Ketika pesawat tiba di Banda Neira, Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam 16 kotak peti. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak angkatnya. Tiba di pesawat, ternyata ada problem : ruang di pesawat itu terbatas. Para penumpang harus memilih, 16 kotak buku atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah. 16 kotak buku itu tak jadi dibawa untuk selama-lamanya, kecuali sebuah Atlas yang sempat disisipkan ke dalam koper. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali kehilangan itu.
Enam tahun sebelum pesawat itu tiba, Sjahrir dan
Hatta---kedua orang buangan itu--- tinggal dalam satu rumah. Sejak di hari
pertama datang, Sjahrir menemui anak-anak, dan anak-anak datang untuk belajar,
bermain dan bergurau. Suatu hari seorang dari anak-anak itu menumpahkan vas
kembang. Airnya membasahi sebagian buku yang ditaruh Hatta di atas meja. Hatta
yang selalu sangat sayang kepada buku-bukunya, selalu rapi dengan benda-benda
itu : marah.
Jika Hatta sedang membaca buku atau menulis surat, Sjahrir
membawa anak-anak itu berjalan meninggalkan dataran pulau, berlayar, atau
mendaki gunung di sebelah sana. Anak-anak, permainan, dan pantai, mungkin itu
kiasan terbaik bagi hidup yang spontan, tak berbatas, dengan
kebetulan-kebetulan yang mengejutkan dan menyegarkan. Sementara Hatta tenggelam
dalam dunianya, dunia buku yang begitu menggoda, mengapungkan, dan mencerahkan.
“Di sini benar-benar sebuah firdaus,” tulis Sjahrir tentang
Banda Neira. Anak-anak Banda Neira itu menyeberangi selat melintasi kebun laut,
bersama seorang buangan yang tak jelas asalnya dan masadepannya. Pantai itu
berubah. Dalam keasyikan bermain, mereka tak tahu apakah pantai itu membatasi
laut ataukah pulau, awal penjelajahan atau tempat asal. Pada saat itu, di ruang
itu, mistar tak ditarik dan hitungan tak ada.
Di tiap pantai, juga di pantai yang paling tenang, ada
dilema dan ambivalensi. Pada hari ketika pesawat itu datang, Sjahrir pergi
bersama tiga anak angkatnya, meninggalkan Banda Neira, di pesawat yang mungkin
tak diketahuinya hendak tiba di mana. Itulah pilihannya : anak-anak, bukan
buku; pergi, bukan berlindung di rumah asal; berangkat ke tempat yang tak
terikat, bukan ke alamat yang terjamin.
Tapi tak semua dilema menghilang. Toh dalam pesawat yang
melayang itu berkecamuk kontradiksi yang tak terhindarkan. Terbang, perjalanan,
penjelajahan, avontur, dan tempat antah berantah, di kabin itu tak mungkin
menjadi dasar segalanya. Pesawat itu bukan “the only possible non-stop flight”,
bukan untuk “terbang tanpa mendarat”. Pada akhirnya Sjahrir tetap harus
mendarat, dengan rencana, sebagaimana pesawat itu akan mendarat dengan
kalkulasi. Dunia tak seluruhnya tergelar hanya dalam impuls, dorongan, dan
gairah.
***
Bacaan Hatta sangat luas, dan juga minatnya pada sastra. Dia
mengutip sajak Heinrich Heine dalam bahasa Jerman. Dia juga menyebut Leo
Tolstoy, Karl Marx, Bakunin, serta Dostoyevsky. Dia seperti ingin mengompensasi
tubuhnya yang tidak terlalu besar, wajahnya yang dingin berkacamata tebal,
serta gaya bicaranya yang membosankan, dia mencari kekuatan pada menulis. Pena
adalah senjata dia untuk memerdekakan bangsanya. Bakat menulisnya, dan timbunan
bacaannya, kian meluap ketika Hatta kuliah di Belanda. Buku dan perpustakaan
tetap menjadi pusat hidupnya. Tapi Hatta bukan cendikiawan di menara gading.
Sekira bulan September tahun 1921, dalam usia yang baru 19
tahun ketika sekolah di Rotterdamse Handelsshogeschool, Hatta mesti membeli sejumlah
buku. Tapi dana beasiswa belum diterimanya. Uang saku yang dibawanya dari
kampung tak seberapa. Baru sepekan dia tiba di Belanda, negeri yang 8.000 mil
dari Bukittinggi, tempat ia lahir dan dibesarkan.
Tanpa uang di saku, ia mendekati rak buku besar di De
Westerboekhandel, sebuah toko buku tua di kota itu. Ia mengambil Hartley
Withers, Schar, dan beberapa buku karangan T.M.C. Asser. Ia tak tahu dengan apa
semua buku itu harus dibayar. Beruntung, pemilik toko buku itu tahu bagaimana
harus bersikap pada mahasiswa miskin dari Dunia Ketiga. Bung Hatta menulis,
“Dengan De Westerboekhandel aku adakan perjanjian bahwa buku-buku itu kuangsur
pembayarannya tiap bulan f 10. Aku diizinkan memesan buku itu terus sampai
jumlah semuanya tak lebih dari f 150.”
Pada tahun 1927, akibat tulisan-tulisannya yang tajam
mengkritik pemerintah kolonial, Hatta ditahan. Dari ruang penjara yang sempit,
dia menulis pidato pembelaan yang nantinya akan dia bacakan selama tiga
setengah jam di depan pengadilan. Judul pidato itu, “Indonesia Vrij” (Indonesia
Merdeka), menjadi salah satu manifesto politik yang monumental. Di situlah,
persis di ulu hati kekuasaan kolonial, dia menusukkan tikamannya.
Ketika pulang ke Indonesia dengan membawa gelar sarjana,
Hatta semakin larut dalam kegiatan politik. Dia juga aktif menulis dalam
majalah yang didirikan partainya : Daulat Ra’jat.
Dan kembali, akibat tulisan-tulisannya di majalah itu, dia
dibuang ke Boven Digul, Irian, sebuah wilayah pembuangan yang sering disebut
Siberianya Hindia Belanda. Tapi, dasar Hatta, dia membawa serta 16 peti buku ke
tanah pengasingan. Buku-buku itu membuatnya memiliki amunisi cukup untuk
meluncurkan tulisan---tembakan salvonya---ke koran-koran di Batavia maupun Den
Haag. Dia memang tak bisa dibungkam.
***
Akhir keduanya memang berbeda. Dua corak pribadi itu mengalami
kesudahan yang berlainan. Tapi Sjahrir dan Hatta adalah sumbangan sejarah berharga
yang bisa kita pelajari dan kita ambil manfaatnya, barangkali bisa menjadi
penerang bagi jalan yang akan dilalui. Kita tidak tahu, apakah harapan itu akan
terbit atau malah terkubur, sebab hari esok terasa begitu misteri. [ ]
---Dengan permintaan maaf kepada Goenawan Mohamad dan Tim
Majalah TEMPO---
No comments:
Post a Comment