16 March 2012

OLVA (16) : Angka dan Bayangan Pohon

Sekali ini, kawan saya, Bung Joni, semacam bertanya mengenai istri; “Bung, bagaimana kabar istri kau?”. / “Apa maksud pertanyaan Bung ini?, saya kan belum punya istri!.” / “Sorry, maksud saya, bagaimana menurut kau istri yang baik itu?.” / “Sudah saya bilang, saya belum beristri, jadi bagaimana saya bisa tahu istri yang baik?!. Tapi kalau Bung memaksa, ini saya kutipkan sepenggal tulisan Pram, barangkali Bung setuju,” :

Machmud, kata embahnya dalam surat : “Aku tak tahu berapa tahun kau akan tinggal di Jakarta. Barangkali engkau pun akan menetap di sana. Kelak engkau akan kawin. Hati-hatilah mencari istri. Pilihan yang salah akan membuat hidupmu menjadi salah. Machmud, datanglah pada waktu-waktu yang tak tertentu ke rumah perempuan yang kau cintai, dan perhatikan rumahnya, perhatikan sedang apa dia waktu kau datang. Kalau selamanya atau sebagian besar pada kedatanganmu yang mendadak itu rumahnya berantakan dan dia tak lakukan sesuatu untuk membereskannya, betapa pun juga engkau cinta kepadanya, tak patut kau teruskan niatmu mengawini dia.” Kolot!!. Machmud mengejek surat itu sambil mencibirkan bibir. (Pramoedya : Lembaga Kehidupan Telah Hancur Sebuah Lagi).

“Bagaimana?” / “Tapi istri kan bukan pembantu Bung, yang kerjanya hanya beres-beres rumah?” / “Itu bukan pendapat saya Bung. Pram menulis demikian dalam buku ‘Menggelinding’, urusan kau setuju atau tidak, itu masalah kau. Nah, tak usahlah kita berpanjang-panjang membahas hal ini, kita orang kan sama-sama belum beristri, jadi belum tahu apa-apa. Kau selesaikanlah dulu kuliah, nanti kalau sudah punya SIM (Surat Ijin Menikah), bolehlah kita mulai lagi membahas hal ini. Sudah ah, saya pamit dulu. Thank buat kopi dan cigarettenya Bung!.” Dan saya meluncur ke jalan Margonda, menunggu bis yang melaju ke arah Senen.

***

Pendiam. Kalau dulu, waktu dengan Olva, saya menghindari cara-cara konvensional. Tapi sekarang, dengan perempuan bermata juara, saya justru mencoba menerapkannya, tapi gagal, atau belum berhasil?. Di mana-mana orang harus sabar, harus belajar meredakan bara yang terlalu panas. Apalagi yang ini lebih pendiam. Pasif. Dalam semesta usaha yang tengan berjalan, terkadang saya digelitik oleh pertanyaan tentang angka.

Banyak yang bicara mengenai hitung-hitungan perbedaan usia bapak dan anak. Katanya, jangan sampai ketika usia bapak sudah pensiun alias sudah tidak produktif, sementara usia anak masih belia, masih butuh banyak dana untuk pendidikan. Artinya, si bapak jangan terlalu tua ketika menikah, begitu katanya. Atau hitung-hitungan menganai asset, katanya, sudah seberapa siap bekal dana ketika memutuskan untuk mengambil anak perempuan dari bapaknya?. Angka-angka itu adalah semacam sponsor resmi bagi siapa saja yang akan menyeberang; berpindah dari sisi single ke sisi berkeluarga.

Tapi saya tak hendak berbicara mengenai angka-angka itu, biarkan saja mereka menggelitik, yang harus saya lakukan sekarang adalah bermanuver dan terus membaca buku. Dia, perempuan bermata juara, mulanya tak begitu menyita perhatian. Tapi perlahan, matanya terlihat seperti bayangan pohon asem; teduh dan membuat saya semacam ingin duduk-duduk di bawahnya. Dari apa perempuan diciptakan?, barangkali dari bayangan pohon yang muncul di siang hari ketika matahari bersinar terik.

Seorang pria bertato yang sorot matanya tercium aroma kenyang oleh hidup yang keras, di dalam busway, terlihat sangat kasih menggendong anak kecil, dia duduk di samping seorang perempuan yang kemungkinan adalah istrinya. Karib sekali mereka membangun suasana, ada sesuatu yang terlihat bahwa mereka adalah keluarga kecil yang bahagia. “Di rumahtangganya sendiri laki-laki itu akan mendapatkan kehidupan,” demikian kata Pram dalam sebuah cerpen.

Atau mari kita jalan-jalan sebentar ke belakang, ke tahun-tahun yang telah lewat, sejenak kita tengok sedikit kisah salah satu proklamator negeri ini. Dalam buku yang ditulis beberapa wartawan Tempo, dapat kita baca kembali : Bung Hatta bukan orang yang pandai menunjukkan perasaannya secara terbuka. “Tapi, setiap kali mereka bepergian bersama dengan mobil, ayah akan memperhatikan arah matahari, lalu berkata : ‘Yuke (nama kecil Rahmi Hatta/istrinya) duduk di sebelah sini saja,’ itu ayah lakukan agar ibu terhindar dari panas,” tutur Meutia Hatta, anaknya. Mulanya, banyak orang tercengang menyaksikan pasangan itu menikah (Hatta dan Rahmi) pada tanggal 18 November 1945, karena perbedaan usia mereka 24 tahun, Raharty Subijakto (adik Rahmi) bahkan meminta kakaknya menolak pinangan itu ketika Bung Karno datang melamarkan Rahmi bagi Hatta, ia merasa bahwa Rahmi, yang baru 19 tahun, akan menikahi “seorang tua”, tapi Rahmi menerima lamaran itu. Dan pada perjalanannya, Rahmi memberikan tiga orang putri bagi “seorang tua” itu.

Barangkali karena hal itu pulalah, Aidit marah waktu Njoto (Wakil Ketua II Comite Central dan Ketua Divisi Agitasi dan Propaganda PKI) dikabarkan berselingkuh dengan seorang perempuan Rusia; seorang penerjemah dan dicurigai agen KGB, Aidit sang ketua langsung mempreteli jabatan Njoto. “Tidak etis seorang pemimpin partai politik memacari perempuan lain padahal dia sendiri sudah beristri!,” demikian ujar Aidit. Dan karir politik Njoto yang juga pemimpin redaksi Harian Rakjat (koran berhaluan kiri) itu, banyak disebut para sejarawan berakhir setelah kejadian tersebut. Dalam catatan sejarah yang sempat ditutupi oleh kabut gelap rezim penguasa, akhirnya dapat diketahui, bahwa ternyata Aidit adalah seorang yang antipoligami. Mungkin alasan tersebut yang membuat dia berang kepada Njoto, koleganya di PKI. Atau mungkin juga karena Aidit ingin menghormati lembaga kehidupan yang bernama keluarga, yang seperti halnya oranglain, dia pun berteduh di sana dengan lima orang putra-putri dan seorang istri.

Contoh lain, dalam catatannya waktu hidup di Belanda, Pramoedya (salah satu sastrawan Lekra) pernah digoda oleh seorang perempuan bule yang cantik dan “mengundang”, yang kebetulan adalah tetangganya. Malam hari perempuan bule itu mengetuk pintu kamar Pram dan memberinya secangkir kopi. Pram menerimanya dan menutup pintu kembali. Karena tidak tahu adat Belanda, Pram santai saja dan akhirnya tidur pulas. Pagi-pagi perempuan bule itu datang lagi dan langsung masuk ke kamar Pram lalu melempar cangkir bekas kopi pemberiannya sampai pecah dan rerak berhamburan. Waktu bertemu kawannya, Pram menceritakan ihwal kejadian tersebut. Kawannya hanya tertawa dan menjelaskan bahwa pemberian kopi itu adalah symbol ajakan untuk “bermain”. “Saya sudah punya bini Bung!,” kata Pram.

***

Bagaimana menyatukan dua sisi konservatif?, barangkali harus menambah energy keberanian. Maka saya mulai berbenah. Seperti rasa ragu-ragu ketika akan menyeberang sungai dengan jembatan gantung yang bergoyang, begitulah kira-kira sensasi mendekati perempuan pendiam. Dalam dirinya semacam ada kawah Timbang pegunungan Dieng, menunggu pemberani untuk berhadapan dengan gas maut karbon monoksida, tapi saya menuju kepadanya bukan untuk mundur, bahkan jalan terus. Dari banyak sisi akan saya dekati, dan jangan takut, saya sudah menyiapkan masker untuk menangkal segala ancaman.

Sementara itu, sambil terus memelihara api abadi Mrapen, saya bergiat kembali membaca buku-buku yang sudah cukup lama tidak disambangi. Beberapa buku baru pun mulai menambah pembendaharaan rak kayu yang sudah semakin muntah. Baru-baru saya ke Matraman dan menukar gambar Soekarno-Hatta dengan buku bersampul merah, isinya tentang sejarah Aidit dan Njoto yang ditulis dengan angle berbeda. Waktu saya membacanya di kamar yang berantakan dan di bawah penjagaan ketat lampu neon, tetangga sebelah, si Uda, rupanya melihat judul cover buku tersebut, “Hah, Kang baca Aidit?!, ga takut Kang?!” / “Enggalah, takut kenapa?, takut digerebek?, Gramedia aja aman ga ada apa-apa, apalagi pembeli seperti saya.” Dan si Uda berlalu, meninggalkan saya yang semakin keranjingan tamasya sejarah. [ ]

3 Juni ‘11

No comments: