Silahkan naik helicopter, lalu posisikan di ketinggian yang membuat kau nyaman untuk melihat ke bawah, melihat aku yang terseok-seok menyeret koper besar berwarna biru dongker bertuliskan “Jamaah Haji Indonesia” dan sebuah bendera merah putih kecil di atas tulisan tersebut. Kau tak perlu merasa iba demi melihat pemandangan itu, sebab meskipun secara visual nampak menyedihkan, sesungguhnya di dalam dadaku ada gemuruh yang berpuluh-puluh kali lebih keras dari pada suara bising helicoptermu. Kalau sudah puas di atas, sebaiknya kau cepat turun dan jangan lupa parkirkan dulu helicoptermu, lalu mari mendekat kepadaku, akan aku tunjukkan padamu bahwa aku punya gudang peluru.
***
Di pertemuan ke tiga, aku beranikan diri mendekatinya. Rasa malu aku gulung dengan kompensasi tangan menjadi dingin dan suara tercekat, sehingga bunyinya kecil dan terdengar aneh. Perempuan pemilik tubuh tinggi terlihat kaget, dia tak pernah menyangka sedikit pun, bahwa akan ada seorang laki-laki nekad yang mengajak berkenalan dengannya di pinggir jalan, malah awalnya dia kira mau nyopet. Inilah pengaruh buruk terlalu lama hidup di Jakarta, waspada berlebihan bisa berevolusi menjadi su’udzon. Kurang ajar betul, tampang aristokrat disangka copet.
“Olva”, mukanya sedikit meringis dan terkesan runyam.
“Teguh”, aku pasang muka ramah customer servise terbaik dari sebuah bank swasta. Aku keluarkan jurus senyum Pepsodent.
Misteri. Olva datang lagi. Begini awalnya : Waktu saya masih menjadi aktifis multiply.com, ada seorang kawan yang bernama Olva. Tampilan multiplynya meriah, templetenya dipenuhi buah-buahan segar dengan warna mencolok. Orangnya cantik. Sayang pas aku kenal, dia mau nikah, tamatlah harapan. Tapi senyumnya tak dapat dibohongi, manis seumpama madu odeng. Demi mengenang Olva cantik yang mau segera nikah, aku sempat membuat cerpen dengan judul “Olva mengintip di Jendela”. Aku upload di blog multiplyku. Dia kasih komentar. Aku minta maaf karena meminjam namanya tanpa izin. Dia bilang, “tak masalah, sayang”. Gelo, apa maksudnya coba?. Dan dia benar-benar nikah, multiply ditinggalkannya, aku pun melarikan diri : uwa82.multiply.com akhirnya menjadi terlantar. Kini nama itu datang lagi. Aku segera membuka multiply yang tengah mati suri dan mencocokkan wajahnya. Bukan, bukan Olva kawanku, tapi mirip, sangat mirip, tapi ini orang yang berbeda sekaligus sama : sama-sama cantik dangan rambut sebahu.
Selesai berjabat tangan dia mau segera berlalu, kutahan dulu dengan beberapa pertanyaan yang menurut dia mungkin tidak perlu. Juteknya minta ampun, untung saja orangnya cantik, kalau tidak sudah aku gampar. Maka kalau ada perempuan yang mukanya, maaf, mirip mak Lampir, juteknya nomor wahid, jarang gosok gigi, memelihara ratusan tuyul, klepto, dan sok keren, boleh jadi dia bukan manusia, tapi perempuan jadi-jadian alias siluman. Tapi sejak kapan aku mudah menyerah?, dengan keberanian yang setengah mati aku kumpulkan, akhirnya dia mau sedikit tersenyum. Cukup sedikit saja, tubuhku merasa menggembung seperti ikan buntal, lalu melayang ke udara bagai balon gas. Pembicaraan kemudian mengalir agak lancar. Dialog dengan kalimat yang pendek-pendek seperti umpan one-two di pertandingan sepakbola. Sangat mengesankan. Meski tanpa perjanjian, besok sudah bisa dipastikan bakal bertemu lagi dengannya di tempat yang sama, di pinggir jalan yang berdebu, yang tidak perlulah aku menggunakan masker untuk menutup hidung sebab akan mempersulit berbicara.
***
Kalau saja aku bisa menahannya dengan membuat barikade rapat seperti polisi anti huru-hara meredam para pendemo yang terbakar emosi, pasti akan aku tahan sekuat tenaga dan semampu aku bisa, tapi cinta bukan seorang demonstran, dia bahkan lebih halus dari atom. Tak tahu kapan datangnya, tiba-tiba aku sudah terjungkal dibuatnya. Persis seperti orang kurang ajar menghembuskan gas belerang tanpa bunyi, tiba-tiba saja korban di sekitarnya bergelimpangan.
Dan aku dilahirkan sebagai laki-laki dalam wujudnya yang korservatif, orang-orang yang berpendidikan di atas Diploma menyebut laki-laki sepertiku dengan sebutan “ga’ keren” dan “ga’ gaul”. Orang sepertiku kalau seumpama makan berdua dengan perempuan di sebuah restoran, pasti selalu bingung menentukan menu. Kalau berjalan berdua dengan perempuan, pasti lupa untuk bergandengan tangan. Kalau duduk berdua di ruang tamu rumah seorang perempuan, pasti kebanyakan melihat majalah. Kalau main ke Dufan berdua dengan perempuan, pasti tidak berani naik kora-kora. Kalau duduk berdua dengan perempuan di taman kota pada sebuah malam yang dingin, pasti akan banyak membakar cigarette. Kalau berjalan berdua dengan perempuan di bawah satu payung karena hujan turun deras, pasti tidak akan dengan sengaja merapat-rapatkan diri. Kalau disuruh memilih antara Djarum Super dan Sampoerna Flava, pasti akan memilih Djarum Super. Kalau diajak untuk bersenang-senang di Starbuck, pasti akan menolak dan memilih ngopi di kedai kecil di ujung gang. Kalau membonceng perempuan di sepeda motor dan posisi perempuan itu menghadap punggungnya, pasti tidak akan pernah menginjak rem dengan tiba-tiba. Kalau sedang berbicara dengan perempuan yang memakai baju agak longgar, dan perempuan itu tiba-tiba membungkuk untuk membetulkan tali sepatu, pasti akan melemparkan pandangan ke langit. Kalau perempuan yang dicintainya ulangtahun, pasti tidak akan membawa coklat dan bunga, melainkan sebuah buku cerita. Kalau duduk berdua di kamar dengan seorang perempuan, pasti akan membuka pintu dan jendela kamar lebar-lebar. Kalau orangtua perempuan yang dicintainya ada di rumah, pasti akan memanggilnya dengan panggilan Ibu dan Bapak, bukan Om dan Tante. Kalau di tawari tiket konser, yang satu Lady Gaga dan yang satu lagi The Corrs, pasti akan memilih The Corrs. Kalau sedang berjalan di gang dan berpapasan dengan seorang perempuan yang seksi menggiurkan, pasti tidak akan berjalan sempoyongan dan dengan sengaja menabrakkan diri ke perempuan seksi itu, melainkan akan berjalan menunduk dan hati-hati. Kalau perempuan yang dicintainya tertidur pulas di kamar kostan, dan baju yang dikenakan perempuan itu berantakan sehingga kurang pantas dilihat mata laki-laki, sedangkan mereka belum menikah, pasti akan menyelimuti perempuan itu dan tidak akan berbuat macam-macam, itupun kalau setan sedang cuti menggodanya. Kalau terpaksa mandi di rumah perempuan yang dicintainya, karena badan sangat berkeringat setelah disuruh membeli semen oleh ayah si perempuan itu, pasti tidak akan pura-pura lupa membawa handuk ke toilet. Semuanya berjalan datar. Laki-laki cap kepala kelinci menganggap hidup begini kurang seksi. Tapi justru aku menikmatinya, hidup macam begini selalu penuh dengan misteri dan mendebarkan, dan itu membuat aku awet muda.
Maka waktu cinta menerorku dengan kehadiran Olva, aku tak berkutik. Aku tak berani terang-terangan melepaskan sebuah tembakan jitu, sedangkan diam saja semakin membuatku panas dingin, cinta tak terucapkan ternyata sering membawa penyakit. Orang Belanda menyebut sikapku ini dengan sebutan yang syahdu : “Borangan”. Tapi kupikir ini hanyalah masalah strategi. Di mana aku mencari informasi untuk menyusun strategi?, tentu saja di buku. Dan buku strategi itu adalah karangan Muhidin M. Dahlan, maka kubaca ulang buku berwarna coklat pudar itu yang sebenarnya sudah aku miliki sejak tahun 2004. Begini kurang lebih khotbah Bung Muhidin :
- Kalau kau tak berani mengatakan cinta, sedangkan kau suka menulis, maka sampaikan rasa cinta itu lewat buletin.
- Biar lebih mendebarkan, bersikaplah seperti seorang tukang pos; selipkan buletin itu di pagar atau taruh di bawah pintu rumah perempuan yang kau incar.
- Jika perempuan itu tidak mengerti tulisanmu, maka buat lagi buletin yang lebih berat dan pusing.
- Si perempuan pasti tambah tidak mengerti, kau jangan berhenti, tulis lagi buletin yang isinya semakin gelap oleh berderet-deret teori.
- Dan jika ternyata perempuan itu tidak mencintaimu, kamu melihatnya bermesraan dengan laki-laki lain, kamu menepuk angin, lalu kamu sakit seperti kerbau gila, maka tulis sepotong sajak cinta perpisahan.
Edan, kubaca strategi ini berulang-ulang, tiba-tiba aku merasa menjadi prajurit Kostrad, ingin rasanya aku membeli baret. Baiklah hai Muhidin, aku akan jalankan strategimu. Tapi kau jangan mengharapkan aku akan menelannya bulat-bulat, tidak, aku hanya akan mengadaptasinya saja. Aku diserang semangat yang mengerikan, dadaku gemuruh, berpuluh-puluh lebih keras daripada suara helicopter.
***
Langkah pertama adalah mengumpulkan buku sebanyak-banyaknya. Aku harus lebih banyak membaca. Sebab, kalau tak ada yang kubaca, lalu apa yang mau kutulis?. Di rak buku di kamar kostan ada sekira 250 buku, di dalam dus bekas bungkus televisi kurang lebih ada 45 buku, yang dipinjam kawan-kawan di Jakarta tak kurang dari 15 buku. Di Bandung, di tempat adikku masih ada 100 buku, di Sukabumi yang kutitipkan di perpustakaannya Bung Fikri ada sekira 115 buku. Di kampung kalau tidak salah ada sekitar 75 buku. Kuhitung, maka keluarlah angka ini : 600 buku. Masih kurang, karena Bung Muhidin waktu menjalankan strategi tak kurang didukung oleh 3000 buku. Aku masih defisit 2400 buku !!. Tapi ini tak mengurangi semangatku, sebab kamar kostanku kecil, jadi 600 buku pun sudah cukup membuatnya sesak dan lembab oleh aroma kertas dan lem yang mengapung ke udara. Buku-buku ini adalah peluruku, maka inilah gudang peluru itu.
Aku segera menyusun jadwal perjalanan ke Bandung, ke Sukabumi, dan ke kampungku. Biaya makan sehari-hari kupangkas dan dialihkan untuk membiayai transportasi perjalanan. Aku pergi ke kostan si Joni untuk meminjam tas besar, kutengok kamarnya hanya dihiasi beberapa buah buku, aku mengurut dada. Kalau kamarku gudang peluru, maka kamar si Joni adalah kumpulan pelor milik serdadu yang baru belajar menembak. Oh, ada buku Maryamah Karpov, aku sikat dia, dan si Joni bersabda : “Jaga baik-baik buku itu Bung, kalau pulang lagi ke sini kertasnya sudah lusuh, kau punya gigi bolehlah ku bikin rontok!!.” Tanpa jeda ku jawab : “Bung, selama buku ini ada di dalam perlindunganku, tak usahlah kau risaukan. Balik ke sini, Maryamah Karpov sudah ku kasih baju.” Aku lalu pamit, dan meluncur kembali ke gudang peluru. [ ]
25 Agustus ‘10
No comments:
Post a Comment