Tak terbilang banyaknya film documenter yang telah dibuat oleh para pegiatnya, tapi rupa-rupanya film macam begini tidak terlalu menarik hati para penonton, alasannya barangkali sudah jelas : film macam begini kurang atau bahkan tidak menghibur. Lagi pula, publikasinya pun tidak seramai film-film biasa. Sehimpunan film documenter di bawah ini adalah yang pernah saya tonton, beberapa film saya punya kasetnya (bajakan dan ori), sebagian lagi tidak ada. Tapi perkembangan film documenter sepertinya mulai menggembirakan, setidaknya itu yang dapat disimpulkan dari makin maraknya anak-anak muda Indonesia yang bergiat membuat film. Kawan tentu tahu belaka, bahwa sudah beberapa tahun ini, sebuah station tv swasta rutin mengadakan perlombaan pembuatan film documenter. Maka baiklah, tak usah terlampau banyak prolog :
· The Cove --- Teluk kecil tempat pembantaian kawanan lumba-lumba. Dengan dalih bahwa lumba-lumba adalah hama bagi ikan segar yang dikonsumsi cukup tinggi, maka orang-orang Jepang itu menggiringnya ke sebuah teluk kecil dan membantainya. Darah. Air berwarna merah. Aktivis hewan dan lingkungan yang berupaya merekam kejadian yang berulang-ulang ini dihalang-halangi. Hanya sebuah kerja team yang keras, bersungguh-sungguh, dan berdedikasi tinggi, akhirnya aksi pembantaian lumba-lumba ini berhasil direkam dan dipublikasikan tepat ketika para pemimpin negara-negara sedang melakukan konferensi. Satu hal yang berhasil membuka borok cara-cara diplomasi negara maju (hal ini dilakukan oleh Jepang) adalah : mereka membantu negara-negara miskin dan berkembang, agar di konferensi-konferensi tingkat dunia yang melakukan voting untuk sebuah keputusan, negara-negara yang menerima “hibah” itu menggadaikan suaranya. Inilah perdagangan suara di tingkat atas. Maka jika selama ini kita mendengar kabar bahwa Indonesia sering menerima dana “hibah”, jangan-jangan suara kita banyak yang dilacurkan. Semoga saja tidak.
· Waiting for Superman --- Siapa bilang masalah pendidikan hanya terjadi di negara-negara dunia ketiga saja?. Di jantung segala mitos kedigdayaan pun masalah pendidikan ternyata cukup menghantui. Di USA, banyak betul guru yang tidak berkualitas, dan mereka (guru yang tidak berkualitas dan jumlahnya banyak itu) di pingpong dari satu sekolah ke sekolah yang lain, maka ketika para orangtua melepas pergi anak-anaknya ke sekolah, sesungguhnya mereka, para orangtua itu sedang berjudi. Solusi yang dibangun bukannya membabat guru-guru buruk dan meregerasinya dengan yang lebih bagus, tapi hanya memutar-mutar saja, keluar dari satu sekolah pindah ke sekolah yang lain. Belum lagi cerita tentang anak-anak yang putus sekolah. Timbunan masalah pendidikan yang terjadi di USA membuat anak-anak dan para orangtuanya menunggu sosok Superman untuk menyelamatkan nasib mereka.
· Sicko --- Inilah dia orangnya yang doyan “membakar jenggot” Gedung Putih. Setelah membuat film documenter Bowling for Columbine dan Fahrenheit 9/11, Michael Moore kembali mengkritik pedas kebijakan pemerintahnya. Dia “mengolok-ngolok” tentang mahalnya biaya kesehatan di USA dibandingkan negara-negara maju lainnya, bahkan dia membandingkan harga obat dengan Kuba!. Dia mengunjungi Kanada, Prancis, dan Inggris. Dan hasil kunjungannya hanya memberikan fakta dan sebuah kesimpulan bagi dia : bahwa negaranya terlampau sibuk mengurusi urusan-urusan negara lain, terlampau ikut campur tangan, dan hal itu membuat rakyatnya sendiri terlantar : biaya kesehatan mahal!.
· Death in Gaza --- Sebuah epic tentang jurnalis yang meliput konflik Israel-Palestina, yang menitikberatkan liputannya kepada anak-anak korban perang. Dia tewas ditembak militer Israel ketika bendera putih telah dikibarkan.
· Morning Light --- Mulanya tidak menarik, seperti sebuah perlombaan biasa yang sering ditayangkan tv-tv swasta di Indonesia. Tapi kemudian film bergerak menanjak. Konflik, kerja keras, dan sebuah pelajaran. Perlombaan berlayar yang mengesankan.
· Tragedi Mei 1998 --- Tahun puncak sekaligus persimpangan. Ketika mahasiswa dan pemuda mempunyai musuh bersama yang bernama rezim Orde Baru, maka gelombang tak bisa lagi ditahan-tahan. Ketika dukungan ulama dan tokoh masyarakat tidak lagi di dapat, maka beliau pun terjungkal. Film yang menampilkan detik-detik penuh heroik itu berhasil merekam banyak wawancara dengan para pimpinan gerakan mahasiswa. Tapi memang setelah tahun itu lewat, semuanya kembali menjadi pekerjaan rumah yang menyebalkan.
· On The Tightrope --- Politik pemerintah Cina yang komunis dalam rangka mengendalikan komunitas Muslim Uyghur, sebuah komunitas minoritas di negeri Tirai Bambu tersebut. Anak-anak Muslim Uyghur setiap harinya harus bersumpah setia kepada komunisme dan wajib menghormati tokoh-tokohnya. Tapi di atas kenyataan kebijakan politik tersebut, kita jadi tahu bahwa anak-anak Cina memang berbakat dalam bidang olahraga yang menonjolkan kelenturan tubuh.
· 10 Conditions of Love --- Masih Uyghur. Seorang tokohnya membawa suara rakyat Uyghur ke dunia luas. Pemerintah Cina tak bisa lagi menghalang-halangi. Kisah tokh ini dibumbui oleh cerita kehidupan pribadinya yang cukup melankolis.
· Burma VJ : Reporting from A Closed Country --- Meskipun pemerintahan militer Burma terlihat lebih keras dan lebih brutal daripada rezim Orde Baru, tapi entah kenapa waktu menonton film ini saya tiba-tiba teringat sebuah puisi yang ditulis Wiji Thukul, mungkin karena modusnya sama : sama-sama melarang rakyat bersuara :
Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
Ditudih subversif dan menggangu keamanan
Maka hanya ada satu kata : lawan!!. [ ]
--- 1 Feb ‘12
No comments:
Post a Comment