog.

“Di mana?”

“Di saung deukeut walungan. Tuh mayitna gé di ditu kénéh. Buru ka ditu! Geus aya pulisi malahan mah, anyeuna ogé geus bung-beng pulisi mah naréangan si Emus, curigauen ka si éta da ti isuk geus euweuh. Cenah mah tadi isuk-isuk aya nu manggihan di Talaga. Naék mobil jurusan Bandung. Rurusuhan,” pamajikan néréwéco.  

Kuring teu némbal. Asup deui ka imah. Buru disalin. Hareupeun eunteung. Neuteup kalangkang kuring na eunteung. Kolébat si Emus. Kolébat Nyi Wiwi. Kolébat si Ohim. Kolébat bedog. Patingkolébat. Na eunteung. Gidig kuring kaluar. Rurusuhan. [ ]

 

Jatinangor, 16 Maret 2010

(*) Mahasiswa Sastra Sunda Unpad tur aktif di Institut Nalar Jatinangor.

03 July 2025

Awéwé Dulang Tinandé: Kekurangan dan Keniscayaan

Sejauh pengetahuan saya yang amat terbatas, salah satu pertimbangan membuat judul buku kumpulan cerpen adalah diambil dari salah satu cerpen yang paling menonjol dalam buku tersebut. Lain itu, barangkali ada juga yang memutuskan mengambil salah satu judul cerpen yang dianggap mewakili secara keseluruhan—meskipun hal ini terkadang sangat sulit karena beragamnya tema yang terkandung kumpulan cerpen tersebut.

Jika bersandar pada dua alternatif di atas, buku kumpulan cerpen karya Wiranta alias Tjaraka yang berjudul Awéwé Dulang Tinandé (2011) rasa-rasanya kurang tepat untuk mewakili isi secara keseluruhan. Juga jika dihubungkan dengan catatan Ajip Rosidi pada pengantar buku ini yang berjudul “Kahirupan Sosial Urang Sunda dina Carita-Carita Tjaraka (Wiranta)”, pemilihan cerpen “Awéwé Dulang Tinandé”, hemat saya, tidak pas.

Mari kita urai. Cerpen “Awéwé Dulang Tinandé” mengisahkan rumah tangga seorang habib (warga keturunan Arab) yang tinggal di salah satu kecamatan di Cirebon. Rumah keluarga itu tak jauh dari kantor kecamatan. Sekelilingnya dipagar tinggi. Saat musim kemarau melanda, hampir semua tetangganya mengambil air dari sumur rumah keluarga habib yang entah mengapa tidak ikut kering.

Yang menjadi perhatian banyak orang sebetulnya bukan hanya air sumur, tapi juga istri sang habib yang masih muda, ramah, dan cantik. Berita ini akhirnya sampai juga ke telinga sang camat yang kala itu masih bujangan.

Suatu sore, camat berkunjung ke rumah habib dan pintu pagar tinggi dibukakan oleh istri habib. Keduanya kemudian menuju teras rumah dan disambut sang habib yang kakinya tengah sakit. Tuan rumah minta maaf karena belum menghadap camat baru itu ke tempat tinggalnya karena kakinya belum kuat.

Pada kunjungan berikutnya, sang habib ternyata tengah bertandang ke Betawi selama beberapa pekan, kebetulan saat itu bulan puasa. Dari obrolannya dengan istri habib yang cantik itu, camat akhirnya menyimpulkan bahwa istrinya habib adalah awéwé dulang tinanda, atau perempuan yang menerima apa saja perintah dan pemberian suaminya secara ikhlas—pada kasus ini sang suami, yakni habib, usianya jauh lebih tua, sering sakit kaki, dan kerap meninggalkan istri cukup lama.

Kenapa menurut saya cerpen ini kurang tepat diambil sebagai judul buku? Karena dari 19 cerpen yang dihimpun, cerpen “Awéwé Dulang Tinandé” tidak ada persaman apapun dengan cerpen-cerpen lainnya, alias hanya berdiri sendirian. Bandingkan misalnya dengan cerpen “Haturan Agan Nunung Rajainten”, “Mustika Ragrag”, “Kalangkang Béntang”, dan “Ménak Baheula” yang semunya disatukan oleh benang merah kehidupan para priayi atau menak. Malah jika harus mengambil salah satu cerpen tersebut untuk judul buku akan lebih tepat jika mengambil “Kalangkang Béntang”, sebab judul ini menggambarkan garis batas antara kaum menak dengan cacah atau rakyat biasa.

***

Secara keseluruhan, yang paling menonjol dari buku ini adalah cerpen “Haturan Agan Nunung Rajainten”. Cerita yang disimpan di bagian pertama ini membuatnya secara kualitas begitu berjarak dengan cerpen-cerpen lainnya yang kebanyakan terasa karikatural, atau setengah jadi karena si pengarang seperti ingin segera mengakhiri kisah.

“Haturan Agan Nunung Rajainten” menceritakan hubungan percintaan antara dua orang remaja yang secara sosial beda kelas. Nunung, anak menak. Sementara tokoh abdi (saya) sebagai narator adalah anak rakyat biasa, paling tinggi hanya menak kajajadén atau menak jadi-jadian.

Hubungan keduanya berlangsung lewat komunikasi atau suara narator yang amat menegaskan batas. Undak usuk basa begitu jelas: mana buat orang lain dan mana untuk diri sendiri. Perhatikan contoh berikut:

“Agan gugah, abdi hudang. Pahareup-hareup bari sili pelong. Agan nyusut lambey, abdi gé nyusutan biwir. Agan nyusutan karinget, abdi gé nyusutan késang...”

Di luar itu, cerpen ini juga ditulis secara tuntas, lengkap dengan narasi-narasi yang menjurus seksual, kelakuan para menak yang seenaknya, hingga tragedi yang memaksa para tokohnya untuk ikhlas menerima takdir.

***

Seperti beberapa pengarang Sunda lainnya, Tjaraka juga termasuk angkatan lama, artinya mengalami zaman sebelum perang. Ia lahir di Congéang, Sumedang pada tahun 1902 dan meninggal di Bandung tahun 1983.

Buku kumpulan cerpen para pengarang senior ini adalah ikhtiar para pengarang Sunda generasi yang lebih muda untuk mendokumentasikannya dalam sebuah himpunan. Seluruh cerpen dalam buku Awéwé Dulang Tinandé (2011) diambil dari majalah Manglé. Maka itu, segala kekurangannya adalah keniscayaan dari semangat mengarsipkan warisan literasi sastra Sunda. [irf]

 

02 July 2025

Absur: Rahasia Lelaki Tua yang Penyakitan

Saat saya masih kecil, setidaknya ada dua cerita yang disampaikan mama soal orang yang berpoligami tapi tak mau mengaku kepada istri pertamanya. Dua orang pelaku poligami ini masih terhitung saudara, bahkan tetangga.

Yang pertama, saat didesak oleh istrinya, alih-alih mengaku malah bersumpah yang mengerikan.

“Sok bapa, ngaku wé, da Ema mah tos rido,” kata istrinya.

“Teu, Bapa mah teu rumasa nyandung, mun Bapa ngabohong tujuh turunan Bapa kabéh tumpur!”

Yang kedua sumpahnya tak kalah mengerikan. “Daék hulu sagedé pedes!” katanya menyangkal bahwa dirinya telah berpoligami.

Barangkali mama memang mengatakan yang sebenarnya, atau mungkin hanya cocoklogi, tapi yang pasti apa yang nyata terjadi seperti berkaitan dengan sumpah-sumpah itu.  

Yang pertama, kehidupan anak-anak dan cucu-cucunya tak kunjung reda dilanda malang. Derita beruntun seperti badai tak hendak berlalu. Kematian tragis, jatuh miskin, kecanduan narkoba, dll.

Sementara yang kedua, entah kenapa, beberapa anaknya tumbuh dengan kepala yang ukurannya tidak biasa, lebih kecil dari manusia pada umumnya. Yang ini malah saat anaknya dari istri kedua telah besar, sengaja mencari saudara-saudara kandungnya sebapak lain ibu. Saat mereka dipertemukan, haru membuncah. Nyata bahwa sumpah bapaknya dusta belaka.

Novel Absur (2018) karya Hanna Djumhana Bastaman yang diterbitkan Pustaka Jaya kurang lebih menceritakan hal yang sama, yakni berpoligami tanpa izin atau sepengetahuan istri pertama.

Kata “absurd” dalam KBBI bermakna “tidak masuk akal; mustahil”. Pemilihan kata ini sebagai judul kiranya karena pola penceritaan alur mundur yang memakai gaya baru, yakni menceritakan pengalaman orang lain dengan menggunakan tokoh yang lain pula. Dalam novel ini konteksnya adalah laku bapak di masa lalu, dijalani oleh sang anak di masa kini—meski hanya dalam mimpi.

Sekali waktu, Aam Ramdani bermimpi bertemu dengan seseorang yang disebut sebagai adiknya. Padahal di kehidupan nyata dia tak punya adik, karena merupakan anak bungsu dari sembilan bersaudara. Penasaran dengan mimpi itu, dia akhirnya menemui kakak-kakaknya yang hanya tersisa dua orang.

Kedua kakaknya sama-sama menginformasikan bahwa Aam memang anak bungsu alias tak punya adik. Namun, dua bulan setelahnya, salah satu kakaknya mengatakan bahwa dia ingat satu peristiwa saat dulu bapaknya yang terserang penyakit gatal dan tak sembuh-sembuh, sempat berobat lama di Cijamblang.

Omih nama kakak Aam yang bercerita itu mengatakan bahwa dulu saat ia berkunjung ke kampung tempat bapaknya diobati secara tradisional, dia melihat seorang perempuan yang sedang mengandung.

“Tah, basa keur ngariung ngobrol katingal gigireun bumi aya awéwé keur sasapu. Sigana keur kakandungan. Kadéngé Mang Lebé naros ka Bapa lalaunan ‘béjakeun?’ cenah bari imut, ‘Entong’ waler Bapa. Téh Één karérét jebi saeutik. Saterusna mah uplek deui ngalobrol bari ngaropi,” kata Omih kepada Aam.

“Boa, boa bener Bapa téh kagungan garwa deui basa keur lalandong téa...” kata Aam.

Beralasan ceuk abdi mah. Kahiji, Bapa [harita] can pati sepuh, paling-paling gé 50 atawa awal 60-an. Sahandapeun umur abdi anyeuna. Kadua, aya sataunna teu mulih-mulih bari Ema gé carang angkat ka ditu kawantu dorésa di jalanna. Sing émut Bapa téh putrana aya salapan tangtos anjeunna pameget normal. Malah boa rohaka. Ari katiluna, mun enya ogé aya istri nu ngurus anjeunna tangtu ngaraos ragab, sabab lain muhrim. Apan sakitu nyantrina Bapa mah. Panghadé-hadéna ditikah...,” sambung Aam.

Setelah obrolan itu pikiran Aam tetap terpaut pada mimpinya, ihwal bertemu adik yang misterius itu.

Di usia yang sudah tak muda lagi, Aam kerap terbangun malam hari, salat tahajud, dan zikir sambil menunggu waktu Subuh. Suatu hari, saat zikir menanti Subuh, dia tertidur sembari tetap duduk dan bermimpi melakoni segala apa yang pernah dijalani bapaknya saat dulu berobat di Cijamblang. Dalam mimpinya dia berperan sebagai sang bapak yang berpoligami. Nah, novel ini hampir seluruhnya menceritakan lakon tersebut.

Di luar hal itu, novel ini memotret hal lain yang berkaitan dengan zaman menak. Yakni satu golongan yang karena dianggap berdarah biru sehingga banyak mendapat kemudahan akses terhadap harta dan jabatan. Bagaimana misalnya Bapa-nya Aam tak mendapat kesulitan sama sekali selama berobat. Oleh saudaranya, juga sesama menak, dia disediakan segala kebutuhannya. Bahkan cukup mudah untuk menikahi wanita lain yang usianya bertaut jauh dengan dirinya.

Saya yakin cerita ini juga menggambarkan keadaan sang pengarang—sesuatu yang oleh sebagian orang ditentang, mereka anti untuk mengait-ngaitkan karya dengan kehidupan pribadi pengarang.

H.D. Bastaman lahir di Padaherang yang sekarang masuk wilalah Kabupaten Pangandaran. Dia anak bungsu dari sembilan bersaudara. Bapaknya seorang pengsiunan halipah (khalifah)—pejabat (menak) di era Belanda yang berkaitan dengan urusan agama Islam.

Dengan latar keluarga seperti itu tentu saja dia paham bagaimana kehidupan menak sehari-ini. Maka tak heran jika di sejukur cerita dia lancar menggambarkannya.

Jika di mula catatan ini ada kisah tentang rakyat biasa yang berpoligami dan salah seorang berhasil menyembunyikan kelakuannya terhadap istri-istri pertama mereka, apalagi bagi seorang menak. Mudah saja bukan? [irf]


Wilujeng Énjing: Surat untuk Laki-laki Penakut

Dalam budaya Jawa dikenal istilah bibit (keturunan/asal-usul), bebet (status sosial ekonomi), dan bobot (kualitas diri/kepribadian dan pendidikan) dalam memilih pasangan hidup. Trilogi ini begitu populer hingga kadang menjalar ke suku-suku lain di luar Jawa.

Paham dan kepercayaan yang telah mengakar ini, berpadu dengan omongan saudara dan tetangga, juga salah paham, tak jarang melahirkan rasa minder, tak percaya diri, yang pada akhirnya kerap memakan korban, salah satunya Uca.

Pegawai biasa di salah satu kantor jawatan di Bandung ini sekali waktu bertemu dengan Anah—wanita pegawai kantoran—yang sama-sama hendak mencegat oplet menuju tempat kerjanya masing-masing. Pada pertemuan pertama keduanya langsung saling tertarik, tapi tentu saja tak langsung saling mengenal. Mau kenalan sayang sekali rasa malu lebih besar.

Baru pada pertemuan yang ketiga, keduanya berani saling mengucapkan, “Wilujeng Énjing.” Hanya itu. Tak lebih.

Namun, seiring hari yang terus berganti, mereka akhirnya berkenalan, dekat, dan berpacaran. Di titik inilah konflik mulai muncul. Ya, memang biasanya begitu, kan? Hubungan dua manusia kerap serupa lilin yang rapuh.   

Sekali waktu Uca berkunjung ke tempat tinggal Anah. Dalam perbincangan, sampailah pembahasan pada tempat kelahiran, dari mana berasal.

Anah berasal dari Kuningan, tepatnya di Jalan Pasapén, sebelah barat masjid agung. Singkatnya dia orang kota. Sementara Uca sebaliknya, meski dia juga sama berasal dari Kuningan, tapi kampung halamannya di Ciwaru, tepatnya di Pasirkadempét, jauh di desa.

Karena sadar dari kampung, Uca seketika minder. Padahal menurut Anah, dari mana saja berasal, dari kota atau dari kampung, bukan itu yang utama, melainkan prinsip dan agamanya.

“Tina pok-pokan jeung pasemonna ku abdi katangén yén anjeunna téh isineun pédah asalna tilembur singkur anu jauh ti kota. Ieu téh hartina, anjeunna ngarasa leuwih handap batan urang kota pituin, ngarasa henteu satata jeung urang kota. Cék saha henteu kolonial. Pandangan jeung sikep hirup kitu téh geus teu merenah jaman anyeuna mah. Ku abdi henteu bisa ditarima, da puguh mangrupa warisan jaman kolonial jeung féodal,” kata Anah kepada Ikah, kawannya.

Rasa rendah diri Uca kian bertambah saat Anah mengaku bahwa dirinya anak seorang pensiunan mantri polisi. Ia menganggap orang tua Anah lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang tuanya yang bekerja sebagai petani.

“Apan ku pandangan jeung sikepna kitu téh ngandung harti yén anjeunna geus nempatkeun darajat patani leuwih handap batan pangsiunan mantri pulisi, hartina ngahinakeun patani, ngahinakeun sepuhna sorangan anu sakuduna dimulyakeun,” sambung Anah.

Apa yang dirasakan Uca, yakni minder saat tahu pasangannya secara status dan ekonomi lebih dari dirinya, kiranya bukan urusan dia seorang. Kiwari, masih banyak laki-laki yang “kuméok méméh dipacok”, mundur teratur karena merasa keluarganya lebih rendah daripada keluarga pacarnya. Ini tentu saja beralasan, bisa jadi dia khawatir nanti keluarganya dianggap tidak setara dan dihinakan. Tapi bukahkah itu juga bisa dianggap sebagai ketakutan yang berlebihan?

Saya ambil contoh nyata. Adik kawan saya hendak melamar pacarnya yang anak seorang pensiunan TNI AU, orang Bandung kota. Kepada calon mertuanya dia berkata,”Bapak, saya orang kampung, orang Jampang, lembur yang jauh dari pusat Kota Sukabumi. Saya kerja di sebuah toko, dan hendak melamar anak bapak. Kiranya bapak mengizinkan.”

“Jika bapaknya tidak ngasih, ya sudah, yang penting saya sudah sampaikan apa adanya,” kata dia kepada saya saat bersua di kampung, di sebuah mudik lebaran.

Nyatanya sang mertua merestui, kini dia sudah beranak dua. Sehat sentosa.

Kembali ke cerita Uca dan Anah, selain minder, Uca juga ternyata kerap berlaku lancung. Mula-mula dia jadi guru di kampungnya. Tapi karena ingin jadi orang kota, dia akhirnya mengajukan pindah dengan sejumlah uang pelicin.

Di Bandung, saat ditempatkan di sebuah jawatan, dia berkesempatan untuk kuliah dengan dibiayai kantor. Namun, karena ingin hidup mewah, dia sibuk “berbisnis” hingga melupakan kuliah dan bahkan jarang masuk kerja.

Menghadapi dua noda pada diri Uca, yakni minder dan lancung, Anah muntab. Ia yang jujur dan menginginkan suami yang juga jujur—sesuai dengan prinsip hidupnya, akhirnya tak kuasa membendung amarah.  

Bagaimana kesudahannya? Pembaca bisa mengikutinya langsung di novela setebal 43 halaman ini. Ceritanya sederhana, tapi relevan dan menohok bagi setiap laki-laki yang tingkat keberaniannya begitu mengkhawatirkan. [irf]


27 June 2025

Laleur Bodas: Rahasia di Balik Perselingkuhan dan Rencana Pembunuhan

Di sampul depannya tertulis “Novel misteri Sunda klasik nu nepi ka kiwari teu weléh dipikameumeut”. Ya, dari awal kisah ini memang langsung tancap gas, penuh teka-teki, nyaris sampai akhir. Memaksa pembaca mau tak mau mesti menyelesaikannya hingga tuntas jika mau mengetahui bagaimana cerita ini berakhir.

Mula-mula hanya kisah cinta biasa. Lawan jenis. Pemuda dan gadis. Tapi masalah mulai muncul saat tokoh lain memadu kasih di luar kesepakatan umum (pernikahan). Singkatnya perselingkuhan. Penyakit relasi ini pada akhirnya membelit banyak kaki dalam konflik pelik yang disusun sedemikian rupa. Memuncak hingga terjadi rajapati.

Samsu, pengarang novel ini, merupakan singkatan dari Sambas dan Susangka, dua-duanya lahir di Kuningan dengan tanggal, bulan, dan tahun yang sama persis: 23 September 1917. Bukankah ini sebuah kebetulan yang aduhai bagi pengarang kisah misteri?

Laleur Bodas (lalat putih) sang tokoh misteri yang “memandu” alur cerita amat lincah bergerak. Ia muncul dalam surat-surat pendek, menginformasikan kejadian-kejadian yang akan tiba kepada tokoh-tokoh lainnya. Serupa nubuat yang meneror hari-hari penuh asmara, prasangka, fitnah, dan amarah.

Basri dan Lili, sejoli yang membuka novel ini timbul tenggelam dalam alur penceritaan yang dramatis dan rumit. Di seselanya, Laleur Bodas menguntit.

Saat kisah mendekati penghujung, yakni ketika tokoh Laleur Bodas akhirnya terongkar, pembaca bisa jadi akan teringat dengan adegan yang selalu muncul dalam serial Detektif Conan, yakni saat ia membeberkan segala penemuannya lewat detektif Kogoro Mouri yang tertidur.

Secara keseluruhan, rasanya tidak berlebihan jika kisah misteri ini diklaim sebagai “Novel misteri Sunda klasik nu nepi ka kiwari teu weléh dipikameumeut”. Hurung! [irf]

25 June 2025

Eunteung (Bagian 1)



Karya Dede Mudopar


Mani horéam sabenerna mah. Tiris. Tapi da kawajiban. Ngaronda. Kabagéan ngaronda. Tabuh sapuluh kakara turun ti imah. Sajajalan ti imah ka garduh mani tiiseun. Jempling. Sora gaang jeung jangkrik nambahan simpéna peuting. Geus pada sararé jigana. Carapéeun. Ma’lum usum gawé. Usum macul.

Ti jauh geus katingali di garduh aya nu cindukul. Ngan sorangan jigana téh. Saha nya ceuk pikir. Geus deukeut karék atra. Si Emus horéng. Si Emus keur cindukul diharudum sarung. Ngahareupan goréng ulén sapiring, térmos, jeung gelas tilu na baki nu geus aya kopian.

“Aéh geuning Emus? Iraha balik ti kota, Mus?” ceuk kuring bari asup ka garduh. Solongkrong ngajak sasalaman. Si Emus rada reuwaseun. Kagebah.

“Tadi Kang, tabuh salapan, da ngéndong heula di Talaga. Kapeutingan puguh di jalan, Kang,” témbal si Emus bari ngasongkeun leungeun. Tuluy nangkeup tuur.

“Oh. Enya mending meuting wé heula, daripada kana ojég. Mahal. Jaba sok maksa deuih,” omong kuring. Gék diuk gigireunana.

“Muhun atuh Kang,” tembalna bari angger nangkeup tuur.

Katingalina rada nguyung si Emus téh. Nu biasana sok resep heureuy. Anéh, ceuk haté.

“Éh, nya kamarana batur, Mus? Éta Mang Dasim jeung Mang Suma, pan bagéan ronda éta ogé,” ceuk kuring bari ngarongkong térmos jeung baki. Rék ninyuh kopi. Sugan rada haneut ari bari nginum kopi mah.

“Mang Dasim mah teu ngareunah awak, cenah. Tadi budakna ka dieu bari éta nganteurkeun kopi jeung térmosna. Ari Mang Suma mah iang domba ka Cikolé, cenah. Tadi pamajikanana ka dieu, nganteurkeun éta goréng ulén,” ceuk si Emus bari angger teu robah diukna.

“Euleuh atuh urang ngan duaan nya, Mus. Ngopi Mus?” ceuk kuring nawaran kopi ka si Emus. Manéhna ngan gideug. Kuring teu nawaran dua kali. Can hayangeun meureun. Kusiwel kuring ngaluarkeun roko tina saku.

“Tah atuh udud wé Mus,” ceukeng. Si Emus ngan ngarérét. Geus. Euweuh deui nu ngomong. Kuring ngadon ngopi jeung udud. Si Emus angger nangkeup tuur. Gadona diteueulkeun kana tungtung tuur. Teuteup ka hareup. Kosong. Anteng ngalamun. Jempling euweuh nu lémék.

“Jang Emus téh nyabana di Bandung nya?” kuring pok deui.

Da teu ngareunah atuh ari paheneng-heneng téh. Asa waé euweuh batur.

“Muhun,” témbalna pondok.

“Kana naon, Mus?”

“Cuanki.”

“Ramé Mus kana cuanki?” ceuk kuring bari nyuruput kopi.

Lumayan, Kang. Ramé.”

“Atuh naha ari keur ramé ngadon balik?”

“Puguh bet teu ngeunah raraosan, Kang. Émut baé ka lembur.”

“Teu ngareunah rarasaan? Kitu aya naon, Mus?” ceukéng bari kerung. Tapi haté mah geus teg waé ka pamajikanana.

“Ah teu aya nanaon, Kang,” pokna bari menerkeun sarungna nu méh ngoléséd. Nangkeup tuur deui. Neuteup ka hareup deui. Kosong. Jempling deui. Sora bueuk ngueuk na tangkal nangka nu ngaroyom kana garduh. Atra kadéngé. Matak keueung.

Jigana soal pamajikanana, Nyi Wiwi, nu dipikiran ku si Emus téh. Meureun geus nyahoeun si Emus kana kalakuan Nyi Wiwi mun si Emus keur nyaba ka Bandung téh. Pan geus jadi sabiwir hiji. Geus teu anéh deui. Di unggal golodog ogé anu diaromongkeun téh ngan Nyi Wiwi. Pajar tadi peuting Nyi Wiwi geus ngampihan deui si Ohim. Pajar téh cenah, mun si Ohim karék asup ka imahna, lampu sok langsung dipareuman. Duku enya duka jijieunan éta téh, da kuring mah can nangénan sorangan. Éta deui pamajikan kuring gé mani sok ngomong waé ka kuring. Si Wiwi mah teu boga pipikiran, euweuh-euweuheun salingkuh jeung si Ohim. Jalma bangsat purah babadog. Pagawéan mabok waé, ceuk pamajikan kuring bari sok jebéng-jebéng waé. Gandéng ah, tong ngomongkeun batur. Doraka. Paling némbal kitu ka pamajikan téh.

Enya atuh ari kana kituna mah. Si Ohim téh jalma teu bener. Kuring kungsi ningali manéhna nampiling pamajikanana di hareupeun warung Ceu Haji. Heug lobaan batur. Teuing masalahna mah teu pati apal. Da harita kuring kaburu ngaléos. Sok watir ningali nu kitu téh. Watir ka pamajikanana. Jaba tara dibéré napakah cenah pamajikan jeung budakna téh. Budakna reuay. Jang dahar sapopoéna, pamajikanana sok buburuh ngarit ka tatanggana.

Sok mabok deuih si Ohim téh. Jigana teu kaur boga duit, dibeulikeun kana inuman. Di saung pupudunan nu ka walungan sok mabokna téh. Kungsi kuring gé manggihan. Di saung éta. Isuk-isuk. Kuring rék ka sawah Cibanyusari. Ngaliwat ka dinya. Si Ohim keur ngajoprak waé. Di gigireunana botol inuman sadua-dua. Geus saraat. Harita kuring bari gogodeg. Cenah da meutingna ogé sok di dinya waé. Tara balik ka imahna. Meureun balik ti imah Nyi Wiwi ogé sok ka dinya.

Beg! Kuring ngarénjag. Aya nu panas kana ramo. Nyundut ramo. Bedus roko geus pondok. Seuneuna antel kana ramo. Nyundut. Ngagebah lamunan. Ngarérét jam tangan. Geus jam sawelas. Rét ka si Emus. Angger..nangkeup tuur. Huluna diantelkeun kana tuurna. Ngalamun kénéh.

“Mus, nguriling yu!” cekeng bari cengkat. Manéhna teu némbal. Milu cengkat. Kuring kaluar ti garduh. Leumpang ka kulonkeun. Manéhna nuturkeun di tukang.

Nguriling téh ka kulon heula. Mapay-mapay jalan leutik di antara paimahan. Nepi ka tungtung kulon lembur. Deukeut pupudunan nu brasna ka walungan. Hawar-hawar kadéngé séahna cai walungan. Rada reuwas ogé barang nepi ka dinya, ngadéngé sora incuing. Ngajerit. Matak nambahan keueung.

Ti tungtung kulon lembur, méngkol ka kidulkeun. Nanjak ka jajalanan nu brasna ka masjid. Terus ngétan. Ngaliwat ka warung Ceu Haji. Geus tutup. Di wétaneun warung panggih jeung Wa Lili. Rék néang cai. Ngarandeg heula da Wa Lili ménta heula udud. Teu ngobrol heula. Katingalina Wa Lili rada rurusuhan. Sieun kaburu aya nu mendet cai. Nuluykeun deui nguriling. Méngkol ka kalér. Mudun ka jajalan nu ka pasantrénkeun. Jajalanan ka imah si Emus. Sapapanjang nguriling. Taya nu ngomong. Teu ngobrol sakecap-kecap acan. Tiiseun deui. Ngan sora bangkong réang ti pasawahan kiduleun lembur. Tamba tiiseun, unggal manggih tihang listrik sok ditakolan ku batu. Méh teu combrék teuing.

Kuring angger leumpang di hareup. Si Emus nuturkeun di tukang. Geus deukeut imah si Emus, kira-kira kahalangan ku dua imah, aya nu ngojéngkang ka pipir imah Mang Hadi. Kuring ngarandeg. Kuring ngalieuk ka si Emus. Manéhna kerung. Curuk diteueulkeun kana biwir. Bari merong ka si Emus.


(Bersambung)

  

    


09 June 2025

Masjid An Nuur Kebonjati: Sedikit yang Tersisa di Sukabumi

Saat seseorang menginjak usia 40, dia merasa segalanya telah terlambat. Tapi ketika dia sampai di usia 60, sangkaannya ternyata keliru. Tak ada kata telat, hari demi hari bisa diraih dengan banyak hal: olahraga, menulis, membaca, mengunjungi kawan, dan tentu saja menghisab diri sendiri.  

Agustus 2024, setelah sekitar 22 tahun tinggal di Bandung, saya akhirnya kembali ke Sukabumi. Dari jendela bus MGI, setiap pemandangan yang berlarian hanya menggoreskan sepotong lirik, “dikantun montél katineung, paanggang muntang kamelang.”

Setelah ditinggalkan dua dekade lebih, tak banyak yang tersisa di Sukabumi. Satu di antara yang masih tercecer dalam ingatan dan kenangan adalah Masjid An Nuur di Kebonjati. Ia terletak di kawasan yang dipotong Jalan Siliwangi dan Jalan R.A. Kosasih (Ciaul).

Tahun 1999, setelah delapan bulan tinggal di rumah Pak Yusuf Kholidi di daerah jalan cagak, Cibaraja, seorang kawan mengajak saya untuk pindah ke Masjid An Nuur. Rano Rofiuddin Al Mubarok nama kawan itu.

“Di belakang masjid ada ruangan cukup luas, tempat anak-anak asal Jampang mondok, pindah saja ke sana. Gratis, asal aktif memakmurkan masjid,” kira-kira begitu ia sampaikan.

Setelah pamit, saya menyewa angkot dan membawa lemari kecil tempat menyimpan beberapa lembar pakaian.

Lalu dimulailah rutinitas baru. Setelah salat Subuh berjamaah, mendengarkan kuliah subuh di tengah rasa kantuk yang masih tersisa jadi kewajiban. Saat langit di timur kian memerah, kuliah subuh selesai dan bersiap antri untuk mandi. Sore hari setelah salah Asar berjamaah, semua “santri” berkumpul di ruang samping masjid dan membaca terjemahan Sahih Muslim secara bergantian. Ya, hanya membacanya.

Berikutnya saya agak lupa, entah selesai Magrib atau bakda Isya, Kang Wawan, guru kami, biasanya akan menyampaikan nasihat-nasihat atau teguran atas “pelanggaran” sehari-hari. 

Kisah Tiga Gang

Untuk sampai ke Masjid An Nuur, setidaknya ada tiga gang yang biasa saya lewati, yakni Gang Munajat, Gang H. Mukhtar, dan Gang H. Marzuki. Ketiganya serupa rajah yang hendak berjejak di ingatan.

Di mulut Gang Munajat, setidaknya warsa 1999-2001, terdapat ibu tua penjual lotek, jika tak salah seporsi harganya 4.000 rupiah. Di dekatnya, tepatnya di trotoar Jalan R.A. Kosasih, bapak tua berjualan gorengan, harga satunya hanya 500 rupiah. Keduanya kerap saya beli sebagai teman nasi.

Dibekali uang 100.000 rupiah perbulan (untuk makan, ongkos angkot, biaya tugas sekolah, dll), makan dengan empat biji gorengan adalah hal yang jauh dari buruk. Bila sesekali membeli lotek, yang terbayang justru delapan biji gorengan yang disia-siakan.  Pilihan yang cukup berat.

Lewat Gang Munajat pula saya sering mendatangi lapak penjual koran. Tak jauh dari 1998, saat keran pers dibuka selebar-lebarnya, banyak tabloid baru dan lawas bermunculan, di antaranya Tekad dan Abadi, keduanya tabloid politik.

Setelah titik didih reformasi sedikit bergeser, saya mulai membeli majalah Sabili dan Tarbawi. Sebetulnya, kedua majalah ini juga tak bisa dilepaskan dari reformasi. Sabili gencar meliput konflik berdarah di Maluku, sementara Tarbawi lahir dari lingkungan kelompok Tarbiyah/Partai Keadilan—waktu itu belum ditambahkan kata “Sejahtera”.

Sekarang, lapak itu masih ada, tapi penjualnya luput. Konon dia beralih jadi pengendara ojek online. Zaman memang tak bisa dilawan.

Bila malam, di sebelah tempat lapak penjual koran muncul penjual bandros. Lapak jualannya berupa kursi pendek memanjang, si penjual duduk di atas dingklik. Selain menikmati bandros, pembeli juga bisa memesan kopi, susu, teh, atau kopi susu. Sekarang (2025) harga segaris bandros 10.000 rupiah, entah dulu, saya lupa lagi.

Sebetulnya bandros yang paling terkenal di Sukabumi dari dulu hingga sekarang adalah bandros Atta di Jalan Gudang, tapi karena pembelinya selalu ramai, saya segan.

Dari pinggir Jalan R.A. Kosasih, setiap kali keluar dari Gang Munajat, saya sesekali mengarahkan pandangan ke timur, ke arah Bandung, kota impian bila masa SMA telah usai. 

Gang kedua, yakni Gang H. Mukhtar, terletak di pinggir SD Negeri Pintukisi, Jalan Siliwangi. Dulu jalan ini dua arah, sekarang direkayasa jadi satu arah, para pengendara hanya boleh melintas dari arah utara. Di sebuah belokan sebelum Masjid An Nuur, terdapat rumah Alm. Farid Hardja. Ia meninggal pada Desember 1998, beberapa bulan sebelum saya pindah ke An Nuur.

Di belakang “pondok” Masjid An Nuur terdapat rumah Mama Arafah. Entah siapa nama aslinya, yang jelas seorang haji pemilik penyewaan peralatan pernikahan dan rias pengantin bernama Arafah. Belakangan, dia membuka bisnis serupa di Jalur Lingkar Selatan Sukabumi.

Lewat Gang H. Mukhtar saya biasanya pergi ke sekolah. Melintasi Jalan Siliwangi, Jalan Ahmad Yani, Jalan Otista, lalu menunggu angkot nomor 25 trayek Ramayana-Terminal Jubleg di dekat pintu perlintasan kereta api. Angkotnya warna hitam, pagi-pagi selalu ramai oleh anak-anak SMANSA.

Lewat gang ini pula, pada malam hari selepas Isya, saya terkadang membeli lontong sayur di daerah Kota Paris, di seberang gereja. Dulu cukup heran, karena lontong sayur ditambahi serundeng halus dari kelapa. Sekarang, setelah kembali ke Sukabumi, ternyata semua lontong sayur di kota ini memang selalu dibubuhi serundeng.

Gang ketiga, Gang H. Marzuki, masih terletak di Jalan Siliwangi, tapi sekaligus terletak di ujung Jalan R.E. Martadinata. Di sebelahnya terdapat Radio NBS FM yang sampai sekarang masih eksis.

Sesekali, jika malam telah sempurna menutup malam, saya membeli mie goreng yang dijual di depan kantor NBS FM. Menu bawaannya selalu pakai empedal (ampela) ayam, cita rasanya manis, mirip Chinese Food. Dan seperti lontong sayur, ternyata seluruh mie goreng di Sukabumi cita rasanya sama.

Di gang ini terletak rumah Pak Baehaqi, Ketua Yayasan An Nuur. Beliau meninggal tak lama setelah saya mulai “mondok” di Masjid An Nuur. Ia wafat dini hari, sekitar pukul 01.00. Bersama beberapa orang guru dan kawan, saya ikut memandikan jenazahnya. Saat itu, anak-anaknya masih di perantauan.

Di gang ini pula rumah seorang kawan terletak, yaitu rumah Firman Darmawan alias Pimpim, kawan semasa SMA, meski kami tak pernah sekelas. Di sebelahnya, ada rumah Candra, bocah SMP yang rajin salat berjamaah di Masjid An Nuur.

Sebagai catatan, Sukabumi pada tulisan ini mengacu kepada Kota Sukabumi, sebuah wilayah yang hanya diisi oleh tujuh kecamatan, bukan Kabupaten Sukabumi yang memiliki 47 kecamatan.

Nasyid dan Anak-Anak Jampang

Wilayah Jampang meliputi beberapa kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur. Di era kolonial, wilayah ini terkenal sebagai salah satu tempat berburu banteng para pembesar Belanda. Secara umum, Jampang dibagi menjadi tiga kewedanaan, yakni Jampang Kulon, Jampang Tengah, dan Jampang Wetan.

Ibu kota Jampang Tengah bernama Bojonglopang, sementara ibu kota Jampang Wetan adalah Sukanagara. Berbeda dengan dua wilayah itu, ibu kota Jampang Kulon sama dengan nama kewedanaannya, yaitu Jampang Kulon. Namun dulu sebenarnya ibu kota Jampang Kulon itu bernama Cicurug Pamerangan. Informasi tersebut terdapat dalam buku Mulangkeun Panineungan: Dumasar Pangalaman-pangalaman Sajati nu Cumantél Kana Haté, Nyangkaruk dina Kalbu, Kumacacang dina Implengan karya Muchtar Affandi.

Anak-anak Jampang yang tinggal di Masjid An Nuur Kebonjati berasal dari sejumlah kecamatan, yakni Surade, Sagaranten, dan Jampang Kulon. Nama yang paling akhir disebut adalah kampung halaman saya. Sekolah kami berbeda-beda: SMP An Nuur, SMA Muhammadiyah, SMANSA, SMK Muhammadiyah, SMK AMS, dan SMKN 1 Sukabumi.

Kang Wawan, guru kami, konon mantan pemain band, atau setidaknya pernah main band bersama kawan-kawannya semasa kuliah di Unwim Jatinangor. Setelah kembali ke Sukabumi, dia sepertinya bergaul dengan Jamaan Tabligh yang mengharamkan musik. Maka, ketika kami tinggal di Masjid An Nuur, segala macam musik dilarang, kecuali nasyid yang saat itu sangat booming seiring bergairahnya dakwah Islam di kampus-kampus sekuler dan sekolah.

Waktu itu masih era kaset pita. Kaset-kaset saya yang non-nasyid semua kena razia, di antaranya Noin Bullet album Bebas (1999), Jun Fang Gung Foo album Naga 2000 (1999), /rif album Nikmati Aja (2000), dan sebuah kaset rekaman kabaret untuk lomba kesenian antarkelas di SMANSA—kehilangan kaset yang ini sampai sekarang masih saya sesali, pasalnya ia diproduksi oleh banyak kawan-kawan di rumah Herlan Jaelani di daerah Ciaul. Saat berita kehilangan ini saya sampaikan, tentu saja mereka kecewa.

Meski demikian, meski dikekang peraturan yang terasa meringkus, pada akhirnya hampir setiap hari mendengarkan nasyid bisa menjadi obat kesepian. Kelak, saat jauh dari Sukabumi dan teringat hari-hari di Masjid An Nuur, saya selalu memutar nasyid-nasyid itu di Youtube.

Seperti musik pada umumnya, nasyid juga terbagi atas beberapa genre. Warsa 1998-2000 saat konflik agama memanas di Maluku, Izzatul Islam mengeluarkan nomor-nomor bertema jihad yang membakar. Grup nasyid yang didirikan pada 1994 sebelumnya telah mengeluarkan album Seruan (1994), Ramadhan (1995), dan Untuk Sebuah Cita (1996). Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya mereka mengeluarkan album Kembali (1999).

Perhatikan narasi pembukanya:

“Hari ini manusia kehilangan eksistensi, cita-cita tanpa orientasi, visi tanpa ideologi, raga bergerak tanpa jiwa, tanpa rasa. Menapaki hari-hari dengan payah yang kian bertambah, dunia menguasai jiwa, kemuliaan luruh bersama tetes-tetes peluh kehinaan. Manusia jatuh pada lembah nadir kenistaan, dan kematian hati kian mendekat, dan kemuliaan jiwa kian sulit melekat. Sebuah seruan harus dilantunkan untuk kembalikan kehormatan diri, umat, dan agama yang lama tercabik dihinakan. Seruan yang tetap lantang dikobarkan, dari kami Izzatul Islam.”

Album ini terdiri dari 10 nasyid. Saat mendengarkan nasyid nomor 5 yang berjudul “Kami Harus Kembali”, pikiran langsung melayang ke konflik berdarah di Maluku yang tak bisa dilepaskan dari persoalan politik. Berikut potongan liriknya:

“Berkobar Tinggi Panaskan bumi

Membakar ladang dan rumah kami

Darah syuhada mengalir suburkan negeri

Tiada kata lagi… kami harus kembali

Siapa dituduh siapa menuduh

Mulut lancang asal berbicara

Kami mujahid bukan perusuh

Berjuang pertahankan agama

Tanah lahir kami… akan tetap dibela.”

Jika Izzatul Islam mengobarkan semangat jihad, lain lagi dengan Suara Persaudaraan, The Zikr, Raihan, Snada, The Fikr, Justice Voice, Harmony Voice, Alif, dan Gradasi. Semuanya mewarnai hari-hari masa SMA.

Beberapa album mereka hampir berbarengan dengan kemunculan album band-band ska, Dewa 19 album Bintang Lima (2000), Padi album Lain Dunia (1999), Rage Against The Machine album The Battle of Los Angeles (1999), Korn album Follow the Leader (1998), Limp Bizkit album Significant Other (1999), Reza Artamevia album Keabadian (2000), Biohazard album New World Disorder (1999), dan Pas Band album Psycho I.D (1998).

Album-album band dan solo itu saya dengarkan di rumah Rahman Sidik, Herlan Jaelani, dan Ari Saptono. Karena tentu saja di An Nuur mereka sangat dilarang.  

***

Saya mulai meninggalkan Sukabumi tahun 2002. Setelah menganggur setahun di kampung akhirnya mulai kuliah di Bandung, tepatnya di Ciwaruga. Sebetulnya tinggal di Kota Kembang tidak benar-benar 22 tahun, karena sebelum kembali ke Sukabumi pada 2024, saya pernah juga tinggal beberapa tahun di Jakarta. Tapi entah kenapa tahun-tahun di Jakarta terasa kurang berkesan, padahal semuanya berkesinambungan dalam membangun riwayat.

Belum lama ini saya menemukan akun IG Masjid An Nuur Kebonjati dan melihat satu unggahan acara yang pembicaranya tertulis Ustaz Acil. Deg! Bukankah ini Acil bocah yang dulu sering berlari-lari di masjid bersama tiga orang kakaknya: Rizal, Iqbal, dan Abduh? Sekarang dia juga sudah tampil sebagai khatib saat salat Iduladha di Lapangan Tenis Bunut.

Waktu benar-benar berkelebat. Saat saya dan Rano duduk di bangku SMA, Acil bahkan belum masuk SD. Kata orang Sunda, “Da hirup ngan sakolépat, diudag-udah balébat.”

Rano sekarang tinggal di Selabintana, anaknya lima, yang paling besar tengah kuliah di Karawang. Dia aktif sebagai kader PKS. Waktu saya memesan kacamata ke rumahnya, waktu seolah berhenti. Wajah dan perawakannya tak berubah. Juga humornya. Masih seperti dulu, saat kami masih sama-sama menjaring matahari di Masjid An Nuur Kebonjati. [irf]