16 March 2012

OLVA (17) : Penegasan Kontra Lisan

“Tiap orang berpikir untuk mengubah dunia, tapi tak ada yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri,” kurang lebih begitu kata Tolstoy. Aforisma itu sempat diucapkan oleh kapten kesebelasan tim Rumah Cemara yang mewakili Indonesia pada Homeless World Cup 2011 di Paris, waktu diwawancarai oleh Andy Noya di acara Kick Andy Hope. Aforisma ini memang begitu kuat, terlebih mungkin, karena Tolstoy yang menulisnya. Tapi sebenarnya hal ini tidak jauh berbeda dengan kata-kata seorang da’i kondang yang sekarang telah “hilang” dari peredaran : “Mulailah dari diri sendiri,” begitu katanya. Mengubah diri sendiri?, tentu ke arah yang lebih baik. Majalah Tarbawi menyebutnya “Jangan mau dijajah diri sendiri.” Ini perlu keberanian, maka ketika semua orang mengeluh tentang susahnya menemukan kejujuran di wilayah publik, barangkali sudah saatnya setiap orang memulai untuk berani jujur terhadap dirinya sendiri.

***

Tapi ada yang tak boleh dirubah, bahkan perlu ditegaskan kembali. Untuk siapa?, setidaknya untuk saya. Seperti siang itu, dua hari sebelum liburan lebaran tiba, Iwan Setyawan datang dengan cover warna putih bergambar dua apel kembar. Novelnya seperti sebuah rekonsialiasi antara masalalu yang susah, pahit, tapi sekaligus melankolik dan mengesankan untuk dikenang, atau dalam kata-kata seorang kawan : “yang pahit yang kita kenang,” dengan masakini yang berjalan artificial, datar, dan ditelikung oleh sepi dan kesepian. Plot seperti ini cukup menarik, hampir sama dengan film (500) Days of Summers. Tapi sebagai seorang penulis yang kebetulan bergender laki-laki, Iwan nampaknya terlampau diberati oleh masalalu, hal itu sangat kentara dalam diksi dan narasi yang tersusun. Dalam tulisannya, terlihat dengan jelas, bahwa Iwan terlampau sentimentil dan kurang mampu mengolah perasaan. Alih-alih menjadi sebuah novel yang “menggigit”, buku Iwan tak lebih hanyalah sebuah pengalihan media (dari lisan ke tulisan), dari seseorang yang bertutur tentang perjalanan hidupnya, keluarganya, dan hal-hal lain yang seringkali dia sebut sebagai melankoli. Kalau Kick Andy mengangkatnya sebagai contoh dari sebuah perjalanan from nothing to something, mungkin bisa disetujui. Tapi menyertakan bukunya sebagai “oleh-oleh” untuk para audiens acara tersebut, ini yang harus dipertimbangkan kembali. Bukan apa-apa, Kick Andy sudah banyak dipersepsikan sebagai sumber referensi buku-buku berkarakter kuat.

Dan waktu sama seperti kemarin, tetap saja tidak bisa dihentikan. Olva masih ada, secara fisik tidak terlalu jauh, tapi di sisi lain terasa sangat jauh. Sekarang saya memahami sifat hati yang hakiki. Di titik ini terasa sekali bolak-baliknya. Hati tak pernah berjalan konstan, dia terlampau dinamis. Begitu juga dengan perempuan bermata juara, dia masih saja belum bisa diluluhkan. Entah pada edisi ke berapa Majalah Tarbawi sempat menulis judul pada covernya : “Bertumbuhlah Terus Walaupun Secara Formal Tampak Gagal.” Ya, memang ada alasan, bahkan sangat banyak alasan untuk membuat langkah menjadi mandeg dan jalan di tempat, tapi selalu ada pilihan lain, yaitu terus bertumbuh. Ramadhan baru saja berlalu, meninggalkan luka budaya di penghujungnya. Budaya kemanusiaan yang disia-siakan oleh pengelola negeri ini, juga oleh mentalitas degil para pelakunya. Maka sejenak, sehari sebelum tanggal 30 Agustus 2011, tanggal yang membelah dua keyakinan untuk mengakhiri puasa, saya menemui kembali Rahmat Abdullah. Dalam sebuah tulisannya yang berjudul : “Lebaran Orang Kaya”, beliau berhasil menampar siapa saja yang sudah berani menukar telaga Al Kautsar dengan volume sampah yang meningkat di Bantar Gebang karena kecemasan bertegangan tinggi jika di Hari Raya tak menukar rupiah dengan makanan membosankan yang melimpah. Di semesta pilihan katanya, jelas sekali kekuatan tauhid itu. Terus bertumbuh, terus berjalan di atas rel yang diyakini benar, yang hidup, dan tidak pernah kehilangan gairah.

Barangkali Farid Gaban adalah sebuah contoh, bahwa bertumbuh bisa di mana saja. Ketika akhirnya dia meninggalkan TEMPO dengan alasan tidak mahir manajemen, sedangkan waktu semakin menggiringnya untuk duduk tertib di kursi dengan rapat-rapat yang membosankan, maka Farid pun pulang ke Wonosobo dan bertani, dengan tetap berjejak di atas rel jurnalisme. Jika Ahmad Yunus menulis buku Meraba Indonesia, maka Farid menggelar pameran foto hasil dari proyek keliling Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, dan dia juga tetap menulis.

Adalah sebuah dus bekas pembungkus kipas angin yang difungsikan sebagai rak buku tambahan, maka yang sempat terbenam dalam dus-dus tertutup mulai berjajar, tepat di atas kepala setiap kali saya tertidur di kotak istirahat. Ada Diasa Sasa di blogdetik yang mulai rajin menulis resensi film tentang buku, ada Muhidin yang mencatat perjalanan dengan label : “Syawal itu Merah”, ada Donny Dirghantoro yang menulis buku kedua dengan judul “2”, ada banyak perjalanan yang disia-siakan tanpa dokumentasi visual dan catatan, ada Olva dan perempuan bermata juara yang pernah menjadi sumbu untuk menyulut kata-kata. "Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya,” begitu kata Pram.

Nanti akan ada segugus catatan yang akan membungkam Olva dan perempuan bermata juara. Orang bilang perlu rasional dan butuh logika sehat, tapi mereka lupa bahwa kekuatan awal tidak lahir dari perhitungan angka dan budaya, tapi dari magma merah menyala. Terberkatilah mereka yang menikmati setiap jengkal langkah, setiap helai nafas, setiap kedip mata, setiap hela kesibukan, dan setiap detik yang ditukar dengan rahmat kerja. Setiap orang punya waktu lupanya masing-masing, sejalan dengan tingkat kesibukan yang menggerus. Maka mendekatlah, biar kubisikkan : menulis adalah usaha melawan lupa. [ ]

6 September ‘11

No comments: