"dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya!
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya"
(Sapardi Djoko Damono)
Catatan ini awalnya ditulis pada tanggal 10 September 2008.
Dan menuliskannya lagi di sini bagiku tidak mudah, aku merasa geli. Tapi beginilah
jadinya : Mungkin tidak ada cinta pertama yang mengabadi. Sepasang anak manusia
hanya menitipkan kenangan indah kepadanya, lalu kemudian pergi mencari jati
diri dan kisah sejatinya. Harus berapa korban yang dicampakkan demi pencarian
itu?. Apakah mencari kisah sejati harus dibarengi dengan menyakiti pasangan
hidup sendiri?. Apakah kodrat manusia untuk selalu bongkar pasang belahan jiwa?.
Jangan tanyakan ini pada Olin, karena dia belum menemukan jawabannya.
Hidup mapan dan membujang bagi beberapa orang adalah berkah.
Karena kondisi seperti itu sangat memungkinkan untuk menelan jatah hidup dengan
sebebas-bebasnya. Termasuk bebas mengoleksi pasangan hidup. Tak peduli pasangan
hidup merasa dikhianati atau tidak, yang pasti bagi orang-orang brengsek
kesenangan di atas segalanya. Dan mengira bahwa masa muda adalah fosil waktu
yang tepat untuk menggradasikan antara kesetiaan dan dusta terang-terangan. Orang-orang
dengan energi hidup seperti itu akan dengan bangga memamerkan koleksi pasangan
hidupnya di depan banyak orang, seolah-olah yang namanya pengalaman hanya dapat
diraih dari kisah merah jambu saja. Nanti pada satu titik hidup yang sunyi, dia
akan meragukan keyakinannya itu. Dan kenangan hanya akan menjadi sampah.
***
Selepas kuliah Olin langsung bekerja, dia meninggalkan kisah
konvensioanl para sarjana yang kebanyakan nganggur dulu beberapa bulan bahkan
tahun untuk kemudian mendapatkan penghasilan sendiri. IT adalah bidangnya, dan
di era multimedia dan informasi seperti sekarang ini dia mendapatkan berkah. Di
sebuah perusahaan swasta nasional dia menukarkan tenaganya dengan uang. Apalagi Olin pintar bukan kepalang, maka di tempatnya bekerja dia menjadi semacam anak
emas yang dipertahankan mati-matian oleh perusahaannya. Sempat ada perusahaan kompetitor yang mau membajak, tapi karena gajinya dinaikkan tiga kali lipat,
akhirnya Olin bertahan.
Kelebihan otaknya berbanding lurus dengan wajah dan penampilan
yang cenderung flamboyan. Sudah beberapa orang perempuan rekan kerjanya
mengap-mengap dihantam gelombang merah jambu yang datang semena-mena. Gonta-ganti
pasangan bagi Olin tak jauh beda dengan mencicipi kue ulangtahun : tak usah
banyak yang penting lidah mengalami manis citarasanya. Dari satu kue pindah ke
kue yang lain. Demikianlah perempuan-perempuan rekan kerjanya mengalami giliran
yang menyakitkan.
Kelakuan Olin tidak terbentuk dengan tiba-tiba, sebab ini
warisan dari masa remajanya waktu SMA. Beberapakali dia masuk ruangan BP
karena guru-guru pusing melihat banyak siswi cantik yang menurun indeks
prestasinya atau bahkan beberapa minggu bolos sekolah setelah putus kisahnya
dengan Olin.
Kalau saja tidak disogok dengan keenceran otaknya, maka jauh-jauh
hari dia sudah ditendang masuk keranjang sampah. Guru-gurunya selalu bersikap
mendua, antara jengkel dengan kelakuannya dan kagum pada kecerdasannya. Jarang
sekali seorang penjaja merah jambu gilang-gemilang dengan prestasi sekolahnya. Kebanyakan
dari mereka biasanya hanya penghuni dasar klasemen, dan Olin adalah
pengecualian.
Di masa SMA inilah Olin mendapatkan cinta pertamanya. Waktu itu
bakat Don Juan-nya belum ada. Perempuan yang pertama kali disinggahi Olin adalah
Dianti. Mereka sama-sama juara pertama
di kelas yang berbeda. Dan pada sebuah kesempatan pertemuan para jagoan
sekolah, mereka bertemu, berkenalan, saling tukar no hp, dan sering janji
ketemuan, lalu cerita selajutnya dapat dengan mudah untuk ditebak. Usia kisah
mereka hanya bertahan satu tahun, hal ini disebabkan oleh datangnya para siswi
baru sebagai generasi pengganti mereka yang telah lulus.
Pada moment masuknya angkatan baru inilah sikap Olin mulai
berubah, dia mulai tebar pesona ke mana-mana. Di mana-mana senioritas seperti
itu. Menciptakan kasta angkatan dan sedikit memasang tampang garang, padahal
semuanya hanya kamuflase, sebab tujuan yang sebenarnya adalah tebar pesona yang
disamarkan. Tapi hal ini tidak berlaku bagi para kutubuku dan anak-anak rohis,
mereka sibuk dengan dunianya sendiri.
Dengan ditunjang oleh muka dan penampilan yang meyakinkan,
bukanlah hal yang sulit bagi Olin untuk menaklukkan korban-korbannya, apalagi
anak-anak kelas satu kebanyakan masih lugu, maka satu-persatu secara bergantian
mereka dapat ditaklukkan. Sementara Olin keranjingan dengan mainan barunya, di
satu sudut sekolah, Dianti terpuruk dengan hati redam. Prestasi akademiknya
mulai goyah dan dapat dikalahkan oleh teman-temannya. Dia yang dulu diprediksi
akan menjuarai kelas sampai kelulusan, akhirnya hanya karatan di posisi delapan
sampai UAN datang.
Akhirnya yang tidak menyenangkan pada kisah cinta pertamanya
menyebabkan Dianti kehilangan energi belajar, untung saja dia masih masuk
sepuluh besar. Dan cerita frustasi seperti ini bukanlah hal yang baru, artinya
di mana-mana banyak sekali orang-orang brengsek yang semena-mena memperlakukan
pasangannya. Dan penyesalan bagi mereka, bagi para laki-laki berkepala kelinci,
adalah hal yang mudah untuk dihilangkan, semudah menarik nafas dan
menghembuskannya kembali.
***
Tidak sedikit orang yang berhasil merekontruksi
kepribadiannya dan melesat meninggalkan masalalu dengan segala energi hidup
yang baru. Mereka laksana cahaya yang berpendaran meninggalkan kegelapan. Tapi
tak jarang ada juga yang terus bergumul dengan masalalunya dan susah merubah
kepribadiaan.
Olin adalah penghuni keadaan yang kedua. Karakter
flamboyannya malah cenderung berkembang. Kondisi keuangan yang lebih dari
cukup, karir yang menanjak, gampang menggaet perempuan usia 25-35 tahun. Itulah
demografi yang mewakilinya. Kalau dilihat dari kacamata spiritual, dia adalah
pemuda yang kurang bersyukur dengan segala kelebihan yang ada di dirinya. Hidup
foya-foya dan gonta-ganti pasangan. Energi mudanya bergejolak membabi-buta. Jika
dalam sinetron-sinetron religi yang hitam-putih, Olin sangat pantas menjadi
tokoh antagonisnya.
Tapi rupanya energi yang berkobar-kobar itu harus istirahat
juga. Laksana api yang harus mengendapkan panasnya agar menemukan kedewasaan. Dan
pertemuan dengan seseorang ternyata bisa menjadi titik belok dalam hidup
seorang Olin. Perubahan itu bisa permanen atau tidak, tergantung nasib nanti akan
membawanya ke mana.
***
Di dekat kontrakan Olin ada sebuah TPA tempat anak-anak
bermain dan menuntut ilmu di usia yang
masih sangat belia. Awalnya Olin tidak pernah memperhatikan TPA itu, karena
isinya hanya anak-anak dan guru-guru tua plus ibu-ibu muda yang mengantar
anaknya. Meskipun seorang “petualang”, tapi pantang baginya untuk menggoda
ibu-ibu muda yang bersuami itu, apalagi menggoda guru-guru tua, seleranya
dijamin sudah habis sejak dia keluar dari kontrakannya.
Tapi suatu hari perhatiannya sedikit tercuri. Di antara
guru-guru tua yang semuanya perempuan itu, ternyata ada seorang guru yang masih
muda dan sulit jika mengatakan wajahnya tidak cantik. Guru muda itu memang baru
seminggu mengajar di TPA. Reta adalah mantan mahasiswi yang baru lulus dari
PGTKA. Demi padu padan antara basic study dengan pengabdian di masyarakat, maka
Reta memilih menghabiskan sebagian waktunya di TPA itu.
Reta berkarakter keibuan. Pendidikannya di bangku kuliah dan
lingkungan keluarga membentuknya seperti itu. Sorot matanya sangat tenang dan teduh, sangat
cocok untuk menenangkan tingkah energik anak-anak TPA. Dan ternyata bukan hanya
anak-anak TPA yang luluh dibuatnya, tapi juga Olin; pemuda yang sedang mencoba
meredakan energi hitam hidupnya.
***
Di sebuah senja yang cerah, waktu akhirnya mempertemukan
mereka. Keduanya saling mengiklankan diri, maklum karena saling tertarik, tidak
ada satu pun yang mau jika kekurangannya diketahui. Dan kelanjutannya dapat
dengan mudah ditebak, keduanya kemudian merangkai kisah. Sebuah hubungan harus punya
status kata mereka, padahal kata anak-anak rohis; pacaran adalah aktifitas yang
tidak punya status apa-apa, kalau pun ada : sangat lemah. Tapi biarlah. Biarlah
manusia punya pemahamannya masing-masing. Kehadiran Reta benar-benar telah
merubah gaya hidup Olin, meskipun perubahannya belum sampai 180 derajat. Tapi
setidaknya dia mulai menyadari bahwa hidup punya cara tersendiri untuk dinikmati.
Enam bulan berjalan akhirnya mereka memutuskan untuk naik
pelaminan. Akad nikah adalah akhir dari segala gembar-gembor iklan selama
pacaran, sebab apalagi yang mau dirahasiakan jika anak manusia telah
mengucapkan janji setia dalam sebuah ikatan yang kuat (pernikahan)?. Segala yang disembunyikan sudah saatnya untuk
dikeluarkan dari persemayaman. Dan seperti umumnya para pengantin baru, mereka
pun dengan leluasa menelan semesta bahagia. Konon hidup sebagai pengantin baru adalah
seperti terjerambab ke dalam toples gula pasir. Segalanya manis melulu, bahkan
keringat yang asin pun bisa berubah rasa, katanya.
Tak perlulah aku ceritakan panjang-panjang masa bahagia
mereka di awal pernikahannya, sebab detailnya aku tidak tahu. Tapi yang jelas
setelah beberapa bulan, Reta akhirnya hamil dan kepayahan yang semakin hari
semakin bertambah karena kandungannya semakin membesar, begitulah kodrat
seorang perempuan. Tapi anehnya walaupun konon mengandung dan melakukan
persalinan itu menyakitkan, tapi banyak juga ibu-ibu yang hampir setiap tahun
melahirkan anaknya yang ke-2, 3, 4, dan seterusnya. Rasa sakit yang
diulang-ulang?, atau mungkin Tuhan dengan sangat mudah melupakan rasa sakit itu
dari ingatan ibu-ibu ketika melakukan proses reproduksi kembali?.
Melihat kondisi istrinya yang kepayahan, Olin pun sangat
khawatir. Maklum dia tengah menantikan anak pertamanya. Di tengah
kekhawatirannya itu dia sibuk mempersiapkan nama bagi calon bayinya, bahkan dia
telah mempersipkan jika bayi itu perempuan namanya apa, dan jika laki-laki
namanya apa. Tak lupa dia juga belanja semua perlengkapan bayi dan ibunya. Apakah
sikap seperti ini mencerminkan bahwa Olin benar-benar setia?, atau hanya
visualisasi kekhawatiran saja?. Sebuah sikap yang masih harus diuji
kebenarannya. [ ]---bersambung---
***dengan permintaan maaf kepada Zaim Saidi
No comments:
Post a Comment