16 March 2012

OLVA (7) : Investigasi Sayap Kiri

Siapa pun boleh menilai lalu melekatkan anggapan, bahwa apa yang aku lakukan hanyalah alasan yang dibuat-buat, atau pembenaran yang disengaja. Tapi siang itu memang begitu jadinya. Aku buka lemari dan tumpukan baju yang jarang terpakai terlihat mencapai langit-langit lemari. Baunya apak dan mulai berjamur karena lembab. Baju-baju itu jarang kusapa, sebab kerja memakai baju seragam yang dibagikan kantor. Sementara hari sabtu dan ahad hanya tiga baju saja yang kupakai. Baju tidur lain lagi, biasanya kaos untuk futsal atau jersey timnas Indonesia yang harga 20 ribu rupiah, maklumlah barang palsu sepalsu-palsunya. Lagi pula buat apa beli yang asli, yang harganya mencapai 300 ribu rupiah, kalau timnas Indonesianya keok terus, PSSI-nya keras kepala setengah mampus. Maka membeli baju baru akan menjadi sebuah tindakan yang bodoh karena hanya akan menambah barang yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Lalu aku berpikir tentang makanan, tapi tidak ada satu pun yang menarik selain makan nasi ketika lapar mulai menyerang. Kue kaleng atau biscuit dan sirup dalam botol tak pernah membuatku tertarik untuk membelinya. Maka aku pun menimbang-nimbang, selain saving dan membeli buku, kira-kira barang apa lagi yang harus kubeli?. Sampai H-3 pertanyaan itu belum juga menemukan jawaban, padahal saldo di ATM dalam keadaan sedikit membengkak. Begitulah keadaan seorang jongos, hanya setahun sekali saja saldonya mengalami penambahan beberapa digit.

Tapi akhirnya jawaban itu datang juga. Sehari sebelum mudik, aku masukkan baju-baju yang sudah jarang terpakai itu sekira 10 potong untuk dibawa ke kampung, untuk diberikan kepada sepupu-sepupuku. Dalam pada itu aku pun menjadi teringat dengan orang-orang rumah, dengan omelan-omelannya. Kakak-kakakku selalu saja protes, “Masa pulang kampung pakai sendal jepit, baju ga’ pernah diganti lagi!!.” Dulu waktu ibu masih ada, beliau juga sering protes dengan nada seperti bertanya, “Apa gerangan yang telah merasuki jiwa anak muda jaman sekarang?. Kelihatannya sudah lupa cara berdandan yang patut?. Masa pulang kampung hanya pakai sendal jepit, celana bolong, baju bladus tak pernah diganti!!. Sangat menyedihkan.” Waktu itu aku hanya diam saja, tak baik menimpali omongan orangtua, lalu diam-diam masuk ke kamar dan segera berdiri di depan cermin lalu berbicara sendiri, “Ah, setiap generasi memang ditakdirkan untuk selalu mempunyai perbedaan. Alangkah nyamannya bepergian dengan sendal jepit, celana lusuh, dan t-shirt bladus.”

Tapi sekarang baiklah, aku akan mencoba berpakaian seperti yang diharapkan orang-orang rumah. Maka aku pun akhirnya membeli dua buah baju baru. Beberapa saat sebelum meluncur ke tempat pemberhentian bis yang akan melaju ke arah Bogor, di kamar kostan, aku sempat berdiri di depan cermin. Maka kulihat di cermin itu ada seorang laki-laki yang tengah berdiri dengan sepatu convers army, baju berkerah, celana jeans rapi, dan tas Adidis biru menggantung di pundaknya. Kuperhatikan dengan cermat laki-laki itu, sekilas tak jauh beda dengan tampang seorang TKI yang lusuh, yang sudah kenyang dikejar-kejar polisi Diraja Malaysia. Ah, para TKI itu, anak-anak bangsa itu tak jarang menempuh hidup yang menyakitkan, mereka terpaksa menukar harga dirinya dengan beberapa lembar ringgit. Hidup yang dipertaruhkan di negeri jauh, sementara pemerintah negeri sendiri cukup menghiburnya dengan sebutan “Pahlawan Devisa”, padahal beberapa menit setelah mereka menjejakkan kakinya di bandara bangsa sendiri, mereka menjadi rebutan srigala-srigala ganas. Mereka habis dikerjai calo-calo bandara, dan mungkin juga oleh orang-orang berseragam. Pahlawan Devisa dirampok di tanah airnya sendiri. Memilukan sekaligus memalukan.

Aku juga akhirnya berdamai dengan makanan, kubeli beberapa kue kaleng, walaupun akhirnya ada sekira dua buah yang kusimpan di gudang peluru karena tas sudah penuh dengan buku. Lalu aku meluncur ke Buitenzorg, kutinggalkan Jakarta yang mulai sepi dari para perantau yang seumpama kawanan semut merubung gula. Dari balik kaca jendela pandangan tembus jauh, sepanjang tol Jagorawi terlihat pohon-pohon hijau berjajar dan perumahan-perumahan elit yang mendesak perkampungan warga. Sementara pikiranku mulai melayang ke dunia buku. Kuhitung jumlah kawan-kawanku : tak terhitung, terlalu banyak. Kuhitung kawan-kawanku yang menggandrungi buku : sedikit, dapat dihitung dengan jari, mereka minoritas.

Meskipun aku tidak mengerti istilah “Sayap Kiri” yang sering dipakai dalam dunia politik, tapi kata itu sering dilekatkan kepada kaum minoritas dan militan. Maka kupakailah istilah itu untuk kawan-kawanku yang menggandrungi buku, untuk kawan-kawanku yang minoritas. Membaca adalah aktifitas paling subversiv, begitu kata Bung Muhidin. Meskipun aku tahu bahwa Andrea Hirata pernah menulis : “sebagian besar orang tak seperti bagaimana mereka tampaknya, dan begitu banyak orang yang salah dipahami. Di sisi lain, manusia gampang sekali menjatuhkan penilaian, judge minded.” Tapi setidaknya yang dapat kuketahui, berdasarkan perspektifku sendiri yang disandarkan pada kesempatan pernah mengenal mereka pada kehidupan sehari-hari, maka inilah dia kawan-kawanku yang sayap kiri itu :

  1. Bung Erlan

Kesan pertamanya pada dunia buku adalah ketika membaca buku “Supernova : Ksatria, Putri , dan Bintang Jatuh” karya Dee. Dia terpikat dengan gaya bertutur Dee yang menggabungkan antara sains dan fiksi. Penelusuran nilai lewat banyak hal membuat novel itu bercitarasa cerdas dan tidak picisan, juga menawarkan pemikiran baru tentang bagaimana cara memandang hidup. Dan setelah kesan pertama itu, dia selalu menantikan buku-buku Dee, maka tak heran jika kemudian dia juga membaca “Akar”, “Petir”, “Filosofi Kopi”, “Rectoverso”, dan “Perahu Kertas”. Tapi sebenarnya dia sangat menantikan kelahiran “Partikel” yang sampai saat ini belum juga ada kabar yang jelas mengenai kapan buku itu akan dilempar ke pasar. Beberapa kali dia menanyakan kabar itu kepadaku, tapi apa boleh buat, aku pun tidak tahu.

Bung Erlan juga suka menulis. Tulisannya seperti perpaduan antara lukisan abstrak dan realis : membicarakan kehidupan sehari-hari dengan kata-kata yang lincah, sedikit mengandung misteri, loncat-loncat, dan cenderung tak berstruktur. Sesekali memasukkan kata-kata English untuk memperkuat citarasa buram dan murung. Tulisannya tidak dimaksudkan untuk menyerang oranglain, tapi lebih kepada otokritik dan solilokui. Pernah sekali waktu kubaca tulisannya mengenai perjalanan dia pulang ke Bandung, kubaca sampai tiga kali, dan aku menemukan seorang pribadi yang tak lelah mencari “sesuatu” dari balik tumpukan karat budaya, informasi, dan visualisasi di sekitarnya. Pernah juga aku mampir ke kostannya waktu di Bekasi, kulihat buku-buku fiksi berjajar di lemari kayu. Kamarnya yang didominasi asap cigarette putih itu ternyata masih menyisakan aroma buku yang mengapung di celah-celah jendela dan pintu. Sekarang dia sedang merantau di tanah Borneo. Bergabung dengan sebuah oil company, katanya. Kudengar pula keluhannya : panas, maklumlah matahari equator, dan harga barang-barang terlampau tinggi.

2. Bung Ivan Beruang

Tentu Bung masih ingat belaka, siapakah orang yang satu ini?. Betul, dialah juara bertahan dibidang mengejek dan olok-olok. Mampirlah ke account facebooknya dan rasakan citarasa belegugnya, terakhir statusnya kubaca : “Buat ibu-ibu RW 20 jangan lupa hari ini ada Posyandu, silahkan bawa anak-anaknya buat ditimbang pakai kiloan beras”. Darinya aku tahu dan lalu bergabung menjadi anggota Rumah Buku, sebuah komunitas pecinta buku dan film di kota Bandung. Beberapa kali aku meminjam buku dari komunitas itu, diantaranya buku “Mereka yang Dilumpuhkan”, “Arus balik”, dan “Perburuan”, semuanya buku Pramoedya. Sementara Bung Ivan banyak betul meminjam DVD film untuk kemudian dicopy di laptopnya, pembajakan kecil-kecilan, (500) Days of Summer dan The Damned United, itulah dia contoh film-film yang dia bajak. Bacaannya cukup luas, dari Umar Kayam sampai Mochtar Lubis dia lahap. Bukunya berderet-deret, bersaing dengan koleksi DVD bajakannya yang selalu dia klaim original. Kalau sedang membaca buku, dia tiba-tiba akan selalu berkata keras, itulah dia ekspresi kekecewaan atau kekaguman terhadap apa yang sedang dibacanya. Terkadang juga tertawa sendiri, persis seperti alumni Riau 11. Kalau meminjam buku selalu tipikal : buku yang dipinjamnya akan kembali setelah menempuh waktu tak kurang dari enam bulan, dan selalu dalam keadaan lusuh, dekil, dan halamannya berlipat di sana-sini. Advise : pikirkan lagi seribu kali kalau dia mau pinjam bukumu. Salah perhitungan akan menyesal di kemudian hari.

Kadang-kadang dia juga menulis. Isi tulisannya didominasi oleh petasan cabe rawit : sepele dan menyebalkan. Tak jarang kawan-kawannya menjadi sengit demi membaca tulisannya yang kurang ajar itu. Tapi dia juga sebenarnya bisa menulis serius dan perbawa. Di blog mencobamenulis.blogspot.com aku baca tulisan-tulisannya yang beraroma serius dan terkesan ingin menyempaikan sesuatu. Kata-katanya gelisah dan berkeringat. Tapi sudah kubilang, tulisannya yang seperti itu tidak terlalu banyak jumlahnya, kalah oleh muka tulisannya yang lain, yang lebih santai dan kocak. “Tetralogi Cijerah City Hardcore” adalah tulisannya yang terakhir aku baca. Dia sekarang lebih fokus pada dunia Photografi, sebuah dunia yang katanya lebih dulu dicintai ketimbang membaca buku.

3. Bung Joni

Buku saktinya adalah “Mencari Sarang Angin” karya Sunaryono Basuki, seumpama “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta” karya Muhidin yang menjadi buku saktiku. Siapa sangka buku yang sangat tebal dan berbandrol hanya sembilan ribu rupiah itu ternyata menyimpan hulu ledak dan bubuk mesiu yang kuat. Ceritanya memang kurang ajar betul. Waktu dia masih tinggal di Bandung, dan Bandung sering sekali memiliki senja yang cerah dan didukung oleh udara dingin, maka berangkatlah dia ke Gramedia yang berada di jalan Merdeka (depan BIP). Dan Gramedia Bandung sama seperti Gramadia di kota-kota lain, selalu punya stand khusus untuk buku-buku yang tidak laku. Nah, buku “Mencari Sarang Angin” berada di stand diskriminasi ini. Harganya sangat melecehkan penerbit dan pengarang. Dengan ketebalan buku yang bisa digunakan untuk bantal, dia hanya dihargai sembilan ribu rupiah, kurang ajar betul!!. Setengah iba, Bung Joni akhirnya membeli buku malang itu. Di kamarnya yang dijaga ketat oleh sinar terang lampu neon, dia kemudian menyapa buku murah meriah itu. Selembar, dua lembar, tiga lembar….sepuluh lembar…dua puluh lima lembar…sampai tak terasa dia akhirnya tenggelam dalam cerita yang dahsyat, jalan cerita melemparkannya ke dalam dunia baru, dunia sejarah yang ditulis oleh si pengarang.

Dan setelah pertemuannya dengan buku itu, maka menyusullah buku-buku yang lain memenuhi rak kayu di kamarnya. Jika dilihat dari novel-novel yang dibacanya, dia termasuk salah satu pencinta cerita dengan setting sekitar tahun 1800-an akhir sampai awal 1900-an, masa pra revolusi di Nusantara. Maka dimulailah perburuan itu. Setiap kali aku ajak dia untuk hunting buku, catatannya sudah penuh dengan judul-judul buku bersetting jadul. Dan memang begitu resikonya, buku-buku bersetting jadul sudah semakin jarang ditemui. Toko buku sudah dikuasai novel sejuta umat, buku motivasi laris, dan buku-buku yang berjudul kontroversial padahal isinya hambar. Yang tidak punya cap best seller silahkan minggir. Dapat kau lihat bahwa akhirnya Bung Joni sering menyisir rak-rak paling pinggir di setiap toko buku yang dikunjunginya. Meskipun dia seorang pencinta cerita bersetting jadul, tapi buku Tetralogi Buru belum sekalipun dia sentuh, dia sempat bilang, “Aku belum berminat membaca buku Pram.” Aku pun tak memaksanya untuk membaca kuartet roman sejarah itu. Setiap orang berbeda selera, maka kubiarkan saja. Dia belum mau menikmati dahsyatnya “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, dan “Rumah Kaca”.

Sudah kubilang sebelumnya pada kau Bung, bahwa mereka yang gandrung membaca, juga ternyata tak sedikit yang kemudian menjadi gandrung menulis. Setelah buku “Maling Republik” khatam, dia mulai menulis di Multiply, catatannya lumayan berserak di jejaring sosial yang sudah tidak laku itu. Kemudian dia pindah ke facebook, catatannya semakin renyah, dan pilihan kata-katanya terasa bertenaga. Tulisannya lincah, mendesak-desak, dan sesekali bermanuver untuk sebuah gerakan menghujam. Di balik timbunan kata-katanya tersembunyi seorang penyindir ulung. Tapi dia selalu menyerang dengan metafor, maka mereka yang tidak mengerti maksud tulisannya akan tenang saja seperti tidak ada apa-apa, sebaliknya mereka yang mengerti maksud tulisannya, mungkin telinganya akan menjadi merah. Itulah kekuatan tulisan, tak perlu berteriak dengan microphone, cukup menyusun kata-kata saja, oranglain akan terjungkal di depan layar monitor atau layar ponsel. Sihir tulisan hebat tak terperi. Dia kini masih duduk di bangku kuliah, masih dalam rahim lingkungan akademik. Rak kayunya sudah dipenuhi buku-buku teknik berbahasa Inggris, yang karena saking tebalnya, bisa dijadikan sebagai senjata kalau di gang berpapasan dengan anjing gila.

4. Bung Tomy

Nama lengkapnya Bustomy. Dia orang Cirebon. Sikapnya bersahaja-berkawan, sederhana dan murah senyum. Dia kawanku waktu kuliah di Bandung, tapi kami berbeda jurusan. Setiap kali pergi kuliah, dia selalu memakai baju bladus, lusuh karena tak disetrika, dan di beberapa sudutnya sudah mulai bolong. Cigarettenya Sampoerna Ijo : murah tapi awet, karena tembakaunya keras dan ukurannya sebesar daun teh digulung. Cigarette rakyat, lebih tepatnya cigarette untuk rakyat yang kere, sebab para pembesar sudah nyaman dengan 234 dan Marlboro. Sesekali kukasih dia A Mild, masih satu keluarga tapi beda kasta. Tapi itu hanyalah urusan di bidang cigarette, selebihnya lebih parah. Kalau bikin teh manis dengan bahan bakunya teh celup murahan, dia akan beberapa kali menungkan air panas pada gelasnya. Air habis, dia tambah lagi. Habis lagi, tambah lagi. Begitu seterusnya, tanpa mengganti teh celup dan tanpa menambahkan lagi gula. Alasannya sederhana : harga gula dan teh semakin mencekik mahasiswa berkantong tipis.

Di balik kesederhanaannya itu, ternyata dia juga seorang peminat buku, terutama buku-buku anasir kebudayaan dan agama. Dulu di kamarnya berderet buku-buku Emha Ainun Nadjib : “Slilit Pak Kiai”, “Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai”, “Secangkir Kopi Jon Pakir”, “Dari Pojok Sejarah”, dan “Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya”. Ada juga buku-buku Gus Solah, Gus Mus, Farid Gaban, dan Miranda Risang Ayu. Sering kalau sore sudah tiba, aku perhatikan dia dari balik jendela kamarnya, dia tengah menyuntuki buku-buku kesayangannya. Meskipun begitu, meskipun dia gandrung betul dengan buku, tapi tak pernah sekali pun aku menemukan tulisannya. Jadi aku agak kesulitan untuk mendeteksi pikiran-pikirannya. Manusia tanpa menulis seumpama berjalan di tengah banjir, jejak kegelisahan dan pikirannya tidak akan pernah terlihat. Sekarang dia sudah menjadi PNS, sudah boleh makan gaji negara. Mungkin cigarettenya sudah beralih ke 234.

5. Bung Fikri

Awalnya aku hanya mengenal dia sebagai seorang yang handal dalam pelajaran eksak, setidaknya begitu yang terjadi waktu kami masih sekolah di almamater yang sama di Sukabumi. Meskipun dulu dia juga tergabung dalam ekskul HP3 (Himpunan Pelajar Pencinta Perpustakaan), namun jarang sekali dia menenteng buku selain buku-buku pelajaran yang membosankan, yang kutafsirkan hanya untuk mendukung prestasi akademiknya saja, dan itu tidak masuk hitunganku sebagai seorang pencinta buku. Maka awalnya dia tak termasuk dalam kelompok kawanku yang berada di sayap kiri. Dan jarak akhirnya meniadakan informasi. Dia kuliah di Buitenzorg, sementara aku di Bandung. Kira-kira tahun 2010 awal, kami tersambung lagi lewat situs jejering sosial. Inilah awal dari yang sesungguhnya.

Dia ternyata benar-benar seorang yang sangat menggandrungi buku, bahkan buku-bukunya mencakup berbagai tema dan disiplin ilmu, bahasannya lebih luas dari koleksi buku yang aku kumpulkan sejak tahun 2001. Sekarang, demi kecintaannya kepada buku, dia mendirikan books store and reading corner di Sukabumi yang diberi nama “Topi Bundar”. Dia membangunnya dari awal dan memimpin sendiri “Topi Bundar” itu. Sebagai bentuk dukungan, aku menyumbang beberapa buku untuk menambah koleksinya. Walaupun beberapa kali aku pulang ke Sukabumi, namun sayang aku belum sempat mampir ke “Topi Bundar”. Dia juga sesekali menulis di blog dan di FB. Tulisannya lebih cenderung bergaya realis dan mengandung aroma ajakan atau himbauan, juga terkesan informatif. Tapi sepengetahuanku tulisannya tidak terlalu banyak, mungkin waktunya termakan oleh kesibukan mengelola “Topi Bundar”. Dan dia masih di situ. Masih berdiri kokoh dengan dengan semangat yang merah menyala, berjejak pada kecintaannya kepada buku. Darinya aku belajar tentang totalitas.

Lima orang. Ya, hanya lima orang kawanku yang gandrung buku, selebihnya tidak dapat diperhitungkan karena aku tidak tahu kesehariannya. Sedikit sekali. Juga kawan-kawanku yang perempuan, meskipun aku tahu bahwa di antara mereka ada juga yang mencintai buku, namun aku tidak pernah benar-benar mengenal kesehariannya, jadi mereka kueliminasi. Jagorawi belum juga habis, pohon-pohon hijau masih berderet di sepanjang jalan. Besok lebaran. Orang yang duduk di kursi sebelah tidur dan terdengar mendengkur. Kulayangkan pandangan ke seluruh manusia yang ada di bis itu, tak seorang pun kudapati yang membaca buku.

***

Sudah hampir tiga minggu semenjak pertemuanku yang pertama dengan Olva. Semenjak aku menajamkan pandangan agar bisa memastikan bahwa dia bukan tiang listrik, tak terasa sudah empat tulisan dan satu buku akau berikan padanya. Kulihat arsip digital, kutemui tulisan itu :

  1. MEMBONGKAR YANG DISEKAP
  2. MENULIS; SEBUAH PERTEMPURAN MELAWAN WAKTU
  3. BIRU (Tulisan pendek di halaman depan buku yang kuberikan)
  4. DISEBABKAN OLEH BUKU

Kubaca ulang semuanya. Kutemui bahwa di setiap penghujung tulisan itu selalu saja ada kata-kata sanjungan, kata-kata yang mungkin dia tafsirkan sebagai rayuan. Aku berpikir sebentar, kok bisa ya aku menulis sanjungan seperti itu?, biasanya aku sangat menjauhi kata-kata semacam itu. Olva telah membuatku menerabas hal-hal yang selama ini aku simpan rapat di sebuah kotak yang bernama tabu. Olva telah membuatku menulis seperti ini :

1. “Aku tak tahu apakah kamu juga mencintai buku?, apakah kamu juga tertarik untuk membongkar pikiran-pikiran para penulis?. Aku tak tahu sedikit pun. Bagiku kamu misteri, dan itu indah dan mendebarkan.” (Membongkar yang Disekap)

2. “Membaca dan mencatat. Selamanya demikian. Apa pun sebutannya untuk kedua kegiatan ini, kurasa aku akan tetap berjalan. Adapun kamu, setidaknya sampai saat ini, aku tetap tidak tahu, apakah kamu mencintainya seperti yang aku lakukan?, yang jelas kamu tidak akan aku lepaskan dari catatanku. Alasannya sederhana, kamu begitu memesona.” (Menulis; Sebuah Pertempuran Melawan waktu)

3. “Tapi ada satu biru yang hanya diketahui olehku. Dalam semesta pesona yang melekat dan mengapung di diri seorang perempuan, bagiku itu juga biru. Dan kamu, perempuan biru itu.” (Biru)

4. “Seumpama buku, bagiku, kamu juga adalah sebuah kota. Dan aku ingin mengenal setiap sudut kotamu, lalu menetap di sana, membangun rumah, bersama-sama melacak usia senja, sampai saat itu tiba, siapa yang lebih dulu pasti akan sama saja, kita akan terbaring di kotak yang tak lebih dari dua kali dua. Alangkah singkatnya hidup, dan alangkah indahnya jika aku bisa menetap di kotamu.” (Disebabkan oleh Buku)

Sehari setelah masuk kerja sehabis libur lebaran, tulisanku yang ke empat, yang berjudul “Disebabkan oleh Buku” aku berikan pada Olva. Seperti biasa aku menemuinya sore hari, setelah jam kerja para jongos menyentuh titik terakhir. Kami tidak lagi bertemu di pinggir jalan seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, tapi di sebuah toko buku, ini tentu saja usulku. Dan dia tak banyak protes, dia hanya bilang “iya”. Waktu aku melihatnya tengah berdiri di samping rak buku-buku sastra, dia memakai baju biru, dan membuatku terdiam sejenak. Aku mengatur nafas dulu, lalu menuju toilet; baju dan rambut kurapikan. Setiap kali akan menghadapi perempuan cantik berbaju biru, aku selalu gugup dan kehilangan kata-kata, sehingga membutuhkan sedikit persiapan ekstra.

Tentu saja aku tidak membiarkannya berdiri lama di toko buku itu, karena setelah beberapa menit di toko buku, aku mengajaknya ke sebuah tempat di mana kami bisa duduk, bisa makan, bisa minum, dan bisa ngobrol dengan nyaman. Tiba-tiba aku teringat nasihat dari seorang dosen : “kalau duduk dengan perempuan, sementara di situ ada meja dan kursi lebih dari satu, sebaiknya duduk berhadap-hadapan, jangan sampai duduk berdampingan.” Okelah kalau begitu, maka di sore yang bagus itu aku duduk menghadapi Olva, menghadapi perempuan cantik berbaju biru. Aku gugup. Awalnya aku tak berani melihat matanya yang cerah. Tapi setelah menarik nafas panjang, akhirnya aku berani, aku tantang matanya. Edan, dia malah tersenyum, tapi kemudian bertanya dengan nada sedikit khawatir, “Kamu kenapa?, lagi sakit ya?.” Dia lalu memegang keningku, kening seorang laki-laki konservatif yang tengah gugup menjalani pertemuan ke lima dengan perempuan yang dicintainya secara diam-diam. Perempuan yang dicintainya dengan jalan sunyi dan hanya mengandalkan tulisan sebagai senjatanya, sebagai pelurunya.

Keadaan kemudian cair, aku tak lagi gugup, hanya sesekali saja masih menggigit bibir. Aku perhatikan matanya yang cerah, rambutnya yang sebahu, cara dia memulai bicara, cara dia bertanya, cara dia mengungkapkan ketidaksetujuan, cara dia merasakan sensasi pedas dari makanan yang dipesannya, cara dia mengemukakan pendapatnya, cara dia duduk, cara dia minum cola untuk mendorong makanan, dan cara dia tersenyum. Aku menemukan dunia baru. Sebuah dunia yang membuatku ingin menetap di situ, membuatku ingin membangun rumah di situ, membuatku ingin mempunyai perpustakaan dan bisa menulis sepuasnya. Menuliskan semua yang ada padanya. Sore itu aku benar-benar telah menjelma menjadi seorang lelaki Bombay. Tapi waktu kemudian menjadi cepat berlalu, tak terasa tiba-tiba saja sudah masuk maghrib. Aku tak berinisiatif untuk mengakhiri pertemuan lalu pulang, karena memang aku ingin berlama-lama dengannya. Dia juga ternyata sama, dia hanya mengajakku untuk sholat maghrib, tapi tak mengajakku untuk pulang. Sore itu mungkin akan menjadi salah satu waktu yang akan kutuliskan di catatan harianku, dan catatan itu akan sangat panjang jadinya. Dan Bung sendiri, tak usahlah terlalu tahu ke mana kami, aku dan dia pergi setelah sholat maghrib itu. Nanti saja aku ceritakannya, yang jelas malam itu setelah tiba di kostan, aku langsung menulis di buku catatan harian.

***

Laptop Dell sudah ku kembalikan kepada yang berhak. Sudah kuduga sebelumnya, Bung Joni memeriksa dengan teliti barang inventarisnya itu. Setiap milimeter dia lihat dengan kaca pembesar, dan hasilnya memang tidak ada yang lecet sedikit pun. Kemudian dia nyalakan, antivirus dia suruh kerja; Trojan, Brontok, dan kafilah virus brengsek yang lain tak juga ia temukan. Dan dia berucap, “Bagus, begini seharusnya kalau kau pinjam barang orang.” Aku hanya manggut-manggut saja bagai burung hantu habis kena pukul, lalu menyalakan cigarette tanpa cengkeh yang dibawa Bung Joni dari kampungnya. Kebiasaan dia adalah selalu membawa satu slop, atau sebanyak dua puluh bungkus cigarette putih setiap kali habis pulang kampung. Maka aku pun menghisap sepuas-puasnya karena stok sedang melimpah.

Sebab laptop tak bisa lagi kubawa pulang ke Gudang Peluru, maka terpaksa aku menulis di kostannya. Dengan dukungan penuh dari cigarette putih, dua buku cerita, dan satu botol cola bervolume 1,5 liter yang sengaja kubeli dari carrefour, aku mulai menulis. Waktu aku mempersiapkan persalinan anak jiwa itu, Bung Joni malah tidur disertai dengkuran yang keras, mungkin lelah, sebab dia menempuh jalur darat dari Pekanbaru menuju Jakarta. Aku tetap serius menulis. Beginilah jadinya tulisanku yang ke lima, yang akan kuberikan kepada siapa lagi kalau bukan perempuan cantik berbaju biru yang telah berulang kali membuatku gugup dan kehilangan kata-kata. Rona tulisanku semakin terlihat, bahwa aku sebenarnya sedang curhat, tapi kali tidak terlalu panjang :


BUKU DAN STABILO

***Kalau saja aku tak pernah membaca buku Muhidin M. Dahlan yang kubeli sekitar tahun 2004, waktu aku masih tinggal di bandung, waktu aku berada dalam ancaman kegagalan riwayat akademik, aku mungkin tidak akan pernah berani untuk menulis. Di dalamnya, di dalam buku yang berjudul “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta” itu, aku temui tulisan ini :

“Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialisme sayap kiri Prancis pernah melakukan plagiasi ketika pertama kali menulis novel. Menurut pengakuannya, novel pertamanya yang berjudul Pour un Papillon (Demi Kupu-kupu) merupakan salinan plek dari buku cerita bergambar yang ia punyai yang terbit tiga bulan sebelum novelnya diterbitkan. Semuanya sama : tema, tokoh-tokoh, detail petualangannya, dan bahkan judul pun ia pinjam. Lagi pula mengikuti pendapat Roland Barthes, pada dasarnya tulisan itu tidak ada yang orisinal; teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya. Bovard dan Pecuchet yang terkenal sebagai pengopi abadi, menerangkan suatu kebenaran menulis, bahwa seorang pengarang hanya dapat meniru (mengimitasi---kata halus dari memlagiasi) suatu awal yang berkelanjutan, suatu gerak yang tidak pernah asli. Kedua orang itu memiliki kemapuan luar biasa mencampur-baurkan pelbagai tulisan, menyanggah tulisan oranglain agar tercipta ragam perspektif.”

Tulisan itu ku kasih tanda dengan stabilo kuning dan kubaca berulang-ulang, lalu tulisan itu secara perlahan telah berhasil menghancurkan semua ketakutanku akan menulis. Bahwa kenyataannya aku memang selalu menjahit ragam kutipan dari berbagai buku, lalu kugoreng sampai menjadi sebuah tulisan yang kuanggap pas. Aku tidak lagi takut disebut sebagai seorang plagiator, karena sering terbukti bahwa si pengucap vonis adalah mereka yang jarang sekali menulis. Lagi pula, ketakutan akan serangan dan kritik orang, hanya akan membuat diriku menjadi tidak produktif, mandeg, lambat seperti kereta tua, dan tak pernah berbuat apa-apa. Maka aku pun terus menulis, dan terus membaca buku.

Dari ratusan halaman buku yang kubaca, tentu akan sangat sulit untuk menemukan kembali kata-kata atau kalimat-kalimat yang kuanggap penting seandainya tidak kukasih tanda dengan stabilo. Setiap yang kutandai itu pasti akan kubaca ulang, kupahami, dan seringkali kukutip dalam tulisan-tulisanku. Stabilo telah banyak membantuku dalam aktifitas membaca dan menulis. Dia seumpama tanda panah dalam permainan mencari jejak. Dia menunjukkan apa yang kucari. Maka tak heran jika buku-buku yang pernah kubaca penuh dengan tebaran warna stabilo; kuning, hijau, oranye, dan biru. Yah, biru. Dalam buku “Edensor” kutemukan kalimat ini : “Di sekitar kita ada kawan yang selalu hadir sebagai pahlawan.” Kalau saja stabilo itu manusia, maka kalimat itu akan cocok disandang olehnya.

Tak terhitung alangkah berjasanya dia. Warna cerahnya selalu mengundang mata untuk berhenti di halaman yang sedang kucari, dia seperti marka jalan yang mengatur kapan aku harus berhenti dan berjalan. Dengan bantuan stabilo kuning, aku menemukan kembali paragraf-paragraf ini :

  • “Cinta bukan teks. Oleh karena itu tidak bisa diinterpretasikan lewat tadabur kata-kata. Cinta seperti halnya keadilan. Cinta “ada” yang tak bisa diurai dalam khazanah tibanan. Makanya, Jacques Derrida, hanya bisa mengatakan : bila hukum bisa ditafsir, diurai, digugat, diperlihatkan kontradiksi dalam dirinya, cinta tidak. Ia adalah gagasan dari sebuah laku, pengalaman, penantian, kecemasan, dan hasrat untuk bergabung dalam kafilah ruhani (baca kedamaian) menuju taman surga.” (Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta).
  • “Kekuatan pena, kata pepatah usang, lebih dahsyat dibanding kekuatan satu batalyon tentara. Kekuatannya terletak pada sifatnya yang mampu merajut rekaman peristiwa masa silam sehingga bisa menjadi ibrah bagi generasi pelanjut. Dan, pelaku yang bergerak di dunia ini adalah mereka yang sadar bahwa dengan menulis, corak berpikir dan kecenderungan berpikirnya setiap masa yang terlewati bisa terdeteksi. Dengan berjalan di titian filsafat ini aku mendekatimu. Lewat tulisan tentunya. Aku punya beberapa alasan. Pertama, tulisan lebih berbekas dan punya kekuatan historis yang bisa dibaca berulang-ulang. Bisa menjadi cerita yang diwariskan kepada generasi yang berikutnya. Kedua, menulis maksimal melibatkan spasi perenungan dan pembacaan (teks). Inilah aku yang bersapa denganmu lewat bahasa pena. Lain tidak. Lihatlah aku dalam tulisanku. Aku pun menilaimu dengan khusyuk dan mendengarkanmu lewat bahasa lisanmu. Adil kan?. Dan mungkin pula aku bisa belajar darimu tentang banyak hal. Demi untuk saling menjadikan.” (Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta).

Dua paragraf itu mengantarkanku kepada sebuah kondisi kontradiktif. Yang pertama menyatakan bahwa cinta tidak bisa ditadaburi lewat kata-kata, dia harus dirasakan lewat laku dan pengalaman. Sementara yang kedua menyatakan bahwa cinta bisa didekati lewat titian filsafat menulis. Lama aku menimbangnya kedua. Tapi seiring berjalannya waktu, ternyata kedua paragraf itu bukanlah sebuah kontradiksi, karena ternyata aku bisa mengalami saat-saat penantian, kecemasan, dan hasrat. Pun begitu, aku juga masih bisa tetap berjalan di setapak pilihanku, aku tetap bisa menulis. Dan kurasa, saat seperti ini, saat kamu tiba-tiba hadir di kehidupanku, adalah saatnya badai tulisan menyerang hari-hariku. Tak sehari pun aku lewatkan tanpa menulis. Hanya saja tidak semua tulisan itu aku berikan kepadamu, sebab ada beberapa tulisan yang kurasa belum saatnya sampai kepadamu. Bukannya aku gila misteri, tapi ada hal-hal tertentu yang akan terasa indah ketika saatnya sudah tepat.

Begitulah kisah stabilo yang telah menemani hari-hariku. Sementara bagiku, kamu tidak seperti stabilo. Kamu jauh melebihinya. Melampaui apa yang telah kurasakan dengan bantuan stabilo. Kehadiranmu hampir-hampir saja tak terdefinisikan. Kamu lebih dari sekedar pembatas halaman-halaman waktu. Seperti sudah kukatakan sebelumnya, kamu adalah biru. Sebuah kata untuk mewakili sesuatu yang “sangat”.***


***

Baru empat hari aku meninggalkan kampung; sebuah desa yang kehidupan perekonomiannya lambat bagai keong. Sektor pertanian pun loyo, sebab hanya mengandalkan air tadah hujan. Anak-anak mudanya banyak yang merantau, sisanya diam di kampung. Mereka menghabiskan waktu dengan menjaga warung pengisian pulsa, menjadi karyawan gurita swalayan, nongkrong di warung kelontong, dan sebagian lagi menjadi tukang ojeg. Hanya sedikit saja yang menjadi guru ngaji, atau menjadi guru honorer di sebuah SMA negeri. Dari peta kebiasaan dan profesi itu, aku ingin mengetahui sejauh mana mereka mengenal atau bahkan mencintai buku. Maka libur lebaran kemarin kugunakan untuk melakukan investigasi kecil-kecilan. Aku tidak mau kampungku mengidap rabun bacaan. Dan aku mulai berjalan.

Malam hari kudatangi pos ronda, tampak ada empat orang anak muda sedang main krambol, semuanya adalah kawan-kawanku semasa kecil. Asap cigarette memenuhi pos itu, mereka terlihat akrab sekali antara yang satu dan yang lainnya, sebuah persahabatan yang manis pikirku. Aku pun bergabung dan ditawari untuk ikut bermain, tapi kutolak dengan halus. Papan krambol, cigarette, dan kopi, itu yang ada di sana, tak satu pun buku kutemui. Tak sampai setengah jam, aku pun pamit. Tempat selanjutnya adalah alun-alun yang letaknya persis di depan mesjid. Dari jauh kudengar, alun-alun itu ramai sekali oleh suara ababil yang tengah lincah menelan hidup. Kudekati mereka, penerangan kurang sempurna, sehingga mereka terlihat berpangan-pasangan dengan lawan jenisnya. Senyum kekuda-kudaan sering terdengar. Di tempat remang-remang dan temaram seperti itu mana mungkin ada buku, lalu aku menjauh. Sebelum pergi, sempat kucium aroma naga, mungkin dari minuman beralkohol, aku tidak tahu.

Besoknya, waktu matahari memberi tahu apa yang disembunyikan kegelapan malam, aku datangi lagi alun-alun, kulihat banyak betul sampah kulit kacang yang berserakan mengotori tanah lapang, sementara tak satu pun ababil berada di sana. Aku kemudian pergi ke warung pulsa, kebetulan pulsa sudah habis. “Ada pulsa M3 yang sejuta?”, si penjaga geleng kepala dan dari rona mukanya tampak sekali sebuah perasaan jengkel, mungkin di hatinya dia berkata, “Sombong pisan sia, A****g!!!”. Akhirnya aku hanya membeli M3 yang sepuluh ribu. Sekilas kulihat isi warung itu, tak satu pun kulihat ada buku di sana. Pulsa sudah oke, lalu aku pergi ke swalayan alias gurita mini market yang telah membunuh para pedagang lokal dengan sihir atmosfer tokonya. Beberapa ababil terlihat sedang nongkrong di depan swalayan itu sambil menikmati soft drink yang dulu jarang bisa ditemui. Sama saja, di sana juga tak kutemui manusia yang sedang membaca atau memegang buku. Aku lalu pulang dan menghempaskan badan di kasur kapuk yang terasa sejuk. Sementara pikiran mulai mengembara ke Jakarta. Ke sebuah kota yang diam-diam mulai aku cintai. Tapi aku ragu, apakah mencintai kota atau mencintai seorang perempuan yang tinggal di sana?. Sepertinya yang kedua lebih tepat. Dan di luar mulai terdengar suara hujan. [ ]

18 September ‘10

No comments: