“Seringkali hari-hari kita tidak menarik, dimulai dan berakhir, dengan tanpa ingatan berarti, kebanyakan tidak memberikan pengaruh apapun dalam jalur kehidupan.” (500 Days of Summer)
***
Bung Rohman telah meluncur pulang, dia memenuhi panggilan Ranger Pink. Begitulah laki-laki, selalu cenderung kepada perempuan, dan begitu pula sebaliknya. Imajinasi tentang cloning sudah aku hapus. Aku membereskan gelas bekas kopi dan piring bekas pisang goreng, sementara hujan belum reda. Maghrib telah menunggu di depan. Di Musholla sudah terdengar ayat-ayat suci Al Qur’an yang diputar lewat kaset, nadanya bukan murottal. Aku yakin itu suara Muammar, yang dulu sering merajai MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur’an). Dulu memang pernah ada suatu masa, di mana membaca Al Qur’an dilombakan di tengah korupsi terang-terangan. Aku bahkan masih ingat marsnya :
“Gema musabaqoh tilawatil Qur’an
Pancaran Ilahi
Cinta pada Allah, Nabi, dan Rasul-Nya
Wajib bagi kita
Limpah ruah bumi Indonesia
Adil, makmur, sentosa
Baldatun toyyibatun warobbun ghofur
Pasti terlaksana”
Bukan main, hebat betul liriknya. Mars itu sampai pula ke kampungku. Setelah menembus hutan dan perbukitan, menempuh kelok-kelok jalan beratus kilometer, melewati ribuah hektar sawah dan kebun, akhirnya sampailah di sana, di selatan Sukabumi, di sebuah wilayah yang hampir menyentuh bibir pantai. MTQ memang dilombakan juga sampai tingkat kecamatan. Mars itu diputar di mesjid dan sebarkan ke pelosok kampung lewat pengeras suara, sedangkan rumahku hanya berjarak duapuluh meter dari mesjid, maka pikiran jernih masa kecilku yang sangat mudah menyerap dan mengingat hal-hal baru, dijejeli pula oleh mars MTQ itu. Mars itu membuat warga kampung menjadi tentram, gonjang-ganjing politik tak berlaku waktu itu, negara aman terkendali, yang nakal diculik, yang vocal dibuang. Luar biasa Orde Baru, kuku tajamnya menjelma dalam berlaksa rupa, bahkan dalam MTQ sekalipun, tapi akhirnya dia harus membayar mahal semuanya.
Adzan akhirnya berkumandang. Aku sedang malas pergi ke mesjid, tapi akhirnya kuterobos juga hujan itu. Aku berdiri menghadap kiblat, susah sekali wajah-Nya kudapat. Tiga rakaat kuhabiskan dengan perasaan hampa, kucoba mengeja nama-Nya pelan-pelan, tapi tetap saja Dia tidak hadir di dalam dada. Aku berdo’a dengan tawar, lalu berdiri dan pulang. Di jalan gang yang gelap dan becek, dari sebuah rumah kecil, terdengar suara anak kecil sedang mengaji, yang artinya :
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.” (Al Baqarah : 186)
Dalam hati aku berkata, “Ya Allah, aku tahu Engkau itu dekat, bahkan sangat dekat, tapi aku susah sekali merasakan kehadiran-Mu.” Dan aku terus berjalan, di sebuah warung aku berhenti dan membeli cigarette serta kopi, penjualnya sedang asyik menonton sinetron Islam KTP.
***
Tiba di kostan, aku langsung menyeduh kopi, lalu nongkrong di dekat jemuran. Asap cigarette terlihat jelas di malam yang gelap. Hujan tinggal rintik saja, air yang melewati cahaya lampu jalan terlihat seperti arsiran. Tadinya aku mau membaca kumpulan cerpen Budi Darma : “Kritikus Adinan”, tapi ternyata tidak berselera. Dari apa manusia diciptakan?, mungkin dari banyak tanda tanya yang selalu menggodanya. Kadang-kadang, duduk sendiri di dekat jemuran pada malam hari cukup mengesankan. Aku dapat mendengar suara tembakau yang terbakar, dapat merasakan sensasi sangat kecil dengan menengadah ke langit dan membayangkan betapa luasnya semesta. Tapi kali ini hambar rasanya. Entah kenapa.
Bosan nongkrong, aku masuk ke kamar, dan duduk persis di depan rak buku yang terlihat seperti mau muntah. Rak kayu itu disesaki buku dan majalah. Di barisan paling bawah terdapat beberapa majalah Tarbawi, saya ambil satu, baca-baca sebentar, lalu disimpan lagi. Selera membacaku menguap. Aku sudah tidak bersemangat mengumpulkan bahan untuk kugoreng dalam sebuah tulisan, sebab Olva sudah tidak ada, sudah tidak ada lagi yang meledakkan bahasaku. Mantra Pram sudah tidak ampuh lagi. Aku khawatir, kalau minatku pada membaca dan menulis hilang untuk selamanya. Apakah menulis itu kebiasaan paten yang tidak bisa hilang dari manusia?, aku tidak tahu. Dan bosan membuatku mengantuk. Aku tertidur tanpa harapan bahwa esok pagi akan menjalani hari dengan semangat.
***
Dan benar saja, jam tujuh pagi matahari sudah bersinar panas, aku digerakkan oleh rutinitas, oleh jadwal yang seperti sudah menjelma batu batere. Salah satu kekalahan yang menyakitkan adalah ketika bekerja tanpa minat, tanpa gairah. Dan aku memang begitu, bekerja hanya untuk menambali hidup agar tidak menggelandang di jalanan. Tapi aku juga memang patut bersyukur, betapa di luar sana, berjuta orang hidup menganggur.
Pagi lambat sekali menjadi siang, dan siang bermalas-malasan berubah menjadi petang. Waktu malam belum menyembunyikan bayangan, aku tinggalkan meja kerja dan monitor, dan kembali ke kostan. Aku seperti bola pingpong yang bolak-balik di atas jalan. Aku harus meninggalkan keadaan ini, aku harus meledak lagi. [ ]
14 Maret '11
No comments:
Post a Comment