Misalkan saja aku dikloning menjadi 28 juta jiwa, lalu disebar di beberapa kota besar di Indonesia, dan 95 persen dari hasil kloning itu menggantikan para ababil, pemuda tanggung, pemuda hampir dewasa, dan manusia setengah baya di kota-kota tersebut, maka boleh dipastikan para label rekaman yang memproduksi dan mendistribusikan album Ungu, D’Masiv, Lyla, Nidji, Naff, dan Alexa akan bangkrut dengan cepat karena dagangannya tidak laku. Film-film dengan imajinasi tingkat tinggi macam Harry Potter, Star Wars, Star Trek, dan Avatar akan kekurangan penonton. Buku-buku tentang pengembangan diri yang dihiasi dengan judul “How to bla.bla.bla”, buku-buku yang sealiran deangan ajaran Robert T. Kiyosaki, dan buku-buku yang beraroma majalah Trubus yang bisa diwakili oleh sebuah judul “Beternak Ikan Lele”, akan dikutuk tidak akan pernah merasakan nikmatnya dihajar stempel best seller.
Para promotor konser Secondhand Serenade, Red Jump Pursuit Apparatus, Paramore, Simple Plan, dan Saosin akan berjuang keras menjaring calon penonton, sebab jutaan jiwa hasil kloning itu lebih tertarik dengan Panic at The Disco, She and Him, Regina Spektor, Sixpence None The Richer, dan Fastball. Lapangan futsal, gedung badminton, kolam renang, dan tempat bilyard akan kosong, sebab mereka akan berduyun-duyun memenuhi kantong-kantong literasi, kantong-kantong komunitas pecinta film, dan warung kopi.
Di setiap sudut kota, tong sampah tiba-tiba akan dipenuhi oleh sepatu pantovel ber-hak tinggi, t-shirt mini yang diperuntukkan untuk mereka yang doyan pamer body, celana potlot dan cutbray, kemeja lengan panjang dengan motif aneh, dan tas yang banyak tali. Setiap pagi, di setiap rumah, akan selalu ada yang duduk di teras, menunggu waktu mandi sambil mendengarkan radio, menghirup kopi dan kepulan asap cigarette. Setiap speaker yang ada di kamar, yang kondisinya belum almarhum, pasti akan selalu mengeluarkan bunyi suara The Sigit, Zeke and The Popo, dan The Panasdalam. Rating acara music macam Inbox dan Dahsyat akan menukik tajam. Bagaimana dengan acara infotainment?, hmm… I have no idea.
Burung-burung dengan suara mengagumkan macam Mockingbird, yang telah bertahun-tahun disekap dalam sangkar, hari itu, hari ketika aku digandakan menjadi 28 juta jiwa, mereka akan merayakan kebebasannya. Film-film local dan sinetron berlarut-larut produksi dinasti Punjabi dan kerabatnya akan terkapar dengan kenyataan bahwa penonton mereka akan menyentuh titik minimal. Golput akan mengalami peningkatan, dan peserta kampanye parpol akan berkurang. Akan terjadi semacam revolusi kecil-kecilan, beberapa sendi social dan ekonomi akan chaos, homogenitas kadang-kadang terasa aneh.
***
Di sepotong senja yang teduh, seorang lelaki berkacamata duduk di balkon, di lantai tiga sebuah bangunan yang mulai terlihat tua. Punggungnya bersandar di kursi, sementara kedua kakinya terangkat sekitar 45 derajat dan ditopang oleh pagar tembok yang kukuh di depannya. Usianya tak lebih dari 18 tahun, masa-masa SMA-nya telah condong ke barat, dia tengah membaca buku. Dia tidak pernah tahu kalau sepuluh tahun setelah itu, setelah usia 18 tahun ditinggalkan, dia akan berhadapan lagi dengan waktu. Dia masih ingat, waktu itu, tujuh belas menit sebelum dia duduk di kursi dan membaca buku, seorang kawannya lewat, memakai kaos hijau yang di depannya ada tulisan “faaina tadzhabuun” (ke mana kamu akan pergi?).
Dari lantai tiga, kalau pandangan horizontal ke barat, maka akan terlihat puncak-puncak bukit yang membiru di kejauhan, dan di utara; gunung Gede-Pangrango terasa sangat dekat. Sore itu awan terlihat pucat, langit Sukabumi seperti terserang anemia. Kemarin dia baru pulang dari kampung, masih jelas di telinganya, sehari sebelum dia kembali lagi ke kota dan terduduk di bangunan lantai tiga itu, dari surau terdengar orang melantunkan lirik-lirik pengingat jiwa :
“Anak Adam anjeun di dunya ngumbara, hirup urang di dunya téh moal lila” (Anak Adam kamu di dunia ini mengembara, hidup kita di dunia tidak akan lama).
Di kampungnya generasi telah berganti. Orang-orang tua yang usianya telah melewati 65 mulai banyak yang dipeluk bumi. Para pasangan muda mulai menimang anak yang ketiga. Kawan-kawan perempuan yang seangkatan mulai banyak yang menerima mahar, mereka senyum-senyum malu di pelaminan. Sementara kawan-kawannya yang laki-laki mulai habis, kampung ditinggalkan para pemuda untuk merantau. Yang tersisa hanya bocah-bocah yang sering berebut nasi kuning di acara tahlilan, dan yang masih suka main layangan. Bocah-bocah itu, dulu waktu dia tinggalkan, bahkan matanya masih belum sempurna melihat dunia.
Usia berlari kencang meninggalkan waktu mula-mula. “Semuanya terasa sesaat karena dunia begitu nikmat”, demikian kata wak haji yang setia merawat surau. Entah kenapa, mungkin karena sebentar lagi akan berganti seragam, berubah sebutan, sekolah bertukar menjadi kampus, dan siswa melejit menjadi mahasiswa, maka dia mulai meraba-raba pedalamannya. Tapi anak semuda dia belum pantas kalau disebut merenung, tidak, dia bukan merenung, dia hanya berjalan-jalan di dalam buku dan tanpa sengaja bertemu Umar bin Khatab. Beliau tak banyak cakap, pendek saja beliau berucap “Haasibuu anfusakum qobla antuhaasabuu”.
Kesadaran seperti bensin di atas piring, durasinya bersaing ketat dengan trailer film. Lengah sedikit, kau dipenggal. Komunitas penggemar aeromodelling sampai sekarang belum bisa menerbangkan pesawat pengintai kecil untuk disusupkan melalui mulut dan menjadi mata-mata hati. “Yaa Muqallibalquluubi,tsabbit qalbii 'alaa diinika.”
***
“Jadi Bung, bukan hanya lukisan demografi dengan angka-angka statistic yang harus kita petakan. Bukan pula sebatas minat dan hoby yang berparade di setiap jenak dan lorong waktu, tapi juga sisi kesadaran transenden. Titik balik penuh daya yang kita bangun selepas kekalahan seumpama api yang berkobar, dia juga sesekali perlu mengendapkan baranya”, bukan main, kali ini bicara Bung Rohman terdengar hebat sekali. Ya, dua hari setelah dia bersenang-senang dengan istrinya di TIM, dua hari setelah saya membatalkan nonton The Adams, dia datang ke kostan untuk sekedar basa-basi minta maaf karena tidak tahu jalan cerita selanjutnya antara aku dan Olva. Tapi obrolan melebar kesana kemari, apalagi sesajennya dua gelas kopi hitam, super vs mild, singkong goreng, pisang goreng, dan cudem mama : hujan turun deras sekali.
Mulutnya masih penuh dengan pisang goreng waktu dia mulai bicara lagi, “Tapi ingat Bung, kalau setelah mengidentifikasi dan mengkalkulasi ulang semua yang ada pada diri, tapi ternyata kenyataannya tidak sama dengan arus orang kebanyakan, jangan pernah kau membelokkan arahnya.” Aku mulai tidak mengerti dengan isi pembicaraannya, “Maksud lo?!”. Setelah menyelesaikan gigitan terakhir pisang goreng, dia mulai berkicau lagi, “Bung---minum kopi lalu membakar cigarette batang ke tiga---kalau tanda panah di pedalamanmu arahnya ke kiri, ya kau ke kiri saja, jangan menikamnya dengan membelokkan dia ke kanan.” Aku masih diam, masih mencoba mencerna ucapannya. “Tapi Bung, (aku mulai bicara)---tiba-tiba ponselnya berbunyi, istrinya nyuruh dia pulang, maklumlah pengantin baru, masih bersikap macam susis, padahal hujan belum reda---“.
“Waduh sory Bung, ada panggilan darurat nih dari Ranger Pink, ntar kapan-kapan kita sambung dah”, dan dia bersegera memakai helm, turun tangga, lalu kudengar suara knalpot diprovokasi oleh gas. Aku membayangkan misalkan saja dia, Bung Rohman itu dikloning menjadi 28 juta jiwa, dan semua hasil penggandaannya di sebar di seluruh wilayah Jakarta, maka jalanan akan ramai oleh pengendara motor yang semuanya ingin bersegera sampai rumah karena Ranger Pink sudah menunggu. “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” [ ]
28 Januari '11
No comments:
Post a Comment