06 August 2012

Balada Kodok Rebus (Part 1)

"dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya; 

dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya; 

dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya! 

dan karena hidup itu indah, 

aku menangis sepuas-puasnya"

(Sapardi Djoko Damono) 
  

Catatan ini awalnya ditulis pada tanggal 10 September 2008. Dan menuliskannya lagi di sini bagiku tidak mudah, aku merasa geli. Tapi beginilah jadinya : Mungkin tidak ada cinta pertama yang mengabadi. Sepasang anak manusia hanya menitipkan kenangan indah kepadanya, lalu kemudian pergi mencari jati diri dan kisah sejatinya. Harus berapa korban yang dicampakkan demi pencarian itu?. Apakah mencari kisah sejati harus dibarengi dengan menyakiti pasangan hidup sendiri?. Apakah kodrat manusia untuk selalu bongkar pasang belahan jiwa?. Jangan tanyakan ini pada Olin, karena dia belum menemukan jawabannya.

Hidup mapan dan membujang bagi beberapa orang adalah berkah. Karena kondisi seperti itu sangat memungkinkan untuk menelan jatah hidup dengan sebebas-bebasnya. Termasuk bebas mengoleksi pasangan hidup. Tak peduli pasangan hidup merasa dikhianati atau tidak, yang pasti bagi orang-orang brengsek kesenangan di atas segalanya. Dan mengira bahwa masa muda adalah fosil waktu yang tepat untuk menggradasikan antara kesetiaan dan dusta terang-terangan. Orang-orang dengan energi hidup seperti itu akan dengan bangga memamerkan koleksi pasangan hidupnya di depan banyak orang, seolah-olah yang namanya pengalaman hanya dapat diraih dari kisah merah jambu saja. Nanti pada satu titik hidup yang sunyi, dia akan meragukan keyakinannya itu. Dan kenangan hanya akan menjadi sampah.

***

Selepas kuliah Olin langsung bekerja, dia meninggalkan kisah konvensioanl para sarjana yang kebanyakan nganggur dulu beberapa bulan bahkan tahun untuk kemudian mendapatkan penghasilan sendiri. IT adalah bidangnya, dan di era multimedia dan informasi seperti sekarang ini dia mendapatkan berkah. Di sebuah perusahaan swasta nasional dia menukarkan tenaganya dengan uang. Apalagi Olin pintar bukan kepalang, maka di tempatnya bekerja dia menjadi semacam anak emas yang dipertahankan mati-matian oleh perusahaannya. Sempat ada perusahaan kompetitor yang mau membajak, tapi karena gajinya dinaikkan tiga kali lipat, akhirnya Olin bertahan. 

Kelebihan otaknya berbanding lurus dengan wajah dan penampilan yang cenderung flamboyan. Sudah beberapa orang perempuan rekan kerjanya mengap-mengap dihantam gelombang merah jambu yang datang semena-mena. Gonta-ganti pasangan bagi Olin tak jauh beda dengan mencicipi kue ulangtahun : tak usah banyak yang penting lidah mengalami manis citarasanya. Dari satu kue pindah ke kue yang lain. Demikianlah perempuan-perempuan rekan kerjanya mengalami giliran yang menyakitkan.

Kelakuan Olin tidak terbentuk dengan tiba-tiba, sebab ini warisan dari masa remajanya waktu SMA. Beberapakali dia masuk ruangan BP karena guru-guru pusing melihat banyak siswi cantik yang menurun indeks prestasinya atau bahkan beberapa minggu bolos sekolah setelah putus kisahnya dengan Olin. 

Kalau saja tidak disogok dengan keenceran otaknya, maka jauh-jauh hari dia sudah ditendang masuk keranjang sampah. Guru-gurunya selalu bersikap mendua, antara jengkel dengan kelakuannya dan kagum pada kecerdasannya. Jarang sekali seorang penjaja merah jambu gilang-gemilang dengan prestasi sekolahnya. Kebanyakan dari mereka biasanya hanya penghuni dasar klasemen, dan Olin adalah pengecualian. 

Di masa SMA inilah Olin mendapatkan cinta pertamanya. Waktu itu bakat Don Juan-nya belum ada. Perempuan yang pertama kali disinggahi Olin adalah Dianti. Mereka sama-sama juara  pertama di kelas yang berbeda. Dan pada sebuah kesempatan pertemuan para jagoan sekolah, mereka bertemu, berkenalan, saling tukar no hp, dan sering janji ketemuan, lalu cerita selajutnya dapat dengan mudah untuk ditebak. Usia kisah mereka hanya bertahan satu tahun, hal ini disebabkan oleh datangnya para siswi baru sebagai generasi pengganti mereka yang telah lulus.

Pada moment masuknya angkatan baru inilah sikap Olin mulai berubah, dia mulai tebar pesona ke mana-mana. Di mana-mana senioritas seperti itu. Menciptakan kasta angkatan dan sedikit memasang tampang garang, padahal semuanya hanya kamuflase, sebab tujuan yang sebenarnya adalah tebar pesona yang disamarkan. Tapi hal ini tidak berlaku bagi para kutubuku dan anak-anak rohis, mereka sibuk dengan dunianya sendiri. 

Dengan ditunjang oleh muka dan penampilan yang meyakinkan, bukanlah hal yang sulit bagi Olin untuk menaklukkan korban-korbannya, apalagi anak-anak kelas satu kebanyakan masih lugu, maka satu-persatu secara bergantian mereka dapat ditaklukkan. Sementara Olin keranjingan dengan mainan barunya, di satu sudut sekolah, Dianti terpuruk dengan hati redam. Prestasi akademiknya mulai goyah dan dapat dikalahkan oleh teman-temannya. Dia yang dulu diprediksi akan menjuarai kelas sampai kelulusan, akhirnya hanya karatan di posisi delapan sampai UAN datang. 

Akhirnya yang tidak menyenangkan pada kisah cinta pertamanya menyebabkan Dianti kehilangan energi belajar, untung saja dia masih masuk sepuluh besar. Dan cerita frustasi seperti ini bukanlah hal yang baru, artinya di mana-mana banyak sekali orang-orang brengsek yang semena-mena memperlakukan pasangannya. Dan penyesalan bagi mereka, bagi para laki-laki berkepala kelinci, adalah hal yang mudah untuk dihilangkan, semudah menarik nafas dan menghembuskannya kembali.

***

Tidak sedikit orang yang berhasil merekontruksi kepribadiannya dan melesat meninggalkan masalalu dengan segala energi hidup yang baru. Mereka laksana cahaya yang berpendaran meninggalkan kegelapan. Tapi tak jarang ada juga yang terus bergumul dengan masalalunya dan susah merubah kepribadiaan. 

Olin adalah penghuni keadaan yang kedua. Karakter flamboyannya malah cenderung berkembang. Kondisi keuangan yang lebih dari cukup, karir yang menanjak, gampang menggaet perempuan usia 25-35 tahun. Itulah demografi yang mewakilinya. Kalau dilihat dari kacamata spiritual, dia adalah pemuda yang kurang bersyukur dengan segala kelebihan yang ada di dirinya. Hidup foya-foya dan gonta-ganti pasangan. Energi mudanya bergejolak membabi-buta. Jika dalam sinetron-sinetron religi yang hitam-putih, Olin sangat pantas menjadi tokoh antagonisnya. 

Tapi rupanya energi yang berkobar-kobar itu harus istirahat juga. Laksana api yang harus mengendapkan panasnya agar menemukan kedewasaan. Dan pertemuan dengan seseorang ternyata bisa menjadi titik belok dalam hidup seorang Olin. Perubahan itu bisa permanen atau tidak, tergantung nasib nanti akan membawanya ke mana.

***

Di dekat kontrakan Olin ada sebuah TPA tempat anak-anak bermain dan menuntut  ilmu di usia yang masih sangat belia. Awalnya Olin tidak pernah memperhatikan TPA itu, karena isinya hanya anak-anak dan guru-guru tua plus ibu-ibu muda yang mengantar anaknya. Meskipun seorang “petualang”, tapi pantang baginya untuk menggoda ibu-ibu muda yang bersuami itu, apalagi menggoda guru-guru tua, seleranya dijamin sudah habis sejak dia keluar dari kontrakannya.

Tapi suatu hari perhatiannya sedikit tercuri. Di antara guru-guru tua yang semuanya perempuan itu, ternyata ada seorang guru yang masih muda dan sulit jika mengatakan wajahnya tidak cantik. Guru muda itu memang baru seminggu mengajar di TPA. Reta adalah mantan mahasiswi yang baru lulus dari PGTKA. Demi padu padan antara basic study dengan pengabdian di masyarakat, maka Reta memilih menghabiskan sebagian waktunya di TPA itu.
Reta berkarakter keibuan. Pendidikannya di bangku kuliah dan lingkungan keluarga membentuknya seperti itu.  Sorot matanya sangat tenang dan teduh, sangat cocok untuk menenangkan tingkah energik anak-anak TPA. Dan ternyata bukan hanya anak-anak TPA yang luluh dibuatnya, tapi juga Olin; pemuda yang sedang mencoba meredakan energi hitam hidupnya.

***

Di sebuah senja yang cerah, waktu akhirnya mempertemukan mereka. Keduanya saling mengiklankan diri, maklum karena saling tertarik, tidak ada satu pun yang mau jika kekurangannya diketahui. Dan kelanjutannya dapat dengan mudah ditebak, keduanya kemudian merangkai kisah. Sebuah hubungan harus punya status kata mereka, padahal kata anak-anak rohis; pacaran adalah aktifitas yang tidak punya status apa-apa, kalau pun ada : sangat lemah. Tapi biarlah. Biarlah manusia punya pemahamannya masing-masing. Kehadiran Reta benar-benar telah merubah gaya hidup Olin, meskipun perubahannya belum sampai 180 derajat. Tapi setidaknya dia mulai menyadari bahwa hidup punya cara tersendiri untuk dinikmati.

Enam bulan berjalan akhirnya mereka memutuskan untuk naik pelaminan. Akad nikah adalah akhir dari segala gembar-gembor iklan selama pacaran, sebab apalagi yang mau dirahasiakan jika anak manusia telah mengucapkan janji setia dalam sebuah ikatan yang kuat (pernikahan)?. Segala  yang disembunyikan sudah saatnya untuk dikeluarkan dari persemayaman. Dan seperti umumnya para pengantin baru, mereka pun dengan leluasa menelan semesta bahagia. Konon hidup sebagai pengantin baru adalah seperti terjerambab ke dalam toples gula pasir. Segalanya manis melulu, bahkan keringat yang asin pun bisa berubah rasa, katanya.

Tak perlulah aku ceritakan panjang-panjang masa bahagia mereka di awal pernikahannya, sebab detailnya aku tidak tahu. Tapi yang jelas setelah beberapa bulan, Reta akhirnya hamil dan kepayahan yang semakin hari semakin bertambah karena kandungannya semakin membesar, begitulah kodrat seorang perempuan. Tapi anehnya walaupun konon mengandung dan melakukan persalinan itu menyakitkan, tapi banyak juga ibu-ibu yang hampir setiap tahun melahirkan anaknya yang ke-2, 3, 4, dan seterusnya. Rasa sakit yang diulang-ulang?, atau mungkin Tuhan dengan sangat mudah melupakan rasa sakit itu dari ingatan ibu-ibu ketika melakukan proses reproduksi kembali?.

Melihat kondisi istrinya yang kepayahan, Olin pun sangat khawatir. Maklum dia tengah menantikan anak pertamanya. Di tengah kekhawatirannya itu dia sibuk mempersiapkan nama bagi calon bayinya, bahkan dia telah mempersipkan jika bayi itu perempuan namanya apa, dan jika laki-laki namanya apa. Tak lupa dia juga belanja semua perlengkapan bayi dan ibunya. Apakah sikap seperti ini mencerminkan bahwa Olin benar-benar setia?, atau hanya visualisasi kekhawatiran saja?. Sebuah sikap yang masih harus diuji kebenarannya. [ ]---bersambung---

***dengan permintaan maaf kepada Zaim Saidi

No comments: