08 August 2012

Surat Terbuka Kepada Sukma dan yang Sekunder


Untuk sebuah pertanyaan yang sering datang berulang-ulang, tentang hari mengikat belahan jiwa, aku hanya menjawabnya: sedang mengumpulkan. Aku bukan amuba yang harus membelah diri, tapi jiwa utuh yang  harus berdampingan secara menyeluruh. Yang sakral itu keyakinan, kawan. Bukan berlembar-lembar rupiah yang dibayarkan sebagai konsesi untuk pesta seumur hidup sekali. Tapi hidup berjalan dengan logika, benar, untuk itulah aku bekerja. Terberkatilah mereka yang membiayai hidupnya dengan keringat sendiri, bukan dengan jalan meminta-minta. Parade kenangan manis dan hal-hal yang indah adalah bonus bagi hidup yang kerap dikotori oleh polusi. Kisah saling mencintai dan jatuh tergila-gila bukanlah sebuah peristiwa transaksi, tapi kejujuran yang menggetarkan langit jiwa. Para pemabuk berat seringkali lupa bahwa di medan ini sikap sportif tetap harus di kedepankan. Menjalin tali adalah sebuah sikap total bagi masadepan, bukan sekedar permainan yang terhenti ketika layar monitor bertuliskan game over. 

Maka kepada kau sukma aku sampaikan, bahwa yang aku kumpulkan adalah keyakinan yang jalannya tidak konstan. Turun-naik, persis seperti iman seorang muslim. Kau sukma, boleh membenci karena aku terkesan inkonsistensi, tapi percayalah yang hendak aku bangun adalah sebuah lembaga kehidupan yang kokoh, bukan sekedar gubuk rapuh yang rerak berhamburan disapu angin. Dan di hari yang ke sembilanbelas ini, ketika aku menatap horizontal ikatan antar jiwa manusia, aku kembali teringat bahwa Ramadhan belum usai. Aku menghitung hutang-hutangku kepada agenda yang terbengkalai. Tentang target khatam yang terbenam, juga berdiri di shaf terdepan setiapkali jam menunjukkan jam delapan malam.

Tadi waktu aku berdiri di dalam sebuah supermarket made in Prancis terdengar Bimbo bernyanyi, “Gerbang keampunan, gerbang keampunan, bukalah ya Tuhan….”. Aku tersesat di retail itu, di antara kue-kue yang bersiaga siaga menyambut lebaran, dan di antara para pembeli yang antri di pintu kasir. Adzan maghrib telah lewat beberapa menit yang lalu, dan langit (barangkali) telah kelabu. Aku hanya membeli sebuh box plastik besar untuk menyimpan beberapa eksemplar koran bekas dan berpuluh-puluh buku. Wangihujan menemaniku lewat ponsel usang yang disimpan di saku. Di titik itu aku merasa terseret oleh arus budaya yang telah mengkhianati keagungan Ramadhan. Di saat orang-orang menyebut nama-Nya di mesjid, surau, dan musholla, aku malah berdiri antri di dekat pintu transaksi.

Terdengar lagi Bimbo, “Rindu kami padamu ya Rasul, rindu tiada terperi. Berabad jarak darimu ya Rasul serasa dikau di sini…”. Ah doa itu. Doamu pada pernikahan putrimu Fatimah Az Zahra terkasih dengan sahabatmu Ali bin Abi Thalib tercinta, begitu indah ya Rasul. 

Jika aku selamanya dalam lumpur ini, maka benar kata Bung Anwar, “Hidup hanya menunda kekalahan.” Maka sukmaku, aku sampaikan kepadamu, telah kupilih jalan ini. Jalan asing dan senyap. Aku tak mau lagi berdamai dengan segala hal sekunder yang sempat begitu menekan mendesak. Seperti juga Gie, aku ingin menjadi pohon oak yang berani menentang angin. [ ]

No comments: