Sehari sebelumnya, sebelum tugas cerpen itu dikumpulkan, saya berdiri di balik pintu yang tertutup, pintu yang dipenuhi oleh tempelan stiker, coretan spidol, dan sebuah poster. Di dalam terdengar suara orang tengah mengobrol menggunakan ponsel. Saya ketuk pintu sambil menghantamnya dengan ucapan keselamatan, “Assalamu’alaikum”. Pintu tak bergeming, yang berbicara masih terdengar. Saya ulangi sampai tiga kali, pintu belum juga terbuka. Saya hantam dengan ucapan yang lain, “Sepadaa…”, tetap tak ada perubahan. Akhirnya saya duduk di depan pintu itu dan membelakanginya sambil mulai bertanya-tanya, “Sejak kapan bang Joni berubah menjadi Bolot?, apakah kamarnya yang kedap suara?”. Tak lama, tiba-tiba saya mendengar suara di belakang, “Sudah lama ente duduk di sini?”, saya lihat ke belakang, bang Joni sudah berdiri di ambang pintu dengan penampilan dalam kondisinya yang sangat memprihatinkan. Tak ada yang lebih mengenaskan selain seorang mahasiswa yang belum mandi, rambutnya acak-acakan, mukanya lengket oleh minyak alami, berjerawat, bibirnya menghitam karena cigarette, dan perutnya tidak simetris karena terlalu sering dijejali mie instant. Dan sekarang, di depan saya, makhluk seperti itu tengah berdiri.
“Lumayanlah bang sudah satu jam menunggu,” kata saya sambil mulai berdiri. “Kenapa tidak kamu ketuk saja pintunya?, atau teriak ucapkan salam?,” ini dia salah satu penyakit orang budeg, dia selalu menanyakan hal yang sebenarnya telah oranglain ucapkan. Saya tak mau berlama-lama dengan menjelaskan secara detail apa yang telah saya lakukan tadi, saya hanya mau pinjam buku kumpulan cerpen. “Bang, punya buku kumpulan cerpen ga?”, dia tidak menjawab malah masuk lagi ke kamarnya dan mengambil ponselnya yang berbunyi. Kalau dilihat dari muka dan cara bicaranya, dia pasti bukan sedang berbicara dengan laki-laki, karena dia terkesan melembut-lembutkan suara dan seperti ada senyum yang tertahan. “Ayo masuk, jangan di luar saja, cari tuh di rak buku?,” ponselnya agak dijauhkan dari kuping waktu dia menyuruh saya masuk. Dia duduk di ambang pintu waktu saya mengacak-ngacak rak bukunya.
Koleksi bukunya lumayan banyak, tapi anehnya, dari yang banyak itu, sangat sedikit saya temui buku-buku yang berhubungan dengan pelajaran kuliah. Bang Joni kuliah di program studi Administrasi Bisnis, tapi bukunya hampir 99 persen didominasi oleh novel, memoar, biography, catatan perjalanan, cerpen, sejarah, dan puisi. Buku yang berhubungan dengan mata kuliah hanya ada karangan The Liang Gie untuk mata kuliah kearsipan, dan…. Lalu saya menemukan sebuah buku bersampul coklat bergambar seorang kakek berjenggot lebat yang sedang menulis, saya buka secara acak dan berhenti pada sebuah cerita berjudul Matinya Ivan Ilych. Sementara bang Joni masih bicara di telepon dengan suara yang dilembut-lembutkan, dan masih dengan senyum yang tertahan tanda ada kebahagiaan di pedalaman dirinya, saya hanyut dalam cerita yang ditulis oleh pengarang buku bersampul coklat itu.
Alangkah tragis kisah hidup Ivan Ilych. Tanpa melihat lagi buku cerita yang lain, saya langsung putuskan, bahwa buku yang covernya berwarna coklat ini, yang pengarangnya adalah ternyata Leo Tolstoy, adalah buku yang akan saya pinjam buat memnuhi tugas pelajaran bahasa Indonesia. Sambil membereskan lagi buku yang tadi sempat keluar dari rak, saya mulai berpikir, tiba-tiba seperti ada yang menyalakan pemantik lalu membakar dan mengingatkan saya, bahwa penyelidikan saya terhadap bang Bisma, bang Joni, dan bang Erlan belumlah berakhir, bahkan sesungguhnya baru dimulai. Maka demi ingat misi tersebut, saya langsung memasang radar dan memutar otak, dan sebuah lampu berwatt tinggi langsung menyala terang di kepala saya.
Pengamatan saya yang dulu, yang meyakini bahwa bang Joni adalah bertype seorang pemuda misterius karena tidak pernah menggoda perempuan-perempuan cantik yang lewat di depan warung kopi bu Risna, yang menyebabkan saya menarik semacam kesimpulan sementara, bahwa bang Joni belum puber, belum suka dengan makhluk yang bernama perempuan, saat ini keyakinan itu goyah. Kalau bicara dengan seorang laki-laki, mana mungkin tutur bicaranya halus dan lembut?, pasti kata-kata seperti “aing, maneh, lo, urang dan sia” akan berhamburan dari mulutnya. Tapi kali ini, oh bukan main, untuk kata ganti diri sendiri dia pakai kata “aku”, dan untuk kata ganti orang yang berbicara di ujung ponsel, dia pakai kata “kamu”. Ini sangat tidak lazim, pasti sesuatu telah terjadi. Mungkinkah hati bang Joni sedang ditawan ranger pink?. Siapa pula perempuan malang yang berhasil dirayunya?.
***
Lapangan komplek, kalau sore, semenjak trio penguasa warung kopi sering nongkrong di sana, sudah hampir menyerupai taman kanak-kanak. Dua kali seminggu, bang Bisma akan duduk atau berdiri di pinggir lapang sambil membawa topeng dan beberapa mainan anak, dan yang paling sering dia bawa, apalagi kalau bukan topeng Gorgom. Lalu anak-anak akan berkumpul di dekatnya, mendengarkan dongeng yang diceritakan oleh bang Bisma. Saya tidak pernah sekali pun mendekati kerumunan yang diciptakan bang Bisma itu, saya sudah besar, masa harus bergabung dengan bocah-bocah SD?. Lagipula, saya yakin, dongeng bang Bisma itu pasti garing alias tidak menarik, pasti akan terdengar kaku, seperti dirinya yang sering berlama-lama di kamar dan di warung kopi.
Bang Joni tidak mau kalah, dua kali seminggu dia akan membawa gitarnya yang ramai ditempeli stiker ke lapangan komplek, dia selalu mengadakan semacam kuis tebak judul lagu, tebak penyanyi, atau tebak lirik. Tebak-tebakan yang diciptakan bang Joni itu sudah menyerupai macam acara Kuis Dangdut yang disiarkan TPI yang pembawa acaranya Djadja Miharja. Anak-anak senang dengan apa yang dilakukan oleh bang Bisma dan bang Joni, sebab selama ini mereka hanya bisa bermain bola, main sepeda, dan main gundu. Sementara anak-anak perempuannya hanya tahu permainan loncat tali dan petak umpet.
Pernah sekali waktu saya ikut nimbrung dalam kerumunan anak-anak yang sedang main tebak lagu dengan bang Joni. Tentu saya tidak ikut menebak, sebab saya bukan bocah SD lagi, sudah tidak doyan permen, lagipula semua lagu yang dibawakan bang Joni, saya tahu belaka. Waktu itu saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, bang Joni terlihat kaget waktu seorang anak bertanya mengenai arti sebuah tulisan berbahasa Inggris yang ada pada stiker yang menempel pada gitar bang Joni. Stiker itu memang tidak terlalu besar, tapi karena bentuknya yang menyerupai bercak air dan berwarna dasar biru, maka telihat jelas menempel pada gitar yang berwarna krem. Tulisannya terdengar prokokatif :“Onani is not a crime”. Ditanya arti tulisan seperti itu, tentu saja bang Joni kaget sebab yang bertanyanya anak kecil, bahkan masih dalam fase ingusan. Dia garuk-garuk kepala sebentar, menarik nafas, lalu berkata, “Euh.., itu artinya : Jangan meludah sembarangan.” Beberapa hari setelah itu, saya melihat lagi gitarnya, dan stiker itu telah tidak ada. Bang Joni tidak ingin terperosok dua kali pada lubang yang sama, karena yang berhak melakukan hal seperti itu adalah keledai.
Tapi yang agak aneh, dari trio penguasa warung kopi itu hanya bang Erlan yang belum terlihat beraksi. Hampir setiap sore, dia terlihat hanya duduk-duduk saja di depan kantor RT; mendengarkan cerita kang Agus Godeg, tertawa nikmat, menghisap cigarette, main domino, main kerambol, main catur, dan ngobrol dengan orang-orang yang nongkrong di sana. Jika dibandingkan dengan dua kawannya, bang Erlan terlihat kurang ada kontribusinya dalam gerakan semesta yang mereka lakukan. Tapi kemudian pengamatan saya ini terbukti tidak benar, sebab pada sebuah malam yang kering, ketika mereka kembali berkumpul di warung kopi bu Risna, saat jalan gang tidak disinari cahaya bulan, sebab dia sedang berbentuk sabit, dan waktu saya memesan segelas susu coklat panas, strategi mereka sedikit terungkap. Mereka ternyata sengaja membagi kerja seperti itu. Bang Erlan yang terlihat santai-santai saja ternyata sedang melaksanakan tugas yang sangat keren, dia berlaku macam intel sekaligus diplomat yang bergerak menyusup ke dalam denyut nadi pergaulan sosial, berbaur, mencoba mewarnai tema pembicaraan, dan sekaligus menjadi juru bicara kalau ada yang bertanya, “Apa sih yang sedang dilakukan oleh si Joni sama si Bisma?.”
Meskipun begitu, sampai saat ini, saya belum benar-benar paham apa sesungguhnya tujuan di balik semua yang mereka lakukan. Tapi saksikanlah, saya tidak menyerah untuk itu, saya akan terus mencoba menyambungkan semua benang merah kegiatan mereka. Semenjak saya berjanji pada diri sendiri, bahwa saya akan menyelidiki semuanya dengan mendeklarasikan diri menjadi detektif Kogoro Mori, maka lebih baik saya harakiri dari pada mundur dari arena penyelidikan ini. Saya harus menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Siapa memulai tidak boleh melarikan diri, sebab melarikan diri hanya pantas dilakukan oleh para criminal, dan karena saya bukan seorang criminal, maka saya akan jalan terus.
Dan ketika saya jalan terus, saya menemukan kembali kenyataan lain yang membuat keyakinan saya kembali goyah, keyakinan tentang pemuda-pemuda misterius yang belum dihinggapi masa puber itu. Setelah mendapati bang Joni berbicara di ponselnya dengan suara sengaja dilembut-lembutkan, yang terdengar seperti sedang merayu seorang perempuan, kini saya mendapati bang Bisma berpindah aliran. Music yang dia dengarkan setiap hari kini mengalami perubahan. Biasanya setiap pagi, sesudah mandi dan sebelum pergi kuliah, dia akan memutar The Sigit dengan volume keras, tapi sekarang dia malah menggantinya dengan Mocca. Kalau sore, sesudah pulang kuliah dan sebelum mandi, dia biasanya akan mendengarkan Nudist Island dan Alone At Least, tapi kini malah sering mendengarkan Ten2five. Sampai larut malam, kadang-kadang lagu-lagu bersuara perempuan itu masih terdengar dari kamarnya dengan volume yang sangat sopan. Meskipun lirik lagu Mocca dan Ten2five yang didengarkan bang Bisma berbahasa Inggris, tapi jangan sepelekan saya, meskipun saya akui, saya ini suka mencuri rambutan, mangga, dan belimbing, tapi di kelas, Alhamdulillah saya paling keren dalam mata pelajaran English. Maka waktu Arina, vokalis Mocca benyanyi, saya dengan otomatis tahu artinya. Alangkan mudahnya menterjemahkan lirik lagu seperti ini :
What if I give you my smile?
Are you gonna stay for a while?
What if I put you in my dreams tonight?
Are you gonna stay till its bright?
What if I give you my story?
Are you gonna listen to me?
What if I give you my heart?
Are we never gonna be apart?
Tidak saya sangka sebelumnya, ternyata darah muda bang Bisma tetap mengalir dengan lancar, hanya saja dia sembunyikan arusnya itu dengan rapi dalam lirik-lirik lagu, dalam hening malam, dan mungkin juga dalam pisau cukur yang berhasil menggugurkan kumis tipisnya yang terlihat menyerupai lele. Ya, dia sekarang terlihat lebih rapi dengan penampilan tanpa akar bibir walaupun rambutnya masih eksis bergaya sarang burung. Siapakah gerangan perempuan kurang beruntung yang telah berhasil menawan hatinya bang Bisma?, ini menambah daftar panjang poin penyelidikan saya selanjutnya.
Dua orang sudah diketahui kondisi arus darah mudanya, setidaknya dalam gelanggang eceng gondok, kondisi dua orang pemuda itu, walaupun masih bersifat kesimpulan sementara, namun sudah mulai dapat saya deteksi. Kini tinggal menyelidiki bang Erlan, apakah hati dia juga sudah mulai tertawan oleh ranger pink?, apakah dia juga menyimpan semacam misteri seperti tugasnya yang bersifat macam intel dan diplomat dalam kegiatan trio penguasa watung kopi tersebut?. Dan lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan saya itu akhirnya dapat terjawab, di mana lagi kalau bukan di warung kopinya bu Risna.
Malam itu cuacanya sedang lembab, sore; beberapa jam sebelumnya, hujan baru saja menyelesaikan tugasnya dengan sempurna. Apakah laki-laki diciptakan untuk menghisap cigarette?, karena hei lihatlah, ketiga penguasa kopi itu sedang nikmat betul membakar tembakau yang berkolaborasi dengan cengkeh dari merek yang berbeda-beda. Bang Bisma menghisap cigarette bermerek benda tajam yang sangat kecil, bang Joni bermerek alphabet urutan pertama, dan bang Erlan menghisap cigarette legendaris bermerek deret hitung dengan susunan yang konstan. Sementara saya belum cukup umur untuk diijinkan berani mengotori paru-paru. Saya hanya serius meniup susu putih cap bendera yang masih panas di gelas bening.
Perbincangan kali ini sedikit beraroma infotainment, sebab virus ranger pink dilemparkan dalam wacana yang masih abu-abu, masih butuh klarifikasi. Bang Bisma angkat bicara sambil menepuk-nepuk lutut bang Joni yang sengaja diangkat ke atas kursi panjang, “Amboi Bung, apakah tadi siang saya tak salah lihat ya?, rupanya kawan kita ini, kawan calon manager bank ini, sudah ambil start duluan ternyata.” Bang Joni langsung menyambar bagai bensin mencium api, “Apa yang telah terjadi Bung?.” Lalu bang Bisma bercerita bahwa tadi siang, waktu dia makan di kantin kampus, dia melihat bang Erlan makan bersama seorang perempuan, yang kalau dalam pandangan bang Bisma, perempuan itu bukan hanya teman, tapi teman kuadrat, artinya sudah setara dengan pangkat ranger pink yang sering dia rindukan lewat lagu Mocca. Tafsir sederhananya, bang Erlan divonis telah punya pacar. Dan bang Erlan hanya senyum kecil saja sambil menghembuskan asap cigarette yang kemudian menyesaki warung kopi.
“Ente tahu siapa perempuan itu bung?,” bang Joni geleng kepala, lalu bang Bisma bicara lagi, “Dia tak lain adalah kawan satu program studi dengan saya bung, anak Teknik Sipil. Kagum saya pada pergerakan bung Erlan ini, tak pernah saya lihat dia nongkrong di gedung saya, tapi tiba-tiba sudah berhasil menawan seorang ranger pink made in Teknik Sipil.” Bang Erlan tak bergeming, dia tetap tidak berkicau, memang kadang-kadang dia semacam suka tampil cool. “Siapa namanya bung?,” lalu bang Bisma menjawab, “Syafitri”. Wajah bang Joni tiba-tiba sedikit berubah, mungkin ada yang kurang beres dengan nama yang disebutkan oleh bang Bisma tersebut. “Kenapa muka ente jadi berubah begitu bung?,” bang Joni tidak langsung menjawab, tapi hanya menghisap cigarette dan menghembuskan asapnya ke atas. Dan dengarlah ini, bang Joni mulai berkicau, “Bung, nama perempuan seperti ini, menurut saya, adalah nama yang kurang bagus untuk dipanggil.” Bang Bisma mengkerutkan dahi, “Maksud bung?”. Lalu bang Joni berkicau lagi, kali ini cukup panjang, “Coba bung bayangkan, kalau dia dipanggil dengan nama lengkap, dengan nama Syafitri, akan terdengar terlalu panjang dan repot mengucapkannya. Terus misalkan saja dia dipanggi Pipit, oh, ini akan sangat beraroma sawah menjelang panen padi. Dan bung harus ingat, burung pipit itu bertabiat agak oportunis. Waktu padi masih hijau dan buahnya masih belum berisi, dia jarang menyatroni padi, tapi ketika padi mulai menguning, dia akan mengganggu para petani, sehingga dia harus ditakut-takuti oleh orang-orangan sawah. Terus kalau sosok manusia tipuan itu sudah tidak membuat mereka takut, terpaksa bapak tani harus berjaga sepanjang hari dengan menarik-narik tali yang dibentangkan sampai ke tengah sawah, oh, pengganggu yang sejati. Lagipula bung, menurut saya, di dunia ini, yang namanya Pipit dan terdengar tidak janggal hanyalah Pipit Senja, itulah dia sang penulis produktif, yang telah melahirkan puluhan bahkan ratusan novel, yang royaltynya dia gunakan untuk membiayai cuci darah yang harus dia lakukan setiap minggu. Bukan main Pipit Senja ini, penyakit yang menggerogotinya tak membuat dia mundur sejengkal pun dari aktivitas menulis.”
“Iya juga ya,” bang Bisma rupanya setuju dengan kicauan bang Joni, tapi kemudian bang Bisma berkata lagi, “Tapi bung, bukankah dia juga bisa dipanggil Syasya atau Sasa, atau mungkin Riri?.” Demi mendengar perkataan bang Bisma, bang Joni langsung tertawa keras dan terdengar nikmat betul. Setelah tawanya reda, dia langsung berkicau lagi, “Bung..bung…, kalau dia dipanggil Syasya, akan terdengar terlalu mendesis, persis seperti suara orang sedang mengusir ayam. Kalau dia dipanggil Sasa, apakah bung tidak ingat dengan merek dagang sebuah pruduk MSG?, ah, akan buruk terdengarnya bung. Dan apa satu lagi, Riri?, ah ini juga berat, sebab yang pantas dipanggil Riri, di kolong langit ini hanya dua orang; DJ Riri dan Riri Riza.
Bang Bisma belum menyerah, dia lemparkan lagi alternatif terakhir, “Kenapa dari tidak kita susah-susah mencari nama panggilannya, bukankah dia bisa dipanggil Fitri?!.” Tapi bang Joni ternyata tidak tinggal diam, dia mengelus dadanya lalu menepuk bahu bang Bisma, “Bung, janganlah kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendukung sinetron bersekuel-sekuel yang membuat perut kita mulas, apakah bung lupa dengan sinetron Cinta Fitri?, saya kira, cukuplah perut kita saja yang dibikin mulas, jangan kita tularkan juga pada nama panggilan girlfriend-nya bung Erlan ini.”
Dari tadi, dari semenjak bang Bisma dan bang Joni asyik membahas nama panggilkan Syafitri, bang Erlan tak mengeluarkan komentar sedikit pun, dia tetap terlihat syahdu dengan kopi hitam dan cigarette kreteknya, dan saya tetap pura-pura fokus pada susu panas cap bendera, dan di luar, malam semakin gelap dan udara masih lembab, dingin mulai berkuasa. Kemudian terdengarlah lagi sebuah kicauan, “Bung, saya kira, tak usahlah kita terlampau banyak cakap mengenai nama panggilan ini, lebih baik kita serahkan saja pada bung Erlan, karena dia yang lebih berhak,” demikian kata bang Joni, dia rupanya insyaf, bahwa nama yang tadi dia jelek-jelekkan itu adalah sebuah nama yang sangat berarti bagi kawannya yang agak pendiam, bagi bang Erlan.
Diam. Tak ada suara. Bang Erlan tidak merespon perkataan bang Joni. Dia hanya tersenyum kecil. Dua orang kawannya kembali bertanya, “Siapa panggilan bung?, bagaimana kau bisa memanggilnya?’, kata bang Bisma dan bang Joni serempak. Saya memasang kuping dengan awas, menunggu jawaban bang Erlan. Warung kopi masih tersandera aroma kopi dan asap cigarette. Bu Risna duduk di pojok sedang sibuk mengisi TTS, wajahnya belum terlihat ngantuk, maklum saja masih di bawah jam sepuluh malam. Saya fokuskan pandangan pada bang Erlan, dia menghisap cigarettenya yang hampir habis, bara api sudah mendekati bibirnya yang tidak estetik. Akhirnya, setelah meneguk kopinya yang habis, dan menghisap cigarettenya yang sudah semakin pendek, dia dengan setengah berbisik berkata, “Saya biasa memanggilnya….Bintang Jatuh.” [ ]
itp, 27/2/2011
No comments:
Post a Comment