Telah beberapa bulan saya meninggalkan multiply, melupakan blogspot dan berhenti menulis. Apakah saya semacam sedang sibuk?, ah tidak juga. Biasa saja. Jadi sekarang saya mungkin ingin menulis panjang, tapi tidak panjang banget, biasa saja. Menulis apa?, banyak pisan Bung. Sampai saya bingung harus memulainya dari mana?. Ada ide?. Baiklah, jadi begini mulanya :
Keluarga. Siapa yang tidak punya keluarga?, pasti semua punya, walaupun tentu ada juga yang tidak tahu sama sekali anggota keluarganya, karena misalnya dia dibuang ketika masih bayi, laku orang-orang pengecut yang sering kita lihat di layar kaca, yang membuang bayi merah mereka hanya karena mau enaknya saja tapi tidak mau anak. Setiap orang pasti punya ayunan kehidupan itu, ayunan yang mula-mula melindungi anak manusia dari lebat dan teriknya pergaulan hidup. Tapi sekarang saya melihat ayunan itu banyak yang rusak. Pasutri sering sekali bongkar pasang teman hidup. Banyak betul alasannya : karena ketahuan selingkuh, karena sudah jenuh, karena tidak punya keturunan, dan karena-karena yang lainnya.
Tapi kalau ada tragedy dalam kosa kata hidup berumah tangga, pasti itu adalah perselingkuhan. Suasana yang mungkin khidmat ketika acara akad, seperti seonggok sampah yang begitu mudah dibakar di atas tungku dengan bara perselingkuhan. Mereka yang berselingkuh itu semacam punya dunia sendiri, dunia yang rumit dan juga mungkin indah bagi mereka, saya tidak tahu persisnya seperti apa. Banyak yang mengecam orang-orang seperti ini, para pelaku selingkuh ini, bagaimana menurut Bung?.
Keluarga. Kenapa saya jadi banyak omong tentang keluarga?, padahal saya belum berkeluarga. Biarin, yang penting menulis saja. Seperti beberapa bulan ke belakang ketika saya agak banyak menulis, tulisan tak berstrukstur, loncat-loncat, tidak pernah benar-benar asli.
Dalam keluarga selalu ada kisah. Salah satunya adalah kepergian orang-orang tercinta. Pergi menuju keabadian, meninggalkan hakikat dunia yang serba sementara. Bagaimana rasanya ditinggalkan oleh orang yang telah mengabdikan seluruh hidupnya dengan cinta, darah, dan ruh?. Apa gerangan balasan yang pantas diberikan untuk orang yang telah bersusah payah mengandung, melahirkan, dan membesarkan?. Bahkan jika kau berdo’a di tengah malam gelap dan dingin, melepaskan do’a-do’a terbang ke langit tinggi, hanya untuk kebahagian ibumu di alamnya yang baru, sungguh itu tidak akan sanggup membalas kasih sayang yang mengalir deras yang telah diberikan ibumu. Di zaman khalifah Umar bin Khatab, ada seorang pemuda yang merawat dan berbakti kepada ibunya yang telah tua dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, tapi entah kenapa pemuda itu masih sempat bertanya kepada khalifah, “wahai amirul mukminin, apakah pengabdianku telah cukup untuk membalas kebaikan ibuku?”. “Tidak”, jawab khalifah, “karena engkau merawat ibumu sambil menunggu kematiannya, sedangkan ibumu merawat engkau sambil mengharap kehidupanmu”. Kepergian orang-orang tercinta adalah masa ketika kita tersadar bahwa mereka yang telah pergi itu tiba-tiba saja meninggalkan ruang kosong yang sangat besar di kehidupan kita. Memperbaiki atau meningkatkan kualitas hubungan dengan orang-orang tercinta, mungkin sebuah langkah bijak sebelum segalanya terlambat. Kenapa saya menjadi seperti serius begini?, tapi biarin, sekarang mari kita lanjutkan.
Telah berulang-ulang saya menulis tentang kecintaan saya pada buku, pada kertas yang dilem punggung nya itu. Pada benda yang di dalamnya berderet-deret jajaran aksara, pada benda yang dapat mengapungkan imajinasi, memanjangkan harapan, dan membakar semangat itu. Seperti yang telah saya tulis pada beberapa waktu ke belakang, bahwa yang menumbuhkan minat saya pada buku, mulanya adalah semacam sebuah buku otobiografi seorang mantan mahasiswa yang tidak lulus di dua perguruan tinggi yang berbeda di kota Yogyakarta. Nama penulisnya tidak usahlah saya sebutkan.
Lalu saya bersentuhan dengan buku-buku Pramoedya. Dan buku dia yang pertama ingin saya beli adalah “Bumi Manusia”. Berjompaklah keinginan saya itu sebagai ombak yang menderu di laut luas ketika saya melihatnya di sebuah toko buku ternama di negeri ini. Antara sebentar saya bolak-balik depan dan belakang, membaca apa yang ada di permukan buku itu. Beberapa waktu lamanya saya bertingkah demikian zonder membeli, karena uang sedang tidak ada. Beberapa bulan lamanya saya tidak bisa membeli buku itu, sampai ketika uang sudah ada, maka bersegeralah saya beli buku itu sebagai orang lari ke toilet karena mau ada sesuatu. Buku yang tebal itu saya habiskan dalam waktu yang tidak lama, berbeda dengan kalau saya membaca kitab suci, satu bulan pun belum tentu bisa selesai, saya memang semacam sedang turun imannya waktu itu. Tapi memang sebenarnya bukan waktu itu saja saya mengalami penurunan iman, sebab yang namanya iman pasti bertambah dan berkurang (yazid wayankus).
Ah, itu mungkin cerita tentang minat. Tentang ketertarikan. Tentang hening senyap perangkap yang terpasang pada sebuah buku. Kalau ada orang yang sedang murung atau bersedih, cobalah beliau itu dikasih sebuah novel yang bagus, kasih dia amsal atau umpama untuk dikunyah dalam kesedihannya. Biar beliau tahu bahwa peserta kehidupan di alam luas ini bukanlah beliau saja. Tapi jangan sekali-kali kau sodorkan novel cabul karangan para aktivis liberal, sebab sungai yang airnya dangkal sangat sulit untuk dijadikan tempat menyelam. Biarkan saja mereka terus berkarya, dan kita harus melawannya dengan karya juga. Biarkan saja mereka mabuk dalam puber intelektual, dan kita harus semakin “merunduk” dalam aktivitas pencarian ilmu. Jangan membakar buku, tapi bakarlah pemahamannya dengan keyakinanmu. Kalau akhirnya hidup hanya terpolarisasi pada dua kutub, maka pilihan itu sangat jelas.
Pasti Bung sudah tahu, atau setidaknya pernah mendengar kata-kata ini : “pemuda sekarang adalah pemimpin masadepan”. Lalu pemimpin macam apa yang akan kita temui kelak jika candu telah merasuk dan merusak tunas-tunas muda itu?. Di pagi yang masih awal dan sangat manis, terdengar rintihan pemudi yang sedang “operasi” aborsi, hanya karena dia kurang cerdas dengan lupa membawa pil anti hamil. Di halte-halte penuh vandalisme, banyak betul ragam anak muda itu, hampir semuanya menghadirkan cermin buram, kecuali beberapa belia penyuluh di malam kelam, para penyebar kesejukan di tengah sahara bangsa. Ah, cermin buram itu mungkin saya, atau mungkin Bung sendiri, atau mungkin gadis-gadis mekar yang durasi wanginya pendek, karena angin perubahan terlalu cepat hinggap, angin itu adalah kematian, kematian apa?, kematian hati nurani. Saya tidak ingin menjadi ringkih hanya karena dibantai persoalan yang tak habis-habis. Bung sendiri, bagaimana inginnya?.
Hei Bung, kau dengar itu sedun sedan?, itu bukan orang yang sedang menangis, tapi sedang tertawa, menertawakan komedian banci yang semakin hari makin menjamur. Selera humor kita ternyata hanya sebatas adegan konyol seorang banci ya Bung?, ah, kau pasti tak setuju. Kau pasti punya selera humor lebih tinggi. Atau kau bukan seorang humoris melainkan seorang melankolis?, karena setiap hari tidak pernah absen menonton kawin cerai para artis?. Ah, kau tentu lebih tahu jawabannya Bung.
Hukuman apa kira-kira yang pantas dikalungkan di leher si pengkhayal?. Panjang angan-angan, idealisme constract, pengagung simbol-simbol, banyak cakap tapi tak pernah meninggalkan jejak. Berbicara dengan orang seperti ini mungkin namanya bukan diskusi, tapi debat kusir. Sudah saatnya meninggalkan para penggerutu, pasukan bersemangat seremoni akan tercecer di belakang. Apakah kau sudah merasa akan masuk surga?, padahal belumlah datang cobaan itu. Yang putus asa kembali mengurung diri di surau-surau dan gubuk-gubuk sambil tersedu sedan mengutuki kehidupan yang tidak ideal. Betapa banyak para pengagum pahlawan sampai akhirnya lupa untuk meneladani. Nasionalisme bisa diframe pada visual pemuda tengik yang tersedu sambil mencium kain bendera. Lalu setelah menjadi anggota laskar di panggung 17-an, pemuda itu kembali tersungkur di got dengan kondisi mabuk berat, dibantai local wine nomor wahid. Inikah pemimpin masadepan itu?, Bung tentu tertawa mendengarnya sebagai bocah sedang bercanda dengan kawannya.
Ya, saya yakin Bung, suatu saat nanti para belia penyuluh di malam kelam itu akan hadir memenuhi setiap gang di Jakarta, bahkan di seluruh penjuru negeri. Pasukan itu kini tengah bekerja, menahan laju ahzab sekutu. Generasi macam apa yang berbekal kayu, batu, pedang, senapan angin, dan bom Molotov, hanya untuk mempertahan gengsi blok hunian?, nasionalisme turun pangkat : dari gengsi Ambalat mejadi sepetak dua petak wilayah kelurahan. Begitulah jadinya jika tanah yang dipijak telah dijadikan Tuhan. Jargon kebangsaan berleleran dari mulut si Tuan, dan orang-orang perlahan berubah menjadi rakyat kerajaan. Para penyuluh itu bekerja dalam sunyi, mereka senyap tapi tidak diam, bergerak dan terus bergerak, karena diam adalah kematian. Lalu ada segerombol manusia menyerang, menjegal dan memfitnah saudaranya sendiri, sementara kewajiban jadi terlupakan. Proyek kebajikan hanya jadi sampah, sumpah serapah dan kebencian. Terbuat dari apa hati orang-orang yang dengki itu?. Si pintar menjadikan ilmunya hanya menjadi barang koleksi, dan gelar bergerbong-gerbong hasil menuntut ilmu di luar negeri hanya menjadi penghias di selembar surat undangan dengan catatan kaki : “mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan nama dan gelar”. Yang dituding tidak nasionalis malah pulang ke tanah air dengan membawa ilmu dan bergiat membangun negeri. Ajaib dunia ini, yang bercita-cita besar sering dikerdilkan, dan yang bercita-cita (kalau ada) kerdil sering dibesar-besarkan.
Kemudian ada angin lalu, semilir bahkan tidak terasa. Bunyi merdu seperti apa yang dapat dihasilkan dari tong kosong yang kelewat sombong?. Setajam apa pun serangan itu, tidak dapat menghentikan laju azzam yang tengah dipupuk. Headline koran-koran dengan huruf menyala setiap hari menyambut pagi, bahkan ketika sesuap nasi belum sampai ke kerongkongan. Ya, perang itu telah berkobar, di gincu-gincu istilah : hak asasi manusia, dunia tanpa teror, kesetaraan gender, kebebasan tanpa batas, dll. Yang tak siap langsung terbunuh dengan serangan kata, padahal belum datang kepadanya serangan senjata. Pembunuhan karakter dilontarkan pers quo vadis, lalu yang bermental klarifikatif bergiat membuat press release. Basa-basi komunikasi dengan media yang penuh benci hasilnya telah terbukti : bahwa media harus dilawan dengan media, apalagi rakyat kerajaan adalah ayam negeri yang gampang digiring, solidaritas salah kaprah, dan rentan kematian massal. Kampus-kampus mesin sekularisme bertekuk lutut ketika angin perubahan berhembus kencang, belia-belia yang resah, teguh berjama’ah, menyeru dan menyuburkan jalan yang hanif itu. Para penguasa korup terlambat menghadang gerakan kembali ke “identitas”, dan perlahan jundi-jundi itu mengantar masyarakat kembali ke haribaan fitrah. Perang abadi bukanlah symbol melawan substansi, bukan pula profan melawan sakral, melainkan kebenaran melawan kebatilan. Maka yang merasa memonopoli kunci-kunci kebenaran silahkan memperhatikan.
Kemenangan abadi bukanlah di dunia kasat mata, sebab peradaban yang sejati bukan pada tujuh keajaiban dunia, melainkan kemenangan di alam jiwa. Mesjid harapan bukanlah yang megah memakan dana ummat lalu setelah itu dilupakan, melainkan tempat jiwa-jiwa bertemu, saling mengingatkan, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Haruskah pula diwajibkan latihan baris-berbaris di lapangan dengan teriak dan gertak?, sementara lima kali pertemuan dalam sehari telah begitu rapi, disiplin, dan anggun. Diperlukan petani-petani baik dan bisa dipercaya untuk menanam benih, menyiram, menyiangi, merawat, dan menyingkirkan hama dari tunas-tunas muda yang bersemangat itu. Karena burung kecil pun menyukai padi yang sedang berbuah. Tumpukan kertas yang punggungnya dilem kuning idealnya menjadi penggagas perubahan, pembebasan, dan keberanian. Bukan malah menjadi labirin gelap yang membuat si pembaca berputar-putar mencari pintu keluar. Alangkah malang si Tuan yang dimakan senjatanya sendiri, lalu teriak minta tolong di situs-situs jejaring social. Alangkah mudah mengeja huruf-huruf sejarah, mencintai kata-kata bertuah, menggandrungi karya-karya bersengat, tapi efek yang ditimbulkan tidak lebih dari tipikal seorang kolektor barang antik, tragis.
Hari ini harus kembali ditegaskan, bahwa gradasi adalah warna yang luruh dari warna aslinya. Ketika berjuta petak dan rumah kotak mau memboikot segala tayangan sampah, maka si penebar stigma akan kelimpungan memakan rating yang semakin menukik, dan si modal besar akan angkat kaki dari firma-firma corong itu. Sudah berapa tahun bangsa Tuan merdeka?. Haruskah kembali menjejalkan kata dewasa kepada bangsa yang masih belum bisa menurunkan penumpang dari atas gerbong kereta, menjadikan sungai sebagai kloset, shelter-shelter penuh vandalisme, dan wilayah niaga penuh licik dan dusta?. Siapa yang mau bertanggungjawab?. Tangis bocah akan lebih anggun jika dibandingkan umat yang menangisi keadaan tanpa berbuat sesuatu apa pun. Ya, klaim diri yang paling benar memang begitu manis diucapkan, sambil menunggu Ratu Adil , Satrio Piningit, atau bahkan menunggu kehidupan ideal seperti zaman para penghulu pembawa risalah, sambil menafikan kondisi zaman dan tak pernah membaca tanda-tanda zaman. Dalam gerak ada berkah, karena setiap genangan air selalu menyisakan bau busuk. Setiap penyuluh di malam kelam harus siap terasing, sedikit pengikut, dan mata hati yang sadar jaga.
Bung, apakah kau masih menjadi pencinta senda gurau?, lalu kau mengutip ayat bahwa dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan belaka. Apakah orang-orang serius tidak pernah bercanda?. Sangat parsial jika perspektif hanya dari satu titik, lalu dengan style yakin mendeklarasikan kemerdekaan dan kesenangan hidup, kemudian memvonis orang lain sebagai si pencinta dunia, seolah kau tak mencintai dunia dan sangat pede akan beroleh berkah dari hidup ala seniman tanggung. Berderet generasi seperti tak habis-habis, yang mengeluh sepenuh kesah : “hidup untuk diri sendiri sudah demikian sibuknya, tak terbayangkan jika ditambah dengan hidup untuk orang lain”. Bukan tiba-tiba jika kemudian tetangga begitu acuh dan sinis, sahabat semakin jauh, orang tua dan saudara menjadi lupa, karib kerabat entah kemana. Take a look around. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain”. Tegur sapa mendo’akan keselamatan kini mahal harganya, karena tak pernah mengenyangkan perut si pengucap, atau anjuran konyol dari seorang ningrat untuk mengubah “assalamu’alaikum” menjadi “selamat pagi”. Maka mati ketawalah bangsa ini seperti kata pengantarnya pada sebuah buku, mengerikan. Telah hadir semenjak beberapa dekade lalu, satu generasi yang terlihat dari gurat wajahnya, sorot matanya, dan senyumnya yang menyimpan kesedihan kepada bangsa yang malang ini, sembari bekerja, berjuang dan meniti jalan dengan sepenuh azzam, mengajak orang-orang kembali ke haribaan fitrah. “Bangkitkan negeri, lahirkan generasi, pemuda harapan, tumbangkan kedzoliman.” (Izzis)
Sekarang dan bahkan seharusnya dari dulu, istilah ‘wanita tuna susila’ punya kembaran : ‘pria tuna susila’, sebab memilih terjerembab bukan monopoli satu gender. Alangkah malang nasib perempuan, dulu banyak dari kaumnya yang pernah melahirkan para aktor pencerah peradaban, kini banyak yang berteriak lantang karena merasa tak kebagian peran, lalu menyalahkan agama langit. Tapi mereka tak berani membuktikan gugutannya itu, yang paling berani pun tak punya nyali untuk memproklamasikan diri keluar dari agama yang hanif ini. Masih diperlukan beribu-ribu lembar catatan sejarah untuk perempuan seperti ini. Padahal sudah sangat jelas derajatnya : “ibu, ibu, ibu, baru bapak”. Tidak akan pernah terdengar kata-kata “surga ditelapak kaki bapak”, bukan?. Yang merasa gembong gerakan kesetaraan gender lalu berkata : “ah, itu cuma rayuan, agar kita tidak melawan”. Dan jalan itu akan selalu terbentang, memanggil para penyuluh di malam kelam untuk selalu siap, taat, dan berjaga di garis depan. Masih banyak lahan gersang untuk dijadikan subur dan produktif, masih banyak “mulut-mulut” lapar menunggu uluran, dan masih diperlukan stok kesabaran yang berlimpah untuk meneruskan perjalanan.
Di dalam bus transjakarta sangat jelas tertulis “dilarang makan, minum, dan merokok”, tapi aneh ada tong sampah di hampir semua armadanya. Buat apa?. Apakah untuk mentoleransi pelanggaran?, maka suatu hari dapat Tuan temui seorang asing tersenyum ganjil. Ini persis seperti larangan berjualan di trotoar dan bahu jalan, lalu setiap hari, minggu, dan bulan, petugas berseragam menarik retribusi dari jejeran kaki lima itu. Logika yang terpenggal. Dan masih banyak lagi logika-logika lain yang jungkir balik, cenderung mengada-ada, dan sampai sekarang masih ada. Bukan otak para pelakunya yang pandir, tapi telah terjadi cacat virtual yang telah lama dan akut. Tidak perlu menjadi sufi untuk bisa menerbangkan pesawat, apakah seseorang tidak bisa membuat gerbong kereta hanya karena dia seorang agnostic?, dan seorang atheis pun masih bisa menembakkan AK 47. Penyerahan total kepada-Nya : vertical-horizontal, individu-sosial, dan kontemplasi-interaksi, itulah pembedanya. Bukankah apa yang ada di langit dan di bumi semuanya semata-semata hanya tunduk kepada-Nya?. Yang sombong mengklaim bahwa itu hanya kerja ilmiah dan menyebutnya hukum alam, sambil menafikan kekuasaan-Nya. Itulah takdir sejarah yang terpahat sepanjang massa, bahwa al haq selalu banyak penentang dan pembangkang.
Sore hari sepulang kerja, seorang kawan disambut personil lengkap : istri dengan air muka paling manis sepanjang hari, dan dua orang anak yang bersih dan wangi, siap berhambur ke pangkuan sambil bangga melaporkan hafalan Al qur’annya yang bertambah. Sementara yang lain, setelah menyimpan motor di garasi : mendapati istri masih setia di depan tv mengikuti ghibahtainment terkini, dan anak-anak belum mandi sambil merengek-rengek menagih janji untuk jalan-jalan ke mall. Apa yang menyebabkan budaya keluarga si A dan si B berbeda?, kenapa perilaku keluarga si C dan si D berlainan?. Mungkin harus selalu diingatkan bahwa sekedar memberi makan dan minum saja, seekor kambing pun telah dengan baik menjalankan fungsinya. Bahwa menjadi tua secara biologis saja, seekor ayam pun bisa melakukannya. Ini bukan olok-olok atau deklarasi kesombongan, ini hanya solilokui. Bukan alasan tepat jika Bung pernah tenggelam ke palung laut terdalam, atau terperosok ke sumur tetangga yang gelap dan pengap, lalu itu semua dijadikan modal kesombongan untuk menghakimi hati orang lain. Bom yang meledak di pagi yang masih tenang itu pasti banyak meninggalkan luka, tangis, sumpah serapah, dan kutukan. Adakah setitik pelajaran yang bisa kita ambil di antara bau amis daging yang terbakar dan reruntuhan puing-puing? : bahwa kematian selalu mengintai kita, kapan pun dan di mana pun, bom hanyalah salah satu perantara untuk menuju ke sana. Lalu sudah siapkah kita menghadapinya?, sudah cukupkah bekal kita untuk perjalanan abadi itu?. Oh my God, saya sedang futur...[ ]
Juli '09
untuk generasi yg terasing
No comments:
Post a Comment