Meskipun tidak segila makan sayur asem pakai kecap manis, atau makan kolak pisang pakai nasi, tapi menulis cerita dengan bahan-bahan yang digali dari mata air gradasi : perbatasan antara fakta dan fiksi, adalah ide cerita yang strukturnya seolah-olah melarikan diri. Diperlukan kemampuan membaca dengan teknik Kopaska (Komando Pasukan Katak) untuk menikmati jejaring cerita yang secara kasat mata tampak tak beraturan, beraroma personal, dan terkadang seperti sebuah manuver “undangan”. Barangkali para penganut mazhab komunikasi konservatif tidak akan bisa mengikuti alur cerita, karena mereka berpedoman pada “apa sih sebenarnya yang disampaikan?”. Jika pertanyaan itu tidak menemukan jawaban, maka bagi mereka komunikasi telah gagal. Diperlukan beberapa buku karangan Afrizal Malna untuk mendeteksi struktur yang melarikan diri itu. Di sebuah republik, di mana para penghuninya terbiasa berbicara dengan selubung kabut, maka diperlukan mata yang tak hanya mengfungsikan retina.
Menjunjung tinggi amsal, umpama, dan metafora, bukan berarti menjadi penghuni kastil atau menara gading. Gelaran Idol tidak akan berguna di tengah pusaran perang tulisan. Jika pun ada perlombaan, itu tak lebih dari gorong-gorong saluran untuk membagikan buku. Bertemu dengan beragam kepala tidak bertujuan untuk menyamakan pikiran. Tidak juga untuk membuat seragam dalam tulisan. Tapi ingat sebuah konsekuensi, bahwa kita harus selalu menyediakan ruang untuk dibenci, atau minimal untuk dikritisi. Jika itu tak disiapkan, maka sampai kapan pun akan begitu mudah untuk merasa dipenggal, akan merasa bahwa semua tempat seolah-olah mezbah : altar penyembelihan. Apakah ini terasa keras? : relative. Apakah kita kolam yang luas, atau hanya sebuah gelas?
Tantangan menghadang di muka. Ketika ratusan tulisan mengalir deras, maka dibutuhkan mental kerani yang siap berjaga di palagan arsip. Juga beberapa editor jadi-jadian yang bersedia berdiskusi untuk memilah dan memilih beragam tema untuk ditempatkan pada rumahnya masing-masing. Ini juga semacam struktur yang melarikan diri, sebab jadwal resmi para buruh telah dipahat jauh-jauh hari di lukisan angka yang setia menempel di kalender. Kalau saja tidak diberi kecintaan kepada kata-kata, pasti republik ini sudah dari dulu gulung tikar, dan diganti dengan lapak jual-beli ala kaskus. Tapi batu tapal kita bukan itu, kita tidak berangkat dari sana.
Para pembaca yang sibuk, yang selalu menagih makna dari setiap renik tulisan adalah tamu-tamu yang harus diberi perhatian. Mereka adalah batu bata yang juga ikut membangun republik ini. Dari dulu, di berbagai penjuru, berjuta-juta tulisan telah lahir dengan proses persalinan yang beragam. Berjuta apresiasi dan serapah telah dihambur-hamburkan. Berjuta cerita datang mengilhami, atau hanya narasi basi yang tak layak dicatat di kitab puja-puji. Begitu banyak catatan yang dilahirkan menyerupai aborsi, tapi kita tidak pernah menuntut republik ini dipenuhi olah para ksatria suci. Dan huruf tidak pernah memihak kepada salah satu pihak, karena menulis adalah sebuah gerak. [ ]
10 Feb ‘12
No comments:
Post a Comment